Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.
Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.
Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas keluar kamar.
“Mau kemana?” Suara Jendra mengejutkanku.
Jendra sedang menonton televisi di ruang temu. Sendirian, tanpa menyalakan lampu. Itu sebabnya aku terkejut. Mungkin seperti ini lah reaksi Jendra setiap kali melihatku duduk di sofa yang kini ia duduki.
Aku menoleh sebentar ke arahnya. Bagaimana bisa dia tidak terpengaruh oleh kebisingan yang terdengar amat jelas? Apa telinganya bermasalah?
“Mau ke rumah sebelah.”
“Mau gue temenin?” Tawaku yang sumbang membuatnya bergidik ngeri.
“Kenapa nggak lo aja yang kasih tau temen lo itu? Kasih tau dia supaya nggak buat keributan. Lagian buat apa sih dia malam-malam begini?”
Celotehku barusan mungkin terdengar seperti lelucon bagi Jendra. Aku bisa melihat semua itu dari raut wajahnya, dia setengah mengejekku. Dia kembali meraih remote dan mengganti saluran televisi. Aku yakin Jendra mulai bosan menunggu siaran Liga Champions yang baru akan tayang pukul dua dini hari nanti.
“Nanti sekalian angkat jemuran, Ra,” sahutnya sebelum aku berhasil membuka pintu.
“Yah! Jendra belum angkat—” sebelum berhasil mengadu pada Ayah perihal jemuran yang menjadi kewajiban Jendra untuk mengangkatnya—selagi aku mencuci dan Rama menyetrika— mulutku lebih dulu disekap kedua tangannya. Ia melakukannya agar Ayah tidak mendengar teriakanku dan bangun hanya untuk mematikan televisi.
Aku menggigit tangannya seperti biasa kugigit cheese cake kesukaanku. Hal itu membuat Jendra merasa jijik dan mengeringkan tangannya yang terkena liurku. Ia melepasku dan pergi membukakan pintu secara cuma-cuma.
“Jangan lama-lama.”
“Iya, ngapain juga lama-lama,” sungutku terkesan sangat memedulikan ucapannya.
Aku salah mengira jika dentuman musik serta aktivitas ketuk palu dari rumah sebelah terdengar pula dari bagian depan rumah kami. Nyatanya suara bising itu hanya terdengar jelas di area kamarku. Seolah tujuan Hayang memang ingin mengganggu tidur nyenyakku.
Kuketuk pintu utama rumah Hayang beberapa kali sampai kusadari pintunya tak terkunci.
“Hayang, lo di rumah, ‘kan?” Setengah teriakanku seharusnya terdengar sampai kamarnya. Namun, Hayang tidak kunjung menampakkan dirinya setelah kutunggu beberapa saat.
“Lo nggak denger?”
“Atau pura-pura nggak denger?” teriakku lebih keras, kali ini seharusnya terdengar sampai halaman belakang.
Lagi dan lagi teriakanku hanya direspons para jangkrik.
Bayangan tentang sosok di kamar Hayang yang kulihat dari kamarku tadi sukses mengecoh ketenanganku. Aku melenggang masuk dengan hati-hati, jalanku pun jinjit.
Kuambil raket nyamuk beserta sapu ijuk yang letaknya tidak jauh dari tempatku berdiri. Aku hapal tempat di mana Hayang menyimpan barang-barangnya seperti kusimpan barang-barangku sendiri. Maka, aku memilih mengambil dua benda ini untuk berjaga-jaga.
Siapa yang menyangka kalau ternyata dugaanku benar. Telingaku sempat mendengar percakapan yang tidak begitu jelas dari seseorang di dalam kamar Hayang. Ditambah lagi, Hayang yang kukenal tidak suka kegelapan. Bahkan saat ia tidur, semua lampu akan tetap dibiarkan menyala. Namun, malam ini tidak satu pun lampu menyala. Rumah Hayang gelap gulita. Bukankah itu aneh?
Aku semakin yakin kalau desas-desus maling mengincar barang mewah di komplek ini sudah mulai bergerilya ke rumah-rumah. Sialnya, rumah Hayang memang dipenuhi oleh barang-barang antik dengan harga selangit. Tidak banyak yang mengetahui hal ini. Jika maling-maling itu tahu, tidakkah mereka cukup kompeten?
Karena terlalu gelap, tanganku tidak sengaja membuka pintu kamar Hayang. Mulutku ternganga begitu mataku melihat sesuatu yang tidak seharusnya kulihat. Sapu dan raket nyamuk yang kupegang jatuh ke lantai. Hayang mengerjapkan mata, berjalan perlahan-lahan ke arahku di tengah kegelapan.
Ia menemukanku dan berdecak pelan. Lampu-lampu menyala mulai dari ruang tamu hingga lampu kamar Hayang. Kami sama-sama menyipit karena silau cahaya lampu. Hayang mendekatiku, meraih raket nyamuk dan sapu di bawah kakiku. Tatapannya kali ini tidak setajam biasanya, tetapi sukses membuat detak jantungku berlomba.
“Semua yang lo lihat sekarang ini cuma mimpi,” ucapnya lirih, cukup mengintimidasi.
Anehnya, aku justru merasa ucapannya benar. Kuanggukkan kepalaku beberapa kali. Aku baru sepenuhnya sadar telah dihipnotis oleh Hayang saat tubuhku menabrak pintu. Mataku terbelalak dan mulutku siap menyumpahserapahi laki-laki itu tanpa ragu.
Tetapi, Hayang lebih dulu menyetrumku dengan raket nyamuk di tangannya. Ia juga memukul kepalaku dengan gagang sapunya. Kepala bagian belakangku sakit seperti memikul benda berat. Pandanganku kabur dan perlahan kurasakan tubuhku seringan kapas.
Aku bangun dengan tubuh menggigil. Seingatku AC di kamarku tidak pernah menyala saat pemiliknya tidur. Kulihat sekeliling, rupanya aku tidak sedang berada di kamar. Dingin yang kurasakan berasal dari ubin yang kutiduri. Kupukul kepalaku untuk meredakan rasa pusingnya. Kuingat-ingat kejadian semalam, lalu Hayang berjalan di depanku dengan santainya.
Selain itu, ingatanku berputar bak dokumentasi film laga yang menjawab keberadaanku sekarang. Ya, aku tertidur lama di ruang tamu rumah Hayang.
“Yang—”
“Ay—”
Kenapa Ibu dan Bapak Hayang menamai anaknya seperti ini? Tidak ada panggilan yang pas untuknya. Sudah begitu, sama sepertiku, namanya hanya satu kata saja. Hayang. Jelas ini sulit untukku. Akan sangat menggelikan memanggilnya Ay bahkan Yang. Terkesan seperti dia pacarku saja.
“Ah, apa lah itu pokoknya,” jeritku frutrasi. “Kenapa lo lakuin itu semalam?”
“Apa yang gue lakuin semalam?” tanyanya seraya menoleh ke arahku. “Ah, ya, gue biarin lo tidur di rumah gue.”
Di depan cermin, Hayang menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Membelah rambutnya menjadi dua bagian dengan sisi kiri yang lebih tebal, kemudian memolesnya dengan sedikit hair pomade.
“Lo pikir gue lupa semalam lo pukul kepala gue pake sapu, lo setrum gue pake raket nyamuk.”
Aku berani bertaruh daun telinganya memerah karena suaraku terlalu cempreng didengar. Ya, seperti yang ia tegaskan saat pertama kalinya kami berkenalan sebagai tetangga.
Hayang menghela napas panjang, kepalanya menggeleng beberapa kali.
“Ra, kalau mau marah nanti aja deh. Gue udah kesiangan, lo apalagi. Ya kecuali kalo lo mau bolos…” ungkapnya seraya merapikan seragamnya.
Kuusap wajahku kasar. Ini pertama kalinya aku telat sejak duduk di bangku SMA. Kudorong Hayang agar aku bisa ikut bercermin dengannya. Beruntungnya, rambutku tidak buruk-buruk amat. Kupolesi dengan pomade di bagian rambutku yang pecah-pecah. Dan, ya, aku hanya akan membersihkan wajah dan menyamarkan bau badanku dengan parfum setengah botol.
Kali ini saja. Tolong biarkan aku seperti ini sekali saja tanpa ketahuan.
Hayang mengernyit terheran-heran.
“Lo bisa kabur hari ini. Gue lagi buru-buru. Bye!” sahutku.Sempat kudengar tawanya yang renyah saat kuberlari keluar melalui pintu belakang.
“Siapa sebenarnya yang kabur?” gumamnya yang masih dapat kudengar.
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted
Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag
Senin pagi yang malang, decakku setiap melihat status teman-temanku muncul di beranda. Mengeluhkan segala macam kesibukan yang membuat mereka harus kembali berkutat dengan aktivitas yang menurutnya monoton.Seperti mereka, aku sempat merasakan kekosongan semenjak masuk kelas sebelas. Saat menceritakannya pada Ayah, ia bilang bahwa di usiaku ini alam bawah sadarku memang sedang mencari jati diri. Katanya aku hanya harus mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan itu. Aku pernah mendaftar osis, tetapi gagal di seleksi terakhir. Aku juga mendaftar paduan suara, tetapi suaraku habis keesokan harinya. Terakhir kali berorganisasi di sekolah, aku terlibat pertengkaran sengit dengan kakak kelas. Aku merasa tidak cocok di lingkungan mana pun sampai aku memutuskan untuk menciptakan duniaku sendiri.Aku Ara, perempuan yang merasa tertekan setiap melihat kegaduhan. Aku melahirkan karya terbesarku di usia enam belas tahun. Memiliki sekitar lima puluh ribu pengikut di
Semenjak pergantian jadwal, mata pelajaran olahraga yang semula dilaksanakan setiap Kamis pindah ke Senin. Sebuah keuntungan tersendiri bagiku yang menyukai aktivitas luar ruangan. Sengaja kupasangheadbanduntuk memadupadankan setelanku. Sempurna! Bawahan celanadodger blueselutut yang kukenakan juga menyelamatkanku dari betis pendek ini.“Ra, sini buruan.”Dalam sekejap suara Jendra mengganggu ketenangan pagi. Kugulung lengan seragamku lebih tinggi. Selain emosional, Jendra paling tidak sabaran. Tak kuhiraukan teriakannya. Namun, Jendra tidak puas memanggilku berulang-ulang. Ia juga membuat keributan agar aku segera menghampirinya. Ia pikir dengan memainkan sendok dan garpu saat sedang sarapan maka telingaku akan panas.Sayangnya itu benar. Kuhampiri Jendra yang terlihat sedang menyalin pekerjaan rumah dari buku lain dengan sesekali menyuap nasinya. Dugaanku kali ini ketua kelasnya yang jadi korban. 
Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag
Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke
Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j
Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe