Malam itu, di sebuah restoran eksklusif ternama di pusat kota, Gayatri dan Nindy berada di sebuah ruangan VVIP yang terletak di lantai paling atas. Restoran itu terkenal tak hanya menawarkan suasana yang mewah, tapi juga memiliki ruang privasi tingkat tinggi, dengan dinding tebal kedap suara dan pelayan yang tidak akan masuk kecuali dipanggil.Di dalam sana, Gayatri duduk dengan anggun di salah satu kursi berbahan beludru. Penampilannya sempurna, seperti biasanya. Rambutnya tersanggul rapi, dengan cincin berlian di jarinya yang berkilauan di bawah lampu. Berbanding terbalik dengan Gayatri, Nindy justru tampak gelisah. Gaun merah elegan yang membalut tubuh rampingnya, tetap tak bisa menutupi ekspresi gugup di wajahnya.Sesekali Nindy melirik jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan malam dan orang yang ditunggunya belum juga datang."Ma," bisik Nindy, mencoba memecah keheningan. "Apa Mama yakin orang yang akan kita temui ini bisa dipercaya?"Gayatri menyesap anggur merah dari gelas
Hari ini adalah hari yang telah Radha nantikan sekaligus yang paling ditakutinya. Di mana semua yang selama ini ia pertahankan akan benar-benar berakhir.Di depan cermin, Radha berdiri dengan tubuh yang tampak tegar, tetapi tangannya gemetar saat merapikan rambutnya. Sebuah gaun sederhana berwarna krem membalut tubuhnya, mencerminkan kesan anggun namun penuh kesedihan. Ia menatap bayangan dirinya dalam-dalam, mencoba mencari keberanian yang mungkin tersembunyi di balik matanya yang mulai basah.Ketukan di pintu memecah keheningan. “Radha,” suara Saga terdengar lembut namun tegas. “Boleh aku masuk?”Radha menghela napas pelan. “Masuklah, Kak.”Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri Saga dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mengenakan kemeja biru yang rapi, tetapi sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang sama seperti yang dirasakan Radha.“Apa kau yakin, tidak akan membiarkanku ikut denganmu ke pengadilan?” Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kalinya dari Saga.Radha menggeleng pelan
Langit pagi itu yang semula cerah, mendadak berubah mendung begitu mobil yang dikendarai oleh Pak Arman berhenti di pelataran parkiran gedung pengadilan.Radha yang duduk di kursi penumpang, tak langsung turun dari mobil dan hanya menatap diam ke arah gedung tinggi itu dengan perasaan gelisah.Seolah menyadari perubahan ekspresi di wajah Radha, Pak Arman berceletuk ringan, “semuanya akan baik-baik saja, Bu Radha.”Radha tersentak dari aksi diamnya, dan memaksakan dirinya untuk tersenyum sebagai respon sederhana dari perkataan Pak Arman.“Anda tenang saja. Saya akan pastikan semuanya berjalan lancar, dan Anda akan mendapatkan hak yang sudah seharusnya Anda terima,” lanjut Pak Arman, begitu semangat.Radha tersenyum lemah, lalu menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak Arman. Tapi sebenarnya, saya tidak menginginkan apa-apa. Saya hanya ingin semua ini cepat selesai.”Pak Arman mengangguk pelan, “baikl
Pak Arman kembali ke kafetaria dengan langkah santai setelah menyelesaikan panggilan teleponnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kursi tempat Radha duduk sebelumnya kini kosong. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari keberadaan Radha. Hanya secangkir kopi yang masih utuh di meja menjadi satu-satunya petunjuk bahwa sesuatu telah terjadi.“Bu Radha?” panggil Pak Arman sambil berjalan lebih cepat menuju tempat duduk itu. Namun tidak ada jawaban, yang membuat hatinya mulai diliputi kegelisahan. Ia segera mencari nomor kontak Radha di ponselnya dan berusaha meneleponnya.Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada yang mengangkat. Pak Arman mencoba lagi, dan hasilnya sama. "Astaga, ke mana dia?" gumamnya dengan wajah semakin tegang.Bersamaan dengan itu, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat Martha mendekat dengan napas tersengal, wajahnya tampak panik.“P
Radha membuka matanya perlahan, seolah ada beban berat yang menahannya. Kepalanya masih terasa pusing, sementara tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar megah dengan desain yang membuatnya terpana. Langit-langit tinggi dengan ukiran-ukiran klasik, dinding berlapis wallpaper berwarna emas dengan pola bunga-bunga Eropa yang elegan, dan sebuah lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan.Di sudut ruangan, ada jendela besar dengan tirai tebal yang menyisakan celah kecil, memungkinkan sinar matahari siang itu menerobos masuk, menyinari lantai marmer yang berkilauan. Tempat tidur yang ia duduki pun memiliki kanopi bersutra putih yang melambai lembut, dihiasi ukiran kayu bernuansa antik. Samar-samar tercium aroma lembut kayu sandalwood yang menyusup di antara udara hening ruangan itu.Radha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, ingatan samar tentang dua pr
"Apa maksud perkataan Kakek tadi?” Krisna membuka pembicaraan tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar serius. “Kesempatan apa yang dia bicarakan?”Radha mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu percakapan ini akan berbuntut panjang jika Radha mengatakan yang sebenarnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek, berusaha menutupi.Krisna mendengus tidak percaya, melangkah lebih dekat. “Jangan berbohong, Radha. Kau tahu aku tidak sebodoh itu sampai kau harus menutupinya.”Radha menghela napas panjang. Ia mencoba bersandar sejenak, sembari menatap lurus ke arah Krisna. “Dibandingkan dengan itu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Bukankah kata pengacaramu, kau sedang berada di luar kota?”Krisna mengernyit, tidak menyangka Radha akan balik bertanya. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Aku memang di sana. Ada rapat internal di perusahaan cabang. Tapi Martha tiba-tiba meneleponku. Katanya kau
Krisna berdiri diam di dapur setelah meletakkan gelas dan handuk basah yang tadi digunakannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Radha yang terbaring lemah di kamar. Ia menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk. Saat ia melongok ke arah halaman luar, terlihat beberapa orang suruhan kakeknya sudah tidak ada di tempat. Hanya beberapa yang masih berjaga di pintu gerbang.“Kakek … apa yang sebenarnya kau rencanakan kali ini?” pikir Krisna sambil meraih ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.“Martha,” panggilnya ketika suara di ujung sana menjawab. “Aku ingin kau menunda semua proses perceraian itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi tunda saja.”“Tapi, Pak Krisna …,” Martha tampak hendak membantah, namun Krisna memotong.“Tidak ada tapi. Ini perintah.”Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Krisna memutus panggilan. Ia menghela napas panjang dan melirik dapur.
“Kendalikan dirimu, Krisna,” gumamnya tegas, namun suaranya nyaris tenggelam oleh deru napasnya sendiri. Krisna berdiri cepat, menjauh dari kasur tempat Radha terbaring. Namun, setiap langkah terasa seperti menambah beban yang tak kasatmata di pundaknya. Ia mencoba menjauhkan diri, bukan hanya dari Radha, tetapi juga dari pergulatan batinnya yang semakin menggila. Akan tetapi, suara pelan dari tubuh Radha yang menggigil memaksa langkahnya terhenti. Krisna menoleh, dan pandangannya jatuh pada tubuh Radha yang tampak semakin kecil di balik selimut yang ia berikan sebelumnya. “Sial,” batinnya menggerutu. Selimut itu tidak mampu menghalau dingin yang menyerang tubuh Radha, bahkan napasnya terdengar lebih berat dan tersengal.Krisna memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Sial, apa yang harus kulakukan?" pikirnya penuh frustrasi.Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa layar untuk yang entah ke berapa kali. Tidak ada pesan. Tidak ada
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida