Share

Bab 3

Dddduuuuuuuuuaaaarrrrr......

Layaknya suara kilatan petir yang menyambar di langit malam penuh badai. 

Dalam waktu hanya 6 bulan aku menjadi yatim piatu. 

Pria pemarah itu sekarang terbujur kaku, tuhan membebaskannya dari kesakitan yang luar biasa. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa di hari kepergiannya itu aku pun menangisi jasadnya. Untuk pertama kalinya aku bisa memeluknya walaupun dalam keadaan sudah tidak bernyawa. 

Dua kali tamparan dalam jarak 6 bulan, ibarat aku ditampar bulakbakik dan berkali-kali. 

Aku akui sekarang bahwa aku memang sendirian, bahuku harus sangat teramat kuat untuk bertahan hidup. Tidak akan ada lagi yang peduli dan menanyakan kabarku , dan harus siap dengan sebutan anak yatim piatu. 

Semua waktu yang dia berikan hanya tinggal kenangan, aku memaafkan semua kesalahan dan perkataan kasarnya. Aku melupakan semua sakit hati itu. 

"Memang tidak ada yang mencintai dan menghargaimu sangat tulus selain mamah, kau menyusulnya karena kau sadar bahwa begitu sakitnya efek rasa sakit dari kehilangan"...

Siang malam silih berganti, ku lalui kehidupan dengan hampa. Beberapa konflik dengan saudara dari pihak ayah pun bermunculan. 

Salah satu paman tidak membolehkan kami untuk tetap tinggal di rumah masa kecil kami, dan dengan tega mengusir kami. 

Sampai akhirnya memunculkan luka hati dan rasa benci yang teramat dalam. 

Ternyata masalah hidup semakin berat, beberapa hal terjadi diluar kendali. Terkadang membuatku mempertanyakan kembali tentang apa maksud Tuhan. 

Pria yang dinikahi kakakku ini adalah sosok pria yang tidak lebih baik dari ayahku. Bukan aku baru saja tahu sifat aslinya, tapi aku memang sudah tidak menyukainya sejak awal. 

Memang keributan itu selalu berawal dari tingkah kasar ayahku, sampai akhirnya suami kakakku memutuskan untuk pindah rumah. 

Pada saat itu, ibuku merasa ada sedikit harapan untuknya bisa pergi dari penderitaan selama ini. Sampai akhirnya ibu ikut bersama kakakku untuk pindah rumah. 

Dan aku yang masih SMP harus berpisah dengan ibuku. Sedikit membuatku down tapi aku mendukung keputusan ibu, aku menginginkan kebahagiaan nya.

Ibuku membuka rumah makan untuk mendapatkan penghasilan, aku yakin dia bahagia dengan kegiatan barunya. 

Namun kasihan sekali ibu, ketika tahu bahwa menantunya juga tidak lebih baik perilakunya dari pada suaminya. 

Suatu malam, dia pulang dalam keadaan mabuk. Tanpa basa-basi dia langsung masuk ke kamar dan tidur. 

Kakakku keluar kamar lalu menghampiri ibu dan aku yang berada di ruang tamu. Dia kesal karena suaminya pulang dalam keadaan mabuk.

Tiba-tiba terdengar suara keponakan ku yang saat itu masih berusia 4 bulan menangis. Kakakku semakin stress mungkin karena dia juga terkena syndrome Baby blues. 

Plak.....

Tangisan bayi itu menghilang, namun kembali menangis dengan suara yang sangat kencang. 

Kami bertiga sangat terkejut, kakakku langsung kembali ke kamar dan membawa bayinya. Dalam sekejap luka lebam ada di mata kanan sang bayi malang. 

"Orang sinting!!" Ucapku. 

Seharusnya itu menjadi peringatan yang diberikan sejak awal untuk kakakku. Tapi apa boleh buat, karena pernikahan tidak semudah itu harus dibubarkan. 

Perilaku jelek dan kasarnya semakin sering terungkap, terlebih dia orang yang mengkonsumsi alkohol. Maka dia sering main tangan. 

Kasihan dua keponakan kecilku yang sering mendapat amukannya. Terlebih si bungsu, aku mengkhawatirkan keadaan mental mereka yang bisa saja mengalami suatu keadaan seperti aku. 

Hingga tiba suatu hari, dikala kami menjadi yatim piatu. Karena aku pun tidak ada pilihan lain untuk tidak ikut dengan kakakku. 

Aku mendapat pekerjaan, dan itu pun pekerjaan yang patut aku syukuri karena aku mendapat gaji yang normal serta jenjang karir. 

Walau perjuangan untuk bertahan di tempat kerja pun sama sulitnya. 

Sempat terbersit di pikiranku untuk pergi memisahkan diri, karena aku merasa bahwa aku sudah mampu untuk membiayai kehidupanku sendiri. Terlebih memang tidak pernah enak jika hidup menumpang walaupun itu kakak sendiri. 

Tapi aku tidak ingin meninggalkan keluarga ku satu-satunya. Setelah orang tua meningga, kami hanya bisa mengandalkan satu sama lain. Terlebih, aku tidak bisa membayangkan jika suatu hari keributan besar terjadi. Kasihan sekali kakak dan kedua keponakanku, pikirku saat itu. 

Plak....bug...brak

"Anj*ng .... Set*n ..... Mati kau ser*n !!"

Keributan yang berasal dari kamar kakakku. Membangunkanku yang langsung menyadarkan ku untuk berlari ke sumber suara. 

Aku mendobrak pintu kamar, melihat kakakku yang sedang dipukuli disudut lemari, keponakan kecilku mematung dengan tatapan kaget dan takut. 

Dia berbalik menyerangku, ayunan tangannya yang akan memukulku selalu aku hempas. Aku tidak pernah merendahkan badanku sehingga dia tidak bisa memukulku. Aku pun melawannya tanpa rasa takut. Kakakku yang mencoba melerai malah kena pukulan lagi karena dia setiap akann dipukul selalu memojokkan diri kesudut dan jatuh kebawah. 

Aku melerainya lagi, hingga akhirnya manusia kerasukan setan itu mengusirku. Tanpa rasa takut, aku pun mengiyakan. 

Aku mengemasi barangku, aku pikir bahwa aku akan pergi sendiri. Namun ternyata kakak dan kedua keponakanku ikut mengemasi barangnya. 

Memang belum sempat terpikirkan olehku harus pergi kemana. Tapi aku hanya akan pergi , itu yang ada di pikiranku saat itu. 

Hingga aku teringat seorang teman yang aku harap bisa menolongku. 

Maha besar dan terpujinya Tuhanku. Memang ini takdir darinya untukku bisa pergi. 

Seorang teman itu ternyata bisa membantuku. Dia memberi solusi untuk menyimpan terlebih dahulu barang-barang yang aku punya dirumahnya. 

Dia pun mengirimkan jasa pengangkut barang ke rumah yang kami akan tinggalkan. 

Perasaanku campur aduk, namun aku harus bertahan. 

Sekitar satu bulan kami hidup di rumah kontrakan yang hanya cukup untuk kami tidur saja. Namun suasana baru yang masih asing belum bisa membuatku terbiasa. 

Aku mempertanyakan rencana bulan depan apakah kita harus pindah lagi atau tetap disini. 

Tidak aku sangka bahwa kakakku akan kembali ke rumah itu bersama lelaku bejad itu. 

Sedikit amarah memuncak di dadaku. 

"Bisa-bisanya dia pergi kembali ke rumah itu, dan ingin bersama kembali dengan pria laknat tersebut!!" Pikirku. 

Namun dibalik itu semua, aku yakin bahwa dia mempunyai alasan lain. 

Sampai akhirnya dia memberitahuku bahwa manusia laknat itu menteror nya sampai ke tempat kerja, jika dia tidak kembali ke rumah. Terlebih kakak tidak mau membebaniku yang masih muda untuk ikut campur dalam urusan keluarganya yang runyam. 

Sampai saat ini, aku berpikir alasan apakah yang memungkinkan aku tidak terkena syndrome trust issue? 

Dua contoh yang aku lihat secara nyata di kehidupanku. Membuatku sangat trauma tentang suatu kepercayaan dalam hubungan.  Karena aku yakin , ibu dan kakak tidak jatuh cinta pada orang yang salah. 

Diawal perkenalan mereka pasti adalah pria-pria baik pilihan ibu dan kakak. Oleh karena itu mereka memutuskan untuk memilihnya.

Terkadang aku berpikir bahwa mungkin orang yang akan aku temui adalah orang-orang yang berbeda. Bisa saja keajaiban tuhan mempertemukan ku dan menjodohkan ku dengan pria yang baik. 

Tapi, selama ini setelah aku menjalani beberapa hubungan. Tidak ada satupun yang berakhir baik, sampai aku berpikir bahwa ;

"Apakah aku tidak pernah pantas untuk dicintai?" 

Tapi aku tidak mau menjadikan takdir tuhan buruk untukku. Maka terkadang aku selalu berpikir ;

"Belum saatnya, suatu hari aku akan dikejutkan dengan takdir tuhan yang mempertemukan ku dengan pria yang akan memberikanku kebahagiaan yang tidak pernah aku sangka sebelumnya".

Harapan itu selalu ada, dan aku pun selalu berdoa untuk dia pria yang akan meluluhkan hatiku. Walaupun rasa percaya diriku selalu hilang, disaat aku ingat perkataan kasar ayahku padaku. 

"Dasar kau jelek rupa, lihat bibirmu seperti sungut anj*ng!!" 

Perkataan itu melekat diingatanku, membuatku selalu rendah diri. Meyakinkan bahwa parasku memang buruk rupa, sehingga tidak ada yang bersedia untuk mencintaiku. 

Terkadang aku membohongi diriku sendiri dengan mengatakan bahwa ; "Aku baik-baik saja!" 

Sehingga kerap kali doaku berubah-ubah. 

Disaat aku benci akan perlakuan ayah, Kaka iparku dan lelaki-lelaki yang menyakitiku, maka aku hanya ingin hidup bahagia tanpa kekurangan suatu apapun.

Namun disaat aku merasakan kesepian, dan takut akan menua sendirian sampai hari kematianku pun tidak jadi perhatian. Aku mulai mendoakan dan meminta adanya pernikahan dalam hidupku. 

Mungkin aku serakah, hingga akhirnya aku meminta keduanya dalam hidupku. 

Aku tahu Tuhan maha kaya, maka apapun boleh aku minta. Terlepas dari aku seorang pendosa, tapi lautan ampunan tuhan tidak akan mampu terhitung. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status