Beranda / Fiksi Remaja / Triplet's Diary / Bagian 7. Jarum Suntik

Share

Bagian 7. Jarum Suntik

Penulis: Batmanly
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.

“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.

Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.

Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku berangkat bersama. Tetapi, Jendra menurunkanku di taman belakang yang berada sekitar seratus meter dari sekolah. Aku tidak tahu alasannya bersikap konyol seperti itu selain karena tidak ingin teman-temannya tahu tentang hubungan kami. Justru aku curiga Jendra punya pacar. Sehingga, jika Jendra tidak menceritakan memiliki saudara kembar, maka pacarnya akan cemburu saat melihatku diantar olehnya.

Setelah merasa cukup sepi, aku berjalan mendekati DPR. Kalau pikirmu DPR yang kumaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat, maka kamu keliru. DPR yang kumaksud adalah Di bawah Pohon Rindang, pohon beringin tua yang membuat parkiran motor terasa rindang. Di bawahnya dibentuk beberapa tempat duduk yang kini aku duduki. Jendra datang sembari menengok kanan-kiri seolah sedang diawasi, padahal kupikir tidak.

Ia menarik tasku dari belakang. Memaksaku untuk segera beranjak dari sana.

“Buruan pake,” ucapnya sembari menyodorkan dua buah buff.

“Masker aja nggak ada?”

Jendra menyalakan motor, lalu merebut buffnya kembali. “Gue udah susah-susah cari buff warna soft pink,” desisnya sembari memasangkan buff itu melewati kepalaku.

“Bagus juga sih warnanya. Bukan punya pacar lo, ‘kan?”

Kali ini sudah kesekian kalinya pertanyaanku diabaikan. Jendra mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Sudah beberapa kali helmku menabrak helm Jendra, karena ia mendadak menekan rem. Berbeda dengan Rama yang selalu berhati-hati. Itu sebabnya sampai saat ini Rama tidak pernah lagi jatuh dari motor, hanya satu kali itu pun sewaktu masih belajar berkendara. Mungkin hal itu juga yang menjadi pertimbangan Ayah memberikan motor untuknya.

“Ra,” panggilnya setengah berteriak agar tak kalah dengan suara kendaraan lain.

“Kenapa?”

“Udah makan belom?”

“Belom.”

Jendra menepikan motornya di sebuah toko. Ia memintaku menunggunya sebentar. Tak lama ia keluar dengan sekantung plastik di tangan. Di dalamnya berisi air mineral, roti, dan pisang. Aku menatapnya bingung, sekaligus merasakan sesuatu tidak beres terjadi pada Jendra. Tadinya aku sempat mengira Jendra lupa melepas helmnya saat masuk ke dalam toko, tetapi kini kurasa Jendra menyembunyikan semburat kesedihan yang tampak jelas di wajahnya saat melepaskan helm.

“Jen, lo sakit ya?”

“Bukan gue,” jawabnya ragu.

“Trus siapa?”

“Rama,” ucapnya seraya memalingkan wajah. “Kecelakaan pertandingan. Dokternya jelasin lewat telepon, ternyata golongan darah A- nggak bisa tranfusi dari golongan darah lain selain golongan darah yang sama dan O-. Gue tau lo takut jarum suntik, tapi lo mau nggak pertimbangin lagi buat donorin Rama darah?”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata-kata. Hanya bisa memakan rotiku sembari menangis. Walaupun tenggorokanku rasanya menolak semua makanan yang masuk. Jendra menolak bercerita lebih banyak, karena tidak ingin menyita waktu lagi.

“Makannya sambil jalan aja ya,” kata Jendra.

Aku mengamati bekas jarum suntik yang kutangisi sembari menenteng sekotak susu di tangan. Bohong bila aku bilang rasanya seperti digigit semut. Tanganku terasa berat dan sakit. Kami berjalan beriringan tidak seperti di sekolah. Tetapi, Jendra mengomeliku beberapa kali, katanya suara tangisku cempreng. Ia juga mengungkit durasi makanku yang molor, karena itu aku harus menunggu satu jam lamanya untuk bisa diambil darah.

“Lo jahat,” pekikku membuat Jendra langsung memalingkan wajah ke arahku.

“Iya. Minum dulu susunya,” sahut Jendra.

“Lo mana tahu rasanya. Gue lihat sendiri darah gue diambil dan ditaruh di kantung.”

Langkah Jendra terhenti hanya untuk menarik napas panjang. Tubuhnya berputar menghadap aku di depannya, namun pandangannya yang semula hanya lurus menatapku kini mulai beralih ke jarak yang lebih jauh. Aku pun mengikuti sorot yang ia tuju. Di ujung koridor Ayah menatap kami bergantian. Ayah mengenakan atasan kemeja berbalut jas yang membentuk tubuh atletisnya. Saat dilihat ke bawah, Ayah hanya menggunakan short pant kebesaran milikku yang beberapa waktu lalu kubeli. Setiap langkahnya membuat darahku berdesir.

“Jen, ruangannya Rama di mana? Gue mau duluan,” ucapku kilat.

Jendra menunjuk bangsal bernomor seratus tak jauh dari tempat kami berdiri. Lantas dengan kecepatan lariku yang tak seberapa, aku mencoba lari dari kenyataan. Aku takut Ayah memarahiku seperti ketika kepala Rama bocor saat bertengkar dengan temannya. Akhirnya, kutinggalkan Jendra. Begitu masuk ke ruangan, ketakutanku tidak serta merta hilang begitu saja. Aku melihat Rama muntah-muntah dengan begitu banyak darah keluar dari mulutnya. Segera kupanggil Ayah dan Jendra yang tampaknya tengah berbicara sangat serius di depan pintu ruangan.

Ayah menyadari kehadiranku lebih dulu. Ayah juga sempat tersenyum saat melihatku.

“Yah, Rama muntah darah.”

Perkataanku itu seketika membuat senyumnya lenyap. Ayah dan Jendra berlari ke dalam ruangan. Sementara, aku yang tak kalah panik segera menahan perawat yang lewat agar segera memeriksa Rama. Hari ini adalah hari ulang tahunku, Jendra, dan Rama yang tidak akan pernah kami lupakan. Di usia tujuh belas, aku harus mendonorkan darah untuk Rama. Kejadian ini juga baru pertama kali dialami Rama. Begitu pun Jendra yang kurasa sangat kebingungan. Dan, bagi Ayah, rumah sakit adalah hal menyakitkan. Ayah selalu menghindari rumah sakit, tetapi hari ini Ayah kembali melihat tempat di mana mendiang Mama pergi untuk selama-lamanya. Terkadang aku membenci Mama. Semua ingatan tentangnya selalu membuat kami sedih. Aku, Jendra, dan Rama belum pernah melihat rupa wanita yang melahirkan kami tujuh belas tahun lalu. Hanya sebatas foto dan yang kami ingat adalah parasnya persis sepertiku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Cristina Jermeline
that's cool!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Triplet's Diary   Bagian 8. Perayaan Ulang Tahun

    Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik

  • Triplet's Diary   Bagian 9. Sepasang Kaki di Puncak

    Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling

  • Triplet's Diary   Bagian 10. Ketika Matahari Terbenam

    Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted

  • Triplet's Diary   Bagian 11. Hal Ini yang Membuatku Tidak Bisa Punya Pacar

    Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag

  • Triplet's Diary   Bagian 1. Dear Diary

    Senin pagi yang malang, decakku setiap melihat status teman-temanku muncul di beranda. Mengeluhkan segala macam kesibukan yang membuat mereka harus kembali berkutat dengan aktivitas yang menurutnya monoton.Seperti mereka, aku sempat merasakan kekosongan semenjak masuk kelas sebelas. Saat menceritakannya pada Ayah, ia bilang bahwa di usiaku ini alam bawah sadarku memang sedang mencari jati diri. Katanya aku hanya harus mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan itu. Aku pernah mendaftar osis, tetapi gagal di seleksi terakhir. Aku juga mendaftar paduan suara, tetapi suaraku habis keesokan harinya. Terakhir kali berorganisasi di sekolah, aku terlibat pertengkaran sengit dengan kakak kelas. Aku merasa tidak cocok di lingkungan mana pun sampai aku memutuskan untuk menciptakan duniaku sendiri.Aku Ara, perempuan yang merasa tertekan setiap melihat kegaduhan. Aku melahirkan karya terbesarku di usia enam belas tahun. Memiliki sekitar lima puluh ribu pengikut di

  • Triplet's Diary   Bagian 2. Dongeng Pagi

    Semenjak pergantian jadwal, mata pelajaran olahraga yang semula dilaksanakan setiap Kamis pindah ke Senin. Sebuah keuntungan tersendiri bagiku yang menyukai aktivitas luar ruangan. Sengaja kupasangheadbanduntuk memadupadankan setelanku. Sempurna! Bawahan celanadodger blueselutut yang kukenakan juga menyelamatkanku dari betis pendek ini.“Ra, sini buruan.”Dalam sekejap suara Jendra mengganggu ketenangan pagi. Kugulung lengan seragamku lebih tinggi. Selain emosional, Jendra paling tidak sabaran. Tak kuhiraukan teriakannya. Namun, Jendra tidak puas memanggilku berulang-ulang. Ia juga membuat keributan agar aku segera menghampirinya. Ia pikir dengan memainkan sendok dan garpu saat sedang sarapan maka telingaku akan panas.Sayangnya itu benar. Kuhampiri Jendra yang terlihat sedang menyalin pekerjaan rumah dari buku lain dengan sesekali menyuap nasinya. Dugaanku kali ini ketua kelasnya yang jadi korban. 

  • Triplet's Diary   Bagian 3. Putih Abu-Abu

    Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe

  • Triplet's Diary   Bagian 4. Ekspedisi

    Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j

Bab terbaru

  • Triplet's Diary   Bagian 11. Hal Ini yang Membuatku Tidak Bisa Punya Pacar

    Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag

  • Triplet's Diary   Bagian 10. Ketika Matahari Terbenam

    Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted

  • Triplet's Diary   Bagian 9. Sepasang Kaki di Puncak

    Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling

  • Triplet's Diary   Bagian 8. Perayaan Ulang Tahun

    Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik

  • Triplet's Diary   Bagian 7. Jarum Suntik

    Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku

  • Triplet's Diary   Bagian 6. Panggilan untuk Hayang

    Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t

  • Triplet's Diary   Bagian 5. Pria Gila di Rumah Sebelah

    Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke

  • Triplet's Diary   Bagian 4. Ekspedisi

    Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j

  • Triplet's Diary   Bagian 3. Putih Abu-Abu

    Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe

DMCA.com Protection Status