Hello namaku Rissa, aku wanita berusia 29 tahun yang bekerja sebagai seorang karyawan swasta. Aku berkepribadian berani namun sangat introvert, tidak jarang orang menganggap ku sombong sehingga tidak banyak orang yang ingin berteman denganku.
Di usiaku yang sebentar lagi menginjak kepala tiga, aku masih saja melajang. Bukan aku tidak menarik, tapi aku memang mencoba untuk tidak terlihat menarik. Aku tidak bergaul dengan banyak pria, ya mungkin karena aku terlihat sombong itu menjadikanku tidak banyak mempunyai teman.
"Jomblo terus,,, cari pacar dong!!"
"Senyum! Biar banyak yang suka!! Dikira nanti sariawan, manyun terus!!"
"Makanya nikah, cari pendamping biar pulang ada yang jemput! Jadi ga nyusahin orang lain!!"
"Coba kalo tinggal di kota lain, kayaknya kamu bakalan laku deh!!"
"Kapan nikah? Udah ada calon belum?"
Terlepas dari apapun maksud perkataan-perkataan tersebut, tapi karena mereka tidak pernah ada di posisi kita yang memilih untuk masih melajang. Mereka berfikir bahwa semua perkataan mereka adalah benar.
Aku, Rissa yang menjudge diriku sendiri mengidap "Trust issue"
Trust Issue atau masalah kepercayaan diri dengan ketakutan akan pengkhianatan, pengabaian, dan manipulasi. Banyak dari kita memiliki perasaan ini, apakah kita sulit mempercayai pacar kita, atau sosok orang tua kita atau bahkan orang-orang terdekat kita yang lainnya.
Kejadian di masa lalu yang tidak menyenangkan antara kita dengan seseorang, atau berasal dari peristiwa yang agak traumatis, terkadang membentuk krisis kepercayaan dalam diri kita. Menjadi sulit percaya pada orang lain.
Mungkin pernah mengalami pengalaman serupa atau sama-sama traumatis, tetapi tidak yakin apakah itu menyebabkan masalah kepercayaan. Lebih persisnya, trust issue ini adalah masalah kepercayaan terhadap orang lain yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain seperti luka dan penghianatan di masa lalu.
Bukan hanya kisah cintaku yang penuh dengan pengkhianat, tapi kisah yang aku lihat sendiri dari perilaku orang tuaku.
Ibu yang penurut dan penuh dengan kasih sayang, sedangkan ayah yang jahat dan selalu penuh sumpah serapah pada istri dan anak.
Ibuku adalah wanita yang taat dalam beragama, sehingga membuatku bisa mengenal tuhan walau dalam keadaan semrawutnya hidupku.
Tidak pernah sekalipun aku mendengar ibu membalas perkataan kasar ayah, perilaku ayah yang jahat sangat membekas dalam pikiran dan hatiku.
Bukan hanya saja perkataan kasar ayah terhadap ibu yang membuatku memiliki trauma mendalam. Tapi perlakuan ayah kepadaku pun yang membuat aku akan membencinya seumur hidup.
Tidak jarang sundutan rokok, pukulan benda tumpul, air ludah yang membasahi rambut, pukulan keras dikepala dan sudah pasti kata-kata kasar menjadi aktivitas pengantar tidur menuju mimpi buruk.
Sesekali aku selalu berniat untuk mengakhiri hidup, namun wajah ibuku selalu tersirat dalam pikiranku. "Tidak!!, aku harus hidup dan memberikan kebahagiaan pada ibu!!" Pikirkunyang membuatku kembali mengurungkan niatku.Wajah ibu mengurungkan niatku untuk mengakhiri hidup yang aku rasa sungguh tidak adil ini.
Aku selalu takut jika ibu meninggalkanku sehingga doaku selalu : "Tuhan , jangan pernah ambil ibuku sebelum aku bisa membahagiakannya!" Doa yang aku ulang lebih dari sekali setiap hari.
Sebaliknya, karena perlakuan ayah, aku selalu memiliki doa lain "Tuhan, aku tidak ingin menikah!" Doa yang aku ulang setelah aku mendoakan kepanjangan umur ibu.
Tapi diantara dua doa itu ternyata Tuhan mengabulkan salah satunya, doa yang berdasar kebencianku pada ayah lah yang Tuhan kabulkan.
Di usia 22 tahun, aku kehilangan ibu. Dia meninggal dalam keadaan stroke mendadak, tanpa bisa diajak berkomunikasi selama 3 hari. Orang bilang bahwa dia sedang menghadapi sakaratul maut namun dia masih berjuang menginginkan kehidupan.
Di hari pertama beliau stroke, hatiku sangat hancur. Aku sempat berfikir apakah ini hari hari terakhirnya??
Tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam mulutnya, setiap aku dan kakakku memberikan makanan beliau selalu memuntahkannya.
Aku tetap terjaga di sisi ibuku walau dia tidak bisa berkomunikasi sama sekali, aku memandanginya dan menangis disampingnya sambil memberikan potongan kecil buah kurma.
Aku kaget karena beliau memakan kurma tersebut, air mataku semakin deras mengalir membasahi pipiku. Tiba-tiba ibu menggerakkan tangan kanannya dan mengusap pipiku.
Hatiku lega, aku sangat bahagia dia meresponku. Ada saatnya dia ingat dan ada saatnya dia kembali tidak mengingat apapun.
Aku dan kakakku berjuang untuk supaya ibu mendapat perawatan di rumahsakit. Namun karena kami hanya keluarga sederhana yang tidak punya tabungan banyak untuk bisa ibu mendapat perawatan maka aku berjuang untuk menguruskan kartu kesehatan untuk keluarga tidak mampu.
Setibanya di dinas kesehatan, sungguh patah hatinya aku ketika aku tidak bisa mendapatkan kartu dan surat itu dengan alasan bahwa yang bersangkutan harus membuat kartu itu sendiri.
Peraturan pemerintah yang aku pikir benar atau tidak pada saat itu, ibuku yang sedang sekarat saja masih dipersulit.
Aku pulang dengan tangan kosong, betapa kesalnya hatiku ketika melihat bahwa pria tua itu tidak ada empatinya sama sekali pada wanita yang menemani hidupnya selama puluhan tahun.
Dia hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa melihat keadaan atau menemani istrinya yang sedang sekarat. Sehingga aku memutuskan untuk tidak menganggapnya ada.
Aku dan kakakku memutuskan untuk membawa ibu ke kampung halamannya, karena siapa tahu ibu akan lebih baik disana. Ketika kami membawanya pun , dia sama sekali tidak ikut dengan kami.
"Sudah, prioritas kami memang ibu jadi aku tidak peduli dengannya. Sekalipun dia ada tapi tidak berguna!" Pikirku saat itu.
Kakakku harus menandatangani surat kepulangan ibuku dari rumah sakit yang tidak menggunakan ambulans. Prosedur itu dilakukan supaya rumah sakit tidak bertanggung jawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada pasien selama perjalanan.
Menjelang subuh, kami sampai di kampung halaman ibu.
"Assalamualaikum..." tiba-tiba ibuku mengucapkan salam dengan artikulasi yang sangat jelas. Kami yang berada di mobil pun dibuat kaget, sekaligus merinding.
Kami datang ke rumah bibiku atau adik ibuku. Ternyata orang-orang dirubah itu pun sedang terjaga menunggu kedatangan kami.
Butuh beberapa orang untuk menggotong tubuh ibuku yang kaku dan tidak bisa digerakkan tersebut.
Beberapa waktu setelah ibu datang, nenekku yang tidak lain ibu dari ibuku pun datang.
Dia berlari dan segera menghampiri ibu yang terbaring di kasur yang diletakan di lantai. Suara keras benturan lututnya dengan lantai seakan memberi tahu betapa terkejutnya dan tergesa-gesa nya iya untuk melihat putrinya tersebut.
"Maryam Puteri mamah, cantik ini mamah nak!!" Suara nenek yang memanggil ibu sambil membelai rambut dan menciumi wajah ibuku.
Terlihat wajah ibu tersenyum walau bola matanya tidak mengarah pada nenek.
Disusul beberapa saudara yang datang untuk melihat ibu. Tidak disangka kabar begitu cepat menyebar, satu persatu teman semasa kecil ibu pun datang untuk melihat dan mendoakan.
"Maryam masih inget ga sama Ani? Ini Ani temen SD!!" Ucap salah seorang wanita yang duduk di samping ibu.
Betapa senangnya ibu bertemu dengan teman-teman semasa kecil jika dia masih dalam keadaan sehat.
Sehari berlalu, kakakku berencana untuk pulang sebentar karena anak sulungnya sedang ada ujian. Sebaliknya aku, aku tinggal bersama ibu di kampung halamannya.
Malam pun datang, 3 saudara dan 2 nenek ikut menginap untuk menjaga ibu. Kita memperhatikan setiap gerak gerik ibu, dan betgantian untuk berjaga.
Tangannya bergerak ke kanan dan ke kiri, terkadang berkata sendirian. Dan aku pun mencoba mengajak nya berbicara
"Mah, ini Dede mah!!" Ucapku,
Dia meresponku dan menatapku "Dini....!!!!" Ucapnya menampilkan ekspresi heran.
"Bukan mah, ini Risa putri bungsu mamah!! Jawabku.
Beliau melotot dan menggelengkan kepalanya yang tersandar di bantal.
"Bukan, putri mamah cuman satu yaitu Dini..!!" Ucapnya lagi.
Hatiku sakit karena dia tidak bisa mengingatku, aku menangis dan menatapnya, lagi-lagi dia menyeka air mataku. Adegan itu disaksikan juga oleh uwa dan nenek yang sedang menginap.
Ternyata memorinya sedang membawanya kemana dimana aku belum lahir. Memorinya yang hanya ada ibu dan kakakku dan mungkin pria tua jahat itu.
Pagi menjelang, uwa dan nenek yang berjaga satu persatu pamit untuk pergi bekerja di ladang.
Aku menjaga ibuku sendirian, aku mencoba meberinya makanan dan tanpa disangka dia pun memakannya. Dia melirikku dan berkata "Kakek juga pasti bisa!!"
Aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi artikulasi nya seolah dia sedang benar-benar bersama ku.
Tiba-tiba terdengar suara dahak disela-sela ibu mengambil nafas. Aku pun refleks mengucap syahadat dan ibu pun mengikuti ucapanku.
Aku terus menuntun ibu mengucap syahadat, kakinya yang dingin dan paha nya yang masih hangat aku semoat memastikannya.
Sambil terus menuntunnya membaca syahadat, pikiranku meyakinkanku bahwa ini hari terakhirnya.
Hingga cairang kental berwarna coklat muncrat dari bibirnya, suasana mulai panik. Sepupuku yang berada di sisiku berlari memanggil orang tuanya, sedangkan aku masih fokus menuntun syahadat ibuku.
Matanya menatapku sambil terus mengucap syahadat, namun tepat di kata "Laa ilaaha illallah" cairan itu kental itu mengalir dari lubang hidungnya dan dia mulutnya berhenti bergerak. Matanya yang menatapku perlahan menutup.
Untuk terakhir kalinya aku melihat wajah ibuku yang terbujur kaku tak bersuara. Aku berharap bahwa dia hanya tertidur, namun itu sungguh mustahil. Badanku masih tidak mempunyai tenaga, aku hanya bisa meraung memanggilnya. Mungkin ini yang dinamakan hilangnya akal sehat, duniaku serasa seketika gelap tanpa harap.Aku masih mengingat tentang kebaikan seseorang yang menggendongku di punggungnya karena aku tidak mampu berjalan. Dia menggendongku dari tempat pemakaman diatas bukit sampai di tempat rumah bibiku. Jaraknya mungkin sekitar satu kilometer.Setelah Maghrib, aku mendengar suara tangisan yang pecah"Mamah mamah mamah aaaa aaaaaa mamah" teriak suara itu.Dan suara orang-orang yang datang untuk menenangkannya"Sudah neng, mamah sudah tenang. Jangan seperti itu!!" Ucap beberapa orang yang menghampiri suara itu.Ternyata suara itu tidak lain adalah suara kakakku.Aku dibawa oleh salah seorang uwa untuk menemui kakakku. Tan
Dddduuuuuuuuuaaaarrrrr...... Layaknya suara kilatan petir yang menyambar di langit malam penuh badai. Dalam waktu hanya 6 bulan aku menjadi yatim piatu. Pria pemarah itu sekarang terbujur kaku, tuhan membebaskannya dari kesakitan yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa di hari kepergiannya itu aku pun menangisi jasadnya. Untuk pertama kalinya aku bisa memeluknya walaupun dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Dua kali tamparan dalam jarak 6 bulan, ibarat aku ditampar bulakbakik dan berkali-kali. Aku akui sekarang bahwa aku memang sendirian, bahuku harus sangat teramat kuat untuk bertahan hidup. Tidak akan ada lagi yang peduli dan menanyakan kabarku , dan harus siap dengan sebutan anak yatim piatu. Semua waktu yang dia berikan hanya tinggal kenangan, aku memaafkan semua kesalahan dan perkataan kasarnya. Aku melupakan semua sakit hati itu. "Memang tidak ada yang mencintai dan me
Namun lagi-lagi aku memutuskan untuk melajang. Sekitar 5 tahun aku berusaha hidup tanpa mencintai siapapun. Semua itu karena traumaku yang berkali-kali bertemu dengan orang yang salah. Dikhianati, dijadikan orang ke tiga, ditinggalkan tanpa sebab, dimanfaatkan secara financial bahkan dimanfaatkan hanya untuk urusan badan juga pernah, walaupun begitu, aku masih teguh mempertahankan keperawanan ku. Semua itu aku lalui bukan karena aku wanita yang tidak bisa sendirian, namun aku terlalu bodoh dan menganggap bahwa akan ada pria yang mencintaiku dengan tulus. Tapi nyatanya, pria memang tidak pernah menganggap ku serius. Setelah aku lelah dengan semuanya, aku memang memutuskan untuk hanya fokus bekerja, walaupun sekalinya aku fokus bekerja itu pun tidak jadi apa-apa. Karena hidupku yang sendiri, sehingga penghasilanku yang pas-pasan pun hanya bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Dikala mood ku sedang tidak baik, kenangan pah