“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Beraninya wanita cacat itu menghina Grace Shawn. Muncul di tengah pesta dengan tamu undangan dan mengenakan gaun yang sama.”Seluruh mata mereka yang berada di aula pesta tertuju pada Gia Ashborne, wanita cacat yang tengah jadi pusat perhatian hujatan, bahkan tak ragu menghina. Gaun berbahan satin yang menunjukkan lekuk tubuhnya tak bisa menutupi kekurangan pada kakinya. Kemudian mereka memindai pakaian wanita yang jauh lebih cantik di hadapan Gia, Grace Shawn. Bak si kembar yang hadir dengan gaun dan kecantikan sama. Sekilas, tampak sama dan tak ada bedanya. Namun mereka yang mengerti produk mahal, bisa tahu jika yang dikenakan Gia adalah tiruan dan wanita itu tak akan tahu.Pemandangan yang terasa memalukan saat pesta di tempat mewah, mendapati gaun yang dikenakan sama. Celetukan untuk Gia yang semula sudah reda, kini terdengar kembali. Mereka bahkan menatapnya sinis dan menghina. Yang paling menyakitkan bagi Gia bukanlah hinaan dari mereka semua, melainkan sosok lelaki tampan yan
Tanpa menoleh, Gia langsung bangkit dan terus melangkah meninggalkan gedung tempat pesta itu. Sialnya, saat dia melangkah keluar gerimis melanda.“Tak bisakah menunggu hingga aku tiba di rumah,” ucap Gia menaikkan pandangannya, seolah berbicara pada awan yang membawa hujan kecil itu.Sia-sia saja, Gia terus melangkah dengan kaki pincangnya. Setidaknya, kondisi Gia sudah lebih baik. Dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat penyangga. Hingga akhirnya Gia tiba di halte. Gia mengistirahatkan tubuhnya, duduk dan berteduh seraya mengatur hati serta perasaannya. Jelas sekali dia menahan diri agar air matanya tak menerobos keluar, tetapi sia-sia saja.“Jangan cengeng, Gia!” perintahnya pada dirinya sendiri.Gia pun menarik napas panjang, hingga akhirnya dia berhasil menguasai dirinya. Tepat setelah air matanya tak menetes, sebuah bus datang. Agar tak kesulitan naik, Gia mengangkat ujung gaunnya dan langsung memilih kursi paling belakang agar tak mengganggu penumpang, berharap mendap
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Ray. Wilson menampar cucunya yang masih mengenakan handuk kimono, hingga rasa kantuk Ray menghilang.Ray bahkan menyeka sudut kanan bibirnya. Terdapat darah segar mengucur dari sana. Perih dan sakit, tetapi masih bisa dia tahan. Wajahnya tetap menunduk tanpa rasa bersalah di hadapan sang kakek.Pintu di belakang tempatnya berdiri terbuka. Grace keluar dengan handuk kimono seperti yang dikenakan Ray. Dia tampak tersentak dan langsung berdiri di samping Ray lalu menunduk.“Ini peringatan terakhir untukmu, Nona! Jika aku masih melihatmu bersama dengan Ray, jangan salahkan aku jika karir modeling yang kamu bangun hancur seketika!” gertak Wilson mengancam pada Grace.Sontak saja Grace terkejut. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna dan refleks menaikkan pandangannya melihat wajah murakanya Wilson. Bibirnya bergetar takut dan cemas. “Kakek!” Ray memekik keras dan memberikan tatapan tak terima pada kakeknya.Tangan lelaki itu lantas merangkul tu
“Tuan, apa tidak sebaiknya mengatakan yang sebenarnya pada Tuan Ray tentang Nona Gia?” Adam—asisten pribadinya Wilson memberikan usul, tetapi Wilson langsung menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan cucunya meninggalkan hotel tanpa ada yang memata-matai, Wilson langsung memilih pulang. Ray yang seorang pewaris harus menjaga imejnya dari kejaran para wartawan berita. “Ray harus bisa menghargai ketulusan dan pengorbanan Gia. Dia harus tahu kalau wanita itu sangat berharga,” ucap Wilson dengan tatapan berat.“Tapi, Grace, semakin berani dan Tuan Ray menjadi semakin tak terkendali,” balas Adam mengutarakan pendapatnya.Wilson hanya terdiam. Pikirannya terasa penuh, hingga dia harus memijat kepalanya. Dadanya bahkan terasa sesak, hingga dia harus menghela napas panjang agar bisa melegakannya.“Tuan, Anda tidak apa-apa?” tanya Adam cemas.“Aku baik-baik saja, Adam!” jawab Wilson tanpa menoleh dan terus memegangi dadanya yang terasa semakin menghimpit jantung.Adam merasakan ponselnya b
Gia menjerit keras. Tubuhnya terasa terbelah dua saat Ray memaksa masuk diikuti tawa puas. Tenaga Gia sudah terkuras habis, lemas dan tak bisa berontak lagi. Sesaat, Ray merasakan ada yang berbeda saat mencoba memaksa masuk ke dalam. Vagina Gia sangat sempit sekali, hingga ia merasakan sensasi yang luar biasa di sana. Tanpa sadar Ray mengerang nikmat, kepemilikannya merasakan kepuasan yang tiada tanding. Air mata Gia terus mengalir dan meringis kesakitan. Ray lantas menjambak rambut Gia seraya menusuk lebih dalam kepemilikannya.“Jangan munafik! Kamu pasti menikmatinya, bukan?” ejek Ray lalu bergerak secara brutal. “Ini yang kamu mau dariku? Sekarang aku memberikannya, Jalang!” Jika tubuh wanita cacat itu senikmat ini, kenapa dia mengabaikannya. Gia bukan hanya pembantu yang diperuntukan baginya, tetapi bisa menjadi budaknya, bukan? Ya, Ray menganggap Gia hanya seorang pembantu di rumahnya, bukan sebagai istri. Itu adalah penghinaan yang tepat, karena Gia sudah memaksanya menikahi
Sebelum Ray menghubungi anak buahnya, ponselnya sudah berdering keras. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berpacu cepat. Adam—asisten kepercayaan Wilson. Tentu saja dia cemas, jika Adam atau kakeknya mengetahui Gia pergi dari rumah. Bibirnya bergetar cemas dan takut, hingga suaranya terdengar gagap. Namun, Ray langsung terkejut saat Adam memintanya untuk segera ke rumah sakit.Ray masih terengah-engah ketika langkahnya tiba di depan ruang perawatan intensif di rumah sakit. “Adam, apa yang terjadi?” Ray bertanya panik begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri di dekat pintu ruangan.“Bukankah pagi tadi Tuan Wilson memarahiku?” tanya Ray lagi dengan napas tersengal.Adam tak menjawab. Dia hanya membukakan pintu ruangan rawat Wilson. Lelaki tua itu tampak lemas di atas ranjang rawat, tanpa peralatan medis di tubuhnya.“Tuan, cucumu sudah tiba,” ucap Adam melapor.Wilson membuka matanya lemas dan langsung melihat wajah cemas Ray. Meskipun Ray kesal dengan kakeknya,
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men
“Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku dan tak ingin melihatku. Tapi, harus kamu tahu ... aku benar-benar menyesali perbuatanku,” ucap Ray dengan nada rendah. “Aku terlambat menyadari kalau ternyata ... kamu sangat berharga.”Wajah Ray menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Namun, Gia refleks tersenyum getir. Sikap Ray sekarang sangat berbeda sekali dengan yang dulu dan dia yakin sekali alasannya.“Berhentilah bersikap seperti ini, Ray. Aku tahu ini bukan dirimu! Sikapmu seperti seakan menunjukkan kalau kamu adalah pria munafik!” celetuk Gia tanpa rasa bersalah.Tatapan wanita bermata bulat itu menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam. Sontak saja Ray terkejut dengan reaksi Gia. Bibirnya tampak bergetar dan tatapan matanya seolah menelusur dalam, seolah mencari sesuatu dalam diri Gia.“Kenapa kamu terlihat terkejut? Kamu pasti tak menyangka, jika wanita cacat yang sering kami hinakan dulu... si Pincang Gia, sekarang berani melawan.” Suara Gia bergetar menahan amarah.“Tadi kamu bilang a
“Ibu, itu dia orangnya.”Tatapan Gia langsung tertuju pada Ray yang berdiri di hadapan mobil sedan hitamnya. Claire menunjuk, saat mobil yang dikemudikan Gia mendekat gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terbakar dan refleks menginjak pedal rem.“Ternyata memang benar, itu adalah Ray,” batinnya.Perasaan Gia tak karuan, tetapi akal dan pikirannya bekerja lebih keras. Gia tak bisa lagi menghindar. Hanya memastikan kedua anaknya aman dan tak perlu bertemu dengan Ray.Dalam keadaan cemas dan panik, Gia mengedarkan pandangannya, mencari cara agar si kembar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahui oleh Ray. Si kembar pun ikut mengikuti arah tatapan ibunya. Keduanya membantu mencari jalan keluar.“Sepertinya, kita bisa masuk melalui pintu gerbang samping itu,” ucap Charlie menunjuk arah samping gedung sekolah.Tatapan Gia pun tertuju ke sana. Perlahan, Gia mengarahkan kendaraannya ke arah tersebut, bertepatan dengan mobil lain yang melintas. Untunglah posisi Ray sedikit menjauh, jadi tak akan bisa
Perasaan Gia tak karuan, rasanya ingin mencecar kedua anaknya. Namun, sangat tak mungkin. Dengan perasaan cemas, dia mempelajari ulang hasil pencarian di sana.“Semuanya berawal dari nomor polisi kendaraan?” gumam Gia menemukan awal pencarian yang dilakukan si kembar pada laptop tersebut. Hasil pencarian di laptop menampilkan mobil sedan hitam metalik. Gia mencoba mengingat tentang kendaraan tersebut, mencari jawaban. Tiba-tiba, ingatan Gia tertuju pada saat menjemput si Kembar siang tadi.“Wajah mereka berubah dan seolah melarangku menoleh ke belakang,” gumam Gia penuh keyakinan. “Mungkinkah pria dewasa yang mereka maksud itu adalah Ray?”Praduganya justru semakin membuatnya bertambah cemas. Hal yang selama ini dihindarinya, kini sudah terjadi, pikirnya. Namun, tak ada pilihan selain menunggu pagi dan menanyai keduanya setelah bangun. Gia pun butuh beristirahat. Sayangnya, dia kesulitan memejamkan kedua bola matanya. Namun, rasa lelah dan cemas akhirnya membuat matanya terpejam.Ti