Gia terdiam seribu bahasa. Ia menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya. Akal dan pikirannya bekerja lebih cemas, mencari jawaban yang menurutnya paling tepat. Sebuah jawaban yang tak akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Gia tersenyum tipis setelah yakin menemukan jawaban yang menurutnya tepat. Dia lantas menggenggam tangan mungil Claire. Gadis kecil tampaknya yang paling penasaran dibandingkan Charlie.“Kamu pasti penasaran tentang siapa ayahmu, ya?” Suara Gia terdengar lembut dan penuh perhatian.“Aku juga penasaran,” seru Charlie, seakan tak ingin diabaikan.Gia pun menoleh dan memberikan senyuman hangat pada keduanya. Dia meraih tangan mungil Charlie dan menumpangkannya di atas tangannya serta Claire. “Baiklah, Ibu akan menceritakan tentang ayah kalian, tetapi setelah ini ... kalian harus berjanji, jangan mencoba mencari tahu tentangnya dan ikuti semua perintahku. Mengerti!” ujarnya tegas.Keduanya mengangguk setuju. Gia menghela napas panjang nan berat. Ada pera
“Fred, sebar informasi ke semua agen penjualan rumah, sewa rumah, penginapan, hotel, hingga motel ... katakan kalau mereka melihat Gia untuk segera melapor! Berikan imbalan yang besar dan sertakan foto Gia,” titah Ray dengan suara tegas dan lugas. “Baik, Tuan. Akan segera saya atur.” Fred mengangguk cepat, lalu mengeluarkan ponselnya dan segera menuruti perintah tuannya.Ray bersandar di kursinya, menarik napas dalam-dalam. Dia tidak lagi percaya pada tim IT-nya, tidak setelah mereka memberikan sinyal lokasi palsu dua kali berturut-turut. Gia lebih cerdas daripada yang diperkirakan siapa pun, dan Ray tahu itu.Kemudian Ray merapikan jas formalnya, memastikan penampilannya terlihat berwibawa. Kendaraan yang ditumpanginya sudah berhenti dan terparkir di depan kafe. Ya, dia sudah membuat janji dengan Bianca.“Tuan, semua agen sudah diberi informasi. Hadiah 100 ribu dolar sudah cukup untuk memotivasi mereka. Kita akan segera menerima laporan jika ada yang melihat Gia.” Fred melapor sebe
“Tuan, saya menerima laporan keberadaan Nona Gia dari salah satu agen penjualan rumah,” seru Fred menyambut kehadiran Ray yang baru saja keluar dari kafe.“Bagus. Cepat ke sana!” titah Ray langsung.Fred langsung membuka pintu mobil untuk Ray, lalu berlari cepat ke seberangnya ikut naik dan memberi perintah pada si sopir setelah mengatakan alamat yang dituju. Wajah Ray tampak tak sabar. Namun terdapat raut gelisah, cemas akan kehilangan Gia lagi.“Sepertinya yang Anda katakan memang benar, Tuan,” ucap Fred mengalihkan rasa cemasnya Ray. “Sinyal lokasi yang diterima tim IT adalah palsu. Banyak yang tertipu oleh Nona Gia. Bahkan Tuan Daniel pun mengejar ke sana,” tambahnya.Ray tersenyum penuh arti. Dia lantas menoleh pada asisten pribadinya. Fred menunjukkan wajah kagum dan merasa bersalah padanya.“Anda memang penuh perhitungan, Tuan. Maafkan saya jika terkesan meragukanmu,” kata Fred menyadari arti lirikan tuannya.“Tak masalah. Setelah ini kamu pasti harus belajar dari kesalahanmu,
Napas Gia langsung saat menyadari pengendara mobil itu bukan sesuai dugaannya. Tanpa banyak berpikir, Gia menarik koper besarnya dan memastikan si Kembar untuk bergegas pergi. Dia memberhentikan sebuah taksi sebelum bergegas pergi.“Ibu kita akan ke mana lagi?” tanya Claire menyadari wajah ibunya masih tampak cemas.Gia terdiam sejenak. Kemudian dia menatap wajah keduanya, terlihat lemas dan lelah. “Ibu akan pikirkan nanti. Lebih baik kita cari kedai makanan ... kalian pasti lapar, ‘kan?” tanyanya dan langsung dijawab anggukan senang dari si Kembar.“Kalian mau makan apa?” “Apa saja, Bu. Aku sudah lapar sekali,” jawab Charlie seraya meraba perutnya.Claire hanya mengangguk setuju. Gia pun meminta sopir taksi itu berhenti di salah satu restoran sederhana setelah yakin menjauh dari tempat tadi. Setelah perut kedua anaknya terisi, Gia yakin bisa berpikir dengan tenang dan mencari tempat yang aman, tanpa gangguan dari mana pun.Menyadari banyaknya yang datang saat di sekolah, Gia sadar y
“Fred! Cari lebih banyak informasi yang akurat!” Perintah Ray tegas. Rasa tak percaya bercampur dengan gelisah serta tak tenang. Berbagai tanya memenuhi isi pikirannya.Sepanjang jalan menuju kantornya, fokus Ray tertuju pada benda pipih di tangannya. Dia menjeda putaran video di sana dan memperbesarnya agar bisa melihat lebih jelas. Selama beberapa kali dia melakukannya, tetapi tak kunjung menemukan jawaban.“Fred, munginkah dokter bisa salah memberikan vonis?” tanya Ray mencoba mencari jawaban dari semua pertanyaan dalam benaknya.“Itu sangat mungkin sekali, Tuan. Apa lagi kemajuan teknologi medis sudah semakin berkembang. Bisa saja selama ini Nona Gia menjalani pengobatan atau operasi agar dia bisa berjalan lagi,” jawab Fred mendukung.Ray mengangguk. Jawaban Fred memang lebih masuk akal. Namun, masih banyak pertanyaan yang tak bisa ia pecahkan. “Bagaimana dengan dua anak kecil ini? Jika benar mereka anaknya Gia, mungkinkah aku ayahnya?”Pikiran Ray menerawang mundur ke belakang
“Grace?” gumam Gia pelan sekali dan hanya terdengar olehnya sendiri.Kemudian Gia membuka ponselnya, menyusuri laman berita. Gia mengetikkan nama Grace Shawn di sana. Semua info tentang wanita yang sudah menghancurkan harga dirinya tertera semua di sana.“Jadi, karir Grace hancur saat aku pergi dulu,” gumam Gia lagi. “Sepertinya saat itu, Tuan Wilson menunjukkan ketegasannya pada Grace,” tambahnya menebak.Ponsel Gia berdering pelan, tanda pesan masuk. Segera saja dia membukanya. Pesan dari Grace yang menanyakan tujuannya menelpon.Ga terdiam sejenak. Jika Grace menjual rumahnya, berarti karirnya benar-benar hancur hingga saat ini, tebaknya. Seharusnya dia puas menerima berita ini, tetapi Gia justru ragu dan merasa bersalah.“Ibu, apa yang terjadi?” tanya Claire seraya menarik ujung bajunya.Wajah Claire bahkan terlihat cemas. Sedari tadi si Kembar bertanya saat dirinya terkejut, tetapi Gia tenggelam dalam renungannya. Secepatnya Gia mengukir senyuman tipis, menyembunyikan perasaannya
“Anak-anakmu sekolah di sini, ya?” tanya Bianca mencoba tetap ramah dan lebh dekat.“Benar, Nona. Anak-anakku menyukai sekolah ini,” jawab Gia ramah dan tetap tenang.Sebisa mungkin, Gia menyingkirkan perasaan cemasnya. Namun, dalam dirinya tetap waspada. Dia tak mungkin bersikap acuh dan menjauh, mengingat pertolongannya dulu.Bukan pertolongan, tetapi Claire yang memaksa masuk ke mobilnya Bianca. Hal itulah yang membuat Gia sedikit kesulitan menghindar. Wanita di hadapannya sudah melihat jelas wajahnya dan juga si Kembar.“Sekolah ini memang terbaik. Anakku juga akan sekolah di sini,” ucap Bianca dengan tatapan berbinar. “Semoga saja anak-anak kita bisa satu kelas dan akur. Dengan begitu aku punya teman wali murid,” tambahnya.Gia memaksakan senyumannya. Dia merasakan Bianca seolah terus melangkah maju agar lebih dekat dengannya. Perlahan Gia mencoba menyingkirkan rasa curiga. Mungkin benar yang diucapkan Bianca, setidaknya dia punya teman sesama wali murid. Setidaknya juga, dia ta
Kedua bola mata Charlie hampir keluar dari tempatnya saat melihat jelas wajah Ray. Claire yang berada di sampingnya langsung menarik tangannya. “Lari, Charlie!” Tubuh keduanya langsung melesat menerobos kerumunan murid yang lainnya. Keributan dan kekacauan terjadi di sana. Suara teriakan dan kepanikan menggema.“Hei, jangan lari! Dasar kalian, anak-anak nakal!” teriak Ray keras.Kedua netra Ray menyipit mencoba menelusur ke mana arah perginya bocah yang membuatnya kesal. Kedua tangannya mengepal dengan gigi-gigi beradu keras. Mulutnya pun mengumpat kesal. Rencananya terganggu gara-gara kedua anak itu.“Sial, siapa dua bocah nakal itu? Kenapa aku harus bertemu dengan mereka lagi?” gerutunya. “Rencanaku mencari Gia jadi terganggu.”Sementara Charlie dan Claire bersembunyi di balik dinding menuju lorong kelas mereka. Napas keduanya terengah-engah, seraya menyandarkan tubuh mereka ke dinding. Claire mengintip ke arah lobi, memastikan pria itu tak mengejar masuk.“Sepertinya kita sudah se
"Kenapa kamu mencari ibuku?" Charlie bertanya pada Ray dan mengabaikan teguran saudari kembarnya.Ray tersenyum puas. Charlie menunjukkan sifat tertarik pada dirinya. Sementara Claire tetap memberikan tatapan tak suka dan curiga padanya.Keduanya benar-benar mewarisi sifat dirinya dan juga Gia. Charlie yang berhati lembut dan selalu penuh pertimbangan. Sedangkan Claire penuh kehati-hatian, seperti dirinya dan tak mudah percaya pada orang baru. Tak salah lagi, mereka memang anak-anaknya."Aku pernah melakukan kesalahan yang besar sekali dan mungkin tak termaafkan. Setelah Ibu kalian pergi, aku baru menyadarinya dan aku menyesal," ungkap Ray jujur."Itu hanyalah alasan orang-orang bodoh!" celetuk Claire sinis.Charlie menyikut kasar lengan saudarinya dan langsung mendapatkan pelototan protes Claire. "Apa? Aku benarkan? Itu hanya alasan klise. Dia pasti selalu bersikap angkuh dan arogan ... itulah sebabnya Ibu pergi," ujarnya beralasan."Kamu benar, Nak. Aku memang angkuh, sombong dan ar
“Tuan, Ray. Apa yang membawamu kemari?” tanya seorang wanita berusia sekitar 40 tahun, pakaiannya tampak formal dengan riasan yang sedikit tebal dan lipstik merah merona.Senyum Ray mengemang sempurna. Dia mengenali wanita itu yang merupakan kepala sekolah tempat si kembar berada. Ray sengaja memasuki sekolah setelah semua anak-anak pulang dan dia tak melihat keberadaan Gia.Bukan itu saja, Ray melihat si Kembar bersembunyi di ruang guru. Mereka pasti menghindari dirinya dan menunggu Gia menjemput. Ray pantang menyerah untuk mendekati si Kembar dan ini adalah kesempatan yang tepat menurutnya. Dia datang lebih awal.“Oh, Bu Jenny. Aku ingin menemui seseorang di sini, tetapi sepertinya mengalami kesulitan.” Ray bertanya dengan nada penuh ketertarikan.“Siapa dia?” tanya wanita bernama Jenny itu.Ray menggaruk ujung alisnya sebelum menjawab. Lalu melirik ke ruangan tempat si Kembar melihat. Dia sudah mengamatinya sejak tadi dan beruntungnya mengenal kepala sekolah itu.“Guru yang mengaja
“Apa itu? Hampir saja tak terlihat,” celetuk salah satu karyawan di ruang keamanan IT.Beberapa orang yang berada di sebelahnya langsung menoleh dan menatap layar di hadapan karyawan tadi. Tatapan karyawan tadi tampak tajam dan tangannya piawai mengetik beberapa rumus untuk mendeteksi pergerakan sinyal yang muncul pada data base-nya. Sementara mereka yang mendekat tadi melihat layar tersebut penasaran.“Mungkinkah itu penyusup yang mencuri data perusahaan?” tebak yang lainnya dan langsung dijawab anggukan rekan-rekannya.Karyawan tadi yang bernama James, tak menjawab. Dia masih menunggu layar monitor miliknya memproses data hingga selesai. Keningnya mengkerut, begitu juga dengan rekan-rekannya dan mereka dapat mengartikan hasil yang tertera di pada layar monitor tersebut.“Statusnya akses diizinkan? Siapa yang menerobos masuk cepat?” ujar James bingung.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian berkumpul dan terus berbual?” Suara lantang dan tegas hampir mengejutkan mereka yang tengah
Tanpa sadar Gia sudah memasuki akun miliknya yang tersambung dengan perusahaan Ray. Dia mencari tahu penyebab perusahaan itu menjadi tak stabil. Mungkin karena rasa penasarannya lebih tinggi dan kalah oleh perasaan sakit hati serta prinsip yang sudah dibuatnya, untuk tak terlibat dengan Ray.Matanya memicing, menelusur dan mencari penyebab kekacauan di sana. Hanya deretan angka dan huruf yang hanya dimengerti olehnya. Hingga akhirnya Gia menyadari hal ganjil di sana. Entah sadar atau tidak, tangannya menggeser mouse, hingga kursor pada layar laptopnya bergerak sesuai keinginan Gia. Layar di hadapannya menampilkan tanda sedang memuat data. Gia menatap layar laptopnya dengan cemas, seraya menggigit kuku jari jempolnya.“Apa ini?” gumam Gia sedikit terkejut.Gia berhasil menemukan sebuah data ilegal di sana dan menjadi penyebab keganjilan. Rasa penasarannya semakin meninggi membuatnya semakin jauh mencari tahu. Matanya terus tertuju pada layar dan tak berkedip sekali pun, menandakan dia
“Tapi, aku sudah tak memiliki wewenang untuk itu semua. Maaf.” Suara Gia terdengar berat dan sungkan.Adam mengangguk dan tetap tersenyum ramah. Dia bisa merasakan tatapan Gia, ada rasa berat, cemas, dan juga amarah yang terpendam. Tentunya, dia tahu apa yang alami Gia dulu.“Saya bisa mengerti, Nona Gia. Tidak perlu merasa bersalah,” ucap Adam mencoba memecahkan kecanggungan.Gia tersenyum tipis. Dulu, dia akan selalu terbuka pada Adam. Lelaki paruh baya di hadapannya begitu perhatian, bukan karena tugasnya sebagai asisten pribadi Wilson dulu. Akan tetapi, Gia merasakan tulusnya perhatian Adam, seperti seorang ayah pada anak perempuannya.Itulah kenapa Gia tak merasa cemas atau panik saat Adam muncul, walaupun di bagian dari perusahaannya Ray. Adam bisa menempatkan dirinya sebagai seorang pelindung dan profesional dalam pekerjaan. Gia pun akhirnya membalas senyuman tulus dan ramahnya Adam.“Astaga, aku lupa menyuguhkan minuman untukmu. Anda mau minum apa Pak Adam ... teh, kopi atau j
Napas Gia berembus cepat seiring dengan dadanya yang naik turun. Kesabarannya sudah habis, hingga amarahnya tak bisa lagi dibendung. Dia menatap murka pada Ray, seolah mengujinya.Namun, Ray hanya tersenyum tipis setelah menghapus darah yang mengucur di sudut bibir. Tamparan keras Gia, membuat kedua sudut bibirnya berdarah. Tak ada tatapan marah atau tak terima.“Kamu tersenyum?” tanya Gia sinis.“Tentu saja. Setidaknya sekarang aku tenang ... kamu menjadi lebih berani. Tetaplah menjadi kuat dan tangguh, Gia. Aku suka Gia yang sekarang,” jawab Ray terdengar penuh kebanggan.Kening Gia mengkerut dengan mata yang menyipit. “Apa yang kamu bicarakan?” geramnya.Ray tak segera menjawab. Dia seolah sengaja menarik rasa penasaran Gia, hingga wanita di hadapannya menatapnya curiga. Lelaki itu kembali tersenyum seraya membersihkan kacamata hitamnya.“Aku tak perlu lagi mencemaskanmu, karena sekarang Gia menjadi pemberani. Dia tak lagi menjadi wanita lemah dan pendiam seperti dulu. Teruskan men
“Aku tahu, kamu pasti sangat membenciku dan tak ingin melihatku. Tapi, harus kamu tahu ... aku benar-benar menyesali perbuatanku,” ucap Ray dengan nada rendah. “Aku terlambat menyadari kalau ternyata ... kamu sangat berharga.”Wajah Ray menunjukkan wajah sungguh-sungguh. Namun, Gia refleks tersenyum getir. Sikap Ray sekarang sangat berbeda sekali dengan yang dulu dan dia yakin sekali alasannya.“Berhentilah bersikap seperti ini, Ray. Aku tahu ini bukan dirimu! Sikapmu seperti seakan menunjukkan kalau kamu adalah pria munafik!” celetuk Gia tanpa rasa bersalah.Tatapan wanita bermata bulat itu menunjukkan rasa sakit hati yang mendalam. Sontak saja Ray terkejut dengan reaksi Gia. Bibirnya tampak bergetar dan tatapan matanya seolah menelusur dalam, seolah mencari sesuatu dalam diri Gia.“Kenapa kamu terlihat terkejut? Kamu pasti tak menyangka, jika wanita cacat yang sering kami hinakan dulu... si Pincang Gia, sekarang berani melawan.” Suara Gia bergetar menahan amarah.“Tadi kamu bilang a
“Ibu, itu dia orangnya.”Tatapan Gia langsung tertuju pada Ray yang berdiri di hadapan mobil sedan hitamnya. Claire menunjuk, saat mobil yang dikemudikan Gia mendekat gerbang sekolah. Seluruh tubuhnya terbakar dan refleks menginjak pedal rem.“Ternyata memang benar, itu adalah Ray,” batinnya.Perasaan Gia tak karuan, tetapi akal dan pikirannya bekerja lebih keras. Gia tak bisa lagi menghindar. Hanya memastikan kedua anaknya aman dan tak perlu bertemu dengan Ray.Dalam keadaan cemas dan panik, Gia mengedarkan pandangannya, mencari cara agar si kembar bisa masuk ke sekolah tanpa ketahui oleh Ray. Si kembar pun ikut mengikuti arah tatapan ibunya. Keduanya membantu mencari jalan keluar.“Sepertinya, kita bisa masuk melalui pintu gerbang samping itu,” ucap Charlie menunjuk arah samping gedung sekolah.Tatapan Gia pun tertuju ke sana. Perlahan, Gia mengarahkan kendaraannya ke arah tersebut, bertepatan dengan mobil lain yang melintas. Untunglah posisi Ray sedikit menjauh, jadi tak akan bisa
Perasaan Gia tak karuan, rasanya ingin mencecar kedua anaknya. Namun, sangat tak mungkin. Dengan perasaan cemas, dia mempelajari ulang hasil pencarian di sana.“Semuanya berawal dari nomor polisi kendaraan?” gumam Gia menemukan awal pencarian yang dilakukan si kembar pada laptop tersebut. Hasil pencarian di laptop menampilkan mobil sedan hitam metalik. Gia mencoba mengingat tentang kendaraan tersebut, mencari jawaban. Tiba-tiba, ingatan Gia tertuju pada saat menjemput si Kembar siang tadi.“Wajah mereka berubah dan seolah melarangku menoleh ke belakang,” gumam Gia penuh keyakinan. “Mungkinkah pria dewasa yang mereka maksud itu adalah Ray?”Praduganya justru semakin membuatnya bertambah cemas. Hal yang selama ini dihindarinya, kini sudah terjadi, pikirnya. Namun, tak ada pilihan selain menunggu pagi dan menanyai keduanya setelah bangun. Gia pun butuh beristirahat. Sayangnya, dia kesulitan memejamkan kedua bola matanya. Namun, rasa lelah dan cemas akhirnya membuat matanya terpejam.Ti