"Adam Ditorejo?? Adam yang dimaksud adalah CEO dari Dedikasi Foundation?!" suara Aryo terdengar sangat kaget ketika Sheila mengenalkan pria yang sekarang nampak tenang meminum kopi hitamnya. Pria itu hanya tersenyum singkat dan memandang ke arah Aryo dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Bagaimana... Bagaimana.... kalian bisa saling mengenal?" tanya Aryo yang masih sangat penasaran.
"Itu.. cerita yang sudah amat lama, Mas." Sheila masih mencoba memahami keadaan yang mengagetkan pagi ini. Kedatangan Aryo dilanjutkan dengan kedatangan Adam. Bagaimana bisa dua pria itu muncul bersamaan pagi itu? Ditambah sebenarnya Sheila masih bingung untuk memulai menjelaskan bagaimana dirinya bisa mengenal Adam.
"Kisah lama yang mungkin perlu kamu ceritakan kepada pacarmu ini, She.." Adam berusaha untuk menggoda Sheila. Sheila tahu sekali Adam sengaja mengatakan kalimat itu untuk memancing keadaan. Ia tidak tahu apa, sebenarnya Sheila sedari tadi sedang kalang kabut untuk mencoba menenangkan keadaan. Suasana di meja makannya pagi itu benar - benar membuatnya frustasi.
Disisi lain, Adam sangat menikmati pemandangan wajah Sheila yang sedang kebingungan. Ia ingin terus menggodanya. Menggoda wanita yang beberapa saat lalu berhasil membuatnya cemburu.
"Kamu harus kasih tahu aku gimana kamu bisa kenal dengan orang penting seperti Pak Adam."
"Jangan panggil saya pak. Saya belum menikah, saya belum memiliki keluarga, dan saya rasa saya belum cukup tua untuk dipanggil dengan sebutan itu."
"Mohon maaf, saya hanya ingin menjaga kesopanan karena kita baru bertemu pagi ini. Saya tak nyaman langsung memanggil nama, walaupun Anda sudah lama mengenal Sheila."
Sekali lagi Sheila mengutuk Adam. Kenapa laki - laki itu terus saja memperburuk keadaan. Ia ingin sekali menyuruh Adam untuk angkat kaki dari rumahnya. Namun, hal itu tak mungkin ia lakukan karena akan mengundang banyak pertanyaan dari Aryo.
"She?" panggil Aryo lembut sambil menepuk pundaknya. Setiap gerakan Aryo ketika menyentuh Sheila tak lepas dari pandangan mata Adam.
"Ya?"
"Ceritanya gimana?" Aryo dengan sabar mencoba mengulangi pertanyaannya.
"Itu.. Nggak sengaja.. bantuin adeknya kecelakaan lalu.." Sheila masih mencoba merangkai kalimat agar tidak salah bicara. Namun, semakin ia mencoba untuk merangkai kata dengan baik, otaknya melawannya dan malah membuatnya terdengar seperti orang bodoh.
Adam tak sabar untuk bercerita, tanpa menunggu Sheila, ia melanjutkan ceritanya, "Monica Ditorejo adalah teman SMA Sheila. Ketika hari pertama masuk sekolah karena sebelumnya dia homeschooling, adik saya mengalami perampokan dan kecelakaan. Untungnya Sheila ada di TKP dan dia langsung menolongnya. Singkatnya ketika sampai di rumah sakit, adik saya kritis dan mengalami banyak pendarahan. Dokter butuh donor darah yang sama dengan adik saya, entah kebetulan atau apa, golongan darah Sheila sama dengan adik saya. Dan.. ya... Sheila mendonorkan darahnya untuk adik saya.."
"Sejak saat itu mereka bersahabat dan keluarga saya juga menganggap Sheila sebagai penyelamat. Bagaimana tidak, cucu perempuan satu - satunya Ditorejo bisa saja meninggal tapi dengan bantuan darah dari Sheila, ia berhasil hidup."
"Wait, jadi sahabat yang selalu telepon kamu yang namanya Monica itu adalah Monica Ditorejo??"
Sheila hanya bisa mengangguk.
"Wow.. Kenapa kamu nggak cerita She?"
Sheila menatap Aryo dengan tatapan tidak percaya, "Kenapa nggak cerita? Siapa yang setiap kali aku cerita tentang Monica yang selalu memotong dengan kalimat 'Jangan cerita tentang sahabat kamu, toh nggak ada hubungannya sama kita.' Bukannya Mas selalu mengatakan hal itu?"
"Yaa.. Aku nggak tahu kalo itu Monica Ditorejo."
"Kalo pun itu bukan Monica Ditorejo yang merupakan salah satu cucu dari keluarga konglomerat apa sikap Mas sama sahabatku akan tetap sama?" Entah kenapa Sheila sedikit naik darah ketika mendengar tanggapan dari Aryo.
"Nggak gitu maksudnya.. Tapi..."
Suara ponsel Aryo memotong ucapannya kepada Sheila. Aryo pun segera mengangkatnya setelah melihat sekilas di layar siapa orang yang meneleponnya dan meminta ijin untuk mengangkat telepon di luar. Sheila yang juga sekilas sempat melihat ke arah ponsel Aryo, menyadari bahwa nama yang meneleponnya terasa familiar. Dinda.
"Kenapa lo nggak pernah cerita soal ini ke pacar lo?" tanya Adam setelah Aryo beranjak pergi dari meja makan dan tinggal mereka berdua.
"Bukan urusan Abang.." Sheila mengatakan dengan nada tidak suka.
"Udah lama lo nggak manggil gue abang, semalam aja lo masih panggil gue dengan formal."
Sheila yang menyadari itu, buru - buru mengalihkan fokusnya dengan meminum air putih yang ada di hadapannya. Adam tersenyum puas. Sejak semalam ia sudah yakin bahwa dirinya masih memiliki efek untuk Sheila dan itu membuatnya merasa lega. Setidaknya Sheila tidak benar - benar melupakannya setelah lima tahun tidak pernah bertemu.
"Sayang, maaf aku harus pergi," ucap Aryo yang sudah kembali ke meja makan dan membereskan barangnya sekaligus mengambil jaket yang ada di kursi meja makan.
"Kok? Katanya Mas cuti?!" Sheila merasa tidak terima.
"Ada hal yang mesti aku urus. Maaf ya. Kalo urusannya udah selesai nanti aku usahakan untuk jemput kamu."
Sheila masih tidak terima. Namun, bagaimana lagi, Aryo tidak suka dengan perempuan yang merengek, sehingga Sheila harus menelan kejengkelannya pagi itu.
"Lain kali kita mengobrol lagi ya Adam. Senang bertemu dengan kamu. Saya permisi." pamit Aryo kepada Adam. Adam berdiri dan mengangguk dengan ramah ke arah Aryo. "Kamu nggak perlu nganter aku ke depan, temenin Adam saja." lanjutnya kepada Sheila. Sheila hanya bisa mengangguk pasrah.
"Jadi?" tanya Adam setelah terdengar suara mobil meninggalkan halaman depan. Sheila yang bingung maksud pertanyaan Adam hanya bisa menaikkan alisnya karena terlalu malas untuk mengeluarkan kata dari mulutnya.
"Hubungan harmonis yang kamu impikan itu udah kamu dapetin dari Aryo?"
"Aku punya hak untuk nggak jawab pertanyaan itu."
"Oke."
Kini giliran ponsel Adam yang mengeluarkan suara panggilan. Ia tersenyum dan langsung menerima telepon tersebut dan menekan tombol load speaker. Sheila hanya memperhatikan dalam diam.
Ia masih ingin memperbaiki moodnya setelah kepergian Aryo. Bagaimana telepon itu membuat Aryo pergi meninggalkannya. Se-urgent apa urusan sehingga ia tidak bisa menundanya? Apakah tidak bisa ditangani oleh orang lain? Apa harus Aryo yang harus menyelesaikannya? Pikiran - pikiran itu memenuhi kepalanya sekarang. Hatinya mengatakan ada hal yang tidak beres."Hi Mom, maaf aku nggak bisa sarapan di Rumah Utama. Pagi ini tiba - tiba ada agenda."
'Agenda apa? Kamu pulang dari Singapura, malah langsung check-in di hotel. Kamu lupa kamu punya orang tua?'
Sheila mengenal suara yang sedang menelepon Adam. Itu adalah Tante Jasmine, ibu dari Adam dan Monica.
"Sedang sarapan bersama Sheila." Adam memandang ke arah Sheila dan tersenyum. Sheila mengangkat kedua alisnya, terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Adam. Bisa - bisanya ia langsung mengatakan hal itu. Sheila yakin pasti Tante Jasmine juga tidak menyangka bagaimana Adam dan Sheila bisa sarapan bersama padahal lima tahun yang lalu, Sheila masih menolak mentah - mentah untuk bertemu dengan Adam.
'Sheila-nya Monica? Atau Sheila yang lain?'
"Ya, Sheila yang itu.."
Hening. Namun, beberapa detik berikutnya suara Tante Jolie kegirangan terdengar sehingga membuat Sheila refleks tersenyum.
'Sheilaa?! Sheilla dengar ini Tante!'
Adam pun mengarahkan ponsel pintarnya mendekat ke arah Sheila agar suara Sheila terdengar oleh ibunya.
"Hai, Tan. Ini Sheila.." sapa Sheila dengan ramah.
'Kamu beneran lagi sarapan sama Adam?'
"Iya Tan. Bang Adam tadi ke rumah."
'Rumah? Rumah kamu?!'
"Iya.. Kenapa Tan?"
'Akhirnyaaaaaaaaaaa! Kalian baikannnn! Doa tante akhirnya dikabulkan oleh Tuhan! Sheila udah nggak kesel sama Adam kan?'
Sheila terdiam. Kesal dengan Adam? Selama lima tahun ini, ia menghindari Adam bukan karena ia kesal dengan Adam. Penyebabnya adalah Sheila sendiri. Ia tak ingin menjalin hubungan dengan Adam.
Sheila merasakan Adam sedang menatapnya. Ia sedang menunggu jawaban apa yang akan ia ucapkan kepada ibunya.
"Bang Adam nggak pernah bikin kesel Sheila kok, Tan." Sheila mendengar suara tawa yang ditahan dari arah Adam duduk.
'Inget She, setiap hubungan itu ada masalah, tak terkecuali hubungan kamu sama Adam. Adam memang orang yang keras kepala, jadi kamu harus sabar sama dia.'
"Tan... Maksud aku.."
'Pokoknya siang ini, kalian berdua harus makan siang di Rumah Utama. Kakek pasti senang mendengar kabar kalian berbaikan. Tante tunggu. Dadahhhh..'
Sambungan telepon pun terputus. Adam menarik ponselnya dan memasukan kembali ke saku jas hitamnya. Sheila menggaruk keningnya yang tak gatal. Ia merasa kejadian pagi ini berubah dengan tempo yang sangat cepat. Otaknya bahkan tidak bisa mencerna dengan baik.
"Makan siang di rumah utama."
"Aku juga dengar, Bang."
"Jadi?"
"Aku hari ini dapet jadwal shift siang."
"Lalu?"
"Menurut kamu, aku punya alasan menolak?"
"Tidak."
Sheila menyipitkan matanya.
"Kenapa?"
"Apa aku harus pergi ke Rumah Utama?"
"Iya. Kamu harus pergi ke Rumah Utama sama aku."
"Haruskah?"
"Sheila.. Pergi sama aku yuk, jenguk kedua orang tua aku dan kakek. Kita sudah lama nggak jenguk mereka bareng - bareng.." ucap Adam sambil menyentuh ujung bibir Sheila.
Kalimat yang diucapkan Adam sekaligus tindakan Adam barusan membuat Sheila lupa bernafas karena terlalu kaget. Jantungnya tiba - tiba berdetak cepat, perutnya bergejolak aneh, dan juga hatinya berdesir. Ia tahu juga bahwa pipinya kini memerah.
"Maaf tadi ada remah roti," ucap Adam dengan santai.
***********
Mencoba untuk tetap tenang, Sheila keluar kamar untuk menemui Adam yang telah menunggunya untuk mandi dan bersiap - siap. Sheila merasa tidak nyaman karena Adam berada di dalam rumahnya. Memang dulu Adam juga sering menunggunya, tapi bukankah itu adalah lima tahun yang lalu? Sheila masih meragukan keputusannya untuk ikut Adam ke Rumah Utama. Ia merasa keputusan yang diambilnya tadi sungguh impulsif. Bayangkan kecanggungan yang akan terjadi dan bagaimana nanti dia harus menghadapi orang - orang yang menanyakan bagaimana hubungan mereka berdua. Sebentar, hubungan? Sheila mengernyit karena merasa pikirannya sudah tidak waras. Memang hubungan apa yang mereka miliki? Mereka hanyalah dua orang yang sudah lama tidak saling bertemu dan kini tidak sengaja dipertemukan kembali oleh semesta. Ya, tidak sengaja. Bahkan Sheila harusnya berpikir bahwa pertemuannya kembali dengan Adam bukanlah sesuatu hal yang besar di dalam hidupnya. Ia sama seperti halnya kawan lama yang sudah lam
"Puas lo bikin kami seperti ini?"Suara Nora yang sengau karena menangis membuat Sheila tidak tega."Lo buat gue sama Adam berpisah, padahal kami sudah bersama sejak dua tahun yang lalu. Motif lo apa sih, She?" tambah Nora yang seperti ingin menangis lagi.Sheila tidak mengerti, kenapa Nora bisa - bisanya menuduh Sheila merebut Adam darinya, padahal sejak dulu, Sheila sudah menganggap Adam sebagai kakaknya. Namun, memang terkadang perasaan Sheila berdebar ketika bersama Adam. Hal itu, tidak bisa dibilang Sheila memiliki maksud untuk merebut Adam dari Nora.Sheila ingin sekali menjelaskan dengan gamblang bahwa Sheila dan Adam tidak ada hubungan apapun. Tetapi dalam situasi seperti ini, bibir Sheila hanya bisa tidak mendukung hal tersebut."Jawab, She, sebenarnya apa motif lo buat deketi Adam? Apa karena dia anak dari keluarga kaya sehingga lo mau sama dia?"
Rindu seperti penyakit. Jika ditahan terlalu lama maka ia akan mengerogoti hampir seluruh jiwa dalam tubuh si penderita. Melihat seseorang yang dirindukan hanya terpisah jarak beberapa meter membuat kehilangan akal sehat. Kira - kira itulah yang dirasakan Adam semalam.Berbincang - bincang dengan Sheila hanya beberapa menit sudah membuat perasaan cinta Adam makin dalam. Kedewasaan Sheila sekarang sekaligus sikap manja Sheila yang belum hilang dari dulu membuatnya semakin mendamba perempuan itu.Namun, ia belum menemukan jalannya. Adam ingin sekali menemukan jalannya. Maka ia tak ragu - ragu untuk mengendarai mobilnya dengan cepat hanya ingin untuk berkunjung ke rumah perempuan yang ia kasihi. Rindu lima tahun tak hanya cukup dihabiskan dengan obrolan kurang dari satu jam empat puluh menit.Sesampainya di rumah Sheila, Adam justru mendapatkan pemandangan yang membuat rasa cemburu di dadanya bergelora. Ia tak suka wanitanya dengan laki - laki lain yang
"Gue bakal pindah minggu ini ke Bali."Sheila menoleh ke arah Adam yang duduk di hadapannya dan terlihat seperti menerawang jauh ke depan."Apa karena urusan kantor?" tanya Sheila ingin tahu. Buket bunga yang berada di tangannya tampak tidak terlalu cantik lagi ketika Adam mengatakan perihal kepindahannya tersebut. Padahal beberapa saat lalu, ketika Adam memberikan buket bunga tersebut sebagai ucapan kelulusannya dari sekolah menengah tampak cantik sekali."Ya. Mau nggak mau sebagai salah satu cucu yang akan mengisi posisi penting di bisnis keluarga, gue harus siap menjalankan proyek besar ini. Proyek ini sebagai langkah awal untuk gue.."Sheila terdiam mendengarkan. Hatinya terasa perih. Tapi ia mencoba untuk tetap tenang."Monica tahu hal ini?" Sheila ingin tahu. Monica, sahabatnya sekaligus adik dari laki - laki di sampingnya ini apakah tahu tentang kepindahan tersebut. Jika iya, mengapa tadi siang ia tak buru - buru memberitahunya. Minimal Shei
"Adam Putra Ditorejo merupakan salah satu orang Indonesia yang berhasil masuk ke dalam Jajaran Orang yang Berpengaruh di Dunia versi Majalah Forbes. Hal itu tak bisa dipungkiri bagaimana Adam sendiri berhasil membawa budaya Indonesia ke kancah internasional dengan gemilang. Sudah beberapa kali.."Sheila mematikan televisi yang menayangkan berita tentang Adam Ditorejo. Sudah cukup hari ini dia mendengar nama Adam disebut atau bahkan terlihat olehnya baik di media cetak, televisi, bahkan di media sosial."Kenapa sih lo sensi banget setiap kali ada berita tentang Adam?" tanya Joanne yang kini tengah menikmati ketoprak yang ia beli dengan Sheila. Mereka berdua sedang istirahat di kantor security depan hotel tempat mereka bekerja."Biasa aja," jawab Sheila singkat dan melanjutkan makannya kembali."Nggak mungkin kan lo punya hubungan atau masa lalu sama dia? Dia mahhh jaaauhhh bangett di sana. Kita mah apa atuhh..""Itu lo tahu. Makanya mana mu
Adam frustasi.Dalam waktu yang amat singkat, dia merasakan keterkejutan, kemarahan, sekaligus kerinduan yang secara bergantian menyusupi hatinya. Jika saat ini ia bisa berteriak, dia akan berteriak karena memang perasaan yang saat ini hinggap sangatlah tidak nyaman.Ada dari sisi dirinya yang ingin berlari kembali ke meja resepsionis tadi dan segera memeluk wanita yang hampir lima tahun ini telah "menghilang" dari kehidupannya. Lebih tepatnya berusaha menghilangkan diri dari kehidupannya. Namun, sebagian diri Adam yang lain tidak ingin terlihat sebagai seorang laki - laki yang belum bisa melupakan seseorang dari masa lalunya.Ya, tapi memang Adam belum bisa bahkan tidak akan bisa melupakan Sheila. Berbagai cara Adam telah lakukan namun tidak ada hasilnya untuk melupakan Sheila. Adam memang harus mengakui bahwa Sheila adalah satu - satunya perempuan yang mengerti dirinya dari dulu maka dari itu tak heran keinginan untuk memiliki Sheila begitu besar bahkan setela
'Apa lo mikir gue yang rencanain?' tanya Monica di seberang telepon, ketika Sheila mengutarakan kejengkelannya karena pertemuannya kemarin malam dengan Adam.Sheila sedikit merasa tidak enak dengan Monica karena memang tadi dia sempat menuduh Sheila yang merencanakan pertemuan yang tak disengaja itu. Namun, alibi Monica cukup kuat sehingga membuat Sheila percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan memiliki rencana yang membuat dirinya marah."Yaa, awalnya gue kira lo emang pengen bikin kita baikan sih, Mon. Tapi denger penjelasan lo tadi, gue jadi mikir dua kali."'Gue emang punya niat buat bikin kalian berdua baikan. Tapi nggak sekarang. Gue aja masih pusing mikirin kerjaan gue di Singapore. Lo tahu kan dua minggu lagi gue mesti selesaiin semua keperluan buat Jakarta fashion Week. Boro - boro mikirin kalian berdua, nanya kabar abang aja kadang gue skip..'Sheila mengangguk - anggukkan kepalanya, memahami apa yang d
Rindu seperti penyakit. Jika ditahan terlalu lama maka ia akan mengerogoti hampir seluruh jiwa dalam tubuh si penderita. Melihat seseorang yang dirindukan hanya terpisah jarak beberapa meter membuat kehilangan akal sehat. Kira - kira itulah yang dirasakan Adam semalam.Berbincang - bincang dengan Sheila hanya beberapa menit sudah membuat perasaan cinta Adam makin dalam. Kedewasaan Sheila sekarang sekaligus sikap manja Sheila yang belum hilang dari dulu membuatnya semakin mendamba perempuan itu.Namun, ia belum menemukan jalannya. Adam ingin sekali menemukan jalannya. Maka ia tak ragu - ragu untuk mengendarai mobilnya dengan cepat hanya ingin untuk berkunjung ke rumah perempuan yang ia kasihi. Rindu lima tahun tak hanya cukup dihabiskan dengan obrolan kurang dari satu jam empat puluh menit.Sesampainya di rumah Sheila, Adam justru mendapatkan pemandangan yang membuat rasa cemburu di dadanya bergelora. Ia tak suka wanitanya dengan laki - laki lain yang
"Puas lo bikin kami seperti ini?"Suara Nora yang sengau karena menangis membuat Sheila tidak tega."Lo buat gue sama Adam berpisah, padahal kami sudah bersama sejak dua tahun yang lalu. Motif lo apa sih, She?" tambah Nora yang seperti ingin menangis lagi.Sheila tidak mengerti, kenapa Nora bisa - bisanya menuduh Sheila merebut Adam darinya, padahal sejak dulu, Sheila sudah menganggap Adam sebagai kakaknya. Namun, memang terkadang perasaan Sheila berdebar ketika bersama Adam. Hal itu, tidak bisa dibilang Sheila memiliki maksud untuk merebut Adam dari Nora.Sheila ingin sekali menjelaskan dengan gamblang bahwa Sheila dan Adam tidak ada hubungan apapun. Tetapi dalam situasi seperti ini, bibir Sheila hanya bisa tidak mendukung hal tersebut."Jawab, She, sebenarnya apa motif lo buat deketi Adam? Apa karena dia anak dari keluarga kaya sehingga lo mau sama dia?"
Mencoba untuk tetap tenang, Sheila keluar kamar untuk menemui Adam yang telah menunggunya untuk mandi dan bersiap - siap. Sheila merasa tidak nyaman karena Adam berada di dalam rumahnya. Memang dulu Adam juga sering menunggunya, tapi bukankah itu adalah lima tahun yang lalu? Sheila masih meragukan keputusannya untuk ikut Adam ke Rumah Utama. Ia merasa keputusan yang diambilnya tadi sungguh impulsif. Bayangkan kecanggungan yang akan terjadi dan bagaimana nanti dia harus menghadapi orang - orang yang menanyakan bagaimana hubungan mereka berdua. Sebentar, hubungan? Sheila mengernyit karena merasa pikirannya sudah tidak waras. Memang hubungan apa yang mereka miliki? Mereka hanyalah dua orang yang sudah lama tidak saling bertemu dan kini tidak sengaja dipertemukan kembali oleh semesta. Ya, tidak sengaja. Bahkan Sheila harusnya berpikir bahwa pertemuannya kembali dengan Adam bukanlah sesuatu hal yang besar di dalam hidupnya. Ia sama seperti halnya kawan lama yang sudah lam
"Adam Ditorejo?? Adam yang dimaksud adalah CEO dari Dedikasi Foundation?!" suara Aryo terdengar sangat kaget ketika Sheila mengenalkan pria yang sekarang nampak tenang meminum kopi hitamnya. Pria itu hanya tersenyum singkat dan memandang ke arah Aryo dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bagaimana... Bagaimana.... kalian bisa saling mengenal?" tanya Aryo yang masih sangat penasaran. "Itu.. cerita yang sudah amat lama, Mas." Sheila masih mencoba memahami keadaan yang mengagetkan pagi ini. Kedatangan Aryo dilanjutkan dengan kedatangan Adam. Bagaimana bisa dua pria itu muncul bersamaan pagi itu? Ditambah sebenarnya Sheila masih bingung untuk memulai menjelaskan bagaimana dirinya bisa mengenal Adam. "Kisah lama yang mungkin perlu kamu ceritakan kepada pacarmu ini, She.." Adam berusaha untuk menggoda Sheila. Sheila tahu sekali Adam sengaja mengatakan kalimat itu untuk memancing keadaan. Ia tidak tahu apa, sebenarnya Sheila sedari tadi sedang kalang kabut untuk men
'Apa lo mikir gue yang rencanain?' tanya Monica di seberang telepon, ketika Sheila mengutarakan kejengkelannya karena pertemuannya kemarin malam dengan Adam.Sheila sedikit merasa tidak enak dengan Monica karena memang tadi dia sempat menuduh Sheila yang merencanakan pertemuan yang tak disengaja itu. Namun, alibi Monica cukup kuat sehingga membuat Sheila percaya bahwa sahabatnya itu tidak akan memiliki rencana yang membuat dirinya marah."Yaa, awalnya gue kira lo emang pengen bikin kita baikan sih, Mon. Tapi denger penjelasan lo tadi, gue jadi mikir dua kali."'Gue emang punya niat buat bikin kalian berdua baikan. Tapi nggak sekarang. Gue aja masih pusing mikirin kerjaan gue di Singapore. Lo tahu kan dua minggu lagi gue mesti selesaiin semua keperluan buat Jakarta fashion Week. Boro - boro mikirin kalian berdua, nanya kabar abang aja kadang gue skip..'Sheila mengangguk - anggukkan kepalanya, memahami apa yang d
Adam frustasi.Dalam waktu yang amat singkat, dia merasakan keterkejutan, kemarahan, sekaligus kerinduan yang secara bergantian menyusupi hatinya. Jika saat ini ia bisa berteriak, dia akan berteriak karena memang perasaan yang saat ini hinggap sangatlah tidak nyaman.Ada dari sisi dirinya yang ingin berlari kembali ke meja resepsionis tadi dan segera memeluk wanita yang hampir lima tahun ini telah "menghilang" dari kehidupannya. Lebih tepatnya berusaha menghilangkan diri dari kehidupannya. Namun, sebagian diri Adam yang lain tidak ingin terlihat sebagai seorang laki - laki yang belum bisa melupakan seseorang dari masa lalunya.Ya, tapi memang Adam belum bisa bahkan tidak akan bisa melupakan Sheila. Berbagai cara Adam telah lakukan namun tidak ada hasilnya untuk melupakan Sheila. Adam memang harus mengakui bahwa Sheila adalah satu - satunya perempuan yang mengerti dirinya dari dulu maka dari itu tak heran keinginan untuk memiliki Sheila begitu besar bahkan setela
"Adam Putra Ditorejo merupakan salah satu orang Indonesia yang berhasil masuk ke dalam Jajaran Orang yang Berpengaruh di Dunia versi Majalah Forbes. Hal itu tak bisa dipungkiri bagaimana Adam sendiri berhasil membawa budaya Indonesia ke kancah internasional dengan gemilang. Sudah beberapa kali.."Sheila mematikan televisi yang menayangkan berita tentang Adam Ditorejo. Sudah cukup hari ini dia mendengar nama Adam disebut atau bahkan terlihat olehnya baik di media cetak, televisi, bahkan di media sosial."Kenapa sih lo sensi banget setiap kali ada berita tentang Adam?" tanya Joanne yang kini tengah menikmati ketoprak yang ia beli dengan Sheila. Mereka berdua sedang istirahat di kantor security depan hotel tempat mereka bekerja."Biasa aja," jawab Sheila singkat dan melanjutkan makannya kembali."Nggak mungkin kan lo punya hubungan atau masa lalu sama dia? Dia mahhh jaaauhhh bangett di sana. Kita mah apa atuhh..""Itu lo tahu. Makanya mana mu
"Gue bakal pindah minggu ini ke Bali."Sheila menoleh ke arah Adam yang duduk di hadapannya dan terlihat seperti menerawang jauh ke depan."Apa karena urusan kantor?" tanya Sheila ingin tahu. Buket bunga yang berada di tangannya tampak tidak terlalu cantik lagi ketika Adam mengatakan perihal kepindahannya tersebut. Padahal beberapa saat lalu, ketika Adam memberikan buket bunga tersebut sebagai ucapan kelulusannya dari sekolah menengah tampak cantik sekali."Ya. Mau nggak mau sebagai salah satu cucu yang akan mengisi posisi penting di bisnis keluarga, gue harus siap menjalankan proyek besar ini. Proyek ini sebagai langkah awal untuk gue.."Sheila terdiam mendengarkan. Hatinya terasa perih. Tapi ia mencoba untuk tetap tenang."Monica tahu hal ini?" Sheila ingin tahu. Monica, sahabatnya sekaligus adik dari laki - laki di sampingnya ini apakah tahu tentang kepindahan tersebut. Jika iya, mengapa tadi siang ia tak buru - buru memberitahunya. Minimal Shei