Gia tersentak. Namun, lampu merah sudah menyala dan bus mulai berjalan. Saat Gia menoleh ke luar jendela, kendaraan yang ditakutkan si kembar sudah melaju lebih dulu.Wajah si Kembar langsung menghela napas lega bersamaan, tetapi rasa cemasnya belum berakhir. Sadar, ibu mereka pasti akan mencecar. “Charlie, apa yang kalian sembunyikan?” tanya Gia menyelidik sesuai dugaan keduanya.Hanya Charlie yang mudah untuk diselidik oleh Gia. Tatapan wanita bermata bulat itu tajam. Charlie menggelengkan kepalanya seraya melirik saudarinya.“Tidak ada yang kami sembunyikan, Bu. Sungguh!” seru Claire menolong saudaranya.Gia memilih menyudahinya. Terminal pemberhentian bus sudah terlihat. Lebih baik bersiap dan tak perlu memperpanjang perdebatan.Anak-anaknya pasti lelah dan dia tak ingin membebaninya. Keduanya patut merasa lega dan langsung menurut saat diminta untuk bergegas turun dari bus. Kemudian Gia memesan taksi dan menuju montel untuk tempat sementara mereka.“Kalian tak keberatan ‘kan ting
“Ini adalah tempat untuk kalian bersekolah nanti. Suka?” tanya Gia setelah berada di hadapan gedung sekolah yang tampak megah dan berkualitas.“Tentu saja, Bu. Apapun yang Ibu berikan, kami tak akan meragukannya,” jawab Charlie terdengar bijak.Sontak saja Gia tertawa kecil. Dia tersenyum puas, kedua anaknya memang tak pernah protes. “Baiklah, kalian akan mulai bersekolah minggu depan dan setelah ini kita akan mencari beberapa perlengkapan untuk kalian sekolah nanti,” ucap Gia penuh semangat.Kemudian Gia meminta si Kembar untuk menunggu sebentar di ruang tunggu, dia harus melengkapi administrasi pembayaran sekolah mereka. Tentu saja keduanya tak keberatan. Setelah memastikan keduanya tak membuat masalah dengan rasa penasarannya yang selalu tinggi, Gia langsung bergegas bangkit.“Ibu tunggu!” seru Charlie menghentikan langkah kaki ibunya. Gia menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya. Charlie tersenyum tipis berusaha menyembunyikan wajah cemas. “Aku boleh meminta ponselku? Pasti bos
Identitas dari ID card Gia yang diunggah Charlie, secara otomatis terekam dalam server beberapa perusahaan penyedia layanan trading. Hal itu pun terdeteksi dengan beberapa perusahaan yang mengenali kemampuan Gia, termasuk perusahaan Ray. Lelaki itu bahkan langsung bangun dari kursi kerjanya dan menatap anak buahnya dengan tatapan tak percaya.“Kamu yakin?” tanya Ray memastikan.“100 persen yakin, Tuan. Bahkan kami berhasil menemukan lokasi IP-nya,” jawab pria itu yakin.Senyuman Ray langsung mengembang sempurna. “Bawa aku ke tempatnya!” perintahnya.Pria itu mengangguk dan segera bergegas keluar diikuti langkah Ray. Kaki jenjangnya melangkah lebih cepat, menunjukkan dia sedang terburu dan tatapannya tajam. Napasnya memburu, tak sabar bertemu dengan wanita yang sudah pernah dihancurkan hatinya.Kedua tangannya mengepal, mengendalikan gejolak dalam jiwanya. Setelah bertahun-tahun mencari keberadaannya, akhirnya dia menemukan Gia. Rasa senang, cemas dan lega menjadi satu.“Pastikan kalia
Wajah Charlie dan Claire panik. Tangan Gia langsung bergerak cepat membuka isi pesan tersebut dengan napas cemas yang memburu. Napasnya langsung berhembus rendah dan wajahnya berubah lega.“Pesan dari sekolah, info verifikasi pendaftaran kalian sudah diterima,” ucap Gia dengan nada lemas, tetapi lega.“Ibu, aku punya ide,” seru Claire langsung menarik fokus ibu dan saudaranya.Tatapan Claire tertuju pada mobil truk pengangkut sampah yang baru saja memasuki gerbang samping. Sontak saja keduanya mengikuti tatapan gadis kecil itu, tetapi ekspresi keduanya seolah menolak arti tatapan Claire. “Claire, itu bukan ide yang baik,” ucap Charlie protes.“Bukan itu! Lihat mobil di sebelahnya!” seru Claire tertuju pada mobil sedan samping truk sampah. Sebelum mereka bertanya, Claire langsung berseru agar mereka segera mengikutinya. “Kita harus cepat, sebelum truk itu berangkat!” katanya memberi aba-aba.Gia tak ingin banyak tanya, lebih baik mengikuti ide putrinya, walaupun ada keraguan. Charlie
“Tuan, saya mendapat laporan ... sinyal lokasi tempat Nona Gia menghilang.”Ray yang baru saja keluar dari dalam mobil dan tengah memandang gedung sekolah, langsung tersentak. Tangannya refleks melepaskan kaca mata hitamnya dan menatap pria di sampingnya. Sontak saja pria itu menunduk, sadar Ray menunjukkan wajah kesal.“Maafkan saya, Tuan. Saya akan memastikan mereka bekerja dengan benar,” ucap pria itu menunjukkan kesungguhannya.“Cari juga ke dalam sekolah itu!” perintah Ray tegas dan lugas.Tangannya mengepal kuat, menyembunyikan rasa kesal dan marahnya. Harapan yang semula tinggi, perlahan memudar. Namun, ia tahu dan yakin pasti bisa menemukan Gia.“Wah, siapa ini? Raymond Anderson?” Sebuah suara mengganggu fokus Ray. Lelaki itu langsung memutar tubuhnya. Seorang pria yang tak kalah gagah darinya, dengan setelan jas mahal dan berkelas. Dia tersenyum sinis pada Ray. Indera penglihatan Ray memindai sekeliling tempatnya berada. Deretan mobil berbaris di sana dan ia yakin, mereka m
“Mm ... mungkin Anda mendengar kekacauan tadi. Maaf, Tuan itu adalah kesalahan kecil ... tapi, kami sudah menanganinya,” jelas Mike Jordan, Kepala yayasan.Sontak saja Ray mengerutkan dahinya. “Kekacauan tadi?” tanyanya penasaran.Mike menggigit bibir bawahnya. Tampaknya dia menyadari salah mengartikan tujuan Ray. Akan tetapi, dia tak akan bisa menghindar.Tatapan Ray memberikan penuntutan. Mike sudah senang saat mendengar seorang pengusaha muda mau berdonasi pada yayasannya. Itu adalah bentuk dukungan agar yayasan tersebut berkembang.“Beberapa saat lalu, truk sampah yang bertugas mengangkut ... melakukan kesalahan kecil. Sepertinya ada sampah yang berbahaya sebelumnya dan terjadi ledakan kecil saat terparkir di sini,” jelas Mike hati-hati agar Ray tak salah paham. “Kebetulan di sebelahnya seorang wanita sedang mendaftarkan anaknya di sini, tetapi karena ledakan itu mengenai kendaraannya ... wanita itu marah dan pergi setelah menuntut ganti rugi.”Ray terkesiap. Dia ingat dengan jelas
Gia terdiam seribu bahasa. Ia menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya. Akal dan pikirannya bekerja lebih cemas, mencari jawaban yang menurutnya paling tepat. Sebuah jawaban yang tak akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Gia tersenyum tipis setelah yakin menemukan jawaban yang menurutnya tepat. Dia lantas menggenggam tangan mungil Claire. Gadis kecil tampaknya yang paling penasaran dibandingkan Charlie.“Kamu pasti penasaran tentang siapa ayahmu, ya?” Suara Gia terdengar lembut dan penuh perhatian.“Aku juga penasaran,” seru Charlie, seakan tak ingin diabaikan.Gia pun menoleh dan memberikan senyuman hangat pada keduanya. Dia meraih tangan mungil Charlie dan menumpangkannya di atas tangannya serta Claire. “Baiklah, Ibu akan menceritakan tentang ayah kalian, tetapi setelah ini ... kalian harus berjanji, jangan mencoba mencari tahu tentangnya dan ikuti semua perintahku. Mengerti!” ujarnya tegas.Keduanya mengangguk setuju. Gia menghela napas panjang nan berat. Ada pera
“Fred, sebar informasi ke semua agen penjualan rumah, sewa rumah, penginapan, hotel, hingga motel ... katakan kalau mereka melihat Gia untuk segera melapor! Berikan imbalan yang besar dan sertakan foto Gia,” titah Ray dengan suara tegas dan lugas. “Baik, Tuan. Akan segera saya atur.” Fred mengangguk cepat, lalu mengeluarkan ponselnya dan segera menuruti perintah tuannya.Ray bersandar di kursinya, menarik napas dalam-dalam. Dia tidak lagi percaya pada tim IT-nya, tidak setelah mereka memberikan sinyal lokasi palsu dua kali berturut-turut. Gia lebih cerdas daripada yang diperkirakan siapa pun, dan Ray tahu itu.Kemudian Ray merapikan jas formalnya, memastikan penampilannya terlihat berwibawa. Kendaraan yang ditumpanginya sudah berhenti dan terparkir di depan kafe. Ya, dia sudah membuat janji dengan Bianca.“Tuan, semua agen sudah diberi informasi. Hadiah 100 ribu dolar sudah cukup untuk memotivasi mereka. Kita akan segera menerima laporan jika ada yang melihat Gia.” Fred melapor sebe
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men
“Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku dan tak ingin melihatku. Tapi, harus kamu tahu ... aku benar-benar menyesali perbuatanku,” ucap Ray dengan nada rendah. “Aku terlambat menyadari kalau ternyata ... kamu sangat berharga.”Wajah Ray menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Namun, Gia refleks tersenyum getir. Sikap Ray sekarang sangat berbeda sekali dengan yang dulu dan dia yakin sekali alasannya.“Berhentilah bersikap seperti ini, Ray. Aku tahu ini bukan dirimu! Sikapmu seperti seakan menunjukkan kalau kamu adalah pria munafik!” celetuk Gia tanpa rasa bersalah.Tatapan wanita bermata bulat itu menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam. Sontak saja Ray terkejut dengan reaksi Gia. Bibirnya tampak bergetar dan tatapan matanya seolah menelusur dalam, seolah mencari sesuatu dalam diri Gia.“Kenapa kamu terlihat terkejut? Kamu pasti tak menyangka, jika wanita cacat yang sering kami hinakan dulu... si Pincang Gia, sekarang berani melawan.” Suara Gia bergetar menahan amarah.“Tadi kamu bilang a
“Ibu, itu dia orangnya.”Tatapan Gia langsung tertuju pada Ray yang berdiri di hadapan mobil sedan hitamnya. Claire menunjuk, saat mobil yang dikemudikan Gia mendekat gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terbakar dan refleks menginjak pedal rem.“Ternyata memang benar, itu adalah Ray,” batinnya.Perasaan Gia tak karuan, tetapi akal dan pikirannya bekerja lebih keras. Gia tak bisa lagi menghindar. Hanya memastikan kedua anaknya aman dan tak perlu bertemu dengan Ray.Dalam keadaan cemas dan panik, Gia mengedarkan pandangannya, mencari cara agar si kembar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahui oleh Ray. Si kembar pun ikut mengikuti arah tatapan ibunya. Keduanya membantu mencari jalan keluar.“Sepertinya, kita bisa masuk melalui pintu gerbang samping itu,” ucap Charlie menunjuk arah samping gedung sekolah.Tatapan Gia pun tertuju ke sana. Perlahan, Gia mengarahkan kendaraannya ke arah tersebut, bertepatan dengan mobil lain yang melintas. Untunglah posisi Ray sedikit menjauh, jadi tak akan bisa
Perasaan Gia tak karuan, rasanya ingin mencecar kedua anaknya. Namun, sangat tak mungkin. Dengan perasaan cemas, dia mempelajari ulang hasil pencarian di sana.“Semuanya berawal dari nomor polisi kendaraan?” gumam Gia menemukan awal pencarian yang dilakukan si kembar pada laptop tersebut. Hasil pencarian di laptop menampilkan mobil sedan hitam metalik. Gia mencoba mengingat tentang kendaraan tersebut, mencari jawaban. Tiba-tiba, ingatan Gia tertuju pada saat menjemput si Kembar siang tadi.“Wajah mereka berubah dan seolah melarangku menoleh ke belakang,” gumam Gia penuh keyakinan. “Mungkinkah pria dewasa yang mereka maksud itu adalah Ray?”Praduganya justru semakin membuatnya bertambah cemas. Hal yang selama ini dihindarinya, kini sudah terjadi, pikirnya. Namun, tak ada pilihan selain menunggu pagi dan menanyai keduanya setelah bangun. Gia pun butuh beristirahat. Sayangnya, dia kesulitan memejamkan kedua bola matanya. Namun, rasa lelah dan cemas akhirnya membuat matanya terpejam.Ti
“Charlie, bukankah itu mobil pria arogan itu?” Claire bertanya dengan tatapan terus tertuju pada mobil sedan hitam metalik di luar sana.Tubuh Charlie seperti tersentak. Mereka seperti sedang diburu. Namun keduanya langsung berubah panik, menyadari Gia hendak menoleh. Ibu mereka hendak mengikuti arah tatapannya.“Ibu, ayo kita pulang!” seru Claire langsung menarik tangan ibunya.Gia hampir tersentak. Namun, tangan kanan dan kirinya sudah ditarik si kembar melewati arah lain. Jelas sekali mereka menghindari seseorang, pikir Gia.Akan tetapi, dia tak diberikan kesempatan bertanya. Si Kembar terus menarik kedua tangannya kuat dan hampir membuat keributan. Tentu saja ulah keduanya hampir membuatnya menabrak beberapa orang yang tengah berjalan keluar gerbang.“Hentikan!” seru Gia seraya menarik kedua tangannya.Keduanya menurut dan langsung berhenti. Namun, wajah si Kembar terlihat lebih tenang. Posisi mereka tak akan terlihat dari tempat mobil sedan itu terparkir.“Maaf, Bu,” ucap Charlie
“Charlie dan Claire, namanya. Mereka adalah anak-anaknya Gia, wanita yang sedang Anda cari.” Suara Bianca langsung menyadarkan semua pertanyaan yang muncul dalam benak Ray. Akan tetapi, dia semakin terguncang. Pikirannya menjadi tak menentu.“Kamu yakin?” tanya Ray memastikan lagi.“Tentu saja, Tuan! Aku yakin dengan informasi yang kuberikan,” jawab Bianca penuh percaya diri.Ray terdiam sejenak. Pikirannya menjelajah mundur, hingga pada pertemuan pertamanya dengan si kembar yang menurutnya menyebalkan. Bukankah saat itu, dia berada di stasiun, setelah mendapatkan kabar sinyal keberadaan Gia. Namun, sinyalnya menguap dan dia pulang dengan perasaan kesal mengingat wajah dua anak kecil yang menurutnya menyebalkan. Hatinya tiba-tiba memekik keras, kenapa mengabaikan perasaan aneh yang muncul saat dirinya melihat kemiripan pada wajah anak-anak itu. Berbagai tanya terus memenuhi benaknya, hingga Ray merasakan kepalanya hampir meledak. Andai saja saat itu dia lebih peka, mungkin dia tida
Ray tersenyum senang setelah membalas pesan yang dinamainya dengan pemilik toko buku. Langkahnya untuk menemukan Gia terasa semakin dekat. Tanpa membuang waktu, Ray langsung memerintah sopirnya untuk berbalik ke toko buku tadi.Ponselnya tiba-tiba berbunyi, tanda pesan masuk. Dengan malas, dia mengeluarkan ponselnya dan membukanya. Kedua bola mata Ray langsung membulat sempurna saat menatap file foto dari pesan yang baru saja diterimanya.“Gia?” Pesan dari Bianca, melampirkan wajah Gia. Napasnya langsung memburu dan jantungnya berdetak lebih cepat. Tangannya langsung menekan tanda panggil.“Halo, Nona Bianca. Bagaimana Anda mendapatkan foto wanita itu?” cecar Ray langsung, tanpa berbasa basi, setelah sambungan telepon tersambung. “Beritahu aku, di mana wanita itu berada?” tambahnya tak sabar.“Tenang, Tuan Anderson! Aku akan memberikan semua informasi yang Anda butuhkan,” sahut Bianca dari balik telepon.Ray memejamkan kedua bola matanya, seraya mengatur irama jantung dan napasnya. “
“Doni, kembali ke toko buku tadi!” perintah Ray langsung.“Baik, Tuan!” sahut Doni, sopirnya.Doni tahu, majikannya sedang dalam keadaan penasaran dan tak sabar. Setelah memutar mobilnya, dia melajukan kendaraan itu dengan sedikit lebih cepat. Nahas, setelah berhenti di sana, toko itu tutup.“Apa-apaan ini?” geram Ray kesal.Ray bahkan memukul keras tempat duduknya. Wajahnya merah padam. Dia merasa dipermainkan.“Apa dia tahu aku yang membeli buku ini?” kesal Ray seraya menatap geram pada buku di sampingnya.“Sepertinya itu tidak mungkin, Tuan,” sahut Doni mencoba menenangkan diri.Sontak saja Ray langsung menatap ke arah depan. Dari cermin di atas samping kepala Doni, dia bisa melihat ekspresi sopirnya. Doni menundukkan wajahnya, merasa mengusik amarah majikannya.“Maaf, Tuan. Tapi, pemilik toko tadi tak menunjukkan jika dia mengenal Anda, Tuan,” jelas Doni hati-hati.“Apa yang membuatmu begitu yakin dia tak menunjukkan tanda seperti itu? Apa kamu pernah melihat Gia atau mengenalnya
Ray melangkah dengan kesal keluar menuju lobi sekolah. Rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya berat, dipenuhi rasa frustasi yang menyelimuti pikirannya. Wajah anak kecil tadi terus menghantuinya. Terlalu mirip hingga membuat Ray tak nyaman. Bahkan kembarannya pun sangat mirip sekali."Siapa anak-anak nakal itu?" gumamnya, seraya mengangkat ponsel. Jari-jarinya menggulir cepat mencari nama kontak seseorang tanpa mengurangi laju langkahnya. "Cari tahu soal dua anak kecil yang di stasiun tempo hari itu. Aku ingin semua informasi. Jangan sampai ada yang terlewat!" Ray menutup ponselnya dengan gerakan kasar. Rasa kesal semakin mendidih di dadanya. Padahal dia ke sekolah ini bukan untuk merenungi wajah anak-anak. Tujuannya jelas, mencari Gia. Namun, lagi-lagi keberadaan Gia seperti angin, selalu terasa dekat tetapi tak pernah bisa digenggam.Tanpa sadar, Ray mendahului dengan seorang wanita saat melangkah menuruni lantai lobi menuju pijakan paling dasar. Wan