“Di mana Radha?” Tanya Baskara tiba-tiba. Saga terkejut sejenak, namun ia segera menyembunyikan keterkejutannya. Ia tidak menyangka bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Baskara. “Apa maksud Ayah? Tentu saja di rumahnya. Kenapa malah bertanya padaku?” balas Saga tanpa langsung menjawab pertanyaan yang diajukan oleh ayahnya. Baskara menyipitkan matanya, memperhatikan putranya dengan seksama. “Aku tahu kau menyembunyikannya, Saga. Jangan mencoba mengelak. Selama ini, jika Radha dalam masalah, kau selalu membantunya. Jadi katakan, di mana dia? Tidak mungkin Radha tiba-tiba menghilang begitu saja, tanpa ada orang lain yang membantunya.” Saga tersenyum tipis. Senyuman yang lebih menyerupai ejekan. “Apa? Radha menghilang?" Seru Saga, segera mengambil posisi duduk tepat di depan Baskara. "Astaga, Ayah. Kalaupun aku tahu di mana dia, kenapa juga aku harus memberitahumu? Bukankah lebih baik jika kita membiarkan Radha menjauh dari semua kekacauan yang dibuat oleh putra keduamu itu?” “
Saga membuka pintu kamar Radha dengan pelan. Langkahnya nyaris tanpa suara. Ia masuk dan berhenti beberapa langkah dari tempat tidur, seolah menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya mendekat. Radha yang sedang duduk di tepi tempat tidur menoleh, keningnya berkerut saat melihat guratan kelelahan di wajah pria itu.“Kak Saga? Kau sudah selesai berbicara dengan ayahmu?” tanya Radha pelan, suaranya mengandung rasa ingin tahu yang hati-hati.Saga mengangguk, berjalan mendekati meja kecil di kamar itu, lalu merapikan sesuatu di atasnya. “Ya, kami hanya membahas masalah pekerjaan,” jawabnya, suaranya tenang, tetapi tidak cukup untuk menutupi kegelisahan yang terpancar dari matanya. “Kau tidak istirahat?”Radha tidak langsung menjawab. Ia menatap Saga lebih dalam dari sebelumnya. “Aku rasa, aku sudah cukup banyak istirahat hari ini,” sahut Radha, dibalas dengan anggukan pelan oleh Saga.Ada jeda hening beberapa saat di antara mereka berdua. Radha yang masih penasaran atas apa yang sebenarn
Di sebuah lounge eksklusif yang hanya diterangi lampu-lampu temaram, Nindy duduk dengan ekspresi penuh kemenangan. Jemarinya dengan lincah mengetikkan pesan terakhir kepada Radha, disertai dengan beberapa foto dirinya bersama Krisna dengan berbagai pose—sebuah momen yang diambil secara diam-diam beberapa menit lalu. Senyumnya mengembang ketika notifikasi di layar ponselnya mengonfirmasi bahwa pesan itu telah dibaca. “Radha pasti terbakar cemburu sekarang,” gumamnya pelan. Tatapan puas terpatri di wajahnya. “Dia harus tahu bahwa aku sudah menang. Krisna adalah milikku—seutuhnya.” Nindy menyesap minuman di depannya dengan anggun, sambil membayangkan ekspresi Radha saat membaca pesan tersebut. Pikirannya dipenuhi dengan rasa puas dan bahagia. Akhirnya, ia telah berhasil mengalahkan Radha dalam permainan yang selama ini ia jalani. Di sisi lain meja, Krisna duduk dengan tubuh yang sedikit terhuyung. Wajahnya memerah karena alkohol yang telah ia minum sejak tadi. Matanya memandang kosong
“Wanita genit itu memang benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?” gumamnya pelan. “Menyebalkan sekali.” Tak ingin semakin stress karena perbuatan konyol Nindy, Radha berniat keluar dari kamar dengan meletakkan ponselnya secara asal di atas tempat tidur dan bangkit dari duduknya. Kepalanya terasa nyaris meledak, dan ia juga cukup penat berada di dalam kamar sepanjang hari. Saat keluar dari kamar, Radha berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti begitu melewati ruang kerja Saga. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, dan suara Saga yang seperti sedang berbicara dengan seseorang terdengar samar di telinga Radha. Melalui celah pintu, Radha bisa melihat Saga berdiri di dekat mejanya. Raut wajahnya terlihat sangat serius. Dan suaranya yang biasanya lembut, kini terdengar agak keras, bahkan seperti membentak. “Sudah kubilang, aku tidak ingin mendengar alasan apapun lagi! Aku tidak mau tahu, lakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabmu,” suara Sag
Radha memasuki lobi rumah sakit dengan hati yang berdebar. Meski telah berusaha menenangkan dirinya semalaman, rasa cemas tetap menyelimutinya. Ia melirik arlojinya. Masih ada beberapa menit sebelum janji temunya. Radha memutuskan untuk duduk sebentar di ruang tunggu sembari menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Tak lama setelah Radha duduk di kursi tunggu, seorang pria paruh baya dengan jas putih mendekatinya. Wajahnya penuh senyum ramah, dan matanya memancarkan ketenangan. “Nyonya Radha?” panggilnya. Radha segera berdiri dan mengangguk. “Ya. Anda Dokter James, benar?” “Benar sekali,” jawab Dokter James, menjabat tangan Radha. “Saga sudah memberi tahu saya tentang kunjungan Anda. Mari, saya akan mengantar Anda ke ruangan teman saya. Dokter Sasmitha adalah salah satu dokter spesialis terbaik yang saya kenal. Anda akan berada di tangan yang tepat.” Radha tersenyum tipis. “Terima kasih banyak, Dokter. Saya benar-benar menghargai bantuan Anda dan juga Saga.” “T
Lobi rumah sakit yang biasanya tenang entah kenapa tiba-tiba berubah menjadi medan perdebatan yang sengit antara Saga dan Krisna. Saga berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada, sementara Krisna menatapnya dengan tajam, tangan terkepal di sisi tubuhnya. Di antara mereka, Radha berdiri dengan wajah lelah, matanya bergantian menatap dua pria yang bersikeras memenangkan argumen. “Aku bilang, aku hanya ingin bicara dengan Radha,” ujar Krisna dengan nada dingin namun penuh tekanan. “Jadi, minggirlah. Ini bukan urusanmu.” Saga mendengus sinis. “Segala sesuatu yang melibatkan Radha adalah urusanku. Terutama kalau itu menyangkut orang yang terus-menerus menyakitinya. Dan kau sudah cukup membuat hidupnya kacau, Krisna.” Krisna melangkah maju, jarak di antara mereka semakin kecil. “Kacau? Kau bahkan tidak tahu separuh dari cerita ini, Saga. Jadi jangan bertingkah seperti pahlawan kesiangan.” Saga tidak mundur sedikit pun. “Yang aku tahu, Radha jauh lebih baik tanpa dirimu. Dia tidak butu
Meja di sudut kafe itu terasa lebih kecil daripada seharusnya. Saga duduk dengan santai, menyandarkan punggungnya pada kursi dan menyesap kopinya perlahan, sementara Nindy duduk di depannya dengan ekspresi tidak senang. Mata Nindy sesekali melirik meja di mana Krisna dan Radha tengah berbicara. Namun, ia lebih sering memandangi Saga dengan tatapan penuh rasa tidak suka. “Aku heran sekali padamu, Nindy. Kau ini tidak punya kerjaan lain untuk menyibukkan dirimu selain terus menguntit Krisna, ya?” Nindy mendelik tajam dengan ekspresi mencemooh. “Bukankah justru kau yang suka tiba-tiba muncul seperti hantu kesepian yang selalu berusaha mencari perhatian tiap kali Radha dalam masalah? Dasar pria murahan.” Saga terkekeh pelan, sorot matanya tajam saat ia menatap balik Nindy. “Pria murahan? Wah, ini lucu. Kau yang sudah terang-terangan menempel pada pria yang jelas-jelas tidak tertarik padamu justru berani berkata seperti itu? Aku dengar ada istilah untuk orang sepertimu. Pengganggu yang
“Dari semua tempat yang aku cari, aku justru menemukanmu di rumah sakit. Jadi aku tanya, apa kau sedang sakit?” Radha yang sebenarnya sudah menduga bahwa Krisna akan menanyakan hal itu, terdiam sejenak. Tanpa disadari, jantungnya berdegup lebih cepat. Ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Bagaimana jika Krisna sampai tahu bahwa dirinya datang ke rumah sakit adalah untuk memeriksakan kehamilannya? Apakah Krisna akan memperhambat proses perceraian mereka? Apakah Krisna dan keluarganya akan menggunakan calon anaknya sebagai alat untuk mengekang dan menyiksa hidup Radha lagi? Batin Radha bergejolak hebat, menolak sekuat mungkin atas segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi jika Krisna tahu di dalam rahimnya ada anak kandungnya. Tidak. Krisna tidak boleh tahu. Sebisa mungkin Radha harus merahasiakan kehamilannya dari siapa pun yang berasal dari keluarga Harlingga. Terutama Krisna. Meski terkesan jahat karena telah memisahkan seorang anak dari ayahnya, tapi Radha seakan
Krisna membuka pintu rumahnya dengan gerakan lambat. Langkahnya berat, seakan ada beban tak kasat mata yang mengikat kedua kakinya. Helaan napas panjang lolos dari bibirnya saat ia melangkah masuk. Rumah itu terlihat suram, sunyi, dan terasa lebih besar dari biasanya. Lampu-lampunya menyala, tapi cahaya yang memancar terasa dingin dan asing. Biasanya, ketika ia pulang, Radha selalu ada di sana. Meski Krisna tak pernah benar-benar memerhatikannya, Radha akan selalu menunggunya pulang, menyambutnya di pintu dengan segelas air hangat atau teh. Lalu Radha akan bertanya bagaimana harinya di kantor, meski jawaban Krisna selalu singkat dan ketus. Tapi malam ini berbeda. Tak ada sosok Radha di depan pintu. Tak ada sapaan lembut atau senyum kecil yang dulu sering ia abaikan. Kini, setiap sudut rumah seakan mengingatkan Krisna pada ketidakhadiran wanita itu. Langkah kakinya bergema hampa di lantai marmer, dan keheningan yang menyelimuti membuat dadanya terasa sesak. Ia menjatuhkan tubuhny
“Perkenalkan, nama saya Joshua.” Clara berdiri di ambang pintu, mengamati pria jangkung di depannya yang mengenakan jas gelap rapi. Wajah pria itu tidak terlalu asing, tetapi senyumnya yang tipis dan sorot matanya yang tajam membuatnya merasa tidak nyaman. “Joshua?” ulang Clara dengan nada tidak ramah. “Seingatku aku tidak punya teman atau pun kolega yang bernama Joshua. Apa kau orang suruhannya Papa?” Joshua mengangkat satu alis, senyum kecilnya tetap terukir. “Sayangnya bukan. Ini adalah pertemuan kita yang pertama.” “Oh, jadi kau ini seorang penguntit, ya?” Duga Clara, berkacak pinggang, menatap pria itu dari ujung rambut ke ujung kaki. “Wajahmu lumayan, tapi maaf saja. Kau bukan tipeku. Jadi, pergilah. Aku tidak punya waktu bermain-main denganmu.” “Tunggu sebentar, Nona Clara,” tahan Joshua, saat Clara membalikkan tubuhnya, berniat masuk kembali ke dalam rumah. “Aku bukanlah penguntit seperti yang Anda kira. Aku datang ke sini, bermaksud ingin membicarakan sesuatu. Itu saja.
Radha membuka pintu vila dengan langkah cepat, nyaris terburu-buru. Napasnya terdengar berat, dan ekspresi wajahnya menunjukkan kemarahan yang tertahan. Ia tidak memedulikan Nakula yang sedang duduk di sofa, menonton televisi dengan santai. Tanpa sepatah kata, Radha langsung menuju kamar, membuka lemari, dan mulai mengemasi barang-barangnya. Nakula mengernyit bingung melihat tingkah kakaknya. Ia segera bangkit dan berjalan menyusul ke kamar. “Kak, ada apa?” tanyanya, nada suaranya penuh kebingungan. Namun, Radha tidak menjawab. Ia membuka lemari pakaian dengan kasar, terus menarik pakaian dari gantungan, melipatnya sekadarnya, dan memasukkannya ke dalam tas besar di atas tempat tidur. Tangannya bergerak cepat, seperti dikejar waktu, sementara wajahnya menyiratkan kegelisahan. “Kak Radha!” Nakula kembali bertanya, kali ini dengan nada lebih tegas. “Kenapa tiba-tiba mengemasi semua pakaianmu, Kak? Apa yang terjadi?” Radha berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menjawab dengan
"Pergi dari sini sekarang, atau kau akan melihat versi terburukku yang belum pernah kau lihat." Clara tergagap, napasnya memburu. Tatapan dingin Saga terasa menusuk hingga ke tulangnya, membuat kakinya goyah. Ia menelan saliva dengan susah payah, namun tenggorokannya terasa kering seolah ada batu besar yang mengganjal. “S-Saga… aku… aku hanya—” "Pergi." Suara Saga terdengar lebih rendah, hampir seperti desisan, namun sarat dengan ancaman yang membuat nyali Clara ciut. Clara mundur selangkah, tangannya bergetar di sisi tubuhnya. Ia menatap Radha dengan kebencian yang belum reda, namun ketakutan pada Saga lebih kuat. Tanpa berkata lagi, ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan restoran dengan langkah tergesa. Saga lalu beralih menatap Radha yang masih berdiri di tempatnya, wajahnya kaku, dan tangan gemetar di sisi tubuhnya. Suara pengunjung di restoran perlahan menghilang, tergantikan oleh denyut jantung yang terdengar jelas di telinga Saga. Ia menarik napas dalam-dalam, menco
Clara memandang surat di tangannya dengan ekspresi penuh keterkejutan. Tulisan "Hasil Pemeriksaan Kehamilan: Positif" terus berputar dalam pikirannya. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Matanya beralih ke Radha, yang kini berdiri dengan wajah tenang namun terlihat sedikit canggung. "Apa ini?" tanya Clara dengan suara tertahan, sambil menunjuk surat itu. "Kau hamil?" Radha mengangguk, senyumnya tipis namun tetap tenang. Ia mengulurkan tangan untuk mengambil surat itu dari Clara. "Ya, aku hamil," jawabnya singkat, lalu memasukkan surat itu ke dalam tasnya dengan hati-hati. Kata-kata itu menghantam Clara seperti badai. Dadanya berdebar, dan pikirannya berputar liar. Semua potongan puzzle seolah mulai menyatu dalam pikirannya. Radha hamil, dan itu menjelaskan semuanya. Perubahan sikap Saga, jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka, dan kini—jawabannya menjadi jelas. "Tentu saja," ujar Clara dengan nada sarkastik, tangannya terlipat di depan dada. "Jadi ini alasan
Clara menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menyipit menatap Saga dengan tajam. "Tidak hidup di masa lalu, huh? Kau pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja, Saga?" Clara menyilangkan tangan di depan dadanya, nada suaranya naik satu tingkat. Saga mengaduk pelan kopinya yang mulai dingin. "Bukan soal mudah atau tidak, Clara. Tapi kita harus memilih apa yang ingin kita jalani. Dan aku telah memilih untuk melangkah ke depan." Clara tertawa pendek, sarkastik. "Oh, tentu. Kau memilih melangkah ke depan dengan dia, bukan? Wanita itu tampaknya tidak punya latar belakang seperti kita, tidak punya kedudukan yang setara, dan—" "Clara." Saga memotong dengan suara tegas, menatapnya langsung. "Jangan mulai membandingkan dirimu dengan Radha." Clara meletakkan cangkir tehnya dengan sedikit keras. "Kenapa? Karena kau tahu aku benar? Apa yang dia punya yang aku tidak miliki, Saga?" "Entahlah, mungkin dia bukan tipe wanita yang suka membuat keputusan secara sepihak lalu pergi tanpa penj
Saga langsung bangkit dari kursinya, langkahnya cepat dan mantap menuju arah di mana ia melihat kilatan kamera. Radha dan Clara sempat terdiam, saling pandang dengan kebingungan. “Kak Saga!” panggil Radha, suaranya tertahan. "Tunggu sebentar," jawab Saga singkat. "Aku harus memastikan sesuatu." Sebelum Radha bisa menahannya, Saga sudah berjalan cepat menerobos kerumunan restoran. Clara hanya melirik sekilas, tampak tidak terlalu peduli. Ia kembali menyibukkan diri dengan gelas anggurnya, sementara Radha menatap punggung Saga yang semakin menjauh. Ia melangkah cepat ke antara meja-meja, melintasi pelayan yang membawa nampan, dan menggeser kursi-kursi yang menghalangi jalannya. Matanya menyapu seluruh area restoran, mencari jejak seseorang dengan kamera. Saga akhirnya melihat sesosok pria berjaket hitam dengan topi abu-abu yang tampak terburu-buru menuju pintu keluar. Tanpa pikir panjang, Saga mempercepat langkahnya dan menyusul pria tersebut. Tangan Saga hampir menyentuh bahu pria
"Tentu, Dok. Terima kasih atas sarannya. Saya pasti akan menjaga istri saya sebaik mungkin.” Dr. Sasmitha tersenyum puas. Sementara Radha, di sisi lain, hanya bisa memandang Saga dengan bingung. Hingga setelah keluar dari ruang pemeriksaan, ia langsung menoleh ke arah pria itu. “Kenapa tadi Kak Saga bilang seperti itu? Dr. Sasmitha mungkin akan salah paham dengan kita berdua,” ujarnya setengah berbisik. Saga terkekeh pelan. “Aku hanya ingin mempercepat proses pemeriksaannya saja. Kalau nanti dia tahu kau datang ke sini bukan bersama suamimu tapi dengan pria lain, malah akan jadi panjang urusannya. Meskipun sebenarnya kau dan Krisna akan segera bercerai. Jadi aku rasa itu tidak masalah, 'kan?” Radha mendesah panjang. “Tapi tetap saja Kak, tolong lain kali jangan lakukan itu lagi. Aku tidak mau ada orang lain yang salah paham dengan hubungan kita." “Baiklah, tidak akan lagi,” jawab Saga sambil tersenyum kecil. "Maaf, ya?" Radha menghela napas panjang dan mengangguk pelan. “Kak, b
Pagi itu, cahaya matahari mengintip lembut dari balik jendela ruang makan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, bersanding dengan aroma roti panggang yang masih hangat. Namun, di tengah suasana yang terasa nyaman, Radha duduk diam, menatap kosong ke arah piringnya yang masih kosong. Pikirannya melayang pada percakapan mereka berdua semalam. Di mana ungkapan hati Saga masih terngiang jelas di telinganya. “Aku hanya ingin kau tahu... aku akan selalu ada di sini—di sampingmu. Tidak peduli sebagai apa pun yang kau butuhkan.” kalimat itu kembali terngiang, membuatnya semakin resah. Radha meneguk ludah, merasa canggung setiap kali mengingat kata-kata itu. Tak pernah terlintas dalam benaknya bahwa pria yang selama ini ia anggap seperti kakaknya sendiri, ternyata memiliki perasaan lebih. Saga selalu ada untuknya, menjadi tempatnya bersandar di saat sulit. Namun, Radha tak ingin merusak hubungan baik mereka hanya karena perasaannya yang tak bisa ia balas. Jadi, pagi itu, ia memutus