“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.
“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi.
Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.
Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.
“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.
Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.
“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat pada mereka.
“Mari, Nak! Aku antar kamu ke rumah Maria,” ajak Nenek Nesa seraya merangkul Gia.
Senyuman Gia langsung mengembang sempurna. Dia berjalan mengikuti rangkulan Nenek Nesa. Hatinya merasa terharu mendapatkan sambutan baik di sana. Bahkan Kakek Fred meminta seseorang untuk membawakan bawaan Gia, walaupun hanya koper kecil dan tas berukuran sedang.
Tak banyak warga yang tinggal di sana. Mereka bahkan berdiri di sepanjang jalan masuk desa, menyambutnya dengan hangat. Jalanan di sana masih belum tersentuh aspal, hanya tanah gembur, tetapi sangat asri.
Aroma daun muda dari pepohonan yang rindang dan langit senja menambah kecantikan pemandangan desa. Lokasinya yang jauh dari pemukiman kota dan berada di pulau kecil, mungkin membuat desa itu sedikit ketinggalan dari kata modern dan kecanggihan teknologi.
Namun, itulah yang diinginkan Gia. Dengan begitu, keberadaanya tak akan bisa terdeteksi. Wanita itu benar-benar ingin menghilang.
“Inilah rumah nenekmu, Nak! Kami selalu merawatnya, mengingat pesan mendiang nenekmu untuk menjaga rumahnya dengan baik.” Suara Nenek Nesa menyadarkan lamunan Gia, tak terasa mereka berhenti di rumah dengan dinding kayu, khas tradisional dulu.
“Nenekmu selalu berkata kalau suatu hari nanti cucunya yang tinggal di kota, akan datang dan rumah ini akan menjadi tempatnya untuk menenangkan diri,” sambung Nenek Nesa haru. “Ternyata Maria benar,”
“Terima kasih, kamu sudah menjaga amanah nenekku,” balas Gia seraya genggaman tangan wanita tua di sampingnya.
Nenek Nesa membalas genggaman tangan Gia. “Tak perlu sungkan, Nak. Itu sudah menjadi kewajibanku,” katanya tulus.
“Nesa, sudah cukup! Biarkan dia beristirahat. Gadis itu pasti kelelahan setelah melewati perjalanan yang jauh.” Kakek Fred menegur.
“Ah, benar juga. Aku terlalu bahagia kedatangan cucunya Maria,” sahut Nenek Nesa diikuti tawa kecilnya, lalu menatap Gia dan berkata, “Istirahatlah, Nak. Nanti aku kirimkan makanan, kamu pasti lapar.”
Gia ingin menolak, tetapi dia merasa tak sopan. Wanita itu pun mengangguk dan memandangi kedua pasangan tua itu. Keduanya lantas menghalau warga yang sejak tadi memperhatikan Gia.
Namun, kali ini tatapan mereka bukan mengejek kondisi kakinya. Mereka seolah penasaran dan ingin mengenalnya lebih dekat. Desa ini tampaknya memang jarang kedatangan orang baru, sehingga membuat mereka sangat penasaran.
Mereka bahkan memberikan senyuman ramah pada Gia, sebelum memutar tubuh dan menuruti permintaan Nenek Sena agar tak mengganggunya. Setelah mereka menjauh, barulah Gia melangkah masuk ke dalam rumah tersebut. Senyumannya terus mengembang haru.
“Mereka benar-benar merawat rumah ini dengan baik,” gumam Gia melangkah masuk.
Hampir tak ada debu. Dapat dipastikan Gia akan betah tinggal di sana. Satu persatu ruangan dalam rumah sederhana itu dijajakinya.
Bayangan masa kecilnya saat bermain dengan sang nenek seakan berputar, hingga tak terasa air mata kerinduannya menetes. “Nek, aku datang berkunjung. Maaf, aku datang terlambat,” ucapnya lirih.
Tak ingin terbuai dengan kesedihan, Gia memilih bergegas membilas tubuhnya. Perjalanan yang jauh, membuat kulitnya terasa lengket. Tak butuh waktu lama, Gia sudah selesai membilas tubuhnya dan dia memilih menepati kamar neneknya. Hanya ada dua kamar tidur di sana.
Baru saja Gia hendak membaringkan tubuhnya, terdengar ketukan pintu. Nenek Nesa datang membawakan makanan untuknya, sesuai janjinya. “Kamu pasti lapar. Anggap saja ini ucapan selamat datang dariku,” katanya tulus.
“Jika kamu membutuhkan sesuatu, katakan saja. Rumahku yang itu,” sambung Nenek Nesa seraya menunjuk rumah kayu dengan cat hijau tua.
“Terima kasih banyak, Nek. Aku jadi merepotkanmu,” balas Gia tulus.
Wanita cantik itu benar-benar merasa terharu, hingga dia lupa tentang rasa sakit yang ditinggalkannya. Nenek Nesa tersenyum tulus, lalu membelai rambut Gia lembut. “Aku sama sekali tak merasa direpotkan, Nak. Justru aku merasa tersanjung ... kamu tak melupakan kampung halamanmu,” katanya lembut.
Gia benar-benar diterima di sana. Perlahan rasa sakit hatinya terobati. Wanita itu kini banyak tersenyum.
Setiap harinya selalu saja yang berkunjung memberikan makanan. Warga di sana sangat ramah dan membuatnya tak kesulitan berbaur dengan mereka. Hingga waktu terasa berlalu dengan cepat.
Gia merasakan banyak kebutuhan yang harus dibeli di pasar. Dia tak ingin terus mengandalkan pemberian warga, walaupun mereka memberinya dengan senang hati. Hingga pagi itu, Gia memutuskan untuk ikut dengan warga yang hendak mengirim hasil panennya ke pelabuhan.
“Hanya ada satu akses ke sana, pasarnya ada di pelabuhan. Biasanya kami akan sekalian berbelanja setelah menjual hasil panen,” jelas salah satu warga yang mengantar Gia.
Mereka benar-benar memperlakukan Gia dengan baik. Jasa neneknya yang dulu seorang tetua kampung, membuatnya sangat disegani, walaupun baru kali ini mereka melihatnya. Tak ada tatapan mencibir atau merasa jijik karena kakinya yang pincang.
“Bibi, apa kakimu sakit?”
Gia hampir terkejut saat seorang gadis kecil bertanya seraya menunjuk kaki kirinya. Dia adalah putri dari salah satu yang ikut dalam kapal menuju pelabuhan. Wanita bernama Tina itu menarik gadis kecil itu.
“Lisa, jaga bicaramu!” tegur Tina memberi nasehat. “Ayo, minta maaf pada Bibi Gia!” titahnya.
Tina merasa putrinya bertindak tidak sopan. Gadis kecil itu langsung menunduk. Tentu saja Gia merasa sungkan. “Tidak apa-apa, Bu Tina. Putrimu tidak bersalah.”
“Tidak boleh begitu, Gia. Lisa harus tahu sopan santun,” jelas Tina dengan wajah bersalahnya, lalu melirik putrinya.
“Maafkan aku sudah berbuat tidak sopan, Bibi,” ucap gadis kecil itu seraya menundukkan kepalanya.
Gia tampak bingung, tetapi haru. Wanita itu lantas mendekat dan berjongkok, hingga kini tinggi tubuhnya sama dengan Lisa. Kemudian Gia tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Kamu pasti penasaran karena jalanku pincang?” tanya Gia mencoba membuat suasana hati gadis kecil itu nyaman.
Gadis kecill itu mengangguk. Gia pun tersenyum tipis. Dia merasakan tatapan Lisa adalah rasa iba dan peduli, bukan tatapan jijik seperti yang didapatkannya saat di kota.
Saat Gia hendak bersuara, tiba-tiba gelomang ombak menyapu badan kapal hampir mengejutkan seluruh penumpangnya. Perut Gia mendadak mual dan nyaris saja dia memuntahkan isi perutnya di depan Lisa. Wanita itu pun segera berlari ke tepian kapal untuk memuntahkan isi perutnya.
“Gia, kamu tidak apa-apa?” seru Tina panik.
Rasa mual pada perut Gia tak kunjung usai. Wanita itu mencoba mengingat makanan apa yang membuatnya terus mual. Hingga tiba-tiba napasnya terasa tercekat, seolah ada sesuatu yang terlewatkan saat tangannya menahan perutnya.
“Tidak mungkin. Aku pasti hanya mual karena mabuk laut. Tapi, aku sudah sebulan di sini dan belum menstruasi.”
Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri. “Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
“Argh ... sial!” Lelaki itu memekik keras.Lemparan Claire tepat menghantam bagian belakang kepala lelaki itu. Plastik yang berisi air sabun pecah dengan bunyi plop. Cairannya langsung membasahi pakaian mahal lelaki itu dan meninggalkan buih sabun. Aroma sabun yang menusuk hidung langsung meresap ke setiap serat kainnya"Berani sekali kau!" Lelaki itu menyeringai sinis, seraya menyeka percikan air sabun yang mengenai wajahnya.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Pengawal itu pada tuannya. “Dia adalah anak nakal ... sejak tadi mengganggu di sekitar sini.”Pengawal itu langsung bertindak. Dengan gerakan cekatan, dia menangkap Claire yang masih tertawa puas. Gadis kecil itu terlalu sibuk menikmati hasil perbuatannya hingga lengah. Tangan besar pengawal itu menjambak bagian belakang pakaiannya, menariknya seperti seekor anak kucing yang tertangkap basah.“Lepaskan aku!” teriak Claire, mencoba meronta. Tangannya mencakar kasar, tetapi pengawal itu sama sekali tak terpengaruh. Tenaganya lebih kuat.
“Kalian dari mana saja? Ibu hampir menghubungi petugas keamanan untuk membantu menemukan kalian.” Suara Gia hampir memekik keras. Dia mendapati kedua anak kembarnya berlari dengan napas tersengal-sengal di hadapannya. Keduanya bahkan langsung menunduk menyadari ibunya marah. Sesekali Claire menoleh ke belakang, membuah Gia menatapnya curiga.“Claire, apa yang kamu lakukan? Kamu tak membuat keributan, bukan?” tanya Gia menyelidik.“Tentu saja tidak, Bu!” jawab Claire langsung. Ia lantas menoleh pada saudaranya. “Benarkan, Charlie?” tanyanya meminta bantuan.Charlie mengangguk. “Claire dan aku tak melakukan apa pun.Gia menghela napas panjang. Tentu saja ia mendengar keributan di peron dalam sana. Dia sangat mengenal tingkah kedua anaknya. Terutama Claire yang selalu banyak ingin tahu, tetapi lebih sering menimbulkan kerusakan besar karena sifat tersebut saat di Desa.Bahkan Gia pernah mendapatkan laporan itu saat keduanya ikut ke pelabuhan. Walaupun akhirnya Claire bisa menyelesaikan
Gia tersentak. Namun, lampu merah sudah menyala dan bus mulai berjalan. Saat Gia menoleh ke luar jendela, kendaraan yang ditakutkan si kembar sudah melaju lebih dulu.Wajah si Kembar langsung menghela napas lega bersamaan, tetapi rasa cemasnya belum berakhir. Sadar, ibu mereka pasti akan mencecar. “Charlie, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Gia menyelidik sesuai dugaan keduanya.Hanya Charlie yang mudah untuk diselidik oleh Gia. Tatapan wanita bermata bulat itu tajam. Charlie menggelengkan kepalanya seraya melirik saudarinya.“Tidak ada yang kami sembunyikan, Bu. Sungguh!” seru Claire menolong saudaranya.Gia memilih menyudahinya. Terminal pemberhentian bus sudah terlihat. Lebih baik bersiap dan tak perlu memperpanjang perdebatan.Anak-anaknya pasti lelah dan dia tak ingin membebaninya. Keduanya patut merasa lega dan langsung menurut saat diminta untuk bergegas turun dari bus. Kemudian Gia memesan taksi dan menuju montel untuk tempat sementara mereka.“Kalian tak keberatan ‘kan ting
“Ini adalah tempat untuk kalian bersekolah nanti. Suka?” tanya Gia setelah berada di hadapan gedung sekolah yang tampak megah dan berkualitas.“Tentu saja, Bu. Apapun yang Ibu berikan, kami tak akan meragukannya,” jawab Charlie terdengar bijak.Sontak saja Gia tertawa kecil. Dia tersenyum puas, kedua anaknya memang tak pernah protes. “Baiklah, kalian akan mulai bersekolah minggu depan dan setelah ini kita akan mencari beberapa perlengkapan untuk kalian sekolah nanti,” ucap Gia penuh semangat.Kemudian Gia meminta si Kembar untuk menunggu sebentar di ruang tunggu, dia harus melengkapi administrasi pembayaran sekolah mereka. Tentu saja keduanya tak keberatan. Setelah memastikan keduanya tak membuat masalah dengan rasa penasarannya yang selalu tinggi, Gia langsung bergegas bangkit.“Ibu tunggu!” seru Charlie menghentikan langkah kaki ibunya. Gia menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Charlie tersenyum tipis berusaha menyembunyikan wajah cemas. “Aku boleh meminta ponselku? Pasti bos
“Beraninya wanita cacat itu menghina Grace Shawn. Muncul di tengah pesta dengan tamu undangan dan mengenakan gaun yang sama.”Seluruh mata mereka yang berada di aula pesta tertuju pada Gia Ashborne, wanita cacat yang tengah jadi pusat perhatian hujatan, bahkan tak ragu menghina. Gaun berbahan satin yang menunjukkan lekuk tubuhnya tak bisa menutupi kekurangan pada kakinya. Kemudian mereka memindai pakaian wanita yang jauh lebih cantik di hadapan Gia, Grace Shawn. Bak si kembar yang hadir dengan gaun dan kecantikan sama. Sekilas, tampak sama dan tak ada bedanya. Namun mereka yang mengerti produk mahal, bisa tahu jika yang dikenakan Gia adalah tiruan dan wanita itu tak akan tahu.Pemandangan yang terasa memalukan saat pesta di tempat mewah, mendapati gaun yang dikenakan sama. Celetukan untuk Gia yang semula sudah reda, kini terdengar kembali. Mereka bahkan menatapnya sinis dan menghina. Yang paling menyakitkan bagi Gia bukanlah hinaan dari mereka semua, melainkan sosok lelaki tampan yan
“Ini adalah tempat untuk kalian bersekolah nanti. Suka?” tanya Gia setelah berada di hadapan gedung sekolah yang tampak megah dan berkualitas.“Tentu saja, Bu. Apapun yang Ibu berikan, kami tak akan meragukannya,” jawab Charlie terdengar bijak.Sontak saja Gia tertawa kecil. Dia tersenyum puas, kedua anaknya memang tak pernah protes. “Baiklah, kalian akan mulai bersekolah minggu depan dan setelah ini kita akan mencari beberapa perlengkapan untuk kalian sekolah nanti,” ucap Gia penuh semangat.Kemudian Gia meminta si Kembar untuk menunggu sebentar di ruang tunggu, dia harus melengkapi administrasi pembayaran sekolah mereka. Tentu saja keduanya tak keberatan. Setelah memastikan keduanya tak membuat masalah dengan rasa penasarannya yang selalu tinggi, Gia langsung bergegas bangkit.“Ibu tunggu!” seru Charlie menghentikan langkah kaki ibunya. Gia menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Charlie tersenyum tipis berusaha menyembunyikan wajah cemas. “Aku boleh meminta ponselku? Pasti bos
Gia tersentak. Namun, lampu merah sudah menyala dan bus mulai berjalan. Saat Gia menoleh ke luar jendela, kendaraan yang ditakutkan si kembar sudah melaju lebih dulu.Wajah si Kembar langsung menghela napas lega bersamaan, tetapi rasa cemasnya belum berakhir. Sadar, ibu mereka pasti akan mencecar. “Charlie, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Gia menyelidik sesuai dugaan keduanya.Hanya Charlie yang mudah untuk diselidik oleh Gia. Tatapan wanita bermata bulat itu tajam. Charlie menggelengkan kepalanya seraya melirik saudarinya.“Tidak ada yang kami sembunyikan, Bu. Sungguh!” seru Claire menolong saudaranya.Gia memilih menyudahinya. Terminal pemberhentian bus sudah terlihat. Lebih baik bersiap dan tak perlu memperpanjang perdebatan.Anak-anaknya pasti lelah dan dia tak ingin membebaninya. Keduanya patut merasa lega dan langsung menurut saat diminta untuk bergegas turun dari bus. Kemudian Gia memesan taksi dan menuju montel untuk tempat sementara mereka.“Kalian tak keberatan ‘kan ting
“Kalian dari mana saja? Ibu hampir menghubungi petugas keamanan untuk membantu menemukan kalian.” Suara Gia hampir memekik keras. Dia mendapati kedua anak kembarnya berlari dengan napas tersengal-sengal di hadapannya. Keduanya bahkan langsung menunduk menyadari ibunya marah. Sesekali Claire menoleh ke belakang, membuah Gia menatapnya curiga.“Claire, apa yang kamu lakukan? Kamu tak membuat keributan, bukan?” tanya Gia menyelidik.“Tentu saja tidak, Bu!” jawab Claire langsung. Ia lantas menoleh pada saudaranya. “Benarkan, Charlie?” tanyanya meminta bantuan.Charlie mengangguk. “Claire dan aku tak melakukan apa pun.Gia menghela napas panjang. Tentu saja ia mendengar keributan di peron dalam sana. Dia sangat mengenal tingkah kedua anaknya. Terutama Claire yang selalu banyak ingin tahu, tetapi lebih sering menimbulkan kerusakan besar karena sifat tersebut saat di Desa.Bahkan Gia pernah mendapatkan laporan itu saat keduanya ikut ke pelabuhan. Walaupun akhirnya Claire bisa menyelesaikan
“Argh ... sial!” Lelaki itu memekik keras.Lemparan Claire tepat menghantam bagian belakang kepala lelaki itu. Plastik yang berisi air sabun pecah dengan bunyi plop. Cairannya langsung membasahi pakaian mahal lelaki itu dan meninggalkan buih sabun. Aroma sabun yang menusuk hidung langsung meresap ke setiap serat kainnya"Berani sekali kau!" Lelaki itu menyeringai sinis, seraya menyeka percikan air sabun yang mengenai wajahnya.“Maafkan saya, Tuan,” ucap Pengawal itu pada tuannya. “Dia adalah anak nakal ... sejak tadi mengganggu di sekitar sini.”Pengawal itu langsung bertindak. Dengan gerakan cekatan, dia menangkap Claire yang masih tertawa puas. Gadis kecil itu terlalu sibuk menikmati hasil perbuatannya hingga lengah. Tangan besar pengawal itu menjambak bagian belakang pakaiannya, menariknya seperti seekor anak kucing yang tertangkap basah.“Lepaskan aku!” teriak Claire, mencoba meronta. Tangannya mencakar kasar, tetapi pengawal itu sama sekali tak terpengaruh. Tenaganya lebih kuat.
“Lisa, bagaimana kalau kamu juga ikut Bibi ke kota. Kamu bisa bersekolah di sana juga.”Gia menawarkan Lisa agar turut serta. Gadis kecil yang selalu menjadi temannya, kini sudah beranjak dewasa. Akan tetapi, Lisa menggelengkan kepalanya.“Terima kasih tawarannya, Bibi Gia. Aku menghargainya, tetapi aku tak bisa meninggalkan Desa ini. Aku harus menjaga ibuku,” jawab Lisa dengan tatapan tulus.Ya, gadis itu hanya tinggal bersama ibunya. Lisa pasti tak akan tega meninggalkan ibunya seorang diri. Namun Lisa hingga ke stasiun, membantu membawakan bawaannya.Gadis itu tak hanya dekat dengan Gia, Lisa juga dekat dengan si kembar. Keduanya bahkan memeluk Lisa erat dan penuh kasih sayang. “Kalian tidak boleh nakal dan harus menjaga Ibu kalian, mengerti!” nasehatnya pada si kembar.“Tentu saja, Kak Lisa,” jawab keduanya kompak.Gia tersenyum. Charlie dan Claire seolah memiliki kakak yang begitu menyayangi keduanya. Kemudian Gia berpamitan untuk terkahir kalinya pada Lisa, Nenek Nesa dan Kakek
Gia terdiam dan membeku. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan Nenek Nesa. Wanita itu menunduk mencoba mencari jawaban yang tepat.“Aku dan dia memutuskan untuk berpisah, Nek,” jawab Gia pelan sekali.Bukan tak ingin menceritakan yang sebenarnya. Menurut Gia, dia tak perlu menceritakan derita dan sakit hatinya pada orang lain. Itu sama saja membuka luka di hatinya, pikir Gia.Lebih baik fokus pada dirinya dan kandungannya saat ini. Tak ada waktu untuk mengingatnya atau mengenangnya. Gia hanya perlu mengubur semua itu dan itu adalah keputusan yang baik, yakinnya.“Jadi, dia tidak tahu kalau kamu sedang hamil?” tanya Nenek Nesa dengan suara lembut.Gia menggeleng, lalu tersenyum getir. “Lebih baik dia tak perlu tahu, Nek,” jawabnya.Kulit tangan keriputnya Nenek Nesa membelai lembut rambut Gia, hingga wanita itu mendongakan wajahnya. Nenek Nesa tersenyum memberikan dukungan. Hati Gia terasa damai, merasa diperhatikan.“Jika itu sudah menjadi keputusanmu, maka aku hanya bisa mendukungmu.
Gia tersentuh dengan kepedulian Tina dan warga desa yang mencemaskannya, hanya karena dirinya muntah. Setelah tiba di pelabuhan Gia memutuskan untuk ke klinik. Dia perlu memastikan rasa cemas akan dugaannya sendiri. “Kalau begitu aku temani Bibi Gia.” Lisa, gadis kecil itu menawarkan diri. “Walaupun aku masih kecil, tapi aku bisa membantu dan menjagamu, Bibi,” tambahnya antusias.Tampaknya Lisa sangat peduli padanya. Tina yang berada di sebelahnya pun mengangguk, begitu juga yang lainnya. Namun Gia menggeleng, lalu tersenyum.“Tidak usah, Sayang. Kamu temani dan bantu ibumu saja!” ucap Gia seraya membungkukkan tubuhnya agar bisa melihat jelas wajah Lisa.“Tapi.” Suara Lisa lemah dan menunjukkan wajah protes.Gia menggeleng, lalu tersenyum. Saat dia hendak bersuara, Tina menyela, “Aku setuju dengan Lisa, Gia! Lebih baik dia ikut denganmu. Percayalah, Lisa tahu lingkungan pelabuhan ini ... kamu bisa mengandalkannya,” jelasnya.“Aku takut kamu akan tersesat dan kesulitan mencari jalan
“Benarkah kamu adalah cucunya Maria Laffin?” tanya seorang wanita tua yang menyambut Gia di depan pintu masuk desa.“Sepertinya memang benar, Nesa! Lihatlah wajahnya mirip dengan Maria saat masih muda,” tipal lelaki tua di samping wanita yang bertanya tadi. Tampaknya mereka sebaya. Kemudian Gia menyerahkan selembar foto pada mereka. “Ini adalah fotoku saat kecil bersama Nenek Maria,” ucapnya menunjuk gadis kecil dalam pangkuan wanita tua.Kedua pasangan itu memindai wajah Gia dan gadis kecil di sana. Bahkan lelaki tua itu harus memegangi kacamata bulatnya, memastikan tak salah melihat. Tak lama wajah tatapan mereka berbinar.“Ya Tuhan. Maria, cucumu datang,” ucap wanita tua itu dengan wajah haru. “Panggil aku Nenek Nesa. Aku tetua di kampung ini yang menggantikan nenekmu,” katanya seraya menunjuk dirinya.Kemudian dia menunjuk lelaki tua di sampingnya. “Ini suamiku, kamu bisa memanggilnya Kakek Fred,” sambung Nenek Nesa.“Terima kasih, Nenek Nesa, Kakek Fred.” Gia membungkuk hormat p
Sebelum Ray tiba di bandara, anak buahnya Wilson sudah berada di sana. Dia berdiri di tengah keramaian bandara dengan rahang terkatup, matanya menyapu sekeliling seperti elang yang kehilangan mangsa. Ponselnya berdering tanpa henti, laporan dari anak buahnya masuk satu per satu. “Nona Gia tidak ada di penerbangan ke Singapura, Tuan.” “Nona Gia juga tidak naik penerbangan ke Denmark.” Ray mengepalkan tinjunya hingga buku-buku jarinya memutih. “Terus cari! Periksa setiap sudut, kamera pengawas, manifest penerbangan ... semuanya! Jangan biarkan dia lolos!” teriaknya dengan nada tegas yang mencerminkan frustasi. Namun, laporan berikutnya membuat Ray semakin geram. “Tuan, kami sudah memeriksa semua penerbangan yang dipesan atas namanya, tapi ... dia tidak ada di satu pun.” Ray membanting ponsel ke meja logam terdekat seraya memekik keras. Sontak saja beberapa penumpang di sekitar menoleh dengan pandangan khawatir. “Sialan! Dia mempermainkanku!” Ray menarik napas dalam-dalam,