Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri.
“Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.
Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.
“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.
“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.
Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.
“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan pulang. Dengan begitu aku dan yang lainnya tak akan terlalu mencemaskanmu.” Tina menambahkan, meyakinkan Gia.
Mereka yang berada di sana mengangguk. Tentu saja Lisa tersenyum senang, merasa mendapatkan dukungan. Akhirnya Gia pun mengangguk dan bersedia ditemani Lisa.
Gadis kecil itu langsung menuntunnya penuh perhatian menuju klinik kecil di sana. Hanya ada satu klinik, tetapi tak terlalu ramai. Tanpa basa basi, Gia langsung menyampaikan keluhan dan dugaannya setelah bertemu dengan dokter.
Sementara Lisa diminta untuk menunggu di luar. Gia diberikan beberapa jajanan ringan agar dia tak jenuh menunggunya. Wajah Gia tampak gelisah menunggu penjelasan dokter di hadapannya.
“Sepertinya dugaanmu benar, Bu. Lihatlah testpack ini menunjukkan garis dua, artinya kamu hamil! Selamat atas kehamilanmu,” jelas dokter itu seraya menunjukkan benda pipih di tangannya.
Dunia Gia terasa berhenti di tempat. Ia meraba perutnya yang masih datar. Di dalam sana sudah ada kehidupan baru, benih dari Ray.
Entah apa yang dirasakannya saat ini. Yang jelas Gia sangat terkejut hingga tak mampu berkata apa-apa. Wajahnya datar tanpa ekspresi hingga beberapa saat.
“Mari, saya akan tunjukkan kondisi kehamilanmu,” uca si Dokter membuyarkan ekspresi datarnya Gia.
Dokter itu menunjuk ranjang di sampingnya. Gia bingung, tetapi dia hanya bisa menurut. Hatinya campur aduk, haruskan dia bergembira untuk kehamilannya.
Gia terus tenggelam dalam rasa bingungnya. Dia hanya memperhatikan dokter yang tengah fokus pada peralatan yang diketahuinya selalu digunakan untuk memeriksa kehamilan. Hingga dokter itu tersenyum melihat layar datar di hadapannya.
“Wah, calon bayimu kembar, Bu,” ucap dokter itu seraya menunjuk layar di hadapannya. “Detak jantungnya sudah terdengar,” tambahnya.
“Mereka pasti akan menjadi anak-anak yang hebat. Sekali lagi selamat, ya Bu.”
Sungguh Gia semakin terkejut, hingga rasa bingungnya sulit untuk diungkapkan. “Aku hamil dan ini anaknya Ray? Bukan satu bayi, tetapi dua?” gumamnya tak jelas.
Ada rasa marah dan kesal, kenapa dia harus hamil anaknya Ray? Akan tetapi saat dia meraba perutnya yang masih datar, hati nuraninya menentang. Janin dalam kandungannya tak bersalah.
Perlahan senyuman terukir dan menghiasi wajah cantiknya. Bagaimanapun prosesnya, dia harus menjaganya dengan baik. Benar, Gia harus merawatnya sepenuh hati. Setidaknya kehadiran mereka tak akan membuat hidupnya kesepian.
Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih, Gia keluar dengan perasaan lega. Dia harus benar-benar berhati-hati, ada nyawa yang harus dijaganya dengan baik. Tiba-tiba fokus Gia berpindah pada suara televisi di lobi klinik.
Siaran berita yang menjadi penghibur pasien di ruang tunggu menarik perhatian Gia. Timeline berita di sana tertulis, Wilson Anderson, pemilik perusahaan Wish Group Company meninggal dunia. Bibirnya bergetar, seolah tak percaya.
“Tuan Wilson meninggal?” gumamnya pelan sekali.
Hari ini dua mendapatkan dua berita mengejutkan. Kematian Wilson membuatnya sedikit merasa bersalah. Walaupun Gia membenci Ray—cucunya Wilson, tetapi kakek tua itu yang selama ini menghargainya dan membiayai hidupnya.
Tentu saja Gia turut bersedih. Namun, dia tak perlu ke sana untuk menunjukkan kesedihannya. Gia sudah memutuskan untuk tak lagi terlibat dengan mereka.
“Semoga kamu tenang di sana, Tuan Wilson. Aku akan selalu mendoakanmu,” ucap Gia tulus. Kemudian dia meraba perutnya. “Aku akan menjaga dan merawat cicitmu dengan baik. Bagaimanapun juga, aku tak bisa menentang kalau aku mengandung benih dari cucumu. Aku harap kamu memaafkanku yang terpaksa pergi.”
Tak ingin larut dalam rasa bersalah, Gia langsung melangkah pergi. Tak lupa dia menghampiri Lisa yang masih setia menunggu. Tampaknya gadis kecil itu kekenyangan.
“Oh, Bibi Gia sudah selesai?” tanya Lisa menyadari kehadirannya.
Gia hanya mengangguk dan tersenyum. Tiba-tiba wajah Lisa berubah muram, hingga Gia mengerutkan dahinya. “Ada apa, Lisa?” tanyanya cemas.
“Maaf, aku menghabiskan makanan pemberianmu,” jawab Lisa penuh sesal, seolah itu adalah kesalahan besar.
Sontak saja Gia tertawa. “Kenapa kamu harus merasa bersalah. Aku senang kalau kamu menghabiskannya ... berarti kamu menghargai pemberianku,” katanya.
“Tentu saja aku harus menghargainya,” seru Lisa kembali bersemangat. “Oh iya, bagaimana keadaanmu? Apakah Bibi Gia sakit parah?”
Lisa bertanya penuh perhatian seolah seperti dirinya adalah orang dewasa yang mencemaskan Gia. Senyuman Gia langsung terukir. Dia semakin terharu merasa sangat diperhatikan oleh gadis kecil seperti Lisa.
“Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu dicemaskan,” jawab Gia mempertahankan senyumannya.
“Apakah Bibi Gia akan punya bayi?” tanya Lisa tiba-tiba.
Tatapannya tertuju pada foto USG di tangan Gia. “Aku pernah melihat foto seperti itu, milik Bibi Yuna. Kata ibuku Bibi Yuna akan punya bayi,” jelasnya.
“Kamu benar, aku akan punya bayi,” jawab Gia langsung.
Gadis kecil itu bersorak, seolah itu adalah berita menggembirakan. Namun, bukan hanya Lisa yang bersorak, warga desa pun turut bergembira mendengar kehamilannya. Mereka semakin memperhatikan Gia dengan baik.
Nenek Nesa dan Kakek Fred adalah orang yang paling bahagia. Mereka mengatakan kehadiran Gia membawa berkah. Bayi yang dikandung Gia adalah keturunan pulau itu, jadi harus diperlakukan dengan baik.
Gia semakin bahagia melihat antusiasnya mereka. Ini adalah tempat yang tepat untuk tetap bahagia.
“Nak, bagaimana dengan ayah dari bayimu?”
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
“Argh ... sial!” Lelaki itu memekik keras.Lemparan Claire tepat menghantam bagian belakang kepala lelaki itu. Plastik yang berisi air sabun pecah dengan bunyi plop. Cairannya langsung membasahi pakaian mahal lelaki itu dan meninggalkan buih sabun. Aroma sabun yang menusuk hidung langsung meresap ke setiap serat kainnya"Berani sekali kau!" Lelaki itu menyeringai sinis, seraya menyeka percikan air sabun yang mengenai wajahnya.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Pengawal itu pada tuannya. “Dia adalah anak nakal ... sejak tadi mengganggu di sekitar sini.”Pengawal itu langsung bertindak. Dengan gerakan cekatan, dia menangkap Claire yang masih tertawa puas. Gadis kecil itu terlalu sibuk menikmati hasil perbuatannya hingga lengah. Tangan besar pengawal itu menjambak bagian belakang pakaiannya, menariknya seperti seekor anak kucing yang tertangkap basah.“Lepaskan aku!” teriak Claire, mencoba meronta. Tangannya mencakar kasar, tetapi pengawal itu sama sekali tak terpengaruh. Tenaganya lebih kuat.
“Kalian dari mana saja? Ibu hampir menghubungi petugas keamanan untuk membantu menemukan kalian.” Suara Gia hampir memekik keras. Dia mendapati kedua anak kembarnya berlari dengan napas tersengal-sengal di hadapannya. Keduanya bahkan langsung menunduk menyadari ibunya marah. Sesekali Claire menoleh ke belakang, membuah Gia menatapnya curiga.“Claire, apa yang kamu lakukan? Kamu tak membuat keributan, bukan?” tanya Gia menyelidik.“Tentu saja tidak, Bu!” jawab Claire langsung. Ia lantas menoleh pada saudaranya. “Benarkan, Charlie?” tanyanya meminta bantuan.Charlie mengangguk. “Claire dan aku tak melakukan apa pun.Gia menghela napas panjang. Tentu saja ia mendengar keributan di peron dalam sana. Dia sangat mengenal tingkah kedua anaknya. Terutama Claire yang selalu banyak ingin tahu, tetapi lebih sering menimbulkan kerusakan besar karena sifat tersebut saat di Desa.Bahkan Gia pernah mendapatkan laporan itu saat keduanya ikut ke pelabuhan. Walaupun akhirnya Claire bisa menyelesaikan
Gia tersentak. Namun, lampu merah sudah menyala dan bus mulai berjalan. Saat Gia menoleh ke luar jendela, kendaraan yang ditakutkan si kembar sudah melaju lebih dulu.Wajah si Kembar langsung menghela napas lega bersamaan, tetapi rasa cemasnya belum berakhir. Sadar, ibu mereka pasti akan mencecar. “Charlie, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Gia menyelidik sesuai dugaan keduanya.Hanya Charlie yang mudah untuk diselidik oleh Gia. Tatapan wanita bermata bulat itu tajam. Charlie menggelengkan kepalanya seraya melirik saudarinya.“Tidak ada yang kami sembunyikan, Bu. Sungguh!” seru Claire menolong saudaranya.Gia memilih menyudahinya. Terminal pemberhentian bus sudah terlihat. Lebih baik bersiap dan tak perlu memperpanjang perdebatan.Anak-anaknya pasti lelah dan dia tak ingin membebaninya. Keduanya patut merasa lega dan langsung menurut saat diminta untuk bergegas turun dari bus. Kemudian Gia memesan taksi dan menuju montel untuk tempat sementara mereka.“Kalian tak keberatan ‘kan ting
“Ini adalah tempat untuk kalian bersekolah nanti. Suka?” tanya Gia setelah berada di hadapan gedung sekolah yang tampak megah dan berkualitas.“Tentu saja, Bu. Apapun yang Ibu berikan, kami tak akan meragukannya,” jawab Charlie terdengar bijak.Sontak saja Gia tertawa kecil. Dia tersenyum puas, kedua anaknya memang tak pernah protes. “Baiklah, kalian akan mulai bersekolah minggu depan dan setelah ini kita akan mencari beberapa perlengkapan untuk kalian sekolah nanti,” ucap Gia penuh semangat.Kemudian Gia meminta si Kembar untuk menunggu sebentar di ruang tunggu, dia harus melengkapi administrasi pembayaran sekolah mereka. Tentu saja keduanya tak keberatan. Setelah memastikan keduanya tak membuat masalah dengan rasa penasarannya yang selalu tinggi, Gia langsung bergegas bangkit.“Ibu tunggu!” seru Charlie menghentikan langkah kaki ibunya. Gia menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Charlie tersenyum tipis berusaha menyembunyikan wajah cemas. “Aku boleh meminta ponselku? Pasti bos
Identitas dari ID card Gia yang diunggah Charlie, secara otomatis terekam dalam server beberapa perusahaan penyedia layanan trading. Hal itu pun terdeteksi dengan beberapa perusahaan yang mengenali kemampuan Gia, termasuk perusahaan Ray. Lelaki itu bahkan langsung bangun dari kursi kerjanya dan menatap anak buahnya dengan tatapan tak percaya.“Kamu yakin?” tanya Ray memastikan.“100 persen yakin, Tuan. Bahkan kami berhasil menemukan lokasi IP-nya,” jawab pria itu yakin.Senyuman Ray langsung mengembang sempurna. “Bawa aku ke tempatnya!” perintahnya.Pria itu mengangguk dan segera bergegas keluar diikuti langkah Ray. Kaki jenjangnya melangkah lebih cepat, menunjukkan dia sedang terburu dan tatapannya tajam. Napasnya memburu, tak sabar bertemu dengan wanita yang sudah pernah dihancurkan hatinya.Kedua tangannya mengepal, mengendalikan gejolak dalam jiwanya. Setelah bertahun-tahun mencari keberadaannya, akhirnya dia menemukan Gia. Rasa senang, cemas dan lega menjadi satu.“Pastikan kalia
Wajah Charlie dan Claire panik. Tangan Gia langsung bergerak cepat membuka isi pesan tersebut dengan napas cemas yang memburu. Napasnya langsung berhembus rendah dan wajahnya berubah lega.“Pesan dari sekolah, info verifikasi pendaftaran kalian sudah diterima,” ucap Gia dengan nada lemas, tetapi lega.“Ibu, aku punya ide,” seru Claire langsung menarik fokus ibu dan saudaranya.Tatapan Claire tertuju pada mobil truk pengangkut sampah yang baru saja memasuki gerbang samping. Sontak saja keduanya mengikuti tatapan gadis kecil itu, tetapi ekspresi keduanya seolah menolak arti tatapan Claire. “Claire, itu bukan ide yang baik,” ucap Charlie protes.“Bukan itu! Lihat mobil di sebelahnya!” seru Claire tertuju pada mobil sedan samping truk sampah. Sebelum mereka bertanya, Claire langsung berseru agar mereka segera mengikutinya. “Kita harus cepat, sebelum truk itu berangkat!” katanya memberi aba-aba.Gia tak ingin banyak tanya, lebih baik mengikuti ide putrinya, walaupun ada keraguan. Charlie
“Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku dan tak ingin melihatku. Tapi, harus kamu tahu ... aku benar-benar menyesali perbuatanku,” ucap Ray dengan nada rendah. “Aku terlambat menyadari kalau ternyata ... kamu sangat berharga.”Wajah Ray menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Namun, Gia refleks tersenyum getir. Sikap Ray sekarang sangat berbeda sekali dengan yang dulu dan dia yakin sekali alasannya.“Berhentilah bersikap seperti ini, Ray. Aku tahu ini bukan dirimu! Sikapmu seperti seakan menunjukkan kalau kamu adalah pria munafik!” celetuk Gia tanpa rasa bersalah.Tatapan wanita bermata bulat itu menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam. Sontak saja Ray terkejut dengan reaksi Gia. Bibirnya tampak bergetar dan tatapan matanya seolah menelusur dalam, seolah mencari sesuatu dalam diri Gia.“Kenapa kamu terlihat terkejut? Kamu pasti tak menyangka, jika wanita cacat yang sering kami hinakan dulu... si Pincang Gia, sekarang berani melawan.” Suara Gia bergetar menahan amarah.“Tadi kamu bilang a
“Ibu, itu dia orangnya.”Tatapan Gia langsung tertuju pada Ray yang berdiri di hadapan mobil sedan hitamnya. Claire menunjuk, saat mobil yang dikemudikan Gia mendekat gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terbakar dan refleks menginjak pedal rem.“Ternyata memang benar, itu adalah Ray,” batinnya.Perasaan Gia tak karuan, tetapi akal dan pikirannya bekerja lebih keras. Gia tak bisa lagi menghindar. Hanya memastikan kedua anaknya aman dan tak perlu bertemu dengan Ray.Dalam keadaan cemas dan panik, Gia mengedarkan pandangannya, mencari cara agar si kembar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahui oleh Ray. Si kembar pun ikut mengikuti arah tatapan ibunya. Keduanya membantu mencari jalan keluar.“Sepertinya, kita bisa masuk melalui pintu gerbang samping itu,” ucap Charlie menunjuk arah samping gedung sekolah.Tatapan Gia pun tertuju ke sana. Perlahan, Gia mengarahkan kendaraannya ke arah tersebut, bertepatan dengan mobil lain yang melintas. Untunglah posisi Ray sedikit menjauh, jadi tak akan bisa
Perasaan Gia tak karuan, rasanya ingin mencecar kedua anaknya. Namun, sangat tak mungkin. Dengan perasaan cemas, dia mempelajari ulang hasil pencarian di sana.“Semuanya berawal dari nomor polisi kendaraan?” gumam Gia menemukan awal pencarian yang dilakukan si kembar pada laptop tersebut. Hasil pencarian di laptop menampilkan mobil sedan hitam metalik. Gia mencoba mengingat tentang kendaraan tersebut, mencari jawaban. Tiba-tiba, ingatan Gia tertuju pada saat menjemput si Kembar siang tadi.“Wajah mereka berubah dan seolah melarangku menoleh ke belakang,” gumam Gia penuh keyakinan. “Mungkinkah pria dewasa yang mereka maksud itu adalah Ray?”Praduganya justru semakin membuatnya bertambah cemas. Hal yang selama ini dihindarinya, kini sudah terjadi, pikirnya. Namun, tak ada pilihan selain menunggu pagi dan menanyai keduanya setelah bangun. Gia pun butuh beristirahat. Sayangnya, dia kesulitan memejamkan kedua bola matanya. Namun, rasa lelah dan cemas akhirnya membuat matanya terpejam.Ti
“Charlie, bukankah itu mobil pria arogan itu?” Claire bertanya dengan tatapan terus tertuju pada mobil sedan hitam metalik di luar sana.Tubuh Charlie seperti tersentak. Mereka seperti sedang diburu. Namun keduanya langsung berubah panik, menyadari Gia hendak menoleh. Ibu mereka hendak mengikuti arah tatapannya.“Ibu, ayo kita pulang!” seru Claire langsung menarik tangan ibunya.Gia hampir tersentak. Namun, tangan kanan dan kirinya sudah ditarik si kembar melewati arah lain. Jelas sekali mereka menghindari seseorang, pikir Gia.Akan tetapi, dia tak diberikan kesempatan bertanya. Si Kembar terus menarik kedua tangannya kuat dan hampir membuat keributan. Tentu saja ulah keduanya hampir membuatnya menabrak beberapa orang yang tengah berjalan keluar gerbang.“Hentikan!” seru Gia seraya menarik kedua tangannya.Keduanya menurut dan langsung berhenti. Namun, wajah si Kembar terlihat lebih tenang. Posisi mereka tak akan terlihat dari tempat mobil sedan itu terparkir.“Maaf, Bu,” ucap Charlie
“Charlie dan Claire, namanya. Mereka adalah anak-anaknya Gia, wanita yang sedang Anda cari.” Suara Bianca langsung menyadarkan semua pertanyaan yang muncul dalam benak Ray. Akan tetapi, dia semakin terguncang. Pikirannya menjadi tak menentu.“Kamu yakin?” tanya Ray memastikan lagi.“Tentu saja, Tuan! Aku yakin dengan informasi yang kuberikan,” jawab Bianca penuh percaya diri.Ray terdiam sejenak. Pikirannya menjelajah mundur, hingga pada pertemuan pertamanya dengan si kembar yang menurutnya menyebalkan. Bukankah saat itu, dia berada di stasiun, setelah mendapatkan kabar sinyal keberadaan Gia. Namun, sinyalnya menguap dan dia pulang dengan perasaan kesal mengingat wajah dua anak kecil yang menurutnya menyebalkan. Hatinya tiba-tiba memekik keras, kenapa mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat dirinya melihat kemiripan pada wajah anak-anak itu. Berbagai tanya terus memenuhi benaknya, hingga Ray merasakan kepalanya hampir meledak. Andai saja saat itu dia lebih peka, mungkin dia tida
Ray tersenyum senang setelah membalas pesan yang dinamainya dengan pemilik toko buku. Langkahnya untuk menemukan Gia terasa semakin dekat. Tanpa membuang waktu, Ray langsung memerintah sopirnya untuk berbalik ke toko buku tadi.Ponselnya tiba-tiba berbunyi, tanda pesan masuk. Dengan malas, dia mengeluarkan ponselnya dan membukanya. Kedua bola mata Ray langsung membulat sempurna saat menatap file foto dari pesan yang baru saja diterimanya.“Gia?” Pesan dari Bianca, melampirkan wajah Gia. Napasnya langsung memburu dan jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya langsung menekan tanda panggil.“Halo, Nona Bianca. Bagaimana Anda mendapatkan foto wanita itu?” cecar Ray langsung, tanpa berbasa basi, setelah sambungan telepon tersambung. “Beritahu aku, di mana wanita itu berada?” tambahnya tak sabar.“Tenang, Tuan Anderson! Aku akan memberikan semua informasi yang Anda butuhkan,” sahut Bianca dari balik telepon.Ray memejamkan kedua bola matanya, seraya mengatur irama jantung dan napasnya. “
“Doni, kembali ke toko buku tadi!” perintah Ray langsung.“Baik, Tuan!” sahut Doni, sopirnya.Doni tahu, majikannya sedang dalam keadaan penasaran dan tak sabar. Setelah memutar mobilnya, dia melajukan kendaraan itu dengan sedikit lebih cepat. Nahas, setelah berhenti di sana, toko itu tutup.“Apa-apaan ini?” geram Ray kesal.Ray bahkan memukul keras tempat duduknya. Wajahnya merah padam. Dia merasa dipermainkan.“Apa dia tahu aku yang membeli buku ini?” kesal Ray seraya menatap geram pada buku di sampingnya.“Sepertinya itu tidak mungkin, Tuan,” sahut Doni mencoba menenangkan diri.Sontak saja Ray langsung menatap ke arah depan. Dari cermin di atas samping kepala Doni, dia bisa melihat ekspresi sopirnya. Doni menundukkan wajahnya, merasa mengusik amarah majikannya.“Maaf, Tuan. Tapi, pemilik toko tadi tak menunjukkan jika dia mengenal Anda, Tuan,” jelas Doni hati-hati.“Apa yang membuatmu begitu yakin dia tak menunjukkan tanda seperti itu? Apa kamu pernah melihat Gia atau mengenalnya
Ray melangkah dengan kesal keluar menuju lobi sekolah. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya berat, dipenuhi rasa frustasi yang menyelimuti pikirannya. Wajah anak kecil tadi terus menghantuinya. Terlalu mirip hingga membuat Ray tak nyaman. Bahkan kembarannya pun sangat mirip sekali."Siapa anak-anak nakal itu?" gumamnya, seraya mengangkat ponsel. Jari-jarinya menggulir cepat mencari nama kontak seseorang tanpa mengurangi laju langkahnya. "Cari tahu soal dua anak kecil yang di stasiun tempo hari itu. Aku ingin semua informasi. Jangan sampai ada yang terlewat!" Ray menutup ponselnya dengan gerakan kasar. Rasa kesal semakin mendidih di dadanya. Padahal dia ke sekolah ini bukan untuk merenungi wajah anak-anak. Tujuannya jelas, mencari Gia. Namun, lagi-lagi keberadaan Gia seperti angin, selalu terasa dekat tetapi tak pernah bisa digenggam.Tanpa sadar, Ray mendahului dengan seorang wanita saat melangkah menuruni lantai lobi menuju pijakan paling dasar. Wan
Kedua bola mata Charlie hampir keluar dari tempatnya saat melihat jelas wajah Ray. Claire yang berada di sampingnya langsung menarik tangannya. “Lari, Charlie!” Tubuh keduanya langsung melesat menerobos kerumunan murid yang lainnya. Keributan dan kekacauan terjadi di sana. Suara teriakan dan kepanikan menggema.“Hei, jangan lari! Dasar kalian, anak-anak nakal!” teriak Ray keras.Kedua netra Ray menyipit mencoba menelusur ke mana arah perginya bocah yang membuatnya kesal. Kedua tangannya mengepal dengan gigi-gigi beradu keras. Mulutnya pun mengumpat kesal. Rencananya terganggu gara-gara kedua anak itu.“Sial, siapa dua bocah nakal itu? Kenapa aku harus bertemu dengan mereka lagi?” gerutunya. “Rencanaku mencari Gia jadi terganggu.”Sementara Charlie dan Claire bersembunyi di balik dinding menuju lorong kelas mereka. Napas keduanya terengah-engah, seraya menyandarkan tubuh mereka ke dinding. Claire mengintip ke arah lobi, memastikan pria itu tak mengejar masuk.“Sepertinya kita sudah se