Paragon Expedition
Sam: Photo added
Sam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.
Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.
Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.
Cal: Photo added
Cal: Pejaten Raya 22.00Kututup ponselku setelah jengah membaca pesan informan yang masuk. Aku sempat berpikir bahwa nanti malam sepulang dari kantor Ayah lidahku masih bisa menikmati kopi yang kutunggu launchingnya selama berbulan-bulan. Entah kebetulan atau takdir terlalu jahat padaku, gerainya baru buka di mall tak jauh dari tempat kejadian itu.
Mereka mengacaukan jam santaiku seperti biasa. Ingin sekali saja kuacuhkan mereka, tetapi bayangan-bayangan buruk tentang jatuhnya korban jiwa menggerayangi otakku setiap detik.
Guardian: Agen kemarin 'kan?
Cal: Iya, Guard. Jam 6 ini barangnya pindah tangan ke Sageza.
Pras: Izin, urusan barang gue yang atur.
Guardian: Ok. Gue ambil sisanya.
Aku tidak percaya diriku begini, selalu saja terlalu bersemangat. Dengan penuh percaya dirinya kuulangi kesalahan yang sama, yaitu merasa bisa membereskan semuanya sendirian. Bahkan di saat suasana hatiku sedang tidak baik seperti sekarang.
Pras: Gue bisa bantu. Jam 10 malam puncaknya, tapi mereka stand by jam 7. Pastiin lo dan keluarga lo nggak ada di sekitar tempat kejadian.
Guardian: Akurat?
Pras: Photo added
Pras: See? Ini chat ketua Lexius dan ketua Sageza semalamSeseorang berinisial Pras itu mengirimiku pesan melalui pesan pribadinya. Setiap anggota Paragon memang memiliki akun pribadi khusus. Ah, ngomong-ngomong tentang mereka, baru kali ini ada yang berani mengirimiku pesan pribadi. Sementara Pras sendiri baru bergabung bersama kami beberapa hari yang lalu. Belum sempat kucari tahu seluk beluk tentangnya.
Dan, kuakui aksinya barusan mengesankan. Beban pikiranku berkurang setelah melihat keseriusannya.
Kuhentikan langkahku saat sadar kakiku menginjak sepatu Rama. Di bawah kakinya, ada lubang yang bisa membuatku terperosok kapan saja. Semenjak menerima pesan di grup besar Paragon, otakku bekerja keras memikirkan taktik pencegahan atas aksi malam nanti.
“Busnya datang tuh. Udahan dulu,” ujar Rama.
Setelah duduk di bangku belakang, Rama sibuk melihat peta jalan. Ia menyinggungku beberapa kali sebab kegelisahanku tampak jelas. Sebab Rama tidak akan mengerti, entah bagaimana tanggapannya kalau suatu saat nanti semua upayaku ketahuan. Itu sebabnya ponselku memiliki kunci tiga lapis. Tidak satu orang pun, termasuk Rama bisa masuk tanpa akses dariku.
“Lo punya pacar ya?” tanya Rama, seketika membuatku tertawa.
“Absurd tahu nggak tiba-tiba ngomong kayak gitu.”
Rama menyodorkan tangannya, “coba gue liat barusan lo chat sama siapa? Jelas-jelas lo senyum-senyum gitu barusan.”
Buru-buru kusembunyikan ponsel ke saku kemejaku. “Oh, bener..” celetuknya lagi.
“Jendra bakal nyusul ke kantor Ayah?” tanyaku mengalihkan obrolan kami tentang pacar.
Setelah kupikir-pikir Jendra hanya mengabaikan pesanku. Aku baru saja mengiriminya pesan, memintanya untuk menyusulku dan Rama. Namun, seperti biasa, Jendra mengabaikan pesanku dan hanya membacanya saja. Beda arti kalau Rama yang mengiriminya pesan.
“Tongkrongannya bener nggak sih, Ma?”
Rama terkekeh geli, “menurut lo tongkrongan kayak gitu ada yang bener?”
Kuhela napas panjang. Beberapa teman Jendra memang masuk dalam daftar hitam. Di antaranya mereka yang ikut tawuran dan memiliki bisnis ilegal. Nama Jendra memang tidak ada dalam daftar. Dan, kuharap tidak akan pernah.
“Jendra di rumah,” ujar Rama setelah ponselnya berdering beberapa kali.
Aku tidak habis pikir, untuk apa tadi mengkhawatirkan Jendra tanpa sebab?
Bus berhenti di halte tujuan kami. Tak jauh dari halte, tiga gedung pencakar langit menjulang tinggi. Aku dan Rama saling bertatapan sebelum Rama masuk lebih dulu dan menghampiri meja resepsionis. Mataku berbinar bukan karena desain interior gedung yang tak biasa, tetapi berbagai macam karya seni yang terpajang di dinding, ada pula sebagian yang menggantung di atas kami. Kristal tiruan yang entah terbuat dari apa, menyilaukan mataku saat pantulan sinar lampu menerobosnya.
Sofa membentuk setengah lingkaran di sudut-sudut lobi. Sekali kulihat kosong tidak dapat kulepaskan. Aku menyolek Rama dan menunjuk langsung ke arah sofa. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil bicara lewat telepon, mungkin memberi kabar pada Ayah bawa kami sudah sampai.
Saat kulihat Ayah berjalan ke arah kami, kulambaikan tanganku tinggi.
“Busnya penuh lagi?” tanya Ayah.
Kepalaku menggeleng. “Nggak, Yah. Malah aku sama Rama dapat tempat duduk, nggak kayak biasanya.”
Kulihat Rama mengalungi sebuah kartu pengenal. Mataku tak lepas menatapnya sebab wajah dan namanya dibubuhi di atas kartunya. Rama menyodorkan kartu serupa padaku. Seperti miliknya, kartu pengenal di tanganku ini juga terdapat fotoku. Namaku yang hanya satu kata itu pun ikut ditulis di sana.
“Kapan pun kalau kalian mau jajan di kantin kantor, jangan lupa kasih liat kartu ini,” terang Ayah.
Aku dan Rama terperangah seperti baru menang lotre. Perutku langsung bereaksi, Rama tampaknya sedang curi-curi pandang mencari keberadaan kantin.
“Tapi, Ayah sudah pesan beberapa makanan sewaktu kalian bilang sudah di jalan.”
Saat sudah sepi orang, aku keluar masuk beberapa kali untuk mencoba kartuku di pintu otomatis. Rama bilang sikapku seperti balita yang mendapat mainan baru.
Ting!
Ayah tampak ikut senang, sebelum kami sama-sama menoleh ke belakang. Denting lift saat pintunya terbuka mendapat perhatian penuh Ayah. Kami bisa saja mematung lebih lama lagi kalau aku dan Rama tak lekas menyadari apa yang sedang terjadi.
“Ra, Yah, buruan. Udah laper nih,” pekik Rama.
Ia lebih dulu pergi dan membuka pintu darurat. Aku berlari ke arah Rama. Ayah terperanjat dan lekas menyusul kami. Wajahnya yang pucat pasi membuatku mengasihaninya lagi. Keluarga kami tidak pernah lagi menaiki lift karena kenangan masa lalu Ayah.
“Ara, Rama.”
Kami sudah menaiki beberapa anak tangga saat Ayah memanggil nama kami berdua. Kami menoleh dan mendapati Ayah masih di bawah.
“Kita ke kantin saja,” ucapnya lirih.
“Tapi, aku mau lihat ruang kerja Ayah. Rama juga. Ya, ‘kan, Ma?” Rama mengangguk patuh begitu kucubit lengannya.
“I-iya. Aku nggak lapar-lapar amat. Ayah juga 'kan sudah pesan makanan. Mungkin sekarang udah sampai.”
Rama tersenyum canggung ke arahku. Wajahnya mendekat, lalu berbisik ke telingaku. “Gue salah nggak?”
Kutepuk bahu Rama pelan dengan senyum lebar. Ayah melakukan hal yang sama denganku. Menaiki anak tangga dan mendahului kami berdua. Senyumya mengejek kami secara tak langsung, sebab aku baru menyadari satu hal. Ayah pernah bercerita bahwa ruang kerjanya ada di lantai lima belas.
“Astagfirullah..”
Rama mendelik ke arahku. “Kenapa, Ra?”
“Eng-nggak papa. Buruan jalan, fokus ke depan aja,” jelasku tidak ingin mematahkan semangatnya.
Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted
Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag
Senin pagi yang malang, decakku setiap melihat status teman-temanku muncul di beranda. Mengeluhkan segala macam kesibukan yang membuat mereka harus kembali berkutat dengan aktivitas yang menurutnya monoton.Seperti mereka, aku sempat merasakan kekosongan semenjak masuk kelas sebelas. Saat menceritakannya pada Ayah, ia bilang bahwa di usiaku ini alam bawah sadarku memang sedang mencari jati diri. Katanya aku hanya harus mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan itu. Aku pernah mendaftar osis, tetapi gagal di seleksi terakhir. Aku juga mendaftar paduan suara, tetapi suaraku habis keesokan harinya. Terakhir kali berorganisasi di sekolah, aku terlibat pertengkaran sengit dengan kakak kelas. Aku merasa tidak cocok di lingkungan mana pun sampai aku memutuskan untuk menciptakan duniaku sendiri.Aku Ara, perempuan yang merasa tertekan setiap melihat kegaduhan. Aku melahirkan karya terbesarku di usia enam belas tahun. Memiliki sekitar lima puluh ribu pengikut di
Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag
Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke
Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j
Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe