Malam itu, tidur Clara tidak tenang. Dia memimpikan ibunya yang melompat dari gedung.Ujung gaun ibu Clara berkibar tertiup angin malam kencang. Liliana, sang ibu, berujar pilu, "Roger, aku nggak berbuat kesalahan apa pun, semua ini adalah rencana licikmu.""Ibu ...," lirih Clara kecil sambil memeluk bonekanya. Clara tidak berani mendekat. Dia takut bila dirinya maju selangkah lebih jauh, ibunya benar-benar akan melompat, lalu dia pun akan kehilangan sang ibu.Liliana menoleh dan menatap putri bungsunya untuk terakhir kalinya, lalu berpesan dengan nada lembut, "Kakak akan menjagamu. Clara, tumbuhlah yang baik!"Angin bertiup kencang hari itu. Seiring dengan darah yang tertumpah, ikat pinggang Liliana terbawa angin dan melayang jauh."Ibu!" pekik Clara, seketika terjaga dari mimpi buruk. Punggungnya sudah dibasahi keringat dingin.Suasana di sekitar sangat hening, hanya terdengar hela napas pelan Joe yang diam-diam meredakan pedih di hati Clara. Dia perlahan merebahkan diri lagi. Ha
Clara mengabaikan Satya. Dia menekan bel dan meminta perawat untuk memberikan infus pada Joe.Bertepatan dengan itu, Gracia datang dan membawakan sarapan lengkap. Tahu bahwa Clara sedang marah pada Satya, dia pun berinisiatif berkata, "Sarapan ini aku yang bayar, jadi anggaplah aku yang membelinya. Jangan sampai Joe kelaparan, oke?"Clara sudah bukan lagi pribadi yang bertindak karena dorongan perasaan. Dia tidak menolak sarapan dari Gracia.Gracia yang memiliki dua orang anak sangat lihai membujuk orang. Dia menyajikan bubur sambil menghibur Joe. Bocah kecil itu pun segera melupakan masalah tadi dan menyapa Gracia dengan ceria."Bibi suapin bubur, boleh? Ayah dan ibumu mau bicara," bujuk Gracia.Joe adalah anak yang patuh, selain itu dia juga sangat menyukai Gracia. Jadi, dia duduk dengan manis dan membiarkan Gracia menyuapinya makan.Sementara itu, Satya dan Clara sudah keluar kamar untuk bicara. Sesampainya di ujung koridor, Clara berhenti melangkah dan berujar pelan, "Joe sudah bis
Di dalam kamar rawat.Clara mengejap pelan. Dia yang peka bisa menebak alasan Malik pergi dengan begitu terburu-buru. Itu mungkin karena wajahnya yang familier atau mungkin juga karena pria itu mengingat beberapa hal."Ibu, Ibu!" panggil Joe sambil menarik lengan baju Clara.Clara tersadar dari lamunannya. Dia lantas membungkuk dan menggendong Joe seraya berkata, "Ibu bawa kamu berjemur di lantai bawah, ya." Kemudian, Clara tersenyum menyesal pada Vigo.Vigo mengusap kepala Joe dan berkata dengan lembut, "Kakak bakal datang lagi nanti."Joe sudah pintar bersikap manja dengan menggosokkan kepalanya ke telapak tangan Vigo.Vigo menyusul Malik di halaman lantai pertama dan memanggilnya. Nama lengkap sang kakek adalah Malik Sadali. Pria itu sangat menyayangi Vigo. Ketika Vigo diramalkan akan terlahir dengan tubuh yang lemah, Malik sengaja mencarikan nama dengan arti yang bagus dengan harapan nama itu bisa melindungi Vigo.Malik berbalik badan. Untuk pertama kalinya, dia bicara dengan nada
Malik membelai lembut helai koran yang menguning itu. Sudut matanya dibasahi air mata. Apakah gadis kecil itu adalah anak yang terlahir dari hubungan satu malam itu? Anak yang hadir akibat kesalahannya?Malik sadar bahwa satu keputusannya akan mendatangkan perubahan yang sangat besar. Pada sore singkat itu, dia memikirkan jalan hidupnya, serta mempertimbangkan masa depan dan reputasinya. Malik tahu betul, jika dia mengakui Clara sebagai putrinya, Keluarga Sadali mungkin akan jatuh dalam kekacauan.....Sinar matahari terakhir sudah menghilang dari kaki langit.Veren berjalan masuk sambil membawa teh. Dia menyalakan lampu dan bertanya, "Ayah, langit sudah gelap. Kenapa Ayah nggak menyalakan lampu?"Di bawah pancaran terang lampu, wajah muram Malik yang masih mencemaskan peristiwa masa lalu terlihat kentara. Setelah diam beberapa lama, dia berujar dengan suara serak, "Ternyata Veren, ya! Mana Surya?""Surya sudah balik ke kantor," jawab Veren.Veren menaruh cangkir teh yang baru ke meja
Rambut hitam Veren tergerai bebas di atas bantal. Dia menyandar ke bahu suaminya dan berkata dengan lembut, "Iya, Ayah memang nggak bilang apa-apa, tapi aku bisa lihat kalau dia benar-benar ingin mengakui Clara. Mungkin Ayah hanya khawatir kita nggak senang.""Mana mungkin? Kalau bukan karena Clara, Vigo mungkin sudah nggak bersama kita," sahut Agus sambil tersenyum tipis.Veren memeluk Agus dengan erat. Dia sangat mencintai suaminya dan setiap anggota keluarga ini. Ya, dia bersedia membantu Malik menyelesaikan masalahnya.....Dua hari kemudian.Clara yang sedang memeriksa persediaan di kantor berkata pada asistennya, "Penjualan yang terlalu baik ternyata juga bisa jadi masalah. Bantu aku menghubungi pelukis di daftar ini, tanyakan apa mereka punya stok. Kalau nggak ada, nggak perlu memaksa. Butuh waktu untuk menciptakan karya baru."Si asisten mengiakan dan berjalan keluar. Namun, dia segera kembali dan berujar dengan nada canggung, "Bu Clara, Bu Veren ada di sini. Dia memberikan cek
Clara ingin mengabaikan pertanyaan Satya. Namun, dia tahu pria itu tidak akan menyerah sebelum diberikan penjelasan. Jadi, dia pun berkata, "Bu Veren membeli beberapa lukisan lagi, nggak aneh kalau aku menemaninya sebentar. Satya ... aku nggak perlu meminta izinmu untuk hal seperti ini, 'kan?"Satya tidak bertanya lebih jauh. Dia lantas mengubah topik dan berkata ingin bertemu Joe.Clara tidak melarangnya, tetapi dia berpesan, "Joe baru saja sembuh. Jangan biarkan dia main sampai berkeringat, kalau nggak dia akan mudah masuk angin."Satya mengangguk paham.Clara dan Satya keluar dari kafe itu bersama-sama. Penampilan keduanya terlihat sangat mengagumkan, membuat banyak orang yang melihat mereka diam-diam memendam iri. Hanya saja, tidak ada yang menyangka bahwa keduanya segera berpisah begitu keluar pintu.Satya pergi ke apartemen dan menemani Joe hingga larut malam. Hingga Joe tertidur, Clara masih belum pulang juga. Satya tahu wanita itu menghindarinya, tetapi hatinya tetap kecewa. Se
Aida tersadar dari lamunannya dan langsung merespons, "Sedang jaga anak, aku akan panggil dia."Malik mengangguk. Kebetulan saat ini Joe ingin minum susu, sehingga Clara menggendongnya keluar. Saat melihat Malik, Clara terlihat agak kelabakan. Botol susunya terjatuh ke lantai dan berguling. Malik berjalan ke arahnya, lalu membungkukkan badan untuk mengambil botol susu tersebut. Kemudian, dia berkata, "Harus cuci dulu sebelum dikasih ke anak."Clara masih terdiam. Sementara itu, Aida telah bereaksi dan berbicara dengan tergagap-gagap, "Nggak pantas menyuruhmu melakukan sesuatu. Letakkan saja, biar aku yang kerjakan."Namun, Malik malah sudah menemukan dapur mereka. Sambil mencuci botol susu, dia berkata, "Waktu Vigo lahir dulu, aku juga yang cuci botol susunya. Namanya Joe, bukan? Sebagai kakeknya, tentu saja aku harus perlakukan dia dengan baik!"Aida sontak terkejut. Astaga, apa yang telah didengarnya tadi? Kakek Joe? Bukankah ini artinya, Clara adalah putri kandung Malik? Aida benar-
Setelah Clara masuk ke rumah, Aida menyambutnya dengan kegirangan. "Kenapa Malik bisa jadi ayah kandungmu? Wah, orang sehebat apa dia di Kota Brata ini!"Aida menggendong Joe dan terus menciuminya. Setelah itu, dia berkata dengan sangat gembira, "Joe sudah ada kakek, nggak ada lagi yang akan berani menindas kalian! Siapa pun yang berani menindas Joe, suruh kakekmu untuk menghabisinya!"Kemudian, dia tiba-tiba teringat dengan sesuatu dan berpura-pura mengeluh, "Dia sudah susah payah datang, tapi kamu malah nggak tawarin minum sama sekali. Lain kali nggak boleh begitu lagi ya."Clara duduk di kursi sambil termenung sampai cukup lama .... Aida kembali bermain-main dengan Joe.....Seminggu kemudian, Keluarga Sadali menelepon mengatakan bahwa mereka mengundang Clara beserta anak-anak untuk makan di rumah, sekaligus membahas perkenalan Clara di pesta nanti. Veren berbicara dengan tulus, "Kamu nggak usah khawatir akan merebut perhatian dariku. Ulang tahunku bisa diadakan setiap tahun, tapi b