Home / Fiksi Remaja / Triplet's Diary / Bagian 2. Dongeng Pagi

Share

Bagian 2. Dongeng Pagi

Author: Batmanly
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Semenjak pergantian jadwal, mata pelajaran olahraga yang semula dilaksanakan setiap Kamis pindah ke Senin. Sebuah keuntungan tersendiri bagiku yang menyukai aktivitas luar ruangan. Sengaja kupasang headband untuk memadupadankan setelanku. Sempurna! Bawahan celana dodger blue selutut yang kukenakan juga menyelamatkanku dari betis pendek ini.

“Ra, sini buruan.”

Dalam sekejap suara Jendra mengganggu ketenangan pagi. Kugulung lengan seragamku lebih tinggi. Selain emosional, Jendra paling tidak sabaran. Tak kuhiraukan teriakannya. Namun, Jendra tidak puas memanggilku berulang-ulang. Ia juga membuat keributan agar aku segera menghampirinya. Ia pikir dengan memainkan sendok dan garpu saat sedang sarapan maka telingaku akan panas. 

Sayangnya itu benar. Kuhampiri Jendra yang terlihat sedang menyalin pekerjaan rumah dari buku lain dengan sesekali menyuap nasinya. Dugaanku kali ini ketua kelasnya yang jadi korban. 

“Apa, apa, apa lagi?”

Sembari Jendra menyuap nasi ke mulutnya, satu tangannya menunjuk rak sepatu di sudut ruangan.

“Lo tahu, ‘kan, Ayah suka nggak sadar pakai sepatu gue?”

“Trus?”

“Tangan gue sibuk, Ra. Gue minta lo ambilin.” Jendra menegaskan seolah mengambilkan sepatu untuknya termasuk rutinitas pagi yang harus kulakukan.

“Ambil aja sendiri,” sungutku seraya menarik kursi di sebelah Rama.

Aku dan Rama—yang semula fokus dengan ponselnya— terperanjat saat tiba-tiba Jendra bangun dari kursi. Melemaskan tangan-tangannya seperti akan melakukan pemanasan. Mulanya aku merasa lega Jendra menjauhi meja makan, tetapi sepersekian detik setelahnya leherku dihimpit dari belakang oleh lengan besar Jendra.

Rama kelihatan tak tertarik dengan nasib sialku, sebab ia masih tak berpaling dari ponselnya. Siaran langsung yang saat ini menayangkan pemain yang ia jagokan jauh lebih penting dari aku yang hampir kehabisan napas.

Sementara aku dan Jendra bergulat dalam ring tak kasat mata, kulihat adanya peluang membersenjatai dirinya. Aku berhasil mengambil garpu di piring Rama, sehingga bisa melepaskan diri darinya. Rama dan Jendra berteriak bersama dengan alasan berbeda. Rama berteriak karena jagoannya lolos ke final, sedangkan Jendra berteriak karena punggung tangannya terluka oleh garpu yang kutodongkan.

Rama terperangah saat memutar tubuhnya ke arah kami berdua. “Masuk final,” katanya.

Kami berdua memang pendukung garis keras Kevin dan Markus Gideon yang saat ini masih menduduki posisi pertama dunia kategori ganda putra. Mendengarnya lolos ke final bukan hal yang baru. Tetapi, sikap Jendra yang kekanak-kanakan ini sungguh baru bagiku. Bisa dibilang kali pertamaku diserang olehnya di rumah.

“Aaaa!” teriakku ketika headband yang baru tiga hari kubeli sudah sobek.

Oleh karenanya, aku tidak akan menyimpan dendam. Aku langsung bertekad membuat Jendra menangis di bawah kakiku dan mencakar wajahnya sampai kusut.

Aku meringsut ke bawah kaki meja sambil memegangi perutku beberapa menit kemudian. Cairan bening yang akan segera menetes kutahan selagi Jendra masih berjongkok di depanku. Laki-laki itu memang sinting, perutku yang belum terisi sesendok nasi pun merasa mulas setelah dikelitiki.

Jendra mendecak di depanku. Seringai tajamnya berusaha mengintimidasiku.

“Gue yang bawa motor ke sekolah,” putus Jendra sepihak.

Kami hanya memiliki satu motor. Itu pun milik Ayah yang tidak pernah dipakai lagi. Walau biasa digunakan Rama, Ayah tetap berdalih semua aset kendaraan milik semua anggota keluarga. Selain itu, mobil Ayah yang menganggur dipakai Jendra. Padatnya jalan ditambah jarak rumah dengan sekolah yang cukup jauh menjadi alasan Rama selalu menumpangiku dan kami berangkat bersama. Meskipun pulangnya Rama maupun aku punya kegiatan yang berbeda, sehingga aku biasa naik bus bersama beberapa teman.

Di sini letak masalahnya. Jendra tidak pernah mau aku duduk di belakangnya, apalagi kalau sampai teman-temannya tahu kami berangkat bersama.

“Parkir yang bener, Jen.”

“Ma!” seruku yang tidak habis pikir dengan keputusan Rama.

“Temenin gue naik bus aja, Ra. Biar kita bisa nobar.”

Kupejamkan mataku dan kutarik napas panjang. Sambat di dalam benakku meronta-ronta keluar.

Aku beranjak masuk ke kamar Ayah. Lagi pula Ayah selalu bersedia mengantar jika aku memintanya. Kuedarkan pandanganku ke segala arah, namun Ayah tidak kutemui di mana-mana.

“Ayah mana, Ma?”

“Udah berangkat.”

“Pagi-pagi gini kemana?”

“Kantor.”

Kini aku meyakini adanya hari kebalikan seperti yang diperingati si kotak Spongebob dan sahabat setianya, Patrick Star. Ayah tidak pernah ke kantor kira-kira sejak saat usiaku menginjak satu tahun. Keputusan Ayah ini sempat menuai kontroversi di meja para pemegang saham, sebab sebagai direktur utama Ayah selayaknya berada di kantor untuk memegang kendali bisnis dan menjaga kelangsungan perusahaan.

Bertahun-tahun Ayah mengalami gangguan stres yang disebabkan oleh trauma mendalam. Ya, stres sungguhan yang melibatkan kesehatan mental seseorang. Bukan stres versiku setiap kali diberi banyak tugas matematika atau yang melibatkan hitung-hitungan. Aku sendiri tidak mengetahuinya langsung dari mulut Ayah, melainkan dari Mbak Bunga. Adik perempuan Ayah satu-satunya yang dipercaya menyampaikan informasi kantor. Itu sebabnya Ayah mampu bertahan sekalipun saat kondisinya terpuruk.

Jendra maupun Rama tidak tahu kondisi Ayah. Aku yang sudah mengetahuinya akan lebih peka pada persoalan yang dihadapi Ayah. Namun, seperti yang banyak dikatakan bahwa anak seusiaku tidak akan pernah bisa memahami orang dewasa. Aku juga tidak tahu alasan Ayah kembali ke kantor setelah sekian lamanya.

Apapun itu aku harap Ayah tidak kembali seperti dulu. Seperti saat ini, aku duduk sambil memanjatkan doa. Aku ingin Ayah mengikhlaskan kepergian Mama.

Aku menghampiri Rama yang sedang membuka gerbang. Alisnya bertemu dan keningnya berkerut, Rama tampak sangat serius mengikuti jalannya pertandingan dari layar ponselnya. Ia menghembuskan napas saat melihat dua buah kotak makan di tanganku.

Kutepuk lengannya pelan, “nggak buruk-buruk amat kok.”

Ini bagian paling menyebalkan saat kami keluar rumah. Aku dan Rama menatap jengah payung-payung yang menggantung di atas kami. Mungkin ketua komplek ini ingin menjadikan perumahan kami sebagai tempat wisata, karena ada saja perubahan-perubahan yang dilakukan setiap bulannya. Bulan kemarin payung-payung itu, bulan ini taman bermain di ruang tertutup, dan seperti yang kulihat kini dua gedung baru dibangun tak jauh dari rumah.

“Ma, ada rumah baru tuh,” ujarku.

Rama menaikkan pandangan sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Yang satu mau dibikin coffee shop, yang satunya bakal jadi taman kanak-kanak.”

“Nanti openingnya pasti ada diskon, Ra. Apalagi kalo pake kartu komplek.”

Ah, pemikiran idealis Rama tidak pernah mengecewakan. Akan tetapi, Rama yang jarang menyapa para tetangga membuatku terheran-heran. Bahkan bangunan itu masih setengah jadi, tetapi Rama mengetahuinya seolah ia mandornya.

“Lo tahu dari mana, Ma?” tanyaku langsung padanya.

“Nasi tumpeng yang semalam kita makan itu dari tetangga sebelah. Syukuran kecil-kecilan karena mau bangun dua gedung yang kita lihat sekarang.”

Aku mengangguk-anggukkan kepala sebelum menyadari perkataan Rama barusan. Mataku mendelik sambil menunjuk rumah yang persis di sebelah rumah kami berdua.

“Maksud lo Hayang yang bangun gedung itu? Itu semua punya dia?”

Tandai bahwa aku terpaksa membahas Hayang di buku ini. Dia anak laki-laki seumuran kami yang tinggal di rumah sebelah. Ayah menganggapnya sudah seperti anak sendiri. Sementara, aku berusaha tidak berurusan dengannya. Kutengok jam di tangan, lalu kupercepat langkahku agar kami tidak bertemu Hayang.

“Lo ada masalah apa sama Hayang?”

Jari-jariku saling bertaut ketika ada yang berusaha mengusik pikiranku. Aku menarik napas sedalam-dalamnya sebelum menceritakan semuanya pada Rama. Ia memasukkan ponselnya ke saku seragam walau tahu pertandingan belum usai.

Related chapters

  • Triplet's Diary   Bagian 3. Putih Abu-Abu

    Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe

  • Triplet's Diary   Bagian 4. Ekspedisi

    Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j

  • Triplet's Diary   Bagian 5. Pria Gila di Rumah Sebelah

    Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke

  • Triplet's Diary   Bagian 6. Panggilan untuk Hayang

    Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t

  • Triplet's Diary   Bagian 7. Jarum Suntik

    Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku

  • Triplet's Diary   Bagian 8. Perayaan Ulang Tahun

    Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik

  • Triplet's Diary   Bagian 9. Sepasang Kaki di Puncak

    Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling

  • Triplet's Diary   Bagian 10. Ketika Matahari Terbenam

    Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted

Latest chapter

  • Triplet's Diary   Bagian 11. Hal Ini yang Membuatku Tidak Bisa Punya Pacar

    Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag

  • Triplet's Diary   Bagian 10. Ketika Matahari Terbenam

    Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted

  • Triplet's Diary   Bagian 9. Sepasang Kaki di Puncak

    Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling

  • Triplet's Diary   Bagian 8. Perayaan Ulang Tahun

    Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik

  • Triplet's Diary   Bagian 7. Jarum Suntik

    Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku

  • Triplet's Diary   Bagian 6. Panggilan untuk Hayang

    Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t

  • Triplet's Diary   Bagian 5. Pria Gila di Rumah Sebelah

    Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke

  • Triplet's Diary   Bagian 4. Ekspedisi

    Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j

  • Triplet's Diary   Bagian 3. Putih Abu-Abu

    Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe

DMCA.com Protection Status