“Wanita genit itu memang benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?” gumamnya pelan. “Menyebalkan sekali.” Tak ingin semakin stress karena perbuatan konyol Nindy, Radha berniat keluar dari kamar dengan meletakkan ponselnya secara asal di atas tempat tidur dan bangkit dari duduknya. Kepalanya terasa nyaris meledak, dan ia juga cukup penat berada di dalam kamar sepanjang hari. Saat keluar dari kamar, Radha berniat menuju dapur untuk mengambil segelas air, tetapi langkahnya terhenti begitu melewati ruang kerja Saga. Pintu ruangan itu sedikit terbuka, dan suara Saga yang seperti sedang berbicara dengan seseorang terdengar samar di telinga Radha. Melalui celah pintu, Radha bisa melihat Saga berdiri di dekat mejanya. Raut wajahnya terlihat sangat serius. Dan suaranya yang biasanya lembut, kini terdengar agak keras, bahkan seperti membentak. “Sudah kubilang, aku tidak ingin mendengar alasan apapun lagi! Aku tidak mau tahu, lakukan apa yang sudah menjadi tanggung jawabmu,” suara Sag
Radha memasuki lobi rumah sakit dengan hati yang berdebar. Meski telah berusaha menenangkan dirinya semalaman, rasa cemas tetap menyelimutinya. Ia melirik arlojinya. Masih ada beberapa menit sebelum janji temunya. Radha memutuskan untuk duduk sebentar di ruang tunggu sembari menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberaniannya. Tak lama setelah Radha duduk di kursi tunggu, seorang pria paruh baya dengan jas putih mendekatinya. Wajahnya penuh senyum ramah, dan matanya memancarkan ketenangan. “Nyonya Radha?” panggilnya. Radha segera berdiri dan mengangguk. “Ya. Anda Dokter James, benar?” “Benar sekali,” jawab Dokter James, menjabat tangan Radha. “Saga sudah memberi tahu saya tentang kunjungan Anda. Mari, saya akan mengantar Anda ke ruangan teman saya. Dokter Sasmitha adalah salah satu dokter spesialis terbaik yang saya kenal. Anda akan berada di tangan yang tepat.” Radha tersenyum tipis. “Terima kasih banyak, Dokter. Saya benar-benar menghargai bantuan Anda dan juga Saga.” “T
Lobi rumah sakit yang biasanya tenang entah kenapa tiba-tiba berubah menjadi medan perdebatan yang sengit antara Saga dan Krisna. Saga berdiri tegap dengan tangan terlipat di dada, sementara Krisna menatapnya dengan tajam, tangan terkepal di sisi tubuhnya. Di antara mereka, Radha berdiri dengan wajah lelah, matanya bergantian menatap dua pria yang bersikeras memenangkan argumen. “Aku bilang, aku hanya ingin bicara dengan Radha,” ujar Krisna dengan nada dingin namun penuh tekanan. “Jadi, minggirlah. Ini bukan urusanmu.” Saga mendengus sinis. “Segala sesuatu yang melibatkan Radha adalah urusanku. Terutama kalau itu menyangkut orang yang terus-menerus menyakitinya. Dan kau sudah cukup membuat hidupnya kacau, Krisna.” Krisna melangkah maju, jarak di antara mereka semakin kecil. “Kacau? Kau bahkan tidak tahu separuh dari cerita ini, Saga. Jadi jangan bertingkah seperti pahlawan kesiangan.” Saga tidak mundur sedikit pun. “Yang aku tahu, Radha jauh lebih baik tanpa dirimu. Dia tidak butu
Meja di sudut kafe itu terasa lebih kecil daripada seharusnya. Saga duduk dengan santai, menyandarkan punggungnya pada kursi dan menyesap kopinya perlahan, sementara Nindy duduk di depannya dengan ekspresi tidak senang. Mata Nindy sesekali melirik meja di mana Krisna dan Radha tengah berbicara. Namun, ia lebih sering memandangi Saga dengan tatapan penuh rasa tidak suka. “Aku heran sekali padamu, Nindy. Kau ini tidak punya kerjaan lain untuk menyibukkan dirimu selain terus menguntit Krisna, ya?” Nindy mendelik tajam dengan ekspresi mencemooh. “Bukankah justru kau yang suka tiba-tiba muncul seperti hantu kesepian yang selalu berusaha mencari perhatian tiap kali Radha dalam masalah? Dasar pria murahan.” Saga terkekeh pelan, sorot matanya tajam saat ia menatap balik Nindy. “Pria murahan? Wah, ini lucu. Kau yang sudah terang-terangan menempel pada pria yang jelas-jelas tidak tertarik padamu justru berani berkata seperti itu? Aku dengar ada istilah untuk orang sepertimu. Pengganggu yang
“Dari semua tempat yang aku cari, aku justru menemukanmu di rumah sakit. Jadi aku tanya, apa kau sedang sakit?” Radha yang sebenarnya sudah menduga bahwa Krisna akan menanyakan hal itu, terdiam sejenak. Tanpa disadari, jantungnya berdegup lebih cepat. Ada rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Bagaimana jika Krisna sampai tahu bahwa dirinya datang ke rumah sakit adalah untuk memeriksakan kehamilannya? Apakah Krisna akan memperhambat proses perceraian mereka? Apakah Krisna dan keluarganya akan menggunakan calon anaknya sebagai alat untuk mengekang dan menyiksa hidup Radha lagi? Batin Radha bergejolak hebat, menolak sekuat mungkin atas segala kemungkinan terburuk yang mungkin akan terjadi jika Krisna tahu di dalam rahimnya ada anak kandungnya. Tidak. Krisna tidak boleh tahu. Sebisa mungkin Radha harus merahasiakan kehamilannya dari siapa pun yang berasal dari keluarga Harlingga. Terutama Krisna. Meski terkesan jahat karena telah memisahkan seorang anak dari ayahnya, tapi Radha seakan
Mereka berdua akhirnya menyudahi percakapan dengan masing-masing membawa luka yang tak terucapkan. Radha berdiri lebih dulu, mengambil tasnya, lalu berjalan pergi meninggalkan Krisna tanpa menoleh sedikit pun. Tepat di pintu kafe, ia melihat Saga berdiri menunggunya. Dengan langkah berat, Radha menghampiri pria itu, menerima uluran tangan yang diberikan Saga. Saga menatapnya dengan penuh kekhawatiran. “Kau baik-baik saja?” tanyanya. Radha mengangguk pelan. “Ayo pergi.” Saga mengangguk dan mengiringi langkah Radha menuju mobil yang terparkir di tepi jalan. Krisna yang masih duduk di dalam kafe hanya bisa memandang kepergian mereka dengan tatapan kosong. Entah mengapa ada perasaan tak rela yang terus menghantuinya. Beberapa saat setelah kepergian Radha dan Saga, Nindy berjalan mendekati meja tempat Krisna duduk, senyumnya lebar seperti biasa. “Krisna,” sapanya, mencoba menarik perhatian pria itu. “Hari ini kau tidak begitu sibuk ‘kan? Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Sejak ta
“TIDAK!” Suaranya menggema, menarik perhatian beberapa pengunjung di kafe yang menoleh padanya dengan tatapan heran. Salah seorang pelayan bahkan hampir mendekat untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja, tapi Nindy sudah berdiri sambil menggenggam tas tangannya dengan gemetar. Dia tidak peduli pada tatapan orang-orang di sekitarnya. Lalu tanpa berkata apa-apa, Nindy melangkah keluar dari kafe dengan langkah tergesa-gesa. Sepatu hak tingginya beradu keras dengan lantai keramik, menciptakan suara berirama yang seolah mempertegas kegelisahan hatinya. Nindy menyeberangi jalan tanpa memedulikan klakson mobil yang hampir mengenainya, wajahnya hanya menatap lurus ke depan, tujuannya sudah jelas. Kembali ke rumah sakit. Saat tiba di lobi rumah sakit, napas Nindy tersengal. Sejenak ia menghentikan langkahnya, untuk mengatur kembali ritme napasnya agar kembali normal. "Tenang, Nindy," gumamnya pada diri sendiri. Namun, pikirannya tetap berputar liar. Obat yang dia temukan itu tidak
“Tidak mungkin!” Gayatri menggenggam lengan kursi dengan erat, seolah mencoba mencari pegangan di tengah badai yang tiba-tiba datang. Tatapannya terpaku pada wajah Nindy, mencoba mencari celah apakah ini hanya sekedar gurauan anak muda jaman sekarang atau tidak. Namun, melihat ekspresi serius dan tegang Nindy, harapannya pupus seketika. “Tidak mungkin,” ulang Gayatri, kali ini dengan nada yang lebih pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri. “Radha tidak mungkin hamil. Bagaimana bisa itu terjadi? Dia ... dan Krisna—” Gayatri menggelengkan kepala dengan cepat, enggan membayangkan apa yang sudah terjadi pada Radha dan Krisna. “Ini pasti tidak benar. Aku sangat mengenal anakku. Krisna—dia ... tidak akan pernah sudi menyentuh perempuan sialan itu ....” “Aku juga sepemikiran dengan Mama,” sela Nindy, tubuhnya merosot lemas ke sandaran sofa. “Tapi bagaimana dengan obat yang aku temukan itu? Kata temanku yang juga seorang dokter, obat itu adalah vitamin untuk ibu hamil. Ditambah lagi
Krisna menegang sesaat. Kata "sayang" yang diucapkan Radha dengan nada menggoda seolah nyaris menghantam benteng pertahanannya. Mata hitamnya menatap wanita di sampingnya yang kini tersenyum manis seakan benar-benar menikmati perannya. "Apa kau sangat menikmatinya?" gumamnya pelan. Radha tertawa kecil. "Bukankah kau sendiri yang menyuruhku bersikap layaknya istri yang baik?" Krisna hanya mendengus dan menatap lurus ke depan. Langkahnya mantap saat memasuki gedung mewah tempat acara amal berlangsung. Sejak mereka muncul di pintu masuk, mata para tamu undangan yang ada di dalam ruangan itu, kompak tertuju pada mereka. Bisik-bisik di antara mereka pun mulai samar terdengar. "Oh, lihat itu! Mereka datang!" “Astaga, aku pikir ini seperti acara pengobatan raja dan ratu. Mereka berdua terlihat sangat menawan!” “Aku hanya mendengar bahwa menantu perempuan mereka sangat cantik, dan ternyata itu benar.” “Rasanya beruntung sekali bisa datang ke tempat ini. Bisa melihat wajah tampan cuc
“Seberapa berpengaruhnya dia?” Andre tersenyum tipis, tetapi kali ini senyumnya lebih dingin. “Cukup untuk bisa masuk ke dalam lingkaran bisnis kelas atas tanpa harus membawa nama Harlingga. Dan cukup untuk membuat banyak orang bertanya-tanya… siapa sebenarnya yang berdiri di belakangnya.” Aresha membatu seketika. Jadi, Joshua bukan hanya sekadar putra Baskara yang tersembunyi. Dia lebih dari itu. Dia seseorang yang memiliki kekuatan, pengaruh, dan—kemungkinan besar—rencana tersendiri. Ini jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan. “Jika kau ingin tahu lebih banyak, aku bisa menyelidikinya lebih dalam,” tawar Andre. Aresha menghembuskan napas panjang. “Kalau begitu lakukanlah.” Andre mengangguk, lalu bangkit. Sebelum pergi, ia menatap Aresha dengan pandangan tajam. “Tapi Aresha, aku sarankan satu hal.” “Apa?” “Berhati-hatilah.” Suaranya rendah, nyaris seperti peringatan. “Joshua bukanlah orang yang bisa disentuh dengan mudah.” Aresha hanya tersenyum kecil. Namun di dalam hatin
Aresha merasakan detak jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya menggantung di udara, menciptakan keheningan yang memekakkan telinga. Joshua adalah putra lain dari Baskara. Jika itu benar, berarti… dia dan Joshua memiliki darah yang sama. Perutnya terasa mual. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meskipun udara di sekitar masih dikuasai angin sepoi-sepoi yang seharusnya menenangkan. Tetapi dirinya sama sekali tidak bisa tenang dengan kondisi pikirannya yang kacau balau saat ini. “Saga,” bisiknya, mencoba memastikan kembali. “Apa kau benar-benar yakin dengan apa yang kau ucapkan barusan? Barangkali saja yang kau maksud adalah Joshua yang lain?” Di seberang telepon, suara Saga terdengar lebih berat, seolah ia sendiri belum siap menerima kenyataan ini. “Ya, aku juga tidak menutup kemungkinan akan hal itu,” katanya pelan. “Tapi tetap saja, Aresha. Tidak ada salahnya untuk bersikap waspada terhadap segala hal yang bisa menghancur
Aresha mengedarkan napas perlahan, menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis yang tak terbaca. Namun, tatapannya menajam, menyelidik pria yang berdiri di hadapannya. Joshua. Nama yang terdengar asing, tetapi caranya berbicara seolah ia tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Sorot matanya yang tajam, tak menunjukkan sedikit pun celah yang bisa dimanfaatkan Aresha. Dia jelas bukanlah orang biasa. Aresha menggeser sedikit berat badannya ke satu sisi, menyilangkan tangan di depan dada, seolah percakapan ini bukan hal besar baginya. “Aku tak tahu siapa yang memberimu informasi, tapi aku rasa kau sedang salah paham, Tuan Joshua,” ujarnya, suaranya tetap ringan namun berhati-hati. Joshua tersenyum kecil, seolah mengapresiasi usaha Aresha untuk tetap tenang. "Salah paham?" ulangnya, seakan mengecap kata itu di lidahnya. "Apakah itu benar? Aku rasa aku tidak mungkin salah." Aresha tertawa pelan, seolah menertawakan ketidakmasukakalan kata-kata pria itu. Namun, hatinya be
"Astaga, aku mencarimu sejak tadi, Tuan Saga." Radha mengernyit. Dia tidak memahami bahasa itu, tetapi jelas dari ekspresi Saga bahwa dia mengenal wanita ini. Saga, yang sejak tadi menegang, akhirnya menghela napas, lalu menatap wanita itu dengan sorot penuh kewaspadaan. “Aresha…” gumamnya, seolah tak percaya bahwa wanita itu benar-benar ada di sini. Aresha tersenyum tipis, lalu mengarahkan tatapannya pada Radha. "Dan siapa wanita cantik ini?" tanyanya, kini berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar. "Apakah dia kekasihmu, Tuan Saga?" Saga yang sedang meneguk napas panjang langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia terbatuk pelan, lalu menoleh dengan tatapan penuh peringatan ke arah Aresha. "Berhenti bersandiwara," desisnya. Namun, Aresha hanya mengangkat bahunya ringan, seolah tak peduli dengan reaksi Saga. Radha, yang sejak tadi hanya diam memperhatikan, akhirnya tersenyum sopan. "Saya Radha," katanya dengan tenang. "Adik iparnya Kak Saga." Aresha pura-pura terkejut,
Saga membawa Radha keluar dari dalam gedung, melewati lorong panjang yang berlapis marmer, lalu menuruni beberapa anak tangga. Radha tidak mengerti ke mana pria itu akan membawanya, tetapi ia tetap mengikuti langkah panjang Saga tanpa banyak bertanya. Udara pagi yang terik hari itu masih tetap terasa sejuk, dengan angin lembut yang berembus perlahan, menyingkap beberapa helai rambut panjangnya. Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya sampai di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik gedung pertemuan. Tempat itu tampak tenang, jauh dari hiruk-pikuk para tamu yang masih bercengkerama di dalam. Dedaunan berguguran di sekitar bangku-bangku kayu yang kosong, dan aroma bunga mawar samar tercium di udara. Saga akhirnya berhenti, membiarkan Radha mengambil napas sejenak sebelum berbalik menghadapnya. Radha mengamati pria itu dengan saksama. "Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini, Kak Saga?" tanyanya, suaranya masih mengandung sedikit keraguan. Saga menyandarkan dirinya ke ti
Radha menelan ludah, tubuhnya menegang saat jarak antara dirinya dan Krisna semakin tipis. Udara di sekitar mereka terasa berat, seakan dipenuhi ketegangan yang tak kasat mata. Mata pria itu membara, dipenuhi dengan kemarahan dan penghinaan yang menyelinap tajam dalam setiap kata-katanya. “Sejauh apa kau akan bertahan demi permainan yang kau ciptakan bersama kakekku, Radha?” suaranya rendah, tetapi tajam seperti pisau yang menusuk langsung ke jantungnya. Radha mengalihkan pandangan, tidak sanggup menatap mata itu terlalu lama. “Aku tidak sedang bermain, Krisna. Aku hanya… mencoba bertahan.” Krisna terkekeh sinis, jemarinya terangkat, menyentuh dagu Radha sebelum mencengkeramnya dengan tekanan yang cukup kuat hingga memaksa wanita itu mendongak menatapnya. “Bertahan?” Krisna mengulangi dengan nada penuh ejekan. “Jangan membuatku tertawa, Radha. Kau bilang ingin bercerai, tapi kau tetap saja mengikuti semua perintah Kakek Felix seperti anjing yang setia.” Radha merasakan amarah men
Ketegangan menyelubungi ruangan pertemuan seperti kabut yang enggan beranjak. Di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, hanya ada mereka berempat—Kakek Felix yang duduk dengan tenang di kursi utama meja bundar, Krisna dengan sorot mata yang menyala oleh kemarahan yang ditahan, Radha yang masih terdiam dalam pusaran dilema, dan seorang sekretaris pribadi yang berdiri di samping Kakek Felix, wajahnya tanpa ekspresi, seolah sudah terbiasa dengan apa yang dilihatnya. Di antara mereka, hanya suara detik jam yang terdengar. Sebuah jeda yang nyaris tak tertahankan sebelum akhirnya Krisna bersuara, memecahkan keheningan dengan nada tajam dan penuh amarah. "Aku masih tidak mengerti hukuman macam apa ini," ucapnya dingin. "Kenapa aku harus datang ke acara itu bersama Radha? Aku sudah bilang, aku tidak mau." Radha yang sejak tadi duduk diam, mengeratkan jemarinya di pangkuan. Ia sudah menduga Krisna akan menolak. Jika dia tidak ingin datang bersamanya, lalu kenapa dirinya juga harus dip
Di sebuah kafe mewah yang terletak di dekat bukit lapangan golf, Radha duduk diam di salah satu sudut ruangan. Penampilannya cukup anggun dalam balutan blouse berwarna pastel yang sederhana, namun tetap memancarkan kesan berkelas. Tatapannya lurus tertuju pada pria tua di hadapannya, yang tengah menyeruput teh dengan santai—seolah percakapan mereka bukanlah sesuatu yang penting. Padahal, bagi Radha, perbincangan ini bisa menentukan arah hidupnya selanjutnya. “Jadi, bagaimana?” Kakek Felix akhirnya angkat bicara, meletakkan cangkirnya perlahan. “Apa kau sudah membuat keputusan atas tawaran yang aku berikan padamu semalam?” Radha menghela napas perlahan. Ia meremas jemarinya sendiri di pangkuannya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. “Saya...” Kakek Felix mengangkat satu alisnya, menunggu Radha melanjutkan kalimatnya. Pancaran matanya yang tajam, yang telah menyaksikan puluhan tahun intrik bisnis dan politik, seakan sedang menelanjangi kebimbangan Radha. “Kau bisa mengatakan tida