Saat melihat Dian, Annika teringat dengan masa-masa yang suram itu. Annika menarik jaketnya, lalu berkata dengan datar, "Kamu tidak usah bicara seperti itu. Aku mau ikut kamu pergi hanya karena anak-anak, bukan karena kamu."Dian merasa terharu ketika mendengar Annika bersedia mengikutinya pulang. Dian menimpali, "Aku tahu."Hati Annika tidak tergerak meskipun Dian sudah merendahkan dirinya. Kemudian, Annika naik ke mobil. Hanya saja, dia tetap terdiam. Sementara itu, Dian tampak ragu-ragu saat hendak berbicara. Akhirnya, dia mendesah dan berucap, "Annika, aku tahu kamu membenciku."Annika memalingkan wajahnya. Dia memandang pemandangan bersalju di luar sembari berujar, "Aku nggak akan bisa melupakan masa-masa itu selamanya. Jadi, aku nggak bisa memaafkanmu."Dian menutup wajahnya dengan kedua tangan. Mungkin karena sudah berumur atau pernah mengalami trauma, Dian mulai merindukan Annika yang masih muda. Dulu, Annika selalu memanggil Dian dengan lembut. Jelas-jelas, Dian sangat menyuka
Selesai bicara, Zakki lanjut membelai tubuh Annika. Tubuh Annika pun takluk dan dia mendesah. Namun, Annika yang masih bisa berpikir secara rasional tahu bahwa mereka tidak boleh melakukan hal ini lagi.Pintu kamar tidak ditutup dengan rapat dan Zakki masih belum menghentikan gerakan tangannya. Annika tidak berani membayangkan jika ada orang yang tiba-tiba masuk ke kamar. Dia pasti akan merasa sangat malu. Annika terpaksa menampar Zakki untuk menyadarkannya.Zakki langsung sadar. Dia menatap Annika, sepertinya dia tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. Namun, tangannya masih menyentuh tubuh Annika. Mereka berdua merasa canggung saat Zakki menarik tangannya. Zakki sangat menginginkan Annika, sedangkan Annika merasa malu.Kemudian, Annika menegur, "Sudah cukup kamu mempermainkanku? Kalau sudah, cepat lepaskan aku."Zakki berbaring di tempat tidur. Pakaiannya sudah dibasahi oleh keringat, tetapi saat ini Zakki terlihat seksi. Zakki membiarkan Annika turun dari tempat tidur, dia melih
Dian yang merasa kecewa menyahut, "Kenapa begitu cepat? Lebih baik kamu istirahat dulu, nanti kamu baru pergi waktu pagi."Annika memakai sepatunya, lalu menimpali, "Aku rasa kurang pantas kalau aku tinggal di sini. Aku datang ke sini juga karena anak-anak, bukan untuk balikan dengan Zakki. Jadi, nggak pantas kalau aku berlama-lama di sini."Sikap Annika memang terlihat tegas, tetapi sebenarnya dia merasa sangat sedih. Raditya tidak ingin memaksa Annika. Setelah berpikir sejenak, dia mengusulkan, "Annika, kami sudah merepotkanmu semalam. Kamu jangan pulang sendiri, biar aku yang antar kamu pulang saja."Annika menolak dan meminta sopir untuk mengantarnya pulang. Namun, Raditya tetap bersikeras. Mungkin, dia juga tidak ingin tinggal di sini dan terus bertengkar dengan Dian. Akhirnya, Annika pun menyetujui usulan Raditya.Saat Annika naik ke mobil, langit mulai terang dan terdengar suara ayam berkokok. Sesampainya di depan vila Annika, cahaya matahari bersinar terang.Shinta tidak tidur
Raditya tidak mengganggu Zakki. Tak lama kemudian, Raditya baru bertanya, "Apa Annika yang menulis buku harian itu?"Zakki mengangguk dan menyahut, "Iya. Dia menulisnya waktu muda. Dulu, aku pernah berbuat salah dan mengucapkan sesuatu yang kasar. Annika marah, lalu membakar buku harian ini sehingga menjadi seperti ini sekarang."Selesai bicara, Zakki terdiam untuk waktu yang lama. Jika kelak dia tidak bisa sembuh lagi, apa dia harus mengandalkan barang-barang ini untuk melepas kerinduannya kepada Annika? Apa Annika akan mencintai pria lain?Raditya tahu apa yang dipikirkan Zakki. Dia menghibur, "Kalau kamu nggak bisa melupakan Annika, jaga kesehatanmu. Mungkin saja kamu bisa sembuh. Lagi pula, kamu dan Annika saling mencintai. Annika nggak akan menganggap kamu sebagai beban. Zakki, seorang wanita nggak bisa terus menyia-nyiakan masa mudanya. Kamu selalu membuat Annika menunggu dan mengusirnya. Nanti kamu pasti menyesal."Raditya merasa sedih. Dia memandang ke luar jendela, lalu beruca
Sore hari, sebuah mobil Rolls Rayce silver melaju memasuki pekarangan dan parkir di depan vila.Zakki sudah menunggu sedari tadi sambil duduk di kursi roda. Dia mengenakan kemeja putih dan jaket abu tua. Di bawah langit senja, dia terlihat sangat menawan.Ketika pintu mobil dibuka, Ariel turun dan langsung memeluk Zakki. Pelukan mereka begitu erat, mungkin karena sudah berhari-hari tidak bertemu.Zakki mengelus kepala Ariel, lalu menyipitkan matanya. Kemudian, terlihat seorang pria yang sangat muda turun dari kursi kemudi. Pria itu terlihat seperti seorang pebisnis. Dia cukup tampan dan berwibawa. Tampaknya dia bukan sopir, tetapi Annika memintanya untuk mengemudi.Kala ini, Annika menggendong Jose turun dari mobil. Lantaran tahu apa yang sedang Zakki pikirkan, dia langsung berujar, "Perkenalkan, dia John, asisten pribadiku.""Halo, aku Zakki, mantan suami Annika," tutur Zakki dengan bijaksana. Setelah saling menyapa, Zakki memandang John seraya berbisik kepada Annika, "Bukankah dia te
Seketika, Ariel kaget usai menyadari sesuatu. Ayahnya makan dengan tangan kanan. Bukankah tangan kanan Zakki tidak bisa digerakkan?Gadis berusia 6 tahun ini sudah pintar menyembunyikan perasaannya. Dia makan dengan kepala tertunduk. Lantaran merasa sangat gembira, dia makan dua piring nasi dan menyendokkan dua potong daging berlemak untuk Jose. Akan tetapi, Jose tidak suka makan daging berlemak.Setelah makan malam, Zakki membawa kedua anaknya ke lantai atas. Yang satu merangkak sambil bermain di karpet, yang satu mengerjakan tugas sekolah dibimbing oleh Zakki.Zakki lulusan dari universitas ternama dan sangat pintar. Hal ini membuat Ariel makin mengagumi ayahnya. Dia menyodorkan pensil ke tangan Zakki. Zakki memandang pensil di tangan kanannya, lalu menatap Ariel. Putrinya baru berusia 6 tahun, tetapi dia sudah bisa menyadarinya!Sebagai seorang ayah, Zakki tentu merasa sangat bangga. Dia tidak ingin mengacaukan niat putrinya dan lanjut mengajarkan soal matematika. Ariel sangat pinta
Alih-alih merawat Clara, lebih tepat mengatakan bahwa perawat pribadi itu ditugaskan untuk mengawasinya. Selain saat Satya berada di rumah, Clara sama sekali tidak memiliki kebebasan. Satya memberinya makanan dan pakaian mewah, tetapi wanita itu tetap kaku seperti boneka.Ini pertama kalinya Annika bertemu dengan Clara. Wanita itu lebih muda dan mungil dari bayangannya. Kulitnya sangat putih dan wajah cantiknya tampak rapuh.Di malam selarut ini, Clara memainkan piano dengan tubuh berbalut piama sutra berwarna putih. Piamanya longgar dan sama sekali tidak menunjukkan tanda bahwa dia tengah hamil enam bulan. Di sofa sampingnya, Satya yang mengenakan kemeja dan celana panjang duduk memangku laptop. Dia bekerja sambil menemani istrinya. Atmosfer di sana terlihat sangat harmonis."Kak!" panggil Annika dengan suara lembut.Satya perlahan mendongak dan memandang ke arah adiknya. Fakta bahwa Annika bisa menemukan tempat ini tidak mengejutkannya. Sepasang kakak dan adik itu beradu pandang seje
Bertepatan dengan terlontarnya kata-kata Satya, pelayan datang dengan membawa sepiring pangsit. Annika sama sekali tidak menyentuh makanan itu. Dia menatap Satya lekat-lekat, merasa kakaknya telah berubah. Dengan bibir bergetar, dia bertanya dengan lirih, "Kak, kamu yakin hubunganmu dengannya ini hanya demi balas dendam?""Ya!" sahut Satya dengan cepat.Annika tersenyum sedih, lalu berkata, "Kamu nggak berani jujur. Begitu kamu mengaku kalau kamu menyukainya, kamu akan menyalahkan diri sendiri dan terpuruk. Karena kamulah yang membuat dia jadi seperti ini!"Annika sangat sedih. Dia tahu betul bahwa menipu diri sendiri tidak semudah menipu orang lain. Dia yakin Satya juga sangat tersiksa.Annika tidak ingin tinggal lebih lama. Dia segera meraih kopernya dan berujar pelan, "Asistenku masih menunggu di luar. Kak, kamu bisa menyembunyikannya untuk sementara waktu, tapi apa kamu bisa melakukan ini seumur hidup?" Usai berkata begitu, dia segera melangkah pergi."Annika!" panggil Satya dengan