Senin pagi yang malang, decakku setiap melihat status teman-temanku muncul di beranda. Mengeluhkan segala macam kesibukan yang membuat mereka harus kembali berkutat dengan aktivitas yang menurutnya monoton.
Seperti mereka, aku sempat merasakan kekosongan semenjak masuk kelas sebelas. Saat menceritakannya pada Ayah, ia bilang bahwa di usiaku ini alam bawah sadarku memang sedang mencari jati diri. Katanya aku hanya harus mencari sesuatu yang baru untuk mengisi kekosongan itu. Aku pernah mendaftar osis, tetapi gagal di seleksi terakhir. Aku juga mendaftar paduan suara, tetapi suaraku habis keesokan harinya. Terakhir kali berorganisasi di sekolah, aku terlibat pertengkaran sengit dengan kakak kelas. Aku merasa tidak cocok di lingkungan mana pun sampai aku memutuskan untuk menciptakan duniaku sendiri.
Aku Ara, perempuan yang merasa tertekan setiap melihat kegaduhan. Aku melahirkan karya terbesarku di usia enam belas tahun. Memiliki sekitar lima puluh ribu pengikut di mana tidak satu pun ada yang mengenalku. Sebaliknya, aku tahu mereka. Oleh karena itu, aku dijuluki Golden Eye. Aku pendiri Paragon, komunitas yang dikenal memiliki misi mencegah aksi sekelompok gangster di kotaku.
Aku tidak pernah mengungkap jati diriku pada siapa pun, bahkan pada keluargaku sendiri. Akan tetapi, aku membaginya pada kalian yang membaca tulisan ini. Kunamakan Triplet's Diary yang berarti kumpulan kisahku bersama dua saudara kembarku.
Pagi ini aku bangun lebih awal. Biasanya akan sulit bagiku untuk bangun sebelum alarm milik Ayah berbunyi. Aku sepenuhnya sadar akan sulitnya mendapatkan akses alam di tengah kota. Tidak ada yang bisa diharapkan dari kicauan burung liar di pagi hari kalau nyatanya pohon-pohon rindang di komplek rumahku diganti dengan payung warna-warni. Mari sepakati bahwa anak kota yang bisa bangun sendiri disebut mandiri.
Boom!
Aku menyudahi gelut pikiranku begitu alarm milik Ayah berbunyi. Bunyinya persis seperti itu. Ayahku meresetnya dengan suara bom yang kuketahui sering dipakai untuk latihan para prajurit. Aku berjalan ke ruang temu, duduk di sofa sambil menunggu yang lainnya bangun.
Boom!
Ruang temu yang kumaksud dikelilingi empat kamar tidur. Derit pintu pertama berasal dari kamar Rajendra, laki-laki paling emosional yang pernah kukenal. Hanya karena lahir tiga puluh menit lebih cepat dariku, dia berlagak seperti kakak sungguhan.
Mata sipitnya terbelalak setiap melihatku duduk di tengah kegelapan.
“Yaaa!” teriaknya. Berjalan tergesa untuk menoyor kepalaku setelah dianggap mengejutkannya.
Setelah Jendra melenggang masuk ke dalam kamar mandi, kini giliran Rama. Tidak seperti Jendra, Rama jauh lebih menganggapku manusia.
“Ra,” serunya seraya mengetuk pintu kamarku.
“Ma, gue di sini,” jawabku.
Rama memutar tubuhnya dan melihatku duduk di sofa. “Oh, lo udah bangun.” Kemudian berlalu ke kamar mandi.
Kini aku menunggu seseorang keluar dari balik pintu bercat putih di sana. Sosok yang rasanya sulit dipercaya menjadi Ayah beranak tiga. Pintu kamarnya masih tertutup rapat. Jika mendengar suara bom saja Ayah tidak bangun, entah apa yang bisa membangunkannya. Aku melihat ke arah jam ketika azan berkumandang. Tanpa membangunkan Ayah lebih dulu, aku mengikuti Jendra dan Rama mandi.
Seperti hari-hari biasanya, kamar mandi menjadi tempat favorit kami untuk menggobrol. Ah, lebih tepatnya menguping pembicaraan Jendra dan Rama, seringnya tentang berita terhangat yang terjadi di sekolah.
Walau kami hanya memiliki satu kamar mandi, setiap ruangan diberi sekat. Jadi, bila ditanya apa aku pernah mandi dengan laki-laki, tentu saja pernah, setiap pagi.
“Jen, bekal kemarin lo kasih siapa?” tanya Rama, walau samar suaranya yang khas tetap bisa kukenali.
Jendra tidak langsung menyahut. Tentunya aku ikut penasaran. Soal masakan buatan Ayah, Jendra paling benci dibawakan bekal, terlebih bila rasanya hambar. Ia tidak segan-segan menambahkan garam atau perasa lainnya di hadapan Ayah. Tetapi, untuk berkata tidak enak belum pernah dicoba.
“Ra!” seru Jendra.
Buru-buru kuhentikan air yang mengguyur sekujur tubuhku.
“Lo di sebelah ya?” tambahnya.
“Ara masih bengong di luar,” sahut Rama.
Aku cekikikan karena berhasil tidak ketahuan. Mereka kembali melanjutkan obrolan.
“Masih di loker kayaknya.”
Membayangkan betapa joroknya loker Jendra, perutku mulai bergejolak.
“Kenapa nggak kasih Ara aja sih kemarin?” Aku mendelik. Saran Rama sungguh di luar dugaan.Terkesan inisiatif tanpa memedulikan perutku setelah memakan satu kotak bekal setiap siang. Kalau bukan karena kasihan pada Ayah, pasti akan kutinggal di rumah.
“Mau patungan nggak?”
Keningku mengernyit heran, tidak mengerti arah pembicaraan Jendra. Kutempelkan telingaku ke dinding, sebab terkadang suara mereka tenggelam oleh bunyi gemercik air.
“Uang jajan lo berdua, 'kan, selalu sisa. Sebulan bisa kayaknya buat gaji ART. Buat masak aja gantiin Ayah, kalo urusan yang lain, 'kan, ada Ara.”
Kali ini bibirku sudah komat-kamit menyumpahserapahi Jendra.
“Emangnya Ayah mau?” tanya Rama.
“Mau lah kalau ada. Selama ini Ayah nggak mau karena males aja carinya. Tau sendiri semua di depan matanya harus sempurna.”
Yang Jendra ucapkan barusan ada benarnya, meski tidak sepenuhnya. Aku sudah mengira sejak lama bahwa Ayah bukan tidak mampu membayar asisten rumah tangga, melainkan rasa cintanya terhadap mendiang Mama yang selalu melakukan semua urusan rumah tangganya sendiri saat Ayah bekerja.
“Ntar deh gue ngomong sama Ara.” Rama menyudahi obrolan singkat mereka.
Tidak berselang lama suara pancuran air pun tidak seribut tadi. Jendra dan Rama pastinya sudah meninggalkan kamar mandi. Namun, aku yang hendak membuka pintu dikejutkan oleh sepasang kaki berhenti di depan pintuku.
Aku menyesal kenapa dulu memilih kamar mandi paling ujung, di mana saat pintu terbuka pemandangan pertama yang kulihat pertama kali adalah cermin. Kalau di depan Rama yang tengah bercermin, habislah riwayatku. Karena Rama akan menghabiskan banyak waktu di sana. Entah itu bercukur, memuji wajah tampannya sendiri, hingga memotong kuku-kukunya.
Akan tetapi, bila diperhatikan lebih seksama otot-otot betis Rama tidak sekecang itu. Apalagi Jendra yang kakinya jauh lebih putih dariku.
Mataku melotot, tubuhku perlahan mundur sembari mengatupkan mulut dengan kedua tangan. Aku memastikan dugaanku dengan membuka sedikit celah pintu. Yang kini sedang bercermin dengan handuk melingkari pinggang ke bawah adalah Ayah. Dia membiarkan sisa air dari rambut menetesi punggung tegapnya serta melamun cukup lama.
Aku mengasihaninya. Raut wajahnya terlihat murung di cermin. Mungkin Ayahku mendengar pengkhianatan anak-anaknya selama mereka mandi tadi.
Semenjak pergantian jadwal, mata pelajaran olahraga yang semula dilaksanakan setiap Kamis pindah ke Senin. Sebuah keuntungan tersendiri bagiku yang menyukai aktivitas luar ruangan. Sengaja kupasangheadbanduntuk memadupadankan setelanku. Sempurna! Bawahan celanadodger blueselutut yang kukenakan juga menyelamatkanku dari betis pendek ini.“Ra, sini buruan.”Dalam sekejap suara Jendra mengganggu ketenangan pagi. Kugulung lengan seragamku lebih tinggi. Selain emosional, Jendra paling tidak sabaran. Tak kuhiraukan teriakannya. Namun, Jendra tidak puas memanggilku berulang-ulang. Ia juga membuat keributan agar aku segera menghampirinya. Ia pikir dengan memainkan sendok dan garpu saat sedang sarapan maka telingaku akan panas.Sayangnya itu benar. Kuhampiri Jendra yang terlihat sedang menyalin pekerjaan rumah dari buku lain dengan sesekali menyuap nasinya. Dugaanku kali ini ketua kelasnya yang jadi korban. 
Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe
Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j
Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Keadaan rumah saat aku dan Jendra tiba tetap saja sama seperti yang sudah kami lewati pada tahun-tahun sebelumnya. Aku tahu Ayah dan Rama sudah sampai di rumah lebih dulu dari kami. Dari sepatu yang mereka pakai pun sudah tertata di rak. Keadaan rumah yang semula cukup berantakan sebelum kami pergi sekolah menjadi sangat rapi. Ayahku sendiri bukan orang yang suka berantakan, namun setiap harinya Ayah akan sangat sibuk bekerja di dalam ruangan. Sehingga, waktu untuk merapikan rumah tidak masuk dalam daftar rutinitas hariannya. Biasanya, aku yang akan melakukannya sore menjelang malam ketika sudah cukup mengistirahatkan diri sepulang sekolah.Aku dan Jendra hanya cukup menyadari suasana berkabung tahun ini. Kami masuk ke dalam kamar seolah tidak ada yang terjadi. Aku sudah meminta izin pada Mama agar aku bisa menikmati kesibukanku tanpa harus berduka seperti keluargaku yang lain. Aku juga tidak yakin Mama akan senang melihat kami terus seperti ini. Akan tetapi, mau diapakan lag
Ketika menemukan tempat berteduh, tiba-tiba aku teringat Mas Irfan. Segera kukirim pesan padanya bahwa aku tidak bisa mengabarinya tentang keberadaan Ayah. Ya, mereka memang sudah dewasa, namun itu lah yang aku takutkan. Ada banyak orang dewasa yang bertengkar dengan tak saling bicara hingga pura-pura saling tidak mengenal lagi. Membayangkan semua itu saja sudah membuat moodku hancur. Aku mengenal Mas Irfan sebagai sosok paman yang baik, meski menurutku ada perbuatannya yang menyakiti hati Mbak Bunga hingga mereka memutuskan tidak lagi bersama. Nanti, begitu aku dewasa, aku tidak mau seperti mereka. Tidak ingin memiliki hubungan yang rumit.Alasan kami kembali berteduh sekalipun batu nisan Mama sudah terjangkau mata, karena hujan turun deras sesaat setelah aku dan Jendra tiba di area makam. Aku dan Jendra masih berpikir bahwa cuacanya masih berbahaya dengan petir yang terus sahut menyahut. Beruntungnya, sekitar lima puluh meter dari makam Mama ada tempat untuk berted
Rama meminta kepulangannya dipercepat, kalau bisa saat ini juga. Aku sama sekali tidak heran, bahkan sudah punya feeling dia akan begitu bersemangat melewati masa pemulihan setelah pelatihnya datang menjenguk. Aku sempat hilang fokus, lebih tepatnya lagi aku terpesona pada sosok pelatih berbadan jangkung itu. Iris biru yang menghipnotisku seolah aku bisa melihat lautan luas dari matanya. Rama pernah bercerita kepadaku dulu, pelatih penggantinya cukup tampan dan masih muda. Dulu aku hanya akan manggut-manggut tak peduli, tetapi kini aku sangat sibuk menjelajahi sosial medianya. Tak masalah Rama tidak ingin memberi tahu. Asal tahu saja, aku bisa menjadi lebih cerdik ketika semua bersangkutan dengan apa yang kusuka. Dari layar ponsel, wajah Ayah tiba-tiba terlihat. Aku menoleh ke arahnya yang duduk di sampingku sejak tadi. Menatapnya curiga sekalipun Ayah sedang bermain ponsel. Raut wajah Ayah selalu tidak bisa menutupi kebohongannya, sementara aku paling
Dokter segera memeriksa kondisi Rama setelah ia muntah darah. Rupanya sebelum bertanding Rama memang sudah tidak sehat. Pelatihnya bilang ia sempat mengeluh perutnya sakit, namun ketika pertandingan dimulai sepertinya Rama berbohong dengan mengatakan sudah jauh lebih baik. Aku tahu sekali kenapa Rama berani beralasan seperti itu. Sangat tidak sebanding memang, tetapi ketahuilah bahwa Rama paling tidak suka duduk di kursi cadangan.Ketika timnya kalah, ia akan menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Ia bisa murung selama satu minggu hanya karena memikirkan kekalahan. Tak jarang pula ia menghukum diri dengan olahraga keras hingga mendaki tanpa persiapan matang.“Ma, ngomong dong...”Terus kubujuk Rama agar mau merespons ucapanku. Ia baru melihatku keberadaanku di sini ketika kuambil ponselnya dan ia mulai menggerutu. Semula aku begitu penasaran saat Rama terlalu fokus menatap layar ponselnya. Namun, saat sudah melihatnya langsung penasaranku seketik
Jika Senin dikutuk banyak orang, maka Jumat adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Sekolah pun memulangkan kami satu jam lebih cepat dari hari biasanya. Sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah berdiri di depan kelas Rama. Aku berniat menahan kepulangan Rama hari ini untuk meminta penjelasannya. Beberapa hari yang lalu, lewat Aisyah ia bilang pertandingan akan dilaksanakan kemarin. Aku dan Ayah yang sudah mendatangi stadion dengan beberapa atribut pendukung justru tidak menemukan tim kesebelasannya. Alhasil, aku malah ikut Ayah mendaftar les memasak.“Ketemu depan DPR,” bisik seseorang di telingaku saat melewatiku.Mataku menangkap sosok Jendra sebelum ia menuruni anak tangga. Sebelum mengikutinya turun, aku sempat berdecak dan menggerutu hingga menarik perhatian teman sekelas Rama yang keluar satu per satu. Meski begitu, aku justru tidak melihat Rama keluar kelas.Pagi tadi Jendra yang membawa motor. Atas paksaan Ayah, Jendra akhirnya mau mengajakku
Letak mejaku ada di baris paling belakang. Sedangkan meja Gema dan Aisyah berjarak satu meja di depanku. Beberapa orang menduga kami dekat karena meja kami berdekatan. Sebenarnya itu bukan satu-satunya alasan, kami saling mengenal hingga kemudian dekat karena sama-sama menyukai drama korea. Di antara kami bertiga, mungkin Gema yang bisa dibilang paling banyak berkorban demi idolanya. Gema rajin mengirim hadiah untuk idolanya. Salah satunya Park Seo Joon, aktor tampan sekaligus tokoh utama dalam drama Fight for My Way. Ia bahkan membolos saat aktor itu berkunjung ke Indonesia setelah menyelesaikan wajib militernya. Demi drama satu itu pula aku dan Aisyah menginap di rumah Gema untuk movie marathon. Kami menghabiskan enam belas episode hanya dalam dua hari. Alih-alih dimarahi saat pulang, Ayah bilang aku dan kedua temanku sudah layak meraih rekor MURI. Aisyah sampai harus bertengkar dengan Abinya, karena Aisyah memang dilarang menginap meskipun itu di rumah t
Aku baru saja akan memejamkan mata setelah berjam-jam mendengar Ayah menceramahiku soal pacar yang Rama katakan padanya. Hanya karena bibirku tersenyum saat membaca pesan Pras, Rama menganggapku punya pacar. Sungguh, aku baru tahu gaya berpikir keluargaku sekuno itu. Jelas aku berharap malam ini Jendra lah yang habis diceramahi Ayah, tetapi harapan itu justru berbalik kepadaku.Sejak saat Pras mengirimiku pesan bahwa tawuran malam ini berhasil dibubarkan, kupikir aku dapat tidur dengan nyenyak. Namun, bunyi ketukan palu diiringi dentuman musik rock begitu nyaring masuk ke telingaku yang sensitif keributan.Kubuka jendela kamarku yang hanya berjarak lima langkah dari jendela kamar Hayang, tetanggaku di rumah sebelah. Kulihat siluet Hayang—mungkin juga bukan— sedang duduk di mejanya tanpa melakukan apa-apa. Kubiarkan beberapa menit, kukira kebisingan ini akan segera berakhir. Saat musiknya tak kunjung berhenti, aku yang nyatanya sudah keburu geram bergegas ke
Paragon ExpeditionSam: Photo addedSam: Transaksi barang Sageza hari iniAlisku bertaut memerhatikan barang persenjataan Sageza, sekolah tetangga yang rupanya sedang mempersiapkan gencatan dengan sekolahku.Selain ikut turun dalam tawuran, Sageza biasa mengadu domba kelompok dari sekolah lain untuk memihaknya. Mereka dikenal tidak memberi ampun bagi siapa pun yang membocorkan identitasnya. Selain itu, mereka juga tidak pernah meninggalkan jejak. Sehingga, polisi akan kesulitan menemukan barang bukti lanjutan. Ancaman demi ancaman biasa berdatangan ketika kelompok mereka merasa dicurangi.Dan, percayalah, aku mulai mengkhawatirkan Jendra. Walau sisi lain dalam diriku berkata Jendra tidak akan sembrono memilih teman, aku telah menandai beberapa teman Jendra yang ikut dalam aksi segerombolan gangster.Cal: Photo addedCal: Pejaten Raya22.00Kututup ponselku setelah j
Sekolahku bukan tempat yang ramah untuk anak-anak 'biasa'. Kantin yang bersembunyi di belakang parkiran dibuat seakan berkelas-kelas. Aisyah dan Gema membawa piring mereka ke mejaku setelah ayam kremesnya siap. Mereka lebih memilih duduk di sampingku padahal biasa mengoceh saat keringatku mengganggu indera penciuman mereka.Aku bukan Aisyah dan Gema yang kemana-mana harus ditemani sekalipun hanya ke toilet. Meskipun sebenarnya mereka selalu berniat mengajakku. Hanya saja setiap kali mereka mencariku sering kali aku tidak terlihat di kelas. Kalau waktu senggang semacam tidak ada guru atau acara sekolah yang membuat kami bebas kelas aku akan merasa nyaman duduk di rooftop masjid. Kebetulan pembangunannya dihentikan setelah kepala sekolah kami dipindahkan. Walau di atas sana yang kulakukan hanya mendengarkan lagu, semilir angin dan ketenangan sudah termasuk fasilitas mewah bagiku.“Ra. Lo, Jendra, sama Rama kayak gini juga kalo di rumah?” tanya Gema.Pe