Hari ini adalah hari yang telah Radha nantikan sekaligus yang paling ditakutinya. Di mana semua yang selama ini ia pertahankan akan benar-benar berakhir.Di depan cermin, Radha berdiri dengan tubuh yang tampak tegar, tetapi tangannya gemetar saat merapikan rambutnya. Sebuah gaun sederhana berwarna krem membalut tubuhnya, mencerminkan kesan anggun namun penuh kesedihan. Ia menatap bayangan dirinya dalam-dalam, mencoba mencari keberanian yang mungkin tersembunyi di balik matanya yang mulai basah.Ketukan di pintu memecah keheningan. “Radha,” suara Saga terdengar lembut namun tegas. “Boleh aku masuk?”Radha menghela napas pelan. “Masuklah, Kak.”Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri Saga dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia mengenakan kemeja biru yang rapi, tetapi sorot matanya menunjukkan kegelisahan yang sama seperti yang dirasakan Radha.“Apa kau yakin, tidak akan membiarkanku ikut denganmu ke pengadilan?” Itu adalah pertanyaan yang ke sekian kalinya dari Saga.Radha menggeleng pelan
Langit pagi itu yang semula cerah, mendadak berubah mendung begitu mobil yang dikendarai oleh Pak Arman berhenti di pelataran parkiran gedung pengadilan.Radha yang duduk di kursi penumpang, tak langsung turun dari mobil dan hanya menatap diam ke arah gedung tinggi itu dengan perasaan gelisah.Seolah menyadari perubahan ekspresi di wajah Radha, Pak Arman berceletuk ringan, “semuanya akan baik-baik saja, Bu Radha.”Radha tersentak dari aksi diamnya, dan memaksakan dirinya untuk tersenyum sebagai respon sederhana dari perkataan Pak Arman.“Anda tenang saja. Saya akan pastikan semuanya berjalan lancar, dan Anda akan mendapatkan hak yang sudah seharusnya Anda terima,” lanjut Pak Arman, begitu semangat.Radha tersenyum lemah, lalu menghela napas panjang. “Terima kasih, Pak Arman. Tapi sebenarnya, saya tidak menginginkan apa-apa. Saya hanya ingin semua ini cepat selesai.”Pak Arman mengangguk pelan, “baikl
Pak Arman kembali ke kafetaria dengan langkah santai setelah menyelesaikan panggilan teleponnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kursi tempat Radha duduk sebelumnya kini kosong. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari keberadaan Radha. Hanya secangkir kopi yang masih utuh di meja menjadi satu-satunya petunjuk bahwa sesuatu telah terjadi.“Bu Radha?” panggil Pak Arman sambil berjalan lebih cepat menuju tempat duduk itu. Namun tidak ada jawaban, yang membuat hatinya mulai diliputi kegelisahan. Ia segera mencari nomor kontak Radha di ponselnya dan berusaha meneleponnya.Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada yang mengangkat. Pak Arman mencoba lagi, dan hasilnya sama. "Astaga, ke mana dia?" gumamnya dengan wajah semakin tegang.Bersamaan dengan itu, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat Martha mendekat dengan napas tersengal, wajahnya tampak panik.“P
Radha membuka matanya perlahan, seolah ada beban berat yang menahannya. Kepalanya masih terasa pusing, sementara tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar megah dengan desain yang membuatnya terpana. Langit-langit tinggi dengan ukiran-ukiran klasik, dinding berlapis wallpaper berwarna emas dengan pola bunga-bunga Eropa yang elegan, dan sebuah lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan.Di sudut ruangan, ada jendela besar dengan tirai tebal yang menyisakan celah kecil, memungkinkan sinar matahari siang itu menerobos masuk, menyinari lantai marmer yang berkilauan. Tempat tidur yang ia duduki pun memiliki kanopi bersutra putih yang melambai lembut, dihiasi ukiran kayu bernuansa antik. Samar-samar tercium aroma lembut kayu sandalwood yang menyusup di antara udara hening ruangan itu.Radha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, ingatan samar tentang dua pr
"Apa maksud perkataan Kakek tadi?” Krisna membuka pembicaraan tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar serius. “Kesempatan apa yang dia bicarakan?”Radha mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu percakapan ini akan berbuntut panjang jika Radha mengatakan yang sebenarnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek, berusaha menutupi.Krisna mendengus tidak percaya, melangkah lebih dekat. “Jangan berbohong, Radha. Kau tahu aku tidak sebodoh itu sampai kau harus menutupinya.”Radha menghela napas panjang. Ia mencoba bersandar sejenak, sembari menatap lurus ke arah Krisna. “Dibandingkan dengan itu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Bukankah kata pengacaramu, kau sedang berada di luar kota?”Krisna mengernyit, tidak menyangka Radha akan balik bertanya. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Aku memang di sana. Ada rapat internal di perusahaan cabang. Tapi Martha tiba-tiba meneleponku. Katanya kau
Krisna berdiri diam di dapur setelah meletakkan gelas dan handuk basah yang tadi digunakannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Radha yang terbaring lemah di kamar. Ia menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk. Saat ia melongok ke arah halaman luar, terlihat beberapa orang suruhan kakeknya sudah tidak ada di tempat. Hanya beberapa yang masih berjaga di pintu gerbang.“Kakek … apa yang sebenarnya kau rencanakan kali ini?” pikir Krisna sambil meraih ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.“Martha,” panggilnya ketika suara di ujung sana menjawab. “Aku ingin kau menunda semua proses perceraian itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi tunda saja.”“Tapi, Pak Krisna …,” Martha tampak hendak membantah, namun Krisna memotong.“Tidak ada tapi. Ini perintah.”Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Krisna memutus panggilan. Ia menghela napas panjang dan melirik dapur.
“Kendalikan dirimu, Krisna,” gumamnya tegas, namun suaranya nyaris tenggelam oleh deru napasnya sendiri. Krisna berdiri cepat, menjauh dari kasur tempat Radha terbaring. Namun, setiap langkah terasa seperti menambah beban yang tak kasatmata di pundaknya. Ia mencoba menjauhkan diri, bukan hanya dari Radha, tetapi juga dari pergulatan batinnya yang semakin menggila. Akan tetapi, suara pelan dari tubuh Radha yang menggigil memaksa langkahnya terhenti. Krisna menoleh, dan pandangannya jatuh pada tubuh Radha yang tampak semakin kecil di balik selimut yang ia berikan sebelumnya. “Sial,” batinnya menggerutu. Selimut itu tidak mampu menghalau dingin yang menyerang tubuh Radha, bahkan napasnya terdengar lebih berat dan tersengal.Krisna memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Sial, apa yang harus kulakukan?" pikirnya penuh frustrasi.Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa layar untuk yang entah ke berapa kali. Tidak ada pesan. Tidak ada
"APA INI?!" Suara lengkingan Radha menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan pagi. Dengan wajah pucat, ia mendapati dirinya terbangun di tempat tidur megah itu, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, dan hanya selimut tebal yang melilit erat. Napasnya tersengal, matanya melirik panik ke sekeliling kamar.Pintu kamar terketuk pelan dari luar. Suara khawatir seorang pelayan terdengar memanggil Radha berulang kali. "Nyonya Radha, Anda baik-baik saja?! Apa yang terjadi?”"Ja-Jangan masuk! Aku ... aku baik-baik saja!" seru Radha, suaranya bergetar.Pikirannya melayang ke ingatan samar-samar semalam—demam tinggi, tubuhnya menggigil, dan sosok Krisna yang duduk di tepi tempat tidur. Ia ingat tangannya yang dingin menyeka keringat di dahinya. Tapi apa yang terjadi setelah itu?Tepat saat ia mencoba mengingat lebih jauh, pintu kamar kembali terbuka lebar, kali ini menampilkan sosok Krisna yang masuk dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, wajahnya tampak s
Pagi menjelang siang, sinar matahari mengintip lembut dari sela-sela pepohonan, mengiringi perjalanan Radha dan Saga dalam mobil menuju vila pribadi milik Saga. Jam di dashboard menunjukkan pukul sepuluh lebih lima menit. Radha bersandar di kursi penumpang, menatap lurus ke jalanan dengan pikiran yang terasa berat. Saga, yang duduk di belakang kemudi, sesekali melirik Radha dengan tatapan penuh perhatian. "Kau diam saja sejak tadi," ucap Saga, memecah keheningan. Suaranya tenang, namun penuh rasa ingin tahu. "Kau baik-baik saja, Radha?" Radha menoleh sebentar, lalu tersenyum kecil. "Aku baik, Kak. Maaf, aku hanya sedang memikirkan banyak hal." Saga mengangguk paham. "Aku mengerti. Tapi... jujur saja, aku merasa tidak enak atas apa yang sudah dilakukan Kakek Felix padamu. Keluargaku, sudah terlalu sering membuatmu dalam masalah." Radha menggeleng cepat. "Tidak, Kak. Justru aku yang merepotkanmu. Rasanya aku yang terlalu sering melibatkanmu dalam masalahku." Saga tertawa kecil, nam
"Radha," ujar Krisna perlahan. "Kau bisa pulang setelah ini. Tapi, untuk saat ini, duduklah. Biarkan aku membuatkan sesuatu untukmu."Radha mendesah panjang. Ia ingin membantah, namun entah kenapa tubuhnya justru mengikutinya lagi. Ia duduk di kursi dapur, mengamati punggung Krisna dari belakang.Krisna bergerak dengan cekatan, seperti seseorang yang sudah terbiasa melakukannya. Tangannya meraih bahan-bahan dari lemari es, kemudian mulai menyiapkan sesuatu. Radha memperhatikan tanpa sadar, merasa aneh dengan situasi ini."Sejak kapan kau bisa memasak?" tanya Radha akhirnya, suaranya terdengar ragu.Krisna meliriknya sekilas, senyum kecil muncul di wajahnya. "Ada banyak hal tentang aku yang tidak kau tahu, Radha. Sama seperti aku yang tidak pernah benar-benar tahu apa yang kau pikirkan."Radha terdiam mendengar jawaban itu. Ia tidak tahu bagaimana merespons, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Aroma harum mulai memenuhi udara, membu
Radha berdiri di depan cermin, memandangi pantulan dirinya dengan tatapan campur aduk. Gaun sederhana berwarna lembut yang ia kenakan tampak pas di tubuhnya, seolah dibuat khusus untuknya. Jemarinya menyusuri kain lembut itu, merasakan betapa nyaman dan ringan bahan yang digunakannya.Selama mereka menikah, Krisna hampir tidak pernah peduli pada hal-hal kecil seperti ini. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali Krisna menunjukkan perhatian yang nyata terhadapnya. Namun, setiap kali ia mengenakan sesuatu yang dipilih oleh Krisna, entah bagaimana rasanya selalu pas. Warna, potongan, bahkan desainnya—semuanya terasa seperti mencerminkan dirinya.“Sebenarnya, ada apa dengan Krisna? Kenapa sikapnya sedikit berubah di saat kami akan bercerai?” gumam Radha, setengah melamun.Helaan napas yang panjang terdengar darinya, sembari meletakkan sisir di atas meja rias setelah beberapa kali menggunakannya untuk menyisir rambut basahnya. Radha mencoba mengalihkan pikirannya, tetapi pertanyaan i
"APA INI?!" Suara lengkingan Radha menggema di seluruh ruangan, memecahkan keheningan pagi. Dengan wajah pucat, ia mendapati dirinya terbangun di tempat tidur megah itu, tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, dan hanya selimut tebal yang melilit erat. Napasnya tersengal, matanya melirik panik ke sekeliling kamar.Pintu kamar terketuk pelan dari luar. Suara khawatir seorang pelayan terdengar memanggil Radha berulang kali. "Nyonya Radha, Anda baik-baik saja?! Apa yang terjadi?”"Ja-Jangan masuk! Aku ... aku baik-baik saja!" seru Radha, suaranya bergetar.Pikirannya melayang ke ingatan samar-samar semalam—demam tinggi, tubuhnya menggigil, dan sosok Krisna yang duduk di tepi tempat tidur. Ia ingat tangannya yang dingin menyeka keringat di dahinya. Tapi apa yang terjadi setelah itu?Tepat saat ia mencoba mengingat lebih jauh, pintu kamar kembali terbuka lebar, kali ini menampilkan sosok Krisna yang masuk dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, wajahnya tampak s
“Kendalikan dirimu, Krisna,” gumamnya tegas, namun suaranya nyaris tenggelam oleh deru napasnya sendiri. Krisna berdiri cepat, menjauh dari kasur tempat Radha terbaring. Namun, setiap langkah terasa seperti menambah beban yang tak kasatmata di pundaknya. Ia mencoba menjauhkan diri, bukan hanya dari Radha, tetapi juga dari pergulatan batinnya yang semakin menggila. Akan tetapi, suara pelan dari tubuh Radha yang menggigil memaksa langkahnya terhenti. Krisna menoleh, dan pandangannya jatuh pada tubuh Radha yang tampak semakin kecil di balik selimut yang ia berikan sebelumnya. “Sial,” batinnya menggerutu. Selimut itu tidak mampu menghalau dingin yang menyerang tubuh Radha, bahkan napasnya terdengar lebih berat dan tersengal.Krisna memejamkan mata sejenak, rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Sial, apa yang harus kulakukan?" pikirnya penuh frustrasi.Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, memeriksa layar untuk yang entah ke berapa kali. Tidak ada pesan. Tidak ada
Krisna berdiri diam di dapur setelah meletakkan gelas dan handuk basah yang tadi digunakannya. Pikirannya penuh dengan bayangan Radha yang terbaring lemah di kamar. Ia menghela napas, mencoba meredakan perasaan yang bercampur aduk. Saat ia melongok ke arah halaman luar, terlihat beberapa orang suruhan kakeknya sudah tidak ada di tempat. Hanya beberapa yang masih berjaga di pintu gerbang.“Kakek … apa yang sebenarnya kau rencanakan kali ini?” pikir Krisna sambil meraih ponselnya. Ia mengetik cepat, lalu menekan tombol panggil.“Martha,” panggilnya ketika suara di ujung sana menjawab. “Aku ingin kau menunda semua proses perceraian itu. Aku tidak peduli bagaimana caranya, tapi tunda saja.”“Tapi, Pak Krisna …,” Martha tampak hendak membantah, namun Krisna memotong.“Tidak ada tapi. Ini perintah.”Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Krisna memutus panggilan. Ia menghela napas panjang dan melirik dapur.
"Apa maksud perkataan Kakek tadi?” Krisna membuka pembicaraan tanpa basa-basi, nada suaranya terdengar serius. “Kesempatan apa yang dia bicarakan?”Radha mengangkat kepalanya perlahan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu percakapan ini akan berbuntut panjang jika Radha mengatakan yang sebenarnya. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek, berusaha menutupi.Krisna mendengus tidak percaya, melangkah lebih dekat. “Jangan berbohong, Radha. Kau tahu aku tidak sebodoh itu sampai kau harus menutupinya.”Radha menghela napas panjang. Ia mencoba bersandar sejenak, sembari menatap lurus ke arah Krisna. “Dibandingkan dengan itu, apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dingin. “Bukankah kata pengacaramu, kau sedang berada di luar kota?”Krisna mengernyit, tidak menyangka Radha akan balik bertanya. Namun, ia menjawab dengan tenang, “Aku memang di sana. Ada rapat internal di perusahaan cabang. Tapi Martha tiba-tiba meneleponku. Katanya kau
Radha membuka matanya perlahan, seolah ada beban berat yang menahannya. Kepalanya masih terasa pusing, sementara tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Ketika pandangannya mulai jelas, ia menyadari dirinya berada di sebuah kamar megah dengan desain yang membuatnya terpana. Langit-langit tinggi dengan ukiran-ukiran klasik, dinding berlapis wallpaper berwarna emas dengan pola bunga-bunga Eropa yang elegan, dan sebuah lampu gantung kristal menjuntai indah di tengah ruangan.Di sudut ruangan, ada jendela besar dengan tirai tebal yang menyisakan celah kecil, memungkinkan sinar matahari siang itu menerobos masuk, menyinari lantai marmer yang berkilauan. Tempat tidur yang ia duduki pun memiliki kanopi bersutra putih yang melambai lembut, dihiasi ukiran kayu bernuansa antik. Samar-samar tercium aroma lembut kayu sandalwood yang menyusup di antara udara hening ruangan itu.Radha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang terjadi. Detik berikutnya, ingatan samar tentang dua pr
Pak Arman kembali ke kafetaria dengan langkah santai setelah menyelesaikan panggilan teleponnya. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat kursi tempat Radha duduk sebelumnya kini kosong. Matanya menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari keberadaan Radha. Hanya secangkir kopi yang masih utuh di meja menjadi satu-satunya petunjuk bahwa sesuatu telah terjadi.“Bu Radha?” panggil Pak Arman sambil berjalan lebih cepat menuju tempat duduk itu. Namun tidak ada jawaban, yang membuat hatinya mulai diliputi kegelisahan. Ia segera mencari nomor kontak Radha di ponselnya dan berusaha meneleponnya.Nada sambung terdengar beberapa kali, tetapi tidak ada yang mengangkat. Pak Arman mencoba lagi, dan hasilnya sama. "Astaga, ke mana dia?" gumamnya dengan wajah semakin tegang.Bersamaan dengan itu, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakangnya. Ia berbalik dan melihat Martha mendekat dengan napas tersengal, wajahnya tampak panik.“P