Kehangatan malam itu melebur setelah Roland beranjak pergi. Tidak ada kalimat permintaan maaf atau apa pun yang terdengar selain alasan Roland memilih tidur di mobil.Michelle menyambut baik keputusan Roland. Dia bersyukur diberi ruang lebih untuk menata perasaan dari sentuhan yang mendebarkan, yang membuat Michelle hampir tenggelam dalam sentuhan panas bibir Roland.Hampir semalaman Michelle bersikeras menata perasaannya. Dia tidak boleh bertindak ceroboh yang menunjukkan dia dilema oleh sentuhan jejak manis bibir Roland.Sayangnya, kecemasan itu berakhir sia-sia. Michelle tidak bertemu Roland keesokan hari. Dia hanya bertemu David yang menyusul ke penginapan. Lewat David, Michelle mengetahui bahwa Roland lebih dulu kembali karena kepentingan mendadak. Hingga akhirnya Michelle pulang bersama David dengan menempuh jalur darat.Segala urusan pekerjaan tak memiliki hambatan. Semua berjalan lancar sesuai harapan. Namun, Michelle menaruh kecurigaan yang menggelisahkan jiwa.Michelle tak l
Sederet kalimat pengakuan sudah terangkai di ujung lidah. Michelle sudah frustrasi terdesak oleh perkataan David. Apalagi David yang mengawasi ekspresi dengan tatapan tajam semakin mendesak Michelle ingin mengakui segala antara dirinya dan Roland.“Jika Roland melakukan hal buruk padamu, aku akan memukulnya.”Mata Michelle melebar ketika David tiba-tiba bersuara. Michelle juga bingung pada David yang ekspresi berubah dengan cepat. Di depannya, David telah berdecak kesal tanpa ada sikap curiga yang mengintimidasi Michelle.“Aku saja tidak berani mengganggumu. Jika dia berani melakukannya, aku akan memukulnya karena sudah berani mengganggu pegawaiku yang berharga. Lagi pula, kau tidak akan terpengaruh pada orang seperti Roland kan, Michelle? Aku yang lemah lembut saja tidak berhasil mendapatkanmu, apalagi Roland!”Samar-samar Michelle menghela napas karena lega kekhawatirannya tidak benar-benar terjadi. Dia bersyukur David tidak menaruh kecurigaan lebih terhadap dirinya dan Roland.“Tid
“Tuan muda Axel, mari kita pulang.” Suara bariton yang menegur dari arah belakang telah menginterupsi pembicaraan.Seketika Michelle menoleh ke arah suara. Seorang pria berusia matang dengan pakaian berkemeja rapi telah berdiri tak jauh dari Michelle.“Dia adalah sopirku, Bibi.” Axel mengenalkan pria itu kepada Michelle.“Paman ini pernah mengantarku sewaktu Axel dan ibunya mengantarku pulang, Mom.” Leah ikut menimpali.Michelle tersenyum hangat setelah sempat melayangkan tatapan waspada, tak lama kemudian dia tak lupa mengenalkan diri. “Halo, saya ibunya Leah.”Pria itu merunduk dengan penuh rasa menghomati, kemudian tatapannya tertuju kepada Axel. “Mari kita pulang, Tuan muda Axel.”“Leah dan ibunya mengajak aku bermain di rumah mereka. Apakah Paman bisa menelepon Mommy dan memberitahukan hal ini?” pinta Axel penuh harap.“Nyonya memerintahkan saya untuk mengantar Anda ke rumah setelah pulang sekolah. Selain itu, Nyonya sudah pasti tidak bisa dihubungi karena Nyonya sedang dalam seb
Tea time sore itu diadakan di taman yang berada di halaman belakang rumah. Suasana senja yang tidak terlalu panas oleh terik matahari, semilir angin yang menyejukkan menyatu dengan keindahan taman yang terawat itu menjadi suasana menenangkan.Seharusnya suasana itu menjadi pengobat emosi Roland yang telah dilelahkan oleh pekerjaan. Sayangnya, momen sempurna itu dirusak oleh orang-orang yang mengisi kursi pada meja.Jullian—ayah Roland berada di pangkal meja yang bersebelahan dengan Roland. Di depan Roland ada Odelia Philip—ibu tirinya yang bersebelahan dengan Valencia Philip beserta suaminya. Sementara Ella duduk dengan manis di sebelah Roland.Posisi pasti sudah diatur tanpa Roland ketahui, sama seperti kehadiran Ella. Roland akan bertahan berhadapan dengan Jullian dan yang lainnya, tetapi kehadiran Ella menjadi puncak rasa memuakkan Roland.Secangkir teh daun mint yang disajikan sedikit menahan emosi Roland, termasuk cufflink biru yang sejak tadi Roland mainkan di bawah meja.“Aku s
“Dia masih saja keras kepala.”Ella seketika terhenti menikmati teh yang tersaji saat telinganya mendengar komentar sinis Jullian. Wanita itu menjauhkan gelas dari bibirnya, kemudian meletakkan gelas itu dengan anggun ke piring kecil di atas meja.“Roland seperti itu mungkin karena terlalu lelah bekerja,” Ella berkomentar manis dengan maksud menarik simpatik Jullian. “Aku tidak apa-apa Roland seperti itu padaku. Mungkin dia masih belum percaya padaku karena perceraian kami,” lanjutnya yang tiba-tiba mendesah sedih.“Entah sifat siapa yang dituruni oleh anak keras kepala itu!” Jullian kembali memprotes kesal.Tiba-tiba Ella terpikirkan sesuatu rencana yang ingin memfaatkan simpatik ayah mertuannya. Jujur saja, Ella tak lagi menikmati hidup enak sejak bercerai dengan Roland.Roland memang mengabulkan keinginan Ella untuk tak mengumbar aib Ella pada siapa pun. Namun, karir Ella meredup setelah diceraikan oleh Roland. Tunjangan yang Roland berikan semakin berkurang setiap tahunnya. Ditamb
“Michelle!”Michelle terlonjak kaget sampai tubuhnya gemetar singkat oleh teriakan ceria di depan mata. Matanya yang terbelalak berakhir mengerjap-ngerjap, memastikan jika dia sedang bermimpi pada tamu yang datang tanpa diundang.“Celine?! Kenapa kau ada di sini?” Michelle terperangah sampai mulutnya sedikit menganga.Celine—tamu yang datang malam itu memasang wajah masam karena merajuk. “Kau tidak suka aku datang? Padahal aku ingin memberi kejutan!” ucapnya yang diakhiri decakan kesal.“Justru aku sangat terkejut kau datang tanpa memberi tahu! Bagaimana bisa kau datang ke sini di weekday seperti ini?” Michelle meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.“Nanti saja kau tanya-tanya. Biarkan aku masuk sekarang karena aku sangat lelah—”Celine terdiam ketika terburu-buru menerobos masuk dengan menggeret kopernya. Wanita itu terpaku kaku menatap sopirnya Axel yang menyapa hormat di ruangan tamu.Dengan hanya melihat Celine, Michelle bisa menebak isi pikiran sahabatnya itu. Sehingga Michelle
Sambungan telepon itu terputus bersamaan dengan pintu yang terbuka. Mata Leah yang menoleh ke arah pintu telah mendapati Michelle bersama Celine.“Kau sudah selesai melalukan yang Mommy katakan?” tanya Michelle sembari berjalan menghampiri.“Sudah, Mom,” ucap Leah menurunkan handphone yang menempel di sisi telinga kiri.Mata Michelle fokus kepada handphone-nya yang dipegang Leah. “Kenapa handphone Mommy ada padamu? Apa Grandma Alins menelepon?” dia menebak.Mulut kecil Leah sudah terbuka ingin bersuara. Sayangnya, dia terhalangi oleh Celine yang lebih dahulu berkata-kata.“Kau masih menyimpan pakaianku yang tertinggal di rumahmu ‘kan, Michelle? Aku tidak banyak membawa pakaian.”“Aku menyimpannya di lemari yang di sebelah kiri.” Michelle menunjuk ke arah yang dimaksud.“Kalau begitu aku mau mandi dulu,” ucap Celine berlalu pergi menuju kamar mandi yang ada di kamar itu.Michelle kembali fokus pada putrinya. Dia memilih duduk di tepian ranjang tidur—tepat di sebelah Leah yang duduk.“Bi
“Argghhh! Minum bir dingin saat lelah adalah pilihan yang sempurna!”Michelle tersenyum sinis mengejek Celine yang berdecak senang pada sekaleng bir. Wanita cantik yang mengenakan piyama itu telah berhasil menidurkan putrinya. Dia berakhir duduk di meja makan bersama Celine yang mengajaknya.“Kau tidak mau minum, Michelle?” tanya Celine yang berhasil menghabiskan kaleng pertama bir yang dibawanya sendiri.“Besok aku bekerja, aku tidak mau bangun kesiangan.” Michelle menolak.“Kau harus meningkatkan level daya minummu, Michelle. Apa yang kau minum saat menemani bosmu dalam jamuan bisnis?” sorot mata sinis Celine begitu nyata mengejek Michelle.Wanita itu selalu kesal setiap kali menikmati alkohol bersama Michelle, dia tidak memiliki teman yang sebanding. Dia selalu minum dan berakhir mabuk sendirian. Sedangkan Michelle selalu menonton dan membantunya yang mabuk.Walau seperti itu, Celine pernah beberapa kali berada di posisi Michelle. Dia menonton Michelle yang mabuk hanya dalam dua ge