Beranda / Romansa / Trauma pacaran / 6. Tidak Terpengaruh

Share

6. Tidak Terpengaruh

Penulis: sulmifa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai.

Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan.

Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi.

“Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina.

“Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda.

“Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku.

“Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.”

“Siapa, Kak?”

“Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

“Oke, makasih ya, Kak! Kalau gitu aku keluar dulu,” pamitku.

Aku meletakkan bungkusan di samping laptop sambil mengecek ponsel yang sedari tadi tidak aku sentuh. Apa orang itu bang Dika? Ada beberapa pesan dan satu panggilan tak terjawab darinya beberapa menit yang lalu.

Bang Dika

[Kesha masih di kampus?]

[Kesha bisa keluar sebentar?]

[Dika di luar ruang k15.]

Panggilan suara tak terjawab pukul 18.45

Ternyata tebakanku benar. Tanpa membalasnya, aku langsung keluar untuk menemuinya. Saat di luar, aku melihat bang Dika sedang duduk dengan pandangan yang tertuju pada ponsel. Kebangetan banget kamu Kesha, biarin dia nunggu hampir setengah jam di sini!

Suara langkahku membuat pandangannya teralihkan. Ia memasukkan ponselnya di saku jaket lalu berdiri menghadapku.

“Maaf, Bang, baru baca pesannya,” ujarku sambil tersenyum.

“Enggak apa, masih lama?” balasnya singkat.

“Kayaknya masih lama, ada apa, Bang?”

“Tadi Gita titip ini.” Ia menyodorkan tas jinjing merah kepadaku. Ku lihat sekilas di dalamnya ada jaket dan beberapa camilan. Gita sangat tau apa yang aku butuhkan sekarang meski aku tidak memintanya.

“Makasih banyak, Bang. Jadi ngerepotin,” balasku sambil tersenyum.

“Enggak kokk, nanti pulangnya bareng aja, sudah malam.”

“Eh, enggak usah, Bang. Nanti bareng sama yang lain aja,” ujarku menolak ajakannya.

“Bareng Dika aja pulangnya. Yaudah sana, lanjut lagi buat soalnya. Semangat!” balasnya tak bisa kutolak. Dia melihatku sambil tersenyum tipis dengan mata yang menatapku intens. Seketika aku terdiam tanpa kata mendapatkan tatapan itu. Mataku berkedip cepat dengan jantung yang berdebar.

“Kesha?”

“Eh, iya Bang?” Astaga apa-apaan tadi! Apa barusan aku terpana?

“Nanti kabari ya kalau pulang.”

“Iya nanti aku kabari, aku masuk dulu ya, Bang. Sekali lagi makasih banyak!” ucapku secara mundur, lalu berbalik badan meninggalkan dirinya di luar. Saat masuk ke ruangan aku tidak merasa sedingin tadi karena rasanya pipiku memanas. Ini pasti akibat perubahan suhu yang terjadi, bukan karena tatapan intens bang Dika.

Ketika sampai di tempatku, Dinda langsung menuju tempatku.

“Tadi siapa, Ca? Terus itu apaan?” tanyanya langsung menginterogasi.

“Tadi temen anterin jaket,” balasku singkat. Saat mengeluarkan jaket ternyata ada beberapa kopi kalengan juga di dalamnya. Aku langsung mengeluarkan semua isi dalam tas dan mengirim pesan kepada Gita.

[Gita cantik, makasih banyak yaa. Makin sayang kalau begini terus.]

[Photo]

Gita langsung membalas cepat pesanku.

Gita Cantik

[Sama-sama cantik]

[by the way aku cuma titip jaket aja ke Bang Dika.]

[Jadi semua makanan itu pasti dari dia.]

[Bukan dari kamu?]

[Tapi tadi dia enggak bilang apa-apa]

Gita Cantik

[Beneran, kamu tanya aja sendiri.]

[Nanti deh, tapi makasih banyak ya Git, di sini dingin banget]

Aku langsung mengunci kembali ponsel tanpa menunggu balasan dari Gita. Jaket pemberian Gita langsung aku pakai karena sekarang mulai terasa dingin. Hal ini membenarkan dugaanku tadi, bahwa apa yang bang Dika lakukan tadi tidak mempengaruhiku sama sekali.

***

Ternyata aku bisa menyelesaikan pekerjaanku sampai pukul sepuluh malam. Semua orang di sini juga terlihat mulai membereskan barang bawaan mereka.

Ponselku berdering, satu panggilan masuk dari bang Dika.

“Halo.”

“Kesha udah selesai?”

“Udah, Bang. Baru aja, maaf selesainya sampai malam begini.”

“Enggak apa, Dika ke sana sekarang, ya.”

“Oke.”

Aku segera membereskan semua barang milikku yang ternyata sangat berserakan di meja. Tak kusadari ternyata aku hampir menghabiskan camilan dari bang Dika selama membuat soal. Setelah meja yang kupakai bersih, aku berjalan menuju depan ruangan. Seperti hari-hari sebelumnya akan diadakan evaluasi singkat setiap selesai kegiatan.

“Sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih kepada temen-temen semua, atas kerja keras temen-temen di sini semua yang sudah direncanakan bisa selesai dengan baik. Agenda hari ini sudah cukup dan untuk beberapa hari ke depan temen-temen bisa istirahat dengan tenang di rumah atau kos masing-masing karena kita tinggal menunggu revisi saja,” ucap kak Vina sambil menatap semua orang di sini.

“Semoga saja enggak ada yang perlu diubah lagi dan bisa langsung dicetak. Selamat malam semua, terima kasih untuk hari ini!” tambah kak Vina menutup pertemuan hari ini. Semuanya membubarkan diri dan berjalan menuju pintu.

“Pulang bareng ya, Ca!” ajak Dinda.

“Maaf, Din, aku udah ada janji duluan.”

“Sama siapa? Temen kamu yang tadi?”

“Iya.... Itu orangnya, aku duluan ya!” Aku langsung berjalan menuju bang Dika saat keluar ruangan. Kebetulan ia berdiri tepat di depan pintu.

“Pulang sekarang?” tanyanya saat aku berdiri di hadapannya.

“Boleh.”

Kami berjalan menuju parkiran. Meski sudah mengenakan jaket, angin malam masih terasa menusuk tubuh. Aku dan angin malam yang tak bisa bersahabat. Aku teringat camilan yang tadi ia berikan.

“Bang Dika, tadi ada camilan di tas jinjingan ini, kata Gita itu bukan dari dia. Itu dari Bang Dika?” ucapku membuatnya menoleh.

“Makasih ya, Bang,” tambahku sambil tersenyum. Meski aku yakin saat ini penampilanku sudah tidak karuan.

“Sama-sama,” balasnya singkat. Dua hari mengenalnya, aku dapat menilainya sebagai laki-laki yang baik. Meski sangat irit bicara, itu murni kepribadiannya. Bukan seperti orang yang risi dengan lawan bicaranya.

Bab terkait

  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

  • Trauma pacaran   Prolog

    Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

  • Trauma pacaran   4. Pesan Pertama

    Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad

  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

Bab terbaru

  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

  • Trauma pacaran   6. Tidak Terpengaruh

    Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

  • Trauma pacaran   4. Pesan Pertama

    Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad

  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

  • Trauma pacaran   Prolog

    Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit

DMCA.com Protection Status