Gimana gimana gimana? Mau lanjuttttt enggak?
Celine menjambak rambutnya karena frustrasi tak bisa menemukan Leah. Dia sudah memucat, sementara matanya masih sibuk mencari-cari keberadaan Leah dalam kerumunan pengunjung.Padahal Celine tidak begitu lama meninggalkan Leah. Dia sampai terburu-buru di toilet demi tak terlalu lama membiarkan Leah sendiri. Namun, Celine berujung panik tidak menemukan Leah di depan ruangan toilet.“Apa Leah sudah bertemu dengan Michelle, ya?” Celine berpendapat sendirian.Wanita itu baru teringat untuk memastikan langsung dengan cara menghubungi Michelle. Sehingga tanpa menunda Celine mengambil handphone-nya dari tas yang dipakai.Ketika nada sambung terdengar, Celine tak menyadari telah menggigit kuku dari ibu jarinya. Itu adalah kebiasaan Celine ketika dalam dirundung rasa gelisah.“Ya, Celine?!”“Leah sudah kau jemput, ya?” Celine langsung menyahut dengan nada cepat.Tanpa diketahui oleh Celine, Michelle sudah diserang kebingungan yang nyata. “Apa maksudmu?”“Jangan bercanda ya, Michelle! Aku sudah
“Tuan, Tuan Besar sedang menuju ke sini.”Roland seketika tersadar oleh perkataan Daniel yang mengejutkan. Dia menoleh, mendapati Daniel baru saja menurunkan handphone dari sisi kirinya sementara matanya sudah menatap cemas.“Kau sudah katakan padanya jika aku tidak ingin diganggu?” Roland melayangkan tatapan tajam sembari berdiri tegak.“Saya sudah memberitahu beliau, Tuan.”Lidah Roland mendecak kesal, sementara di dalam hati dia telah menggerutu marah. Dia sangat tahu ayahnya tidak akan tinggal diam jika keinginannya tidak terpenuhi. Roland tidak heran Jullian akan menyusulnya dan mungkin saja nanti akan memaksa.Hanya saja, dia yang sudah lelah tidak bisa diberi waktu menenangkan diri. Emosinya terus dipermainkan oleh orang-orang yang egois. Selain itu, keberadaan gadis kecil yang menatapnya naif bisa menimbulkan permasalahan baru.“Kau tunggu si tua itu di depan lift, katakan padanya aku sedang menerima telepon penting. Aku akan menyembunyikan anak ini di ruang kerjaku,” titah Ro
Leah sudah menekuk wajahnya yang memerah marah, sementara bibir mungilnya sedikit mengerucut karena kesal.“Paman! Ini bukan waktunya Paman bertanya-tanya padaku! Seharusnya saat ini Paman menepati janji padaku!” Leah bersungut-sungut kesal dengan kedua tangan berkacak pinggang.Bibir Roland berkedut bersamaan dengan jiwanya tergilitik oleh tingkah Leah. Pria tampan yang masih memakai setelan jas itu tertawa lemah kemudian duduk di sebelah Leah.“Kau yang sekecil ini berani memprotesku?!” Roland mencubit gemas pipi Leah.Leah menepis kesal dengan wajah masam. “Aku bukan anak kecil, Paman! Usiaku sudah lima tahun.”Roland kembali tertawa menanggapi dan mencubit gemas Leah, tak peduli bagaimana sebelumnya Leah telah menepis tangannya. “Siapa namamu? Dari tadi aku belum tahu namamu.”Leah mendengkus kesal, sementara matanya telah memicing kesal. “Paman benar-benar tidak tahu siapa aku?”Roland menggeleng. “Jika aku tahu, aku tidak akan bertanya padamu.”“Baiklah! Tapi, Paman harus janji k
Secara spontanitas Roland mengembuskan napas lemah yang penuh penyesalan. Dia benar-benar tidak ingin menciptakan kesedihan pada gadis kecil itu.“Sebenarnya di mall tadi aku tidak sedang bersembunyi dari tante penculik. Aku sedang bersembunyi dari teman mommy-ku,” jelas Leah yang mengaku jujur.“Kenapa kau melakukan itu? Bagaimana jika tadi yang menolongmu bukan aku?” Roland menagih penjelasan.“Hari ini Mommy sudah berjanji menemaniku membeli hadiah dan makan ice cream di mall itu. Tapi, lagi-lagi Mommy tidak bisa memenuhi janji karena pekerjaan. Pekan lalu Mommy juga tidak bisa menepati janji mengajakku bermain karena bos memaksa Mommy bekerja sampai malam.”“Mommy terburu-buru ingin menitipkanku ke rumah grandma dan grandpa, karena terburu-buru itu Mommy tidak sengaja menabrak mobil lain. Aku sangat takut saat itu. Besoknya, Mommy mengajakku membuat makanan yang aku inginkan. Tapi, Mommy ditelepon oleh bos Mommy untuk bekerja.”“Aku kecewa pada Mommy, tapi aku juga tidak ingin menj
Kaos berkerah putih dipadukan celana panjang berwarna cream menjadi Outfit casual yang dipilih Roland ketika pergi bersama Leah. Meskipun tidak seformal penampilan sehari-hari, ketampanan dan wibawa Roland tak memudar sedikit pun.Dia sengaja berpakaian tak menonjol karena tak ingin mencuri perhatian dari pekerja di mall yang mereka kunjungi. Pria itu ingin santai menikmati hal baru yang pertama kali dilakukan. Tetapi, hal itu percuma dilakukan karena wajahnya masih tetap dikenali.“Kau mau beli hadiah apa untuk temanmu?” tanya Roland sembari berjalan di area lobby.“Aku mau membeli lego sebagai hadiah. Temanku itu sangat suka merakit lego.” Leah antusias mengadu sampai tanpa sadar mengencangkan genggamannya di genggaman tangan Roland. “Tokonya ada di lantai empat, Paman!” lanjutnya dengan wajah berseri-seri tak sabar.Roland mengulas senyuman cerah. “Ayo kita ke sana sekarang!”Roland hanya tertuju pada Leah berjalan keriangan. Dia bahkan tertawa lemah saat ditarik oleh Leah yang tak
Seperti sebelumnya, Roland tak bisa menolak Leah yang tersenyum ceria. Dia heran pada gadis kecil yang seperti tak kehabisan tenaga, padahal di arena permainan Leah begitu bersemangat.Dan ketika tiba di tempat tujuan, Roland kembali dibuat terkejut oleh Leah. Dia mengira tempat ice cream itu merupakan sebuah outlet yang bernuansa khas restoran, melainkan sebuah counter kecil yang berada agak di sudut ruangan lantai itu.“Paman mau ice cream rasa apa?” Leah menarik perhatian Roland yang melamun.“Kau saja yang makan. Kau mau rasa apa?” Roland menolak lembut.“Bukankah Paman belum makan malam? Ice cream ini bisa jadi makan malam kita, Paman.”“Bagaimana bisa ice cream bisa dijadikan makan malam?” ujar Roland bernada mengejek.“Paman coba saja dulu. Setelah memakan habis ice cream pasti Paman percaya padaku.”Hah! Baiklah, tidak ada salahnya mencoba.Satu cone ice cream rasa strawberry dan vanila dipesan oleh Roland. Pria itu terkejut ketika membayar kedua ice cream yang seharga empat d
Roland telah sempurna memarkirkan mobil yang dikemudikan sendiri di garasi penthouse-nya. Pria itu menatap ke cermin dashboard sembari melepaskan seat belt, melirik Leah yang duduk di kursi penumpang belakang.Gadis kecil itu akhirnya tertidur pulas setelah lelah bermain. Dia memeluk sebuah boneka hasil dari memainkan permainan di mall tadi.Roland mematikan mesin mobilnya lalu beranjak keluar. Pria itu membuka pintu belakang di mana Leah tertidur pulas, kemudian menggendong Leah dengan gerakan sangat berhati-hati karena tak ingin mengganggu tidurnya yang damai.Ketika tiba di penthouse, Roland tak berpikir panjang membawa Leah ke kamar tidurnya. Gadis kecil itu dibaringkan ke ranjang yang didominasi aroma maskulin Roland.Leah merengkuh kenyamanan di ranjang empuk yang memanjakan itu, sementara Roland memandangi Leah.Pria itu masih merasa terkejut setelah mengetahui Leah adalah putrinya Michelle. Dia benar-benar tak menyangka bertemu putrinya Michelle dengan cara yang tak terduga. Ke
“Sebaiknya kita ke kantor polisi sekarang!”Michelle tak bisa tenang ketika waktu sudah hampir menuju sepuluh malam Leah juga belum kembali apalagi ditemukan. Padahal sebelumnya wanita cantik itu masih bisa berpikir jernih dengan tidak terburu-buru mengambil keputusan.Alins dan Danny yang ada di sana terlihat tak setuju pada keputusan Michelle. Terutama Alins, sehingga dia tak ragu mencegah Michelle yang sudah beranjak dari duduknya.“Kita tunggu lima belas sampai tiga puluh menit lagi.”Michelle terhenti dari keinginannya menuju ke kamar mengambil dompet, kemudian menoleh ke arah Alins yang duduk di sebelah Danny.“Ini sudah hampir jam sepuluh malam, Bibi Alins. Bagaimana jika terjadi sesuatu hal buruk dengan Leah?” protesnya bernada kesal.“Tidak terjadi hal buruk pada Leah, karena dia adalah anak yang pintar.” Alins berusaha menenangkan Michelle ketika berjalan mendekati. “Kita pasti sudah mendapatkan telepon jika Leah mengalami hal yang buruk. Buktinya sampai sekarang kita belum
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta
~ Satu jam sebelumnya ~Tepat di sebelah ranjang, Roland masih setia menemani Michelle. Pria itu tak bosan duduk di kursi sembari menatap Michelle yang tertidur lelap. Sesekali dia membelai pipi ataupun mengusap kepala Michelle ketika wanita itu bergerak gelisah dalam tidurnya.Dia berusaha tak menimbulkan suara apa pun yang mengusik kedamaian Michelle. Walau rasanya suara apa pun tak akan membuat Michelle sampai terbangun, karena Michelle bukanlah tipe orang yang sensitif saat tertidur.Ketukan pintu yang terdengar membuat Roland reflek mengalihkan pandangan. Dia melayangkan tatapan tajam kepada Daniel yang masuk dengan hati-hati. Roland juga memberikan kode kepada Daniel lewat telunjuknya yang menempel di bibir.“Jangan berisik! Michelle sedang tidur,” seru Roland mendikte tegas lewat tatapan sinis.Daniel yang mengangguk patuh tak mau membela diri atas sikapnya yang sudah hati-hati. Dia memilih untuk meletakkan barang-barang yang di bawa ke sudut santai ruangan kamar inap itu.“Apa
“Keluarlah!” David mengusir dengan acuhnya. “Sebaiknya kau desak tim legal untuk segera menyelesaikan masalah ini. Tekan juga tim IT dan humas untuk menghapus segala pemberitaan,” lanjutnya memberi perintah.David tak menggubris sahutan wanita itu karena muak dan tak puas pada kinerja wanita itu.Diselimuti keheningan yang mendominasi, David kembali terfokus pada pemikirannya mengenai Michelle.Jika memang benar sesuai, sangat tepat jika dia menilai kemarahan Roland bersinggungan dengan Michelle.David tak bisa melupakan bagaimana pasrahnya Michelle dalam pelukan dan gelutan bibir Roland. Dia juga tak bisa menghapus bagaimana emosi memuncak ketika Roland mengadukan hubungan yang terjalin dengan Michelle.Satu-satunya tindakan yang tepat dilakukan adalah menemui Michelle dan mengonfirmasi secara langsung.Sayangnya, wanita itu masih belum menunjukkan batang hidungnya di firma hukum. David semakin bertanya-tanya mengenai keadaan Michelle. Rasa penasarannya terdesak oleh pemberitaan meng
“Apa yang kau katakan?”Ella seketika beranjak dari tepian ranjang. Wanita yang baru saja menenangkan diri dari masalah memusingkan kepala itu telah mendekati asistennya, sementara matanya telah mendelik penuh rasa kesal.“Kau mengatakan Jemmy sudah tidak ada lagi di hotel itu?” desak Ella menggeram sampai gerahamnya beradu kasar.Wanita yang di depannya itu tertunduk takut. “S-saya ... saya sudah memastikan kepada pihak hotel jika Tuan Jemmy sudah meninggalkan hotel sejak kemarin malam—”“Bagaimana bisa kau kehilangan jejak pria sialan itu?!”Bentakan yang memekik sakit ke telinga itu menambah rasa takut pada asisten wanita itu. Bahkan, tubuhnya yang kurus dan kecil itu sudah gemetaran di hadapa Ella.“Aku sudah berulang kali katakan, jangan sampai pria sialan itu menghilang tanpa jejak! Aku juga sudah perintahkan untuk memata-matai segala gerak pria sialan itu!”Wajah Ella memerah, pun gemetaran setelah memekik marah. Wanita itu tak sedikit pun menyembunyikan emosinya kepada orang y