Namun lagi-lagi aku memutuskan untuk melajang. Sekitar 5 tahun aku berusaha hidup tanpa mencintai siapapun. Semua itu karena traumaku yang berkali-kali bertemu dengan orang yang salah.
Dikhianati, dijadikan orang ke tiga, ditinggalkan tanpa sebab, dimanfaatkan secara financial bahkan dimanfaatkan hanya untuk urusan badan juga pernah, walaupun begitu, aku masih teguh mempertahankan keperawanan ku.
Semua itu aku lalui bukan karena aku wanita yang tidak bisa sendirian, namun aku terlalu bodoh dan menganggap bahwa akan ada pria yang mencintaiku dengan tulus.
Tapi nyatanya, pria memang tidak pernah menganggap ku serius. Setelah aku lelah dengan semuanya, aku memang memutuskan untuk hanya fokus bekerja, walaupun sekalinya aku fokus bekerja itu pun tidak jadi apa-apa.
Karena hidupku yang sendiri, sehingga penghasilanku yang pas-pasan pun hanya bisa mencukupi kehidupan sehari-hari.
Dikala mood ku sedang tidak baik, kenangan pahit masa lalu selalu menemani. Terlebih perkataan ayahku yang membuatku semakin yakin bahwa aku memang tidak layak untuk dicintai..
5 tahun memutuskan untuk sendiri itu tidak mudah, rasa sepi dan sedih hanya bisa aku rasakan sendiri. Aku tidak ingin berbagi kesedihanku pada orang lain, tapi terkadang hadirnya seseorang yang mencintai kita dalam hidup membuat hidup kita terasa lebih berarti.
Aku mencoba untuk menjauhkan bosan dari hidupku dengan mencari teman dari dunia maya. Walau sekedar ngobrol tapi aku merasa tidak kesepian.
Ya biasalah dunia maya, mengobrol hanya 2 hari lalu mereka menghilang. Setidaknya walaupun mereka menghilang aku tidak akan merasa sedih. Karena mereka hanya teman dunia maya.
Aku pun memilih kenalan dari negara lain, karena alasan traumaku pikiran ku lebih terbuka dengan pria yang berasal dari negara lain.
Waktu silih berganti, berhari-hari berminggu-minggu berbulan-bulan aku masih memainkan aplikasi itu. Singkat cerita, ada pria yang aku rasa perilaku dan sifatnya itu nyambung denganku.
Hingga akhirnya tidak terasa bahwa kita sudah intens mengobrol tanpa hilang kontak sedikitpun. Obrolan kami makin dalam, sampai ranah pribadi pun kita masukan dalam topik kita.
Sampai dirasa memang tidak ada rahasia diantara kita. Caranya menanggapi cerita ku pun terlihat sangat tulus.
Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menemuiku. Aku tidak menganggapnya serius pada saat itu, pikiran ku masih dalam batasku dimana aku menganggap bahwa dia hanya bicara saja.
Dia meyakinkanku dengan mengirim bukti pembelian tiket pesawat menuju Indonesia. Dan aku pun hanya merasa percaya saja bahwa dia akan datang. Tanpa perasaan lebih lain karena kemungkinan bahwa dia hanya berbohong itu juga masih mungkin terjadi.
Sebulan berlalu, kami pun benar-benar bertemu. Pikiranku masih berusaha waras, jika dia datang hanya untuk berlibur.
Sampai pada akhirnya dia mengatakan padaku bahwa alasannya datang adalah untuk menemuiku.
"Ah yang benar saja, wanita jelek sepertiku mana mungkin disukai dan membuat seorang berkorban untuk datang menemui ku!!"
Berkali-kali aku memperingatkan otakku supaya tidak terlena.
Tidak disadari bahwa apa yang kami lakukan berujung perasaan seperti sepasang kekasih.
Sampai aku pun menangis ketika terakhir kita bersama dan dia harus kembali ke negaranya. Dan itu pun pertama kalinya ada pria yang menangis ketika harus melepasku.
Aku mengantar nya sampai ke bandara, keyakinan ku harus aku pudarkan. Mengingat bahwa tidak pernah ada ketulusan untukku. Aku harus menganggap segala kebaikan dan pengorbanannya adalah hal biasa.
Namun rasa takut dan khawatir hinggap dikala dia kembali ke negaranya.
Aku tidak dapat berbohong bahwa ternyata aku menaruh harap. Aku tidak bisa berekspresi terlalu bahagia, karena aku juga tidak ingin terlihat terlalu bersedih dikala dia memang benar pergi seperti yang lainnya.
Komunikasi kami masih berjalan dengan baik, bahkan disaat dia pergi bersama kerabatnya pun aku masih diberi kabar.
Hampir tidak pernah ada konflik diantara kami, dia memperlakukan ku dengan baik sehingga aku tidak pernah merasa curiga.
Tiba saat dimana dia memberitahu ku bahwa dia akan pergi mengunjungi orang tuanya di kota lain.
Entah mengapa hatiku terasa khawatir, tiba-tiba saja aku ingin berdoa dan meminta kebahagiaan.
"Tuhan, Apapun yang terjadi aku hanya ingin bahagia!"
Padahal ada kekhawatiran lain dalam benakku yang tidak pernah ingin aku ungkapkan pada siapapun.
Sepulangnya dia dari rumah orangtuanya, komunikasi kami mulai dingin. Walaupun kami masih berkomunikasi.
Ketika bervideo call pun tanpa berkata-kata kami seolah bertelepati. Hanya sekedar menatap tanpa berkata apapun, kami sama-sama menangis.
Tapi kami masih terus mempertahankan hubungan ini.
Tiba di hari dimana dia sangat lambat dalam merespon, aku hanya mencoba untuk berpikiran baik walau aku tahu bahwa firasat tidak akan pernah berbohong.
Dia menelpon ku lewat video, namun dia mengarahkan kameranya ke langit kamarnya.
Aku pun bertanya tentang apa yang dia lakukan, dan kenapa camera nya tidak mengarah ke wajahnya.
"Mana wajahnya? Aku ingin lihat, aku sangat rindu" ucapku.
Hanya sedetik lalu dia memutus panggilan nya.
Aku mencoba memanggilnya kembali, dia pun menyambungkan panggilan itu.
Namun untuk kedua kalinya dia menghindari camera nya.
"Aku tahu kamu sedang menangis, apa yang terjadi?" Tanyaku.
Dia hanya bilang bahwa dia tak sanggup melihat wajahku.
Tanpa dia berkata lebih, aku pun mengerti maksudnya.
Pikiranku sudah meracuni keyakinan ku, bahwa kali ini pun akan berakhir sama.
Aku hanya bertanya apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan dia pun tidak menyebutkan kata-kata bahwa kita harus berakhir.
Emosinya mereda, lalu dia meluapkan isi hatinya.
Dia hanya menyesal bahwa kita berada berjauhan, sehingga jika terjadi suatu hal padaku, dia tidak bisa segera membantu.
Aku tahu bahwa itu hanya secuil kekhawatiran nya. Dan dia hanya mencoba untuk mengalihkan topik.
Kekhawatiran yang sesungguhnya adalah bahwa hubungan kita sedang berada di ujung tanduk.
Antara kita harus terjatuh bersama atau kembali ke jalan lain dan berpisah.
Kita memilih untuk meneruskan hubungan ini dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memberikan jalan.
Batinku berkata lain, aku meyakini bahwa kita akan putus. Dan ini hanya tinggal menunggu waktu.
Namun kali ini juga aku dengan lancangnya meminta supaya hubungan kami diberi kemudahan.
Sebagai manusia yang mempunyai iman, walau imanku hanya seuprit tapi aku juga adalah manusia tidak tahu diri yang masih meminta walau hasil akhir akan tetap saja sama. Dan tidak tahu malunya aku, aku masih mengira bahwa mungkin bisa saja kali ini berbeda.
Kalian bisa nilai betapa bodohnya aku.
Hello namaku Rissa, aku wanita berusia 29 tahun yang bekerja sebagai seorang karyawan swasta. Aku berkepribadian berani namun sangat introvert, tidak jarang orang menganggap ku sombong sehingga tidak banyak orang yang ingin berteman denganku. Di usiaku yang sebentar lagi menginjak kepala tiga, aku masih saja melajang. Bukan aku tidak menarik, tapi aku memang mencoba untuk tidak terlihat menarik. Aku tidak bergaul dengan banyak pria, ya mungkin karena aku terlihat sombong itu menjadikanku tidak banyak mempunyai teman. "Jomblo terus,,, cari pacar dong!!" "Senyum! Biar banyak yang suka!! Dikira nanti sariawan, manyun terus!!" "Makanya nikah, cari pendamping biar pulang ada yang jemput! Jadi ga nyusahin orang lain!!" "Coba kalo tinggal di kota lain, kayaknya kamu bakalan laku deh!!" "Kapan nikah? Udah ada calon belum?" Terlepas dari apapun maksud perkataan-perkataan tersebut, tapi karena mereka tidak pern
Untuk terakhir kalinya aku melihat wajah ibuku yang terbujur kaku tak bersuara. Aku berharap bahwa dia hanya tertidur, namun itu sungguh mustahil. Badanku masih tidak mempunyai tenaga, aku hanya bisa meraung memanggilnya. Mungkin ini yang dinamakan hilangnya akal sehat, duniaku serasa seketika gelap tanpa harap.Aku masih mengingat tentang kebaikan seseorang yang menggendongku di punggungnya karena aku tidak mampu berjalan. Dia menggendongku dari tempat pemakaman diatas bukit sampai di tempat rumah bibiku. Jaraknya mungkin sekitar satu kilometer.Setelah Maghrib, aku mendengar suara tangisan yang pecah"Mamah mamah mamah aaaa aaaaaa mamah" teriak suara itu.Dan suara orang-orang yang datang untuk menenangkannya"Sudah neng, mamah sudah tenang. Jangan seperti itu!!" Ucap beberapa orang yang menghampiri suara itu.Ternyata suara itu tidak lain adalah suara kakakku.Aku dibawa oleh salah seorang uwa untuk menemui kakakku. Tan
Dddduuuuuuuuuaaaarrrrr...... Layaknya suara kilatan petir yang menyambar di langit malam penuh badai. Dalam waktu hanya 6 bulan aku menjadi yatim piatu. Pria pemarah itu sekarang terbujur kaku, tuhan membebaskannya dari kesakitan yang luar biasa. Tidak bisa dipungkiri bahwa di hari kepergiannya itu aku pun menangisi jasadnya. Untuk pertama kalinya aku bisa memeluknya walaupun dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Dua kali tamparan dalam jarak 6 bulan, ibarat aku ditampar bulakbakik dan berkali-kali. Aku akui sekarang bahwa aku memang sendirian, bahuku harus sangat teramat kuat untuk bertahan hidup. Tidak akan ada lagi yang peduli dan menanyakan kabarku , dan harus siap dengan sebutan anak yatim piatu. Semua waktu yang dia berikan hanya tinggal kenangan, aku memaafkan semua kesalahan dan perkataan kasarnya. Aku melupakan semua sakit hati itu. "Memang tidak ada yang mencintai dan me