Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Ray. Wilson menampar cucunya yang masih mengenakan handuk kimono, hingga rasa kantuk Ray menghilang.
Ray bahkan menyeka sudut kanan bibirnya. Terdapat darah segar mengucur dari sana. Perih dan sakit, tetapi masih bisa dia tahan. Wajahnya tetap menunduk tanpa rasa bersalah di hadapan sang kakek.
Pintu di belakang tempatnya berdiri terbuka. Grace keluar dengan handuk kimono seperti yang dikenakan Ray. Dia tampak tersentak dan langsung berdiri di samping Ray lalu menunduk.
“Ini peringatan terakhir untukmu, Nona! Jika aku masih melihatmu bersama dengan Ray, jangan salahkan aku jika karir modeling yang kamu bangun hancur seketika!” gertak Wilson mengancam pada Grace.
Sontak saja Grace terkejut. Kedua bola matanya langsung membulat sempurna dan refleks menaikkan pandangannya melihat wajah murakanya Wilson. Bibirnya bergetar takut dan cemas.
“Kakek!” Ray memekik keras dan memberikan tatapan tak terima pada kakeknya.
Tangan lelaki itu lantas merangkul tubuh Grace, mencoba melindungi kekasihnya dari kemurkaan sang kakek. Sontak saja tingkah Ray langsung menyulut amarah Wilson, hingga tak ragu memberikan tamparan kedua. Namun, kali ini lebih keras.
“Ray!” Grace memekik panik dan ketakutan.
Tangannya langsung meraih wajah lelaki itu. kedua sudut bibirnya berdarah. “Kamu terluka.”
“Huh, menjijikan!” celetuk Wilson pada keduanya.
Wilson lantas melirik anak buahnya yang sedari tadi berada di sudut ruangan, memberi isyarat agar segera bertindak. Lelaki itu bergegas maju dan menatap Grace dengan tatapan memaksa. “Silahkan ikut dengan kami, Nona! Kami akan menunjukkan jalan agar Anda tak terbebas dari sorotan media di luar,” ucapnya sopan.
“Tidak! Aku tidak akan membiarkan Kakek membawa Grace,” seru Ray mempertahankan kekasihnya.
Sontak saja Wilson mendengus murka. “Berani sekali kamu melawanku, hah? Kamu lupa kalau kamu sudah menikah dan masih bermain api di belakang Gia dengan wanita tak tahu diri ini!” geramnya seraya menunjuk wajah keduanya.
“Tentu saja aku berani!” sahut Ray langsung. “Aku tidak mencintai wanita cacat itu! Aku hanya mencintai Grace.”
Suara Ray lantang, menunjukkan keberanian pada kakeknya. “Aku sudah cukup bersabar menerima permintaanmu dengan menikahi wanita cacat itu, tetapi hatiku hanya milik Grace,” imbuhnya.
“Ray, jangan seperti itu! Kamu tak boleh melawan kakekmu,” ucap Grace terdengar lembut seolah menenangkan amarah Ray.
“Tapi, Grace. Aku tak bisa terus berdiam saja,” sahut Ray dengan napas memburu.
Grace mengukir senyuman berat. Dia lantas menggeleng saat Ray hendak menutup mulutnya. Kemudian tangannya membelai lembut wajah lelaki itu, lalu tersenyum.
“Aku tahu, kamu hanya mencintaiku dan sangat membuatku terharu,” ucap Grace semakin lembut. “Cinta kita berdua tak akan terpisahkan. Percayalah pasti ada cara untuk kita bersatu, tetapi saat ini dengarkan kakekmu,” imbuhnya semakin lembut.
“Aku tidak akan ke mana-mana, Ray. Aku akan tetap berada di dekatmu dan mendukungmu.”
Grace menambahkan diikuti tetes air matanya.Ray luluh dengan air mata Grace. Namun, dia semakin membenci tindakan kakeknya. Sementara Wilson hanya tersenyum sinis, menyadari wanita di hadapannya pandai bersandiwara.
Wilson tak percaya dengan air mata Grace. Namun, menyadarkan cucunya adalah hal yang sulit. Ray seolah tersihir dan tak bisa membedakan akting Grace, pikirnya.
Tanpa ragu, Wilson menarik tubuh cucunya, memisahkan dengan Grace. Wanita itu terus memasang ekspresi sedih dan Ray makin tersihir seperti anak kecil yang dipisahkan dengan ibunya. Ray menatap kesal dan marah pada kakeknya, tetapi anak buahnya Wilson memberi isyarat agar Grace segera bertukar pakaian, lalu pergi.
Dugaan Wilson memang benar. Setelah memasuki kamar, wajah Grace langsung berubah dan memekik kesal tanpa suara. Dia bahkan melirik geram ke arah pintu, seolah tatapan itu ditunjukan pada Wilson.
“Dasar kakek tua bau tanah! Kapan dia matinya, sih?” celetuknya kesal. “Gara-gara dia aku sulit memiliki Ray.”
Grace menarik napas panjang seraya bergegas menuju kamar mandi. Di balik kekesalannya, Grace puas saat tahu Ray masih sangat percaya padanya.
Sementara Ray memekik meluapkan isi hatinya pada Wilson. Dia tak terima dengan kedatangan kakeknya di hotel itu. Setelah pesta tadi malam, Ray memilih menginap di hotel bersama Grace, menghabiskan malam yang indah.
“Sepertinya, kamu harus diingatkan lagi, Ray! Kamu selalu lupa kalau kamu sudah menikah dan Gia adalah istrimu,” tegas Wilson menyudahi teriakan cucunya.
“Sudah kukatakan kalau aku tak mencintainya, Kek,” balas Ray dengan tatapan tajam.
Kemudian dia menghela napas pendek seraya mengusap rambutnya ke belakang. “Dia wanita cacat dan tak layak bersanding denganku!” tegasnya.
“Ray, jaga bicaramu!” tegur Wilson hampir kehilangan kesabarannya. “Gia cacat karena ulahmu dan kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu,” tambahnya mengingatkan.
Ray memicingkan matanya. Dia lantas tersenyum getir, hingga membuat Wilson menatapnya waspada. “Bagaimana kalau itu semua adalah taktik wanita itu, Kek?” ucapnya terdengar mencurigakan.
“Taktik? Apa yang sedang kamu bicarakan?”
“Bagaimana kalau dia sengaja pura-pura tertabrak agar bisa mendekatiku dan menikah denganku? Wanita itu pasti tahu siapa aku, bukan? Pewaris Wish Group Company.”
Ray memancing rasa curiga, tetapi terdengar penuh percaya diri. Wilson refleks membulatkan kedua bola matanya. Bahkan tangannya mengepal kuat, siap melayangkan bogeman pada cucunya.
“Jaga ucapanmu, Ray!” tergur Wilson dengan napas memburu.
Dada Wilson bahkan naik turun. Dia tak menyangka jika pikiran cucunya sesempit itu. “Apa yang ada dalam pikiranmu, Ray? Karena kecelakaan itu, ayahnya meninggal dan Gia menjadi cacat ... kamu bilang itu taktik? Kamu tidak waras!”
“Ya ... bisa saja, memang awalnya hanya sebuah taktik. Ternyata nasib sial menghampirinya,” balas Ray tanpa merasa bersalah. “Aku masuk perangkap mereka dan seolah-olah aku yang bersalah ... bukankah itu terdengar masuk akal?”
Wilson tak bisa lagi menahan dirinya. Dia melayangkan tamparan lagi untuk menyadarkan cucunya. Kali ini tamparannya sangat keras sekali, hingga Ray langsung tersungkur jatuh di atas lantai.
“Kakek! Kamu tega menampar cucumu dan membela wanita cacat itu? Bahkan kamu tak mengenal siapa wanita itu?” ucap Ray lirih.
Dia bahkan menunjukkan wajah kecewa pada kakeknya. Namun, Wilson tetap pada pendiriannya. Kakek tua itu sama sekali tak merasa iba pada cucunya.
Saat Wilson hendak bersuara, pintu kamar terbuka. Grace keluar dengan gaun yang semalam dipakainya dan langsung diminta keluar. Ray menatap pilu kepergian Grace, lalu bergegas bangkit dan menatap wajah kakeknya lekat. Dia bahkan menunjukkan wajah penuh amarah pada Wilson.
“Aku mau bercerai dengan wanita cacat itu!” ucapnya tegas tanpa keraguan.
“Langkahi dulu mayatku, Rai ... baru kamu bisa bercerai dari Gia!”
“Tuan, apa tidak sebaiknya mengatakan yang sebenarnya pada Tuan Ray tentang Nona Gia?” Adam—asisten pribadinya Wilson memberikan usul, tetapi Wilson langsung menggelengkan kepalanya. Setelah memastikan cucunya meninggalkan hotel tanpa ada yang memata-matai, Wilson langsung memilih pulang. Ray yang seorang pewaris harus menjaga imejnya dari kejaran para wartawan berita. “Ray harus bisa menghargai ketulusan dan pengorbanan Gia. Dia harus tahu kalau wanita itu sangat berharga,” ucap Wilson dengan tatapan berat.“Tapi, Grace, semakin berani dan Tuan Ray menjadi semakin tak terkendali,” balas Adam mengutarakan pendapatnya.Wilson hanya terdiam. Pikirannya terasa penuh, hingga dia harus memijat kepalanya. Dadanya bahkan terasa sesak, hingga dia harus menghela napas panjang agar bisa melegakannya.“Tuan, Anda tidak apa-apa?” tanya Adam cemas.“Aku baik-baik saja, Adam!” jawab Wilson tanpa menoleh dan terus memegangi dadanya yang terasa semakin menghimpit jantung.Adam merasakan ponselnya b
Gia menjerit keras. Tubuhnya terasa terbelah dua saat Ray memaksa masuk diikuti tawa puas. Tenaga Gia sudah terkuras habis, lemas dan tak bisa berontak lagi. Sesaat, Ray merasakan ada yang berbeda saat mencoba memaksa masuk ke dalam. Vagina Gia sangat sempit sekali, hingga ia merasakan sensasi yang luar biasa di sana. Tanpa sadar Ray mengerang nikmat, kepemilikannya merasakan kepuasan yang tiada tanding. Air mata Gia terus mengalir dan meringis kesakitan. Ray lantas menjambak rambut Gia seraya menusuk lebih dalam kepemilikannya.“Jangan munafik! Kamu pasti menikmatinya, bukan?” ejek Ray lalu bergerak secara brutal. “Ini yang kamu mau dariku? Sekarang aku memberikannya, Jalang!” Jika tubuh wanita cacat itu senikmat ini, kenapa dia mengabaikannya. Gia bukan hanya pembantu yang diperuntukan baginya, tetapi bisa menjadi budaknya, bukan? Ya, Ray menganggap Gia hanya seorang pembantu di rumahnya, bukan sebagai istri. Itu adalah penghinaan yang tepat, karena Gia sudah memaksanya menikahi
Sebelum Ray menghubungi anak buahnya, ponselnya sudah berdering keras. Nama pemanggil yang muncul di layar membuat jantungnya berpacu cepat. Adam—asisten kepercayaan Wilson. Tentu saja dia cemas, jika Adam atau kakeknya mengetahui Gia pergi dari rumah. Bibirnya bergetar cemas dan takut, hingga suaranya terdengar gagap. Namun, Ray langsung terkejut saat Adam memintanya untuk segera ke rumah sakit.Ray masih terengah-engah ketika langkahnya tiba di depan ruang perawatan intensif di rumah sakit. “Adam, apa yang terjadi?” Ray bertanya panik begitu melihat pria berjas rapi itu berdiri di dekat pintu ruangan.“Bukankah pagi tadi Tuan Wilson memarahiku?” tanya Ray lagi dengan napas tersengal.Adam tak menjawab. Dia hanya membukakan pintu ruangan rawat Wilson. Lelaki tua itu tampak lemas di atas ranjang rawat, tanpa peralatan medis di tubuhnya.“Tuan, cucumu sudah tiba,” ucap Adam melapor.Wilson membuka matanya lemas dan langsung melihat wajah cemas Ray. Meskipun Ray kesal dengan kakeknya,
Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu. “Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.” “Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.” Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi. Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram. “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.” Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. “Sialan! Dia mempermainkanku!” Ray menarik napas dalam-dalam,
“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat p
Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri. “Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
“Ini adalah tempat untuk kalian bersekolah nanti. Suka?” tanya Gia setelah berada di hadapan gedung sekolah yang tampak megah dan berkualitas.“Tentu saja, Bu. Apapun yang Ibu berikan, kami tak akan meragukannya,” jawab Charlie terdengar bijak.Sontak saja Gia tertawa kecil. Dia tersenyum puas, kedua anaknya memang tak pernah protes. “Baiklah, kalian akan mulai bersekolah minggu depan dan setelah ini kita akan mencari beberapa perlengkapan untuk kalian sekolah nanti,” ucap Gia penuh semangat.Kemudian Gia meminta si Kembar untuk menunggu sebentar di ruang tunggu, dia harus melengkapi administrasi pembayaran sekolah mereka. Tentu saja keduanya tak keberatan. Setelah memastikan keduanya tak membuat masalah dengan rasa penasarannya yang selalu tinggi, Gia langsung bergegas bangkit.“Ibu tunggu!” seru Charlie menghentikan langkah kaki ibunya. Gia menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Charlie tersenyum tipis berusaha menyembunyikan wajah cemas. “Aku boleh meminta ponselku? Pasti bos
Gia tersentak. Namun, lampu merah sudah menyala dan bus mulai berjalan. Saat Gia menoleh ke luar jendela, kendaraan yang ditakutkan si kembar sudah melaju lebih dulu.Wajah si Kembar langsung menghela napas lega bersamaan, tetapi rasa cemasnya belum berakhir. Sadar, ibu mereka pasti akan mencecar. “Charlie, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Gia menyelidik sesuai dugaan keduanya.Hanya Charlie yang mudah untuk diselidik oleh Gia. Tatapan wanita bermata bulat itu tajam. Charlie menggelengkan kepalanya seraya melirik saudarinya.“Tidak ada yang kami sembunyikan, Bu. Sungguh!” seru Claire menolong saudaranya.Gia memilih menyudahinya. Terminal pemberhentian bus sudah terlihat. Lebih baik bersiap dan tak perlu memperpanjang perdebatan.Anak-anaknya pasti lelah dan dia tak ingin membebaninya. Keduanya patut merasa lega dan langsung menurut saat diminta untuk bergegas turun dari bus. Kemudian Gia memesan taksi dan menuju montel untuk tempat sementara mereka.“Kalian tak keberatan ‘kan ting
“Kalian dari mana saja? Ibu hampir menghubungi petugas keamanan untuk membantu menemukan kalian.” Suara Gia hampir memekik keras. Dia mendapati kedua anak kembarnya berlari dengan napas tersengal-sengal di hadapannya. Keduanya bahkan langsung menunduk menyadari ibunya marah. Sesekali Claire menoleh ke belakang, membuah Gia menatapnya curiga.“Claire, apa yang kamu lakukan? Kamu tak membuat keributan, bukan?” tanya Gia menyelidik.“Tentu saja tidak, Bu!” jawab Claire langsung. Ia lantas menoleh pada saudaranya. “Benarkan, Charlie?” tanyanya meminta bantuan.Charlie mengangguk. “Claire dan aku tak melakukan apa pun.Gia menghela napas panjang. Tentu saja ia mendengar keributan di peron dalam sana. Dia sangat mengenal tingkah kedua anaknya. Terutama Claire yang selalu banyak ingin tahu, tetapi lebih sering menimbulkan kerusakan besar karena sifat tersebut saat di Desa.Bahkan Gia pernah mendapatkan laporan itu saat keduanya ikut ke pelabuhan. Walaupun akhirnya Claire bisa menyelesaikan
“Argh ... sial!” Lelaki itu memekik keras.Lemparan Claire tepat menghantam bagian belakang kepala lelaki itu. Plastik yang berisi air sabun pecah dengan bunyi plop. Cairannya langsung membasahi pakaian mahal lelaki itu dan meninggalkan buih sabun. Aroma sabun yang menusuk hidung langsung meresap ke setiap serat kainnya"Berani sekali kau!" Lelaki itu menyeringai sinis, seraya menyeka percikan air sabun yang mengenai wajahnya.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Pengawal itu pada tuannya. “Dia adalah anak nakal ... sejak tadi mengganggu di sekitar sini.”Pengawal itu langsung bertindak. Dengan gerakan cekatan, dia menangkap Claire yang masih tertawa puas. Gadis kecil itu terlalu sibuk menikmati hasil perbuatannya hingga lengah. Tangan besar pengawal itu menjambak bagian belakang pakaiannya, menariknya seperti seekor anak kucing yang tertangkap basah.“Lepaskan aku!” teriak Claire, mencoba meronta. Tangannya mencakar kasar, tetapi pengawal itu sama sekali tak terpengaruh. Tenaganya lebih kuat.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri. “Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan
“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat p
Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu. “Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.” “Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.” Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi. Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram. “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.” Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. “Sialan! Dia mempermainkanku!” Ray menarik napas dalam-dalam,