Kilas balik pada saat Alex dan Lia baru saja melangsungkan pernikahan mereka, para pengawal ditugaskan untuk menjaga area yang telah dirundingkan bagi masing-masing anggota.Haris yang baru saja mengantar Alex dan Lia keluar menuju kendaraan mewah lantas berbalik, hendak menghampiri Resham sebagai kepala pengawal yang akan memberi tugas pada semua bawahannya.Resham yang melihat Haris lantas memanggilnya. "Ris, kemarilah.""Baik, pak. Apa saya harus berjaga bersama bapak?" Tanya Haris."Tidak perlu. Sebaiknya kamu berjaga di kediaman tuan Alex karena di sana masih ada Alesia, anak tuan dan nyonya, bersama pengasuhnya. Beri kabar secepat mungkin bila terjadi sesuatu."Haris menunduk ringan. "Baik, pak"Lantas Haris beranjak, kini hendak menuju sebuah mobil yang akan dia gunakan untuk kembali ke kediaman Alex di Zeus Residence. Begitu masuk, Haris terkejut karena ada orang asing yang muncul di kursi penumpang."Si-siapa kamu?!" Tanya Haris dengan begitu panik."Ssst, kamu tidak perlu ce
Derita Natalia Nawasena akan kejahatan yang direncanakan oleh Rika dan Jacob akhirnya memiliki ujung yang sudah lama dinantikan.Pihak berwajib telah menetapkan mereka termasuk Haris sebagai tersangka atas kasus penculikan, penyerangan, percobaan pembunuhan, dan pembunuhan berujung korban jiwa.Tak ada penangguhan penahanan, Alex berupaya agar ketiganya dihukum semaksimal mungkin. Alex tak ingin sampai ketiganya bebas karena pengaruh uang maupun Rika yang berasal dari keluarga terpandang.Hari ini, Alex sedang menikmati hari istirahatnya di rumah. Dan seperti biasa, bila Alex telah berolahraga ringan dan membersihkan tubuhnya, maka Alex akan menengok kondisi Lia di dalam kamar wanita itu.Dari celah pintu yang dibukanya, Alex menemukan Lia telah bangun dari tidurnya. Namun Lia masih saja diam, dan saat ini sedang melamun di samping jendela kamarnya.Kian hari, Lia kian diam sejak kematian bibi Anna. Lia tak seperti dulu yang akan menjawab pertanyaan dengan baik, pun sekadar menanyakan
Sebulan sejak tragedi-tragedi mengerikan terjadi, kini Alex dan Lia mulai bangkit dan terus mendukung satu sama lain. Lia menepati janjinya untuk menjadi rumah bagi Alex, membuatnya terlihat seperti istri yang sempurna. Alex pun bertindak seperti dia ingin membalas kebaikan dan ketulusan Lia di luar kesepakatan mereka. Walau disibukkan dengan jabatan barunya sebagai CEO bahkan harus menghadiri tugas ke luar negri, Alex selalu menyempatkan waktu untuk memastikan Lia dan Alesia, serta memberikan yang terbaik untuk mereka. Pagi ini, Lia yang baru saja bangun dan merapikan ranjangnya mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya. Lia lantas mengatakan, "ya." Alex menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar Lia. "Apa aku boleh masuk?" "Tentu." Alex tersenyum tipis. "Apa kamu akan melakukan sesuatu untuk hari ini?" "Hm, sepertinya tidak ada. Apa kamu membutuhkan bantuanku?" "Aku ingin mengunjungi makam bibi Anna, makanya aku ingin mengajakmu. Beberapa hari lalu, kamu berkata ingin me
Malam ini, terdengar suara yang begitu jelas dan bersumber dari televisi yang terletak di kamar Lia. Matanya tengah menatap saluran yang menyiarkan berita terkini. "Jacob Sagara, mantan aktor papan atas yang kini ditahan atas beberapa kasus kriminal kemungkinan akan dijatuhkan hukuman berat. Pun pihak berwajib melakukan penjagaan ketat pada sel tahanan tempat Jacob bermukim saat ini." Tampak Lia yang menghela nafas, sepertinya kini dia sudah bisa bernafas lega. "Sementara dua rekan yang juga terlibat dalam kasus yang sama dengan Jacob, juga akan dijatuhkan dengan hukuman yang setimpal dengan keterlibatan mereka. Diketahui, satu rekan Jacob adalah wanita berinisial EO, dan seorang pria berinisial H." Lia tak tahu bagaimana besarnya rasa syukur yang sedang dirasakannya malam ini. Akhirnya, bayang-bayang ketakutan itu berakhir, walau Lia masih sedikit terbayang akan rasa traumanya. Ketika Lia telah selesai dengan tontonannya, Lia bangkit dari tepi ranjang, hendak keluar dari dalam k
Kali ini, sebelum berangkat bekerja, Alex melihat Lia yang tengah mengenakan pakaian rapi dan berbeda seperti biasanya. Sekarang Alex tak perlu menanyakan Lia ingin ke mana, karena Alex sudah tahu jawabannya. "Apa kamu ingin membawa sesuatu untuk menemaniku hari ini?" Tanya Alex begitu Lia juga sudah menemukan kehadirannya. Lia pun membalas, "membawa apa maksudnya?" "Mungkin semacam camilan, atau bekal yang ingin kamu nikmati agar tidak bosan. Namun kalau kamu ingin memesannya saat di kantor nanti pun tidak apa-apa." "Hm, sepertinya aku ingin memesan makanan saat tiba di kantor saja." Alex mengangguk paham. "Baiklah, mari berpamitan pada Alesia sebelum berangkat." Lia menyetujui ajakan Alex, lalu menghampiri Alesia yang sedang diasuh oleh pengasuh barunya. "Dina, tolong jaga Alesia baik-baik, dan beri kami kabar kalau ada sesuatu yang penting." Pesan Lia. Dina, si pengasuh, mengangguk paham. "Baik, nyonya." "Sampai jumpa, Alesia. Kami pergi dulu." Kata Alex seraya mengusap pip
Selepas merampungkan pekerjaannya lebih awal, Alex membawa Lia untuk meluangkan waktunya mengunjungi panti asuhan yang menjadi tempat tinggal Lia dulu. Panti asuhan itu terletak cukup jauh dari pusat kota, bahkan memakan waktu sejam untuk menempuh jaraknya. Mobil yang dikemudikan oleh Alex, tidak dengan menggunakan supir seperti biasa, memasuki bangunan dengan dua lantai dengan pekarangan yang luas. Bangunan itu tak begitu besar, pun sudah tampak tua. Namun karena suasananya yang begitu asri, bangunan panti asuhan itu masih sangat layak. Setelah meletakkan mobilnya di tempat yang tak jauh dari pintu masuk, Alex dan Lia pun keluar dari mobil dan melangkah beriringan. Seorang wanita tua yang duduk di teras panti asuhan menyipitkan matanya, menerka siapa kedua tamu itu. "Itu adalah ibu panti, namanya ibu Gita. Beliau yang merawatku hingga aku selesai dari SMA dan memilih untuk merantau ke kota. Selamat sore, ibu." Ketika Lia dan Alex sudah berada tepat di hadapannya, ibu Gita terman
Lia berusaha mempercepat langkahnya, menyusul tuan Erik yang nyaris mencapai pagar dari panti asuhan tersebut. "Kakek!" Tuan Erik berhenti, mendengar Lia yang sedang berusaha mengejarnya. Tuan Erik menoleh, mendapati Lia yang nafasnya tersengal. "Ka-kakek, ma-maafkan aku." "Lia, ini bukan salahmu. Kakek hanya kecewa dengan para ibu asuh itu. Kakek tak dapat mengerti, mengapa mereka tega melakukan ini padamu dan Adelia." Tentu, Lia merasakan hal serupa dengan beliau, namun Lia lebih memilih untuk memaafkan ibu Gita dan ibu Rani akan hal itu. "Bagaimana bisa mereka menukarmu seperti itu? Kakek tidak menyesal karena hidup dan membesarkan mendiang Adelia, tapi bagaimana denganmu? Seandainya dulu kakek dapat mengadopsimu juga, mungkin kakek tak akan menyesali ini." "Tidak, kakek. Tidak apa-apa, toh semuanya sudah berlalu dan kini aku sudah baik-baik saja, kek. Aku bahkan sangat lega mengetahui bahwa saudara sedarahku hidup dengan baik bersama kakek dan tante Sita." Alex, ibu Gita, da
Keesokan harinya, langit di atas kota tampak begitu cerah dan menyinari seluruh penjuru area. Termasuk kediaman Alexander yang berada di Zeus Residence. Sang pemilik yang kediaman itu baru saja mengerjapkan mata, menemukan pagi yang begitu terang dan menyambut dirinya dengan indah. Alex merenggangkan otot tubuh kekarnya, berusaha mengumpulkan segenap gairah untuk menjalani akhir pekan kali ini. Tiba-tiba saja Alex mematung, mengingat ucapan Lia semalam yang terlintas di benaknya. Ya, ucapan itu sangat membekas pada ingatan Alex. "Bertemu denganmu adalah hal yang sangat berharga bagiku Alexander." Jawab Lia semalam, pada ucapannya yang hanya sekadar candaan itu. Lia menambahkan. "Tanpa kehadiranmu dalam hidupku, aku tak tahu akan menjadi seperti apa, Alex. Memang benar aku telah berusaha, tapi kehadiranmulah yang dapat meyakinkanku untuk terus bertahan." Kini Alex menjadi kikuk dan salah tingkah sekaligus, namun bukan Alexander Adarsa namanya bila dia tak dapat terlihat tenang. K
Tidak dipungkiri bahwa Evan semakin tertekan menghadapi banyaknya masalah yang semakin rumit. Di satu sisi, ini semua memang kesepakatan yang telah disetujui oleh Evan sendiri. Dalam sehari, helaan nafas beratnya hampir tak terhitung. Evan sungguh merencanakan segalanya sendiri, bahkan Rika semakin tak peduli. 'Wanita itu hanya haus akan tubuhku yang dia anggap sebagai pemuas hawa nafsunya.' Gumam Evan di dalam ruang pribadinya. Pria itu hanya bisa berusaha dan berusaha, memuaskan Rika sekaligus keluarganya untuk merampas aset di bawah naungan perusahaan keluarga Adarsa. Tok tok! "Masuk." Sahut Evan gontai ketika mendengar pintu ruangannya diketuk. Evan menegapkan tubuhnya dan bangkit, menemukan siapa orang yang baru saja datang. "Paman." Katanya. Pria paruh baya yang tak lain adalah paman Evan, sekaligus asisten tuan Andreas atau ayah dari Alexander Adarsa itu, muncul dengah wajah tenang. "Bagaimana dengan rencanamu?" Untuk ke sekian kalinya, Evan menghela nafas berat. "Seb
Di tengah kilau cahaya malam yang membentang, tampak Evan dan Rika yang tengah bercumbu dengan begitu liarnya di dalam kendaraan pribadi mereka. Rika tampak lebih mendominan, menguasai permainan dengan lihai sekaligus menyalurkan hasratnya yang semakin membara. Di tengah-tengah permainan keduanya, tiba-tiba saja Evan sedikit mendorong tubuh Rika agar dapat melepas cumbuannya. Awalnya Rika terperanjat dengan nafasnya yang memburu, menatap Evan dilema dan penuh nafsu. Tetapi tak berselang lama, Rika bersua. "Ada apa kali ini?" Evan gelisah. "Aku hanya tak nyaman melakukannya di dalam mobil." "Kamu hanya belum terbiasa." "Ya, dan aku tak suka ini." Rika menatap Evan kesal dan skeptis. "Mengapa akhir-akhir ini kamu begitu menyebalkan dan manja? Kamu seperti wanita yang lemah." "Erika Odeline, hari ini aku cukup lelah, tidak... Aku lebih lelah hari ini." Dahi Rika mengernyit. "Oke, apa yang membuatmu sangat lelah hari ini?" "Pihak Alex mulai mencurigai rencana yang sedang kujalan
Ketika pagi menyambut seorang Natalia Nawasena, tubuh wanita itu dibuat meringkuk sebentar di dalam selimutnya yang tebal. Lia menetralisir suhu ruangan agar bisa beradaptasi, mengingat di luar sana sedang hujan deras. Lalu tak sengaja, tangan Lia menyentuh sisi ranjang yang kosong di sampingnya. Sontak dahi Lia mengernyit, menemukan Alex yang beranjak tanpa kata seperti biasa. "Alex?" Panggil Lia dengan suara yang memenuhi kamar, berniat memanggil Alex yang mungkin saja ada di dalam kamar kecil. "Alexander Adarsa." Nihil, tak ada jawaban sama sekali. Lia heran, kemudian bangkit menggunakan handuk kimononya. "Alex—" Lia terhenti begitu membuka pintu kamar kecil, dan menemukan isinya tak berpenghuni. Lantas Lia beranjak keluar dari kamar pribadinya bersama Alex, mencari-cari kehadiran pria itu ke setiap sudut penthouse atau kediaman tersebut. "Hani." Panggil Lia ketika melihat si kepala asisten rumah tangga tengah berbenah di atas meja makan. "Ya nyonya, apa ada yang bisa kuban
Apa yang terjadi hari esok adalah misteri yang tak akan terpecahkan oleh siapapun. Baik itu Alexander Adarsa seorang, yang kini hanya mampu terdiam menatapi hamparan pemandangan kota malam. "Tuan." Wajah Alex menoleh, menemukan kehadiran Resham yang muncul dengan sebuah Pad yang berada pada genggamannnya. "Bagaimana?" Tanya Alex memastikan. Sebelum menjawab, Resham menyerahkan Pad di tangannya pada Alex terlebih dulu. "Kami hanya bisa menemukan informasi mengenai ibu dari Evan, selebihnya kami belum menemukan petunjuk yang bisa kami hubungkan dengan tuan Andreas, ayah anda." Alex menjadi bimbang. Jika memang Evan adalah anak dari ayahnya, tuan Andreas, mengapa status di antara mereka masih abu-abu bagi Alex? 'Mungkin, Evan memang hanya mengincar aset dari perusahaan?' Batin Alex berusaha menerka. Bagaimana pun juga, belum ada titik temu yang bisa dijumpai Alex. Bahkan Alex harus lebih menjaga banyaknya saham di dalam perusahaan keluarga Adarsa. Hari yang melelahkan tak akan m
Rapat pertemuan yang begitu tiba-tiba sengaja diadakan oleh Alexander Adarsa hari ini. Mulai dari petinggi hingga para pemegang saham terpenting ikut hadir, tak terkecuali tuan Erik, kakek dari Natalia Nawasena. "Jadi, bagaimana bisa ada orang yang secara mendadak ingin mengklaim aset dari perusahaan ini bahkan memiliki akses tanpa sepengetahuan anda, tuan Alexander?" Pertanyaan dari salah satu petinggi membuat Alex terdiam sejenak. 'Sudah kuduga akan ada yang menanyakan hal ini. Sepertinya, ada orang dalam yang ikut membantu kelicikan Evan dan Rika.' Batin Alex. Tak lama berselang, seorang pemegang saham kemudian ikut melontarkan tanya. "Apa kondisi tuan Andreas akan berdampak pada keamanan saham perusahaan ini? Bagaimana dengan aset yang ingin diklaim itu adalah aset hasil investasi kami?" Alex menghela nafas tenang, kemudian buka suara. "Baik, para tamu terhormat. Saya sangat memahami akan kekhawatiran dan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan." Lalu Alex mengambil jeda sejen
"Pelan-pelan sayang, ah..." "Tahan sedikit sayang, aku, akan, ah!" "Ah!" Sahutan panas itu usai, membiarkan peluh keringat di antara keduanya mengalir deras, melawan dinginnya suhu ruangan di kamar pribadi mereka. Mereka ialah Alex dan Lia, tentunya, yang melakukan 'permainan' mereka di waktu yang jarang digunakan. Setelah mengeluarkan puncak masing-masing, Alex dan Lia terbaring di atas ranjang. "Kukira semalam kamu tak bisa sehebat ini." Bisik Lia merehatkan tubuhnya yang menjadi lumayan lelah. "Selelah apa pun aku, melihat dirimu yang selalu indah dan hebat ini tak akan bisa kubiarkan berlalu begitu saja, sayang." Balas Alex dengan baritonnya. Keduanya terdiam sejenak, membiarkan raga dan jiwa masing-masing mengisi energi di pagi hari. Ya, begitu Lia melirik jam di atas nakas, netranya menemukan bahwa kini sudah pukul setengah enam pagi. "Alex." "Ya, sayang." "Apa kamu bisa berangkat kerja setelah..." Mendengar Lia mengambil jeda, Alex dibuat heran. Namun setelah mencern
Apa yang dihadapi Alex di gedung perkantoran, semaksimal mungkin enggan ditampakkan olehnya di depan keluarga kecilnya yang selalu Alex banggakan. Banyak masalah yang berkecamuk, tetapi sebisa mungkin Alex meletakkan itu sebelum memasuki kediamannya. Saat membuka pintu rumah, akan ada sambutan hangat yang menyertai. "Selamat datang ayah." Ujar Lia yang menggendong Reksa, anak semata wayang mereka, di depan pintu masuk. Lelah dan tekanan seolah lari beterbangan di dalam kepala Alexander Adarsa, membuatnya semakin mengobarkan tekat untuk menjaga apa yang masih ada bersamanya. Kali ini Alex sekadar mengukir senyum manis, karena hanya itu satu-satunya hal yang mampu Alex lakukan. Di samping itu, Lia sangat mengerti dengan keadaan yang sedang dihadapi oleh sang suami. Alex dan Lia berjalan beriringan menuju kamar yang dulunya hanya dimiliki oleh Alex, kini tentunya sudah resmi menjadi kamar pribadi mereka. "Begitu melelahkan bukan?" Tanya Lia di sela-sela langkah mereka yang gontai.
Ketegangan yang terjadi di antara Alex dan Evan menimbulkan titik kegaduhan di antara tatapan keduanya. Alex berupaya menahan nafasnya yang tersengal, lalu memberi isyarat pada Resham. "Tunggu perintahku di luar ruangan." Kata Alex. Resham menunduk. "Baik tuan." Seperginya Resham, Alex dan Evan kembali saling menatap. "Apa yang kamu inginkan?" Tanya Alex skeptis pada Evan. Usai mendengar Alex, Evan tertawa remeh. "Apa kamu sedang berpura-pura bodoh atau kamu memang sengaja tak ingin mengetahuinya?" Tubuh Alex menegap, nafasnya terhela tenang. "Aku ingin penjelasan darimu sebagai seseorang yang jujur dan bertanggung jawab. Selama ini, kamu sekadar menyampaikan semuanya pada orang lain atau melalui perantara." "Oh, jadi maksudmu, aku bukan orang yang baik." 'Tentu saja.' Kata Alex dalam hatinya karena sudah tak mungkin dia melontarkan kata yang akan membuat situasi ini memanas. "Kamu sudah tahu bukan bahwa kita memiliki ikatan darah?" Tanya Evan penuh penekanan. "Lalu?" Mende
Siapa pun yang berada di dalam posisi Alexander Adarsa akan terus merasakan dilema yang berkepanjangan. Alex sendiri bahkan kerap merasa kewalahan, apa lagi sudah seminggu sejak tuan Andreas Adarsa, ayahnya, terbaring koma. Hari ini, dengan berat hati Alex harus kembali bekerja, menjalankan rutinitasnya, sekaligus tugas tambahan yakni menggantikan sementara posisi tuan Andreas. "Kamu harus yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, Alex." Kata Lia merapikan dasi suaminya yang beroman wajah suram pagi ini. "Aku yang akan menjaga ayah hari ini, jadi kamu tenang saja." "Bagaimana dengan Reksa?" Tanya Alex dengan baritonnya. "Aku sudah meminta Resham mencarikan pengasuh tambahan kemarin. Bukannya kamu bersamaku saat meneleponnya?" Alex terdiam, berusaha mengingat kembali ucapan itu. "Ah, kamu benar. Maaf, aku lupa akan hal itu." "Tak apa, aku paham kamu sedang banyak pikiran." Helaan nafas Alex terdengar cukup berat. "Aku tak dapat membayangkan jika kamu tak ada di sisiku, aku akan