Sambungan telepon itu terputus bersamaan dengan pintu yang terbuka. Mata Leah yang menoleh ke arah pintu telah mendapati Michelle bersama Celine.“Kau sudah selesai melalukan yang Mommy katakan?” tanya Michelle sembari berjalan menghampiri.“Sudah, Mom,” ucap Leah menurunkan handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Mata Michelle fokus kepada handphone-nya yang dipegang Leah. “Kenapa handphone Mommy ada padamu? Apa Grandma Alins menelepon?” dia menebak.Mulut kecil Leah sudah terbuka ingin bersuara. Sayangnya, dia terhalangi oleh Celine yang lebih dahulu berkata-kata.“Kau masih menyimpan pakaianku yang tertinggal di rumahmu ‘kan, Michelle? Aku tidak banyak membawa pakaian.”“Aku menyimpannya di lemari yang di sebelah kiri.” Michelle menunjuk ke arah yang dimaksud.“Kalau begitu aku mau mandi dulu,” ucap Celine berlalu pergi menuju kamar mandi yang ada di kamar itu.Michelle kembali fokus pada putrinya. Dia memilih duduk di tepian ranjang tidur—tepat di sebelah Leah yang duduk.“Bi
“Argghhh! Minum bir dingin saat lelah adalah pilihan yang sempurna!”Michelle tersenyum sinis mengejek Celine yang berdecak senang pada sekaleng bir. Wanita cantik yang mengenakan piyama itu telah berhasil menidurkan putrinya. Dia berakhir duduk di meja makan bersama Celine yang mengajaknya.“Kau tidak mau minum, Michelle?” tanya Celine yang berhasil menghabiskan kaleng pertama bir yang dibawanya sendiri.“Besok aku bekerja, aku tidak mau bangun kesiangan.” Michelle menolak.“Kau harus meningkatkan level daya minummu, Michelle. Apa yang kau minum saat menemani bosmu dalam jamuan bisnis?” sorot mata sinis Celine begitu nyata mengejek Michelle.Wanita itu selalu kesal setiap kali menikmati alkohol bersama Michelle, dia tidak memiliki teman yang sebanding. Dia selalu minum dan berakhir mabuk sendirian. Sedangkan Michelle selalu menonton dan membantunya yang mabuk.Walau seperti itu, Celine pernah beberapa kali berada di posisi Michelle. Dia menonton Michelle yang mabuk hanya dalam dua ge
~ Beberapa hari kemudian ~Di meja makan, Michelle tak henti-hentinya menatap handphone-nya yang di letakkan di sebelah piring. Sejak duduk dia tidak fokus menikmati sarapan, berulang kali Michelle memegang handphone kemudian meletakkan dan menatapnya intens.“Kau menunggu telepon dari siapa?” Celine menegur karena sudah risih.“A-aku hanya memeriksa email,” jawab Michelle gugup.“Mom, besok Axel berulang tahun. Aku ingin membeli hadiah untuknya. Mommy sudah janji akan menemaniku membeli kado Axel.” Leah dengan naifnya menagih janji.“Mommy akan pulang cepat hari ini agar bisa menemanimu. Tapi, tidak apa-apa kan pulang sekolah nanti kau dijemput oleh Bibi Celine?” tanya Michelle lembut pada Leah yang duduk di sebelahnya.Leah mengangguk. “Tidak masalah, Mom!”“Kalau begitu cepat habiskan sarapanmu agar tidak terlambat ke sekolah.”Senyuman manis Michelle lenyap setelah Leah memalingkan wajah. Perhatiannya pun kembali fokus pada handphone yang layarnya sengaja dinyalakan, memeriksa sebu
Di meja kerjanya, Michelle sedang memijat kepalanya yang pusing. Kepalanya sakit setelah berdebat dengan Roland keras kepala.Awalnya, Michelle yang sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan dibuat terkejut oleh Roland yang menghubungi. Jantungnya berdebar dan merasa gugup sampai bingung menyapa seperti apa. Michelle yang berhasil menata perasaannya berakhir lembut menjawab telepon itu.Tetapi, kelembutannya itu disambut keegoisan Roland yang tak terbantah.Jantung Michelle tak berhenti dibuat tenang oleh Roland yang ingin datang ke rumah. Sehingga dengan terpaksa Michelle menyetujui bahwa dia yang akan datang ke tempat Roland.Michelle telah berjanji akan menemani Leah membeli hadiah untuk Axel. Tapi, realitanya Michelle harus memenuhi permintaan Roland.Michelle terpaksa membatalkan janjinya pada Leah?Sungguh! Michelle tak sanggup membayangkan rasa kecewa putrinya. Pekan lalu Michelle telah melakukan hal serupa dan kali ini pun dia kembali melakukannya. Dan semua itu karena satu orang e
Taksi yang ditumpangi telah mengantarkan Michelle di depan gedung mewah yang berada di kawasan elite, di mana gedung itu bersebelahan dengan mall ternama di pusat kota Los Angeles.Michelle sangat tahu kawasan itu adalah hunian mewah dari orang-orang berduit. Dan tidak mengherankan jika Roland memiliki tempat tinggal di salah satu gedung mewah itu.Hanya saja, Michelle dihantui perasaan bersalah ketika melihat mall megah di sebelah gedung. Dia kembali dihantui perasaan bersalah pada Leah.Michelle keluar dari taksi setelah membayar ongkos kepada sopir. Wanita cantik yang masih memakai pakaian blouse formal itu berjalan ke dalam gedung.“Nona Michelle Loiuse?” sapa seorang pria di lobby gedung.Michelle menoleh dan memindai pria berjas rapi itu. Dia mengingat pria itu adalah salah satu asisten pribadi Roland yang menemani di malam kecelakaan waktu itu.“Ya?!” Michelle menyahut tenang.“Saya asisten pribadi Tuan Roland. Beliau menyuruh saya untuk menjemput Anda di sini dan mengantar Anda
Celine menjambak rambutnya karena frustrasi tak bisa menemukan Leah. Dia sudah memucat, sementara matanya masih sibuk mencari-cari keberadaan Leah dalam kerumunan pengunjung.Padahal Celine tidak begitu lama meninggalkan Leah. Dia sampai terburu-buru di toilet demi tak terlalu lama membiarkan Leah sendiri. Namun, Celine berujung panik tidak menemukan Leah di depan ruangan toilet.“Apa Leah sudah bertemu dengan Michelle, ya?” Celine berpendapat sendirian.Wanita itu baru teringat untuk memastikan langsung dengan cara menghubungi Michelle. Sehingga tanpa menunda Celine mengambil handphone-nya dari tas yang dipakai.Ketika nada sambung terdengar, Celine tak menyadari telah menggigit kuku dari ibu jarinya. Itu adalah kebiasaan Celine ketika dalam dirundung rasa gelisah.“Ya, Celine?!”“Leah sudah kau jemput, ya?” Celine langsung menyahut dengan nada cepat.Tanpa diketahui oleh Celine, Michelle sudah diserang kebingungan yang nyata. “Apa maksudmu?”“Jangan bercanda ya, Michelle! Aku sudah
“Tuan, Tuan Besar sedang menuju ke sini.”Roland seketika tersadar oleh perkataan Daniel yang mengejutkan. Dia menoleh, mendapati Daniel baru saja menurunkan handphone dari sisi kirinya sementara matanya sudah menatap cemas.“Kau sudah katakan padanya jika aku tidak ingin diganggu?” Roland melayangkan tatapan tajam sembari berdiri tegak.“Saya sudah memberitahu beliau, Tuan.”Lidah Roland mendecak kesal, sementara di dalam hati dia telah menggerutu marah. Dia sangat tahu ayahnya tidak akan tinggal diam jika keinginannya tidak terpenuhi. Roland tidak heran Jullian akan menyusulnya dan mungkin saja nanti akan memaksa.Hanya saja, dia yang sudah lelah tidak bisa diberi waktu menenangkan diri. Emosinya terus dipermainkan oleh orang-orang yang egois. Selain itu, keberadaan gadis kecil yang menatapnya naif bisa menimbulkan permasalahan baru.“Kau tunggu si tua itu di depan lift, katakan padanya aku sedang menerima telepon penting. Aku akan menyembunyikan anak ini di ruang kerjaku,” titah Ro
Leah sudah menekuk wajahnya yang memerah marah, sementara bibir mungilnya sedikit mengerucut karena kesal.“Paman! Ini bukan waktunya Paman bertanya-tanya padaku! Seharusnya saat ini Paman menepati janji padaku!” Leah bersungut-sungut kesal dengan kedua tangan berkacak pinggang.Bibir Roland berkedut bersamaan dengan jiwanya tergilitik oleh tingkah Leah. Pria tampan yang masih memakai setelan jas itu tertawa lemah kemudian duduk di sebelah Leah.“Kau yang sekecil ini berani memprotesku?!” Roland mencubit gemas pipi Leah.Leah menepis kesal dengan wajah masam. “Aku bukan anak kecil, Paman! Usiaku sudah lima tahun.”Roland kembali tertawa menanggapi dan mencubit gemas Leah, tak peduli bagaimana sebelumnya Leah telah menepis tangannya. “Siapa namamu? Dari tadi aku belum tahu namamu.”Leah mendengkus kesal, sementara matanya telah memicing kesal. “Paman benar-benar tidak tahu siapa aku?”Roland menggeleng. “Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu.”“Baiklah! Tapi, Paman harus janji k