Gia menjerit keras. Tubuhnya terasa terbelah dua saat Ray memaksa masuk diikuti tawa puas. Tenaga Gia sudah terkuras habis, lemas dan tak bisa berontak lagi.
Sesaat, Ray merasakan ada yang berbeda saat mencoba memaksa masuk ke dalam. Vagina Gia sangat sempit sekali, hingga ia merasakan sensasi yang luar biasa di sana. Tanpa sadar Ray mengerang nikmat, kepemilikannya merasakan kepuasan yang tiada tanding.
Air mata Gia terus mengalir dan meringis kesakitan. Ray lantas menjambak rambut Gia seraya menusuk lebih dalam kepemilikannya.
“Jangan munafik! Kamu pasti menikmatinya, bukan?” ejek Ray lalu bergerak secara brutal. “Ini yang kamu mau dariku? Sekarang aku memberikannya, Jalang!”
Jika tubuh wanita cacat itu senikmat ini, kenapa dia mengabaikannya. Gia bukan hanya pembantu yang diperuntukan baginya, tetapi bisa menjadi budaknya, bukan? Ya, Ray menganggap Gia hanya seorang pembantu di rumahnya, bukan sebagai istri.
Itu adalah penghinaan yang tepat, karena Gia sudah memaksanya menikahinya. Ray masih belum bisa menerima pernikahan itu. Hatinya masih terpaut dengan Grace yang menurutnya jauh lebih baik dari Gia.
Gia benar-benar tak berdaya. Dia tak bisa lagi menggambarkan rasa sakit dari semua perlakuan Ray. Dia hanya bertahan sekuat dan semampunya agar Ray segera menyudahi aksinya.
Namun, Ray tampak menikmatinya. Hingga akhirnya, dia merasakan akan menuju puncak pelepasannya.
“Grace!”
Lelaki itu sengaja meneriakan nama kekasihnya di puncak pelepasannya. Ray benar-benar menghinanya. Melayani nafsunya dan meneriakan wanita lain.
Gia memastikan Ray adalah orang yang paling dibencinya. Setelah penyatuannya berakhir, Rai terkejut melihat banyak darah membasahi sprei.
“Kamu? Kamu masih perawan?” tanya Ray dengan nada bergetar.
“Kamu pikir aku murahan, hanya aku wanita cacat?” balas Gia menahan amarahnya. Lalu melemparkan bantal pada wajah Ray.
Lelaki itu tak sempat menghindar karena terkejut. Namun, ia segera berlalu meninggalkan kamar Gia. Tiba-tiba saja perasaan aneh menyelimuti hati Ray. Ada perasaan bingung bercampur rasa bersalah. Dia salah menduga, Ray menuduh Gia menggoda kakeknya dengan tubuhnya.
“Bagaimana bisa dia masih perawan?”
Bukan tanpa sebab Ray menuduh hal tersebut. Grace mengatakan sering melihat Gia mengunjungi kakeknya diam-diam sebelum kecelakaan itu. Semua cerita Grace seolah menggiringnya pada satu opini, Gia adalah wanita penggoda.
Ray semakin tak mengerti, apa yang dirahasiakan kakeknya dengan Gia. Pikirannya menjadi tak karuan hingga Ray menegak wiski untuk menenangkan pikirannya. Dia meneguknya tanpa jeda beberapa kali hingga membuat pandangannya terasa kabur.
Akhirnya lelaki itu tertidur di atas ranjangnya. Lama terlelap dalam tidurnya, hingga terbangun karena rasa lapar mengganggu. Ray terpaksa bangun dengan langkah malas mencari makanan di dapur.
“Apa-apaan ini?” keluh Ray saat meja makannya tampak rapi.
Tak ada makanan tersedia di sana. Bahkan dapur pun tampak rapi, seolah tak tersentuh tangan Gia. Tatapan Ray pun langsung tertuju pada kamar cacat.
“Apa yang dilakukannya sejak pagi?” gumamnya kesal. “Seharian menangis karena keperawanannya sudah hilang?”
Ray mencibir seraya berjalan cepat menuju kamarnya. Perasaan bersalah pagi tadi karena merenggut kesucian Gia, berubah menjadi kesal. Lelaki itu bahkan berteriak lantai memanggil istri yang menurutnya tak berguna.
“Awas saja kalau kamu masih menangis seperti anak kecil?”
Ray berteriak dan terus menggedor kasar pintu di hadapannya. “Gia keluar, jangan bermalas-malasan! Lagi pula itu adalah kewajibanmu melayaniku ... aku ini suamimu!”
Tak ada jawaban dari dalam kamar. Dia mengetuk lagi, lebih keras dan masih tak ada respons. Dengan sedikit keraguan, Ray menekan gagang pintu dan mendorongnya perlahan.
Isi kamar Gia terlalu rapi, seolah tak pernah digunakan. Perasaan tak nyaman mulai menjalari tubuhnya. Ray melangkah masuk, matanya menyisir ruangan, memindai setiap sudut. Tak ada tanda-tanda keberadaan Gia.
Ray berjalan cepat ke kamar mandi. Pintu dibukanya dengan paksa. Hanya pantulan dirinya di cermin yang tampak. Wajahnya semakin menegang dan tiba-tiba saja menjadi gelisah.
Langkah berikutnya membawanya ke lemari pakaian. Saat pintu lemari dibuka, napasnya tertahan. Tidak ada satu helai pakaian pun yang tersisa. Padahal, Gia hanya memiliki sedikit pakaian, cukup untuk mengisi satu lemari kecil.
“Tidak mungkin,” gumam Ray pelan, suaranya bercampur panik.
Kemudian dia membungkuk, menarik laci-laci kabinet di bawah lemari. Semuanya masih di tempatnya, termasuk perhiasan hadiah pernikahan dari kakeknya. Barang-barang itu tetap utuh, tapi Gia dan semua pakaiannya menghilang.
“Dia melarikan diri,” ucapnya dengan raut wajah tak percaya. “Sial! Kakek akan murka kalau tahu ini.”
Tanpa membuang waktu, dia bergegas keluar dari kamar Gia. Dia harus segera menemukan wanita itu sebelum semuanya bertambah buruk. Namun, langkahnya terhenti mendadak ketika pandangannya tertuju pada meja rias.
Di sana, ponsel Gia tergeletak di atas map bersampul hijau. Matanya menyipit, otaknya berpacu. Jika Gia pergi, mengapa ponselnya ditinggalkan?
Kedua bola mata Ray langsung membulat sempurna saat membuka map tersebut, surat gugatan perceraian dari Gia. Tangannya bahkan bergetar hebat, hampir meremas kertas itu hingga kusut. Giginya beradu dan wajahnya merah padam.
“Beraninya dia melakukan ini padaku?” Ray berteriak dengan suara menggema penuh amarah. “Dia pikir siapa yang berani mengajukan perceraian?! Aku suaminya! Aku kepala keluarga ini!”
Ray merasa harga dirinya dilecehkan oleh Gia. Dia lantas bergegas ke kamarnya meraih ponsel untuk memberi perintah pada anak buahnya untuk mencari keberadaan Gia.
“Dia pikir siapa? Aku yang memutuskan nasibnya!”
Sebelum Ray menghubungi anak buahnya, ponselnya sudah berdering keras. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berpacu cepat. Adam—asisten kepercayaan Wilson. Tentu saja dia cemas, jika Adam atau kakeknya mengetahui Gia pergi dari rumah. Bibirnya bergetar cemas dan takut, hingga suaranya terdengar gagap. Namun, Ray langsung terkejut saat Adam memintanya untuk segera ke rumah sakit.Ray masih terengah-engah ketika langkahnya tiba di depan ruang perawatan intensif di rumah sakit. “Adam, apa yang terjadi?” Ray bertanya panik begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri di dekat pintu ruangan.“Bukankah pagi tadi Tuan Wilson memarahiku?” tanya Ray lagi dengan napas tersengal.Adam tak menjawab. Dia hanya membukakan pintu ruangan rawat Wilson. Lelaki tua itu tampak lemas di atas ranjang rawat, tanpa peralatan medis di tubuhnya.“Tuan, cucumu sudah tiba,” ucap Adam melapor.Wilson membuka matanya lemas dan langsung melihat wajah cemas Ray. Meskipun Ray kesal dengan kakeknya,
Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu. “Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.” “Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.” Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi. Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram. “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.” Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. “Sialan! Dia mempermainkanku!” Ray menarik napas dalam-dalam,
“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat p
Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri. “Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
“Argh ... sial!” Lelaki itu memekik keras.Lemparan Claire tepat menghantam bagian belakang kepala lelaki itu. Plastik yang berisi air sabun pecah dengan bunyi plop. Cairannya langsung membasahi pakaian mahal lelaki itu dan meninggalkan buih sabun. Aroma sabun yang menusuk hidung langsung meresap ke setiap serat kainnya"Berani sekali kau!" Lelaki itu menyeringai sinis, seraya menyeka percikan air sabun yang mengenai wajahnya.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Pengawal itu pada tuannya. “Dia adalah anak nakal ... sejak tadi mengganggu di sekitar sini.”Pengawal itu langsung bertindak. Dengan gerakan cekatan, dia menangkap Claire yang masih tertawa puas. Gadis kecil itu terlalu sibuk menikmati hasil perbuatannya hingga lengah. Tangan besar pengawal itu menjambak bagian belakang pakaiannya, menariknya seperti seekor anak kucing yang tertangkap basah.“Lepaskan aku!” teriak Claire, mencoba meronta. Tangannya mencakar kasar, tetapi pengawal itu sama sekali tak terpengaruh. Tenaganya lebih kuat.
“Kalian dari mana saja? Ibu hampir menghubungi petugas keamanan untuk membantu menemukan kalian.” Suara Gia hampir memekik keras. Dia mendapati kedua anak kembarnya berlari dengan napas tersengal-sengal di hadapannya. Keduanya bahkan langsung menunduk menyadari ibunya marah. Sesekali Claire menoleh ke belakang, membuah Gia menatapnya curiga.“Claire, apa yang kamu lakukan? Kamu tak membuat keributan, bukan?” tanya Gia menyelidik.“Tentu saja tidak, Bu!” jawab Claire langsung. Ia lantas menoleh pada saudaranya. “Benarkan, Charlie?” tanyanya meminta bantuan.Charlie mengangguk. “Claire dan aku tak melakukan apa pun.Gia menghela napas panjang. Tentu saja ia mendengar keributan di peron dalam sana. Dia sangat mengenal tingkah kedua anaknya. Terutama Claire yang selalu banyak ingin tahu, tetapi lebih sering menimbulkan kerusakan besar karena sifat tersebut saat di Desa.Bahkan Gia pernah mendapatkan laporan itu saat keduanya ikut ke pelabuhan. Walaupun akhirnya Claire bisa menyelesaikan
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men
“Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku dan tak ingin melihatku. Tapi, harus kamu tahu ... aku benar-benar menyesali perbuatanku,” ucap Ray dengan nada rendah. “Aku terlambat menyadari kalau ternyata ... kamu sangat berharga.”Wajah Ray menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Namun, Gia refleks tersenyum getir. Sikap Ray sekarang sangat berbeda sekali dengan yang dulu dan dia yakin sekali alasannya.“Berhentilah bersikap seperti ini, Ray. Aku tahu ini bukan dirimu! Sikapmu seperti seakan menunjukkan kalau kamu adalah pria munafik!” celetuk Gia tanpa rasa bersalah.Tatapan wanita bermata bulat itu menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam. Sontak saja Ray terkejut dengan reaksi Gia. Bibirnya tampak bergetar dan tatapan matanya seolah menelusur dalam, seolah mencari sesuatu dalam diri Gia.“Kenapa kamu terlihat terkejut? Kamu pasti tak menyangka, jika wanita cacat yang sering kami hinakan dulu... si Pincang Gia, sekarang berani melawan.” Suara Gia bergetar menahan amarah.“Tadi kamu bilang a
“Ibu, itu dia orangnya.”Tatapan Gia langsung tertuju pada Ray yang berdiri di hadapan mobil sedan hitamnya. Claire menunjuk, saat mobil yang dikemudikan Gia mendekat gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terbakar dan refleks menginjak pedal rem.“Ternyata memang benar, itu adalah Ray,” batinnya.Perasaan Gia tak karuan, tetapi akal dan pikirannya bekerja lebih keras. Gia tak bisa lagi menghindar. Hanya memastikan kedua anaknya aman dan tak perlu bertemu dengan Ray.Dalam keadaan cemas dan panik, Gia mengedarkan pandangannya, mencari cara agar si kembar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahui oleh Ray. Si kembar pun ikut mengikuti arah tatapan ibunya. Keduanya membantu mencari jalan keluar.“Sepertinya, kita bisa masuk melalui pintu gerbang samping itu,” ucap Charlie menunjuk arah samping gedung sekolah.Tatapan Gia pun tertuju ke sana. Perlahan, Gia mengarahkan kendaraannya ke arah tersebut, bertepatan dengan mobil lain yang melintas. Untunglah posisi Ray sedikit menjauh, jadi tak akan bisa
Perasaan Gia tak karuan, rasanya ingin mencecar kedua anaknya. Namun, sangat tak mungkin. Dengan perasaan cemas, dia mempelajari ulang hasil pencarian di sana.“Semuanya berawal dari nomor polisi kendaraan?” gumam Gia menemukan awal pencarian yang dilakukan si kembar pada laptop tersebut. Hasil pencarian di laptop menampilkan mobil sedan hitam metalik. Gia mencoba mengingat tentang kendaraan tersebut, mencari jawaban. Tiba-tiba, ingatan Gia tertuju pada saat menjemput si Kembar siang tadi.“Wajah mereka berubah dan seolah melarangku menoleh ke belakang,” gumam Gia penuh keyakinan. “Mungkinkah pria dewasa yang mereka maksud itu adalah Ray?”Praduganya justru semakin membuatnya bertambah cemas. Hal yang selama ini dihindarinya, kini sudah terjadi, pikirnya. Namun, tak ada pilihan selain menunggu pagi dan menanyai keduanya setelah bangun. Gia pun butuh beristirahat. Sayangnya, dia kesulitan memejamkan kedua bola matanya. Namun, rasa lelah dan cemas akhirnya membuat matanya terpejam.Ti