Mereka berdua akhirnya menyudahi percakapan dengan masing-masing membawa luka yang tak terucapkan. Radha berdiri lebih dulu, mengambil tasnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Krisna tanpa menoleh sedikit pun. Tepat di pintu kafe, ia melihat Saga berdiri menunggunya. Dengan langkah berat, Radha menghampiri pria itu, menerima uluran tangan yang diberikan Saga. Saga menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Radha mengangguk pelan. “Ayo pergi.” Saga mengangguk dan mengiringi langkah Radha menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Krisna yang masih duduk di dalam kafe hanya bisa memandang kepergian mereka dengan tatapan kosong. Entah mengapa ada perasaan tak rela yang terus menghantuinya. Beberapa saat setelah kepergian Radha dan Saga, Nindy berjalan mendekati meja tempat Krisna duduk, senyumnya lebar seperti biasa. “Krisna,” sapanya, mencoba menarik perhatian pria itu. “Hari ini kau tidak begitu sibuk ‘kan? Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Sejak ta
“TIDAK!” Suaranya menggema, menarik perhatian beberapa pengunjung di kafe yang menoleh padanya dengan tatapan heran. Salah seorang pelayan bahkan hampir mendekat untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja, tapi Nindy sudah berdiri sambil menggenggam tas tangannya dengan gemetar. Dia tidak peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Lalu tanpa berkata apa-apa, Nindy melangkah keluar dari kafe dengan langkah tergesa-gesa. Sepatu hak tingginya beradu keras dengan lantai keramik, menciptakan suara berirama yang seolah mempertegas kegelisahan hatinya. Nindy menyeberangi jalan tanpa memedulikan klakson mobil yang hampir mengenainya, wajahnya hanya menatap lurus ke depan, tujuannya sudah jelas. Kembali ke rumah sakit. Saat tiba di lobi rumah sakit, napas Nindy tersengal. Sejenak ia menghentikan langkahnya, untuk mengatur kembali ritme napasnya agar kembali normal. "Tenang, Nindy," gumamnya pada diri sendiri. Namun, pikirannya tetap berputar liar. Obat yang dia temukan itu tidak
“Tidak mungkin!” Gayatri menggenggam lengan kursi dengan erat, seolah mencoba mencari pegangan di tengah badai yang tiba-tiba datang. Tatapannya terpaku pada wajah Nindy, mencoba mencari celah apakah ini hanya sekedar gurauan anak muda jaman sekarang atau tidak. Namun, melihat ekspresi serius dan tegang Nindy, harapannya pupus seketika. “Tidak mungkin,” ulang Gayatri, kali ini dengan nada yang lebih pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Radha tidak mungkin hamil. Bagaimana bisa itu terjadi? Dia ... dan Krisna—” Gayatri menggelengkan kepala dengan cepat, enggan membayangkan apa yang sudah terjadi pada Radha dan Krisna. “Ini pasti tidak benar. Aku sangat mengenal anakku. Krisna—dia ... tidak akan pernah sudi menyentuh perempuan sialan itu ....” “Aku juga sepemikiran dengan Mama,” sela Nindy, tubuhnya merosot lemas ke sandaran sofa. “Tapi bagaimana dengan obat yang aku temukan itu? Kata temanku yang juga seorang dokter, obat itu adalah vitamin untuk ibu hamil. Ditambah lagi
“Dokter, Anda pasti tahu siapa Harlingga, bukan?”Dr. Sasmitha kembali terdiam. Tampaknya ia mulai menyadari ke arah mana pembicaraan ini akan berjalan.“Radha Harlingga adalah salah satu anggota penting di keluarga kami. Khususnya bagi Kakek Felix, dia merupakan cucu menantu kesayangannya. Namun karena seorang laki-laki yang tidak jelas asal-usulnya, Radha lari dengannya,” kata Nindy, berbohong. “Saya takut, jika seandainya dia hamil dengan laki-laki itu dan bukan dari suaminya, maka jelas itu akan sangat mencoreng nama baik keluarga Harlingga. Saat ini mungkin keluarga besar kami belum tahu tentang kondisi Radha. Tapi jika mereka mengetahuinya, entah apa yang akan mereka lakukan pada Radha nantinya.”Dr. Sasmitha mencoba membaca ekspresi wajah Nindy, sekaligus mencerna makna dari tiap kata yang keluar dari bibirnya. Meski nada bicaranya terdengar tenang, tapi Dr. Sasmitha tahu ada maksud tertentu yang tersirat—yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menghela napas, mencoba menenan
Sejak pertemuannya dengan Krisna di kafe, Radha lebih memilih untuk mengurung diri dalam kamar. Tanpa ada keinginan melakukan apa pun, ia hanya berdiri di dekat jendela, menatap kosong ke arah taman. Pikirannya seakan tenggelam, dan terus berputar-putar tanpa arah.Sesekali suara isak tangisnya terdengar dari balik pintu kamar, membuat para pelayan yang mendengarnya saling bertukar pandang dengan cemas.Sore harinya, Saga pulang lebih awal dari kantor. Ia hanya memimpin rapat sebentar lalu memutuskan untuk kembali ke vila. Pikirannya tidak bisa tenang memikirkan sikap Radha yang berubah jadi lebih pendiam, usai pembicaraannya dengan Krisna di kafe pagi tadi. Meski tak berkata apa-apa, tapi Saga yakin, penyebab Radha seperti itu karena Krisna.Begitu kaki panjangnya melangkah masuk ke dalam vila, Saga langsung bisa mencium ada yang tidak beres dari gelagat para pelayannya.“Apa Radha belum juga keluar dari kamarnya?” Tanya Saga, jelas sekali ada guratan kecemasan di wajah tampannya.Sa
“Tiap kali aku memikirkannya, itu membuatku sesak.”Saga terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Ia tahu Krisna adalah pria yang keras kepala, sombong, dan jarang—sebenarnya hampir tidak pernah—untuk mau mengakui kesalahannya. Dan fakta bahwa Krisna meminta maaf pada orang yang dianggapnya sebagai sumber kesakitannya, jelas mengguncang Saga.Apa mungkin hal itu ada kaitannya usai Krisna melihat isi amplop yang Saga berikan padanya? Saga menghela napas panjang. Bisa saja itu terjadi. Dan itu artinya, Krisna telah mengetahui semuanya. Skandal terburuk yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang, Radha?” Tanya Saga.Radha mengangkat bahunya perlahan, tatapannya jatuh ke lantai. “Aku tidak tahu, Kak. Aku benar-benar tidak tahu.” Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosi yang kembali menyeruak. “Aku bingung. Kenapa baru sekarang? Di saat semuanya sudah di ambang kehancuran, di saat aku sudah menyerah dan memutuskan untuk ber
Malam itu, di sebuah restoran eksklusif ternama di pusat kota, Gayatri dan Nindy berada di sebuah ruangan VVIP yang terletak di lantai paling atas. Restoran itu terkenal tak hanya menawarkan suasana yang mewah, tapi juga memiliki ruang privasi tingkat tinggi, dengan dinding tebal kedap suara dan pelayan yang tidak akan masuk kecuali dipanggil.Di dalam sana, Gayatri duduk dengan anggun di salah satu kursi berbahan beludru. Penampilannya sempurna, seperti biasanya. Rambutnya tersanggul rapi, dengan cincin berlian di jarinya yang berkilauan di bawah lampu. Berbanding terbalik dengan Gayatri, Nindy justru tampak gelisah. Gaun merah elegan yang membalut tubuh rampingnya, tetap tak bisa menutupi ekspresi gugup di wajahnya.Sesekali Nindy melirik jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan malam dan orang yang ditunggunya belum juga datang."Ma," bisik Nindy, mencoba memecah keheningan. "Apa Mama yakin orang yang akan kita temui ini bisa dipercaya?"Gayatri menyesap anggur merah dari gelas
Hari ini adalah hari yang telah Radha nantikan sekaligus yang paling ditakutinya. Di mana semua yang selama ini ia pertahankan akan benar-benar berakhir.Di depan cermin, Radha berdiri dengan tubuh yang tampak tegar, tetapi tangannya gemetar saat merapikan rambutnya. Sebuah gaun sederhana berwarna krem membalut tubuhnya, mencerminkan kesan anggun namun penuh kesedihan. Ia menatap bayangan dirinya dalam-dalam, mencoba mencari keberanian yang mungkin tersembunyi di balik matanya yang mulai basah.Ketukan di pintu memecah keheningan. “Radha,” suara Saga terdengar lembut namun tegas. “Boleh aku masuk?”Radha menghela napas pelan. “Masuklah, Kak.”Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri Saga dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mengenakan kemeja biru yang rapi, tetapi sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang sama seperti yang dirasakan Radha.“Apa kau yakin, tidak akan membiarkanku ikut denganmu ke pengadilan?” Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kalinya dari Saga.Radha menggeleng pelan
Pagi menjelang siang, sinar matahari mengintip lembut dari sela-sela pepohonan, mengiringi perjalanan Radha dan Saga dalam mobil menuju vila pribadi milik Saga. Jam di dashboard menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit. Radha bersandar di kursi penumpang, menatap lurus ke jalanan dengan pikiran yang terasa berat. Saga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik Radha dengan tatapan penuh perhatian. "Kau diam saja sejak tadi," ucap Saga, memecah keheningan. Suaranya tenang, namun penuh rasa ingin tahu. "Kau baik-baik saja, Radha?" Radha menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Aku baik, Kak. Maaf, aku hanya sedang memikirkan banyak hal." Saga mengangguk paham. "Aku mengerti. Tapi... jujur saja, aku merasa tidak enak atas apa yang sudah dilakukan Kakek Felix padamu. Keluargaku, sudah terlalu sering membuatmu dalam masalah." Radha menggeleng cepat. "Tidak, Kak. Justru aku yang merepotkanmu. Rasanya aku yang terlalu sering melibatkanmu dalam masalahku." Saga tertawa kecil, nam
"Radha," ujar Krisna perlahan. "Kau bisa pulang setelah ini. Tapi, untuk saat ini, duduklah. Biarkan aku membuatkan sesuatu untukmu."Radha mendesah panjang. Ia ingin membantah, namun entah kenapa tubuhnya justru mengikutinya lagi. Ia duduk di kursi dapur, mengamati punggung Krisna dari belakang.Krisna bergerak dengan cekatan, seperti seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. Tangannya meraih bahan-bahan dari lemari es, kemudian mulai menyiapkan sesuatu. Radha memperhatikan tanpa sadar, merasa aneh dengan situasi ini."Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Radha akhirnya, suaranya terdengar ragu.Krisna meliriknya sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. "Ada banyak hal tentang aku yang tidak kau tahu, Radha. Sama seperti aku yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang kau pikirkan."Radha terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu bagaimana merespons, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aroma harum mulai memenuhi udara, membu
Radha berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya dengan tatapan campur aduk. Gaun sederhana berwarna lembut yang ia kenakan tampak pas di tubuhnya, seolah dibuat khusus untuknya. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, merasakan betapa nyaman dan ringan bahan yang digunakannya.Selama mereka menikah, Krisna hampir tidak pernah peduli pada hal-hal kecil seperti ini. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Krisna menunjukkan perhatian yang nyata terhadapnya. Namun, setiap kali ia mengenakan sesuatu yang dipilih oleh Krisna, entah bagaimana rasanya selalu pas. Warna, potongan, bahkan desainnya—semuanya terasa seperti mencerminkan dirinya.“Sebenarnya, ada apa dengan Krisna? Kenapa sikapnya sedikit berubah di saat kami akan bercerai?” gumam Radha, setengah melamun.Helaan napas yang panjang terdengar darinya, sembari meletakkan sisir di atas meja rias setelah beberapa kali menggunakannya untuk menyisir rambut basahnya. Radha mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi pertanyaan i
"APA INI?!" Suara lengkingan Radha menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan pagi. Dengan wajah pucat, ia mendapati dirinya terbangun di tempat tidur megah itu, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, dan hanya selimut tebal yang melilit erat. Napasnya tersengal, matanya melirik panik ke sekeliling kamar.Pintu kamar terketuk pelan dari luar. Suara khawatir seorang pelayan terdengar memanggil Radha berulang kali. "Nyonya Radha, Anda baik-baik saja?! Apa yang terjadi?”"Ja-Jangan masuk! Aku ... aku baik-baik saja!" seru Radha, suaranya bergetar.Pikirannya melayang ke ingatan samar-samar semalam—demam tinggi, tubuhnya menggigil, dan sosok Krisna yang duduk di tepi tempat tidur. Ia ingat tangannya yang dingin menyeka keringat di dahinya. Tapi apa yang terjadi setelah itu?Tepat saat ia mencoba mengingat lebih jauh, pintu kamar kembali terbuka lebar, kali ini menampilkan sosok Krisna yang masuk dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, wajahnya tampak s
“Kendalikan dirimu, Krisna,” gumamnya tegas, namun suaranya nyaris tenggelam oleh deru napasnya sendiri. Krisna berdiri cepat, menjauh dari kasur tempat Radha terbaring. Namun, setiap langkah terasa seperti menambah beban yang tak kasatmata di pundaknya. Ia mencoba menjauhkan diri, bukan hanya dari Radha, tetapi juga dari pergulatan batinnya yang semakin menggila. Akan tetapi, suara pelan dari tubuh Radha yang menggigil memaksa langkahnya terhenti. Krisna menoleh, dan pandangannya jatuh pada tubuh Radha yang tampak semakin kecil di balik selimut yang ia berikan sebelumnya. “Sial,” batinnya menggerutu. Selimut itu tidak mampu menghalau dingin yang menyerang tubuh Radha, bahkan napasnya terdengar lebih berat dan tersengal.Krisna memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Sial, apa yang harus kulakukan?" pikirnya penuh frustrasi.Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa layar untuk yang entah ke berapa kali. Tidak ada pesan. Tidak ada
Krisna berdiri diam di dapur setelah meletakkan gelas dan handuk basah yang tadi digunakannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Radha yang terbaring lemah di kamar. Ia menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk. Saat ia melongok ke arah halaman luar, terlihat beberapa orang suruhan kakeknya sudah tidak ada di tempat. Hanya beberapa yang masih berjaga di pintu gerbang.“Kakek … apa yang sebenarnya kau rencanakan kali ini?” pikir Krisna sambil meraih ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.“Martha,” panggilnya ketika suara di ujung sana menjawab. “Aku ingin kau menunda semua proses perceraian itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi tunda saja.”“Tapi, Pak Krisna …,” Martha tampak hendak membantah, namun Krisna memotong.“Tidak ada tapi. Ini perintah.”Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Krisna memutus panggilan. Ia menghela napas panjang dan melirik dapur.
"Apa maksud perkataan Kakek tadi?” Krisna membuka pembicaraan tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar serius. “Kesempatan apa yang dia bicarakan?”Radha mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu percakapan ini akan berbuntut panjang jika Radha mengatakan yang sebenarnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek, berusaha menutupi.Krisna mendengus tidak percaya, melangkah lebih dekat. “Jangan berbohong, Radha. Kau tahu aku tidak sebodoh itu sampai kau harus menutupinya.”Radha menghela napas panjang. Ia mencoba bersandar sejenak, sembari menatap lurus ke arah Krisna. “Dibandingkan dengan itu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Bukankah kata pengacaramu, kau sedang berada di luar kota?”Krisna mengernyit, tidak menyangka Radha akan balik bertanya. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Aku memang di sana. Ada rapat internal di perusahaan cabang. Tapi Martha tiba-tiba meneleponku. Katanya kau
Radha membuka matanya perlahan, seolah ada beban berat yang menahannya. Kepalanya masih terasa pusing, sementara tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar megah dengan desain yang membuatnya terpana. Langit-langit tinggi dengan ukiran-ukiran klasik, dinding berlapis wallpaper berwarna emas dengan pola bunga-bunga Eropa yang elegan, dan sebuah lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan.Di sudut ruangan, ada jendela besar dengan tirai tebal yang menyisakan celah kecil, memungkinkan sinar matahari siang itu menerobos masuk, menyinari lantai marmer yang berkilauan. Tempat tidur yang ia duduki pun memiliki kanopi bersutra putih yang melambai lembut, dihiasi ukiran kayu bernuansa antik. Samar-samar tercium aroma lembut kayu sandalwood yang menyusup di antara udara hening ruangan itu.Radha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, ingatan samar tentang dua pr
Pak Arman kembali ke kafetaria dengan langkah santai setelah menyelesaikan panggilan teleponnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kursi tempat Radha duduk sebelumnya kini kosong. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari keberadaan Radha. Hanya secangkir kopi yang masih utuh di meja menjadi satu-satunya petunjuk bahwa sesuatu telah terjadi.“Bu Radha?” panggil Pak Arman sambil berjalan lebih cepat menuju tempat duduk itu. Namun tidak ada jawaban, yang membuat hatinya mulai diliputi kegelisahan. Ia segera mencari nomor kontak Radha di ponselnya dan berusaha meneleponnya.Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada yang mengangkat. Pak Arman mencoba lagi, dan hasilnya sama. "Astaga, ke mana dia?" gumamnya dengan wajah semakin tegang.Bersamaan dengan itu, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat Martha mendekat dengan napas tersengal, wajahnya tampak panik.“P