Suasana di mobil hening sejenak. Clara akhirnya memulai pembicaraan dengan bertanya, "Untuk apa kamu berbohong tentang Bianka?"Satya menoleh memandang Clara, lalu membalas dengan datar, "Bukannya kamu juga memanfaatkan pria lain untuk membuatku kesal? Apa kamu berani mengatakan bahwa pria itu benar-benar pacarmu?"Clara menginjak pedal gas dan menjawab, "Pria itu Roy. Kamu juga mengenalnya. Dia banyak membantuku saat berada di Luzano. Setelah aku kembali, kami tetap berhubungan."Satya adalah pria yang sensitif. Clara biasanya tidak suka menjelaskan, tetapi dia mengatakan begitu banyak tentang Roy. Ini menunjukkan satu hal ....Satya bertanya, "Dia pernah mengejarmu. Apa kamu jatuh cinta padanya?"Clara tidak menyangkalnya. Dia mengemudi sambil memperhatikan langit malam di luar, lalu menyahut dengan pelan, "Dia menjagaku di luar negeri. Apalagi, kami juga sama-sama sudah bercerai. Sangat mudah untuk memiliki rasa simpati satu sama lain. Aku pernah jatuh cinta padanya dan berpikir unt
Mendengar ini, Satya langsung mengakhiri panggilan. Dia mengambil kunci mobil dari tangan Clara, lalu berujar dengan cemas, "Joe ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang."Clara tidak bertanya dan hanya mengikuti Satya. Saat ini, Benira atau Bianka sudah tidak penting lagi. Putranya yang menjadi prioritas utama. Satya bahkan lupa bahwa dirinya telah minum alkohol. Dia menyalakan mobil dan duduk di kursi kemudi. Clara juga masuk ke mobil.Setelah mengencangkan sabuk pengaman, Satya menghubungi Malik. Dia tidak menyapanya dengan sebutan Pak Malik, melainkan langsung memanggil namanya. "Malik, kalau sampai Joe kenapa-napa, aku akan membuat perhitungan dengan Keluarga Sadali," ancam Satya.Di ujung telepon, Malik hanya diam.Satya melemparkan ponselnya, lalu menginjak pedal gas melajukan mobil BMV menuju rumah sakit.Jendela mobil diturunkan sehingga angin malam berembus masuk. Clara duduk di samping Satya. Dia terus diam. Pada saat berada di persimpangan berikutnya, sebuah telapak tangan
Renata tidak pernah menyangka ini akan terjadi. Dia terlahir di keluarga terpandang yang baik. Tidak pernah terlintas di kepalanya bahwa suatu hari, dia akan dipermalukan di depan umum, bahkan di hadapan keluarga suaminya sendiri. Renata bertanya dengan nada syok, "Kamu nggak takut Keluarga Sadali akan bertikai denganmu?""Takut apa?" balas Satya sambil menjambak rambut Renata dan menghantamkan kepalanya ke pintu.Kepala Renata langsung benjol. Dia berseru nyaring, "Jangan semena-mena! Apa sudah nggak ada hukum di sini?"Satya menekan kepala Renata dengan kuat, lalu menoleh pada Malik dan berkata, "Hukum? Kalian membawa putraku ke sini dan mengambil 500 mililiter darahnya tanpa izin. Inikah hukum yang kamu maksud?" Usai berkata begitu, Satya mendorong Renata dan menunjuk lurus ke arah Malik."Lain kali, kamulah yang akan kuhajar! Aku nggak peduli sekuat dan sebesar apa kuasa yang kamu miliki. Aku juga nggak peduli pada hidup matinya keturunan Keluarga Sadali. Itu nggak ada hubungannya
Raut wajah Vigo terlihat amat muram, sementara sudut bibir Malik terus berkedut. Dahulu, Malik menyukai pribadi Renata yang terpelajar dan bijaksana. Tak disangka, wanita itu berniat mengusir Clara dengan iming-iming 100 miliar."Tolol!" bentak Malik, tidak bisa lagi menahan amarahnya.Renata berkata sambil berlinang air mata, "Aku berbuat begitu juga demi kebaikan Keluarga Sadali."Veren tidak bisa menahan diri untuk ikut menimpali, "Clara itu anak kandung Ayah. Kamu nggak sepantasnya bertindak seperti itu."Renata memilih bungkam. Bagaimanapun, dia tidak ingin orang lain tahu tentang penderitaan yang dialaminya. Dia menutup bibirnya rapat-rapat, seakan-akan bertekad tidak mau mengakui kesalahannya.Satya berkata dengan nada mengejek, "Seratus miliar? Kamu kira aku miskin?"Dengan kebencian yang meluap-luap, Satya mengambil segepok uang dari dompet dan melemparnya ke wajah Renata. Ujung lembaran uang kertas yang cukup tajam itu menorehkan dua bekas luka di wajah halus Renata. Wanita i
Hati Clara terasa hancur. Air matanya terus mengalir, tetapi dia hanya menangis tanpa suara. Satya mengemudikan mobil sambil menggertakkan giginya. Dia ingin sekali menangkap semua anggota Keluarga Sadali dan menghabisi mereka satu per satu.Setengah jam kemudian, mobil mereka berhenti di kediaman Clara. Satya turun dan membukakan pintu kursi belakang. Joe sedang tidur di pelukan Clara. Bajunya dibasahi peluh di bagian punggung. Satya melepas mantel dan menyelimuti Joe. Kemudian, dia menggendong bocah itu. Clara mengikutinya dari belakang.Malam ini sangat hening. Saat mereka masuk, pembantu sedang menggendong Alaia yang terbangun. Keduanya sama-sama menunggu kepulangan mereka di ruang tamu. Alaia yang setengah terjaga memandang ke arah pintu yang terbuka, lalu memanggil Joe dengan suara kecil.Satya melangkah ke kamar utama sambil menggendong Joe. Clara pun menyusul dengan menggendong Alaia. Joe masih terlelap dengan wajah kelelahan."Kak Joe," panggil Alaia lagi.Satya menyelimuti Al
Clara berteriak. Dia berusaha mendorong Satya, tetapi tenaga Satya lebih kuat. Mana mungkin Clara bisa melawan Satya? Clara menghela napas dan menahan godaan Satya.Satya sudah lama tidak berhubungan intim. Awalnya, dia berniat untuk langsung menaklukkan Clara. Apalagi saat ini Clara sama sekali tidak mampu melawannya. Namun, Satya tidak ingin melakukannya dengan asal. Setelah berpisah selama beberapa tahun, Satya ingin bercinta dengan lembut. Dia ingin meninggalkan kesan yang menyenangkan untuk Clara.Sikap Satya pun melunak. Dia mencium bibir Clara dan bertanya dengan suara serak, "Apa kita mau melakukannya di ranjang?""Nggak mau," sahut Clara dengan suara bergetar. Dia memalingkan wajahnya, lalu memberanikan diri untuk membentak, "Satya, apa kamu menyuruhku antar selimut untuk melakukan hal ini?"Siapa sangka, Satya malah mengakuinya. Dia membalas, "Iya. Aku sudah lama menginginkannya."Satya ingin Clara menyentuh tubuhnya lagi. Dia menggenggam tangan Clara dengan erat sehingga Cla
Sebelumnya Vigo berusaha memendam perasaannya. Sekarang dia tidak bisa mengendalikan emosinya lagi. Vigo tidak bisa terima dirinya dikalahkan oleh Satya. Dia tidak mengerti sebenarnya apa kekurangannya dibandingkan dengan Satya. Vigo menghela napas.Aksa menghampiri Vigo. Dia merasa sedih ketika melihat ponsel Vigo yang hancur. Aksa berucap, "Pak, untuk apa kamu mengamuk seperti ini? Takutnya ponselmu nggak bisa diperbaiki lagi."Vigo memelototi Aksa sembari bertanya, "Ponsel bisa diperbaiki, bagaimana dengan perasaan orang? Memangnya kenapa kalau ponsel itu nggak bisa diperbaiki lagi?""Oke. Pak, jangan emosi lagi," timpal Aksa. Dia mengeluarkan kartu SIM dari ponsel Vigo, lalu membersihkan kepingan-kepingan ponsel yang hancur dan membuangnya ke tong sampah. Setelah selesai, Aksa melihat Vigo dan berpesan, "Pak, sudah waktunya istirahat.""Aku mau menenangkan diri sebentar," sahut Vigo. Aksa tertegun, lalu dia pergi sesudah berpikir sejenak.Vigo berdiri sendirian untuk waktu yang lam
Saat bangun keesokan paginya, Clara mengamati kondisi tempat tidur. Gaun tidur sutra yang dipakai Clara semalam sudah dilipat dengan rapi dan diletakkan di samping bantal. Namun, gaunnya berkerut karena ditarik Satya.Clara mengingat kembali kejadian semalam. Satya sama sekali tidak berubah. Awalnya, Satya masih memperlakukan Clara dengan lembut. Namun, akhirnya Satya mulai kehilangan kendali dan melampiaskan hasratnya dengan intens. Wanita biasa tidak mungkin mampu memenuhi hasrat Satya yang tinggi. Wajah Clara memerah begitu memikirkan hal itu.Clara tidak lanjut berpikir lagi. Dia memakai gaun tidurnya, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Clara membuka keran air dan memandang dirinya di cermin. Bahkan, gaun tidur yang dipakainya tidak bisa menutupi bekas-bekas di tubuhnya.Satya sangat mendominasi di atas ranjang. Walaupun Clara terus memohon, Satya juga tidak melepaskan Clara. Semua itu membuat wajah Clara memerah dan jantungnya berdegup kencang.Clara tidak menyesal. Bag