Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan.
Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita.
Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan.
“Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sambil tersenyum. Padahal tadi dia sempat sebal karena lama menunggu.
“Eh, kenalin ini bang Dika,” ujar Rayhan sambil menepuk bahu laki-laki yang kebetulan berhadapan denganku. Tiba-tiba bang Dika mengulurkan tangannya sambil berkata, “Dika.”
“Kesha,” ucapku sambil membalas jabatan tangannya. Tatapan matanya masih tajam seperti saat di lapangan tadi.
“Bang, habis ini ada acara lagi ‘gak? Makan bareng kita aja!” ajak Rahyan.
“Iya, Bang. Biar Eca enggak jadi nyamuk nantinya,” ucap Gita membuatku melotot. Apa-apaan ini? Kenapa harus aku yang dijadikan sebagai alasan agar laki-laki ini ikut? saat melirih sedikit ke tempat bang Dika, aku merasa dia sedang menatapku tanpa berkutik. Dia pasti menilaiku sebagai perempuan gampangan. Awas kamu Gita!
“Boleh,” balas bang Dika.
“Bareng Eca ya, Bang! Nanti ketemu di tempat biasa!” ujar Rahyan sambil menggandeng tangan Gita, lalu berjalan menuju motor miliknya. Karena barang-barangku disana semua, aku ikut melangkah juga mengikuti mereka, menjauh dari bang Dika.
“Han, kenapa harus aja dia, sih? Kita bertiga aja udah cukup!” protesku dengan suara pelan. Aku takut perkataanku bisa terdengar oleh orang yang aku maksud.
“Udah lama juga engga ngobrol bareng dia, jadi enggak ada salahnya buat ajak dia sekalian.”
“Enggak apa kali, Ca. Kalau enggak sama dia, kamu harus naik ojol, itung-itung hemat pengeluaran juga, kan?” timpal Gita sedikit masuk akal.
“Tapi...”
“Udah sana kamu susul bang Dika! Dia cape loh, baru beres tanding,” ucap Gita memotong ucapanku sambil memberikan barang-barangku. Baiklah aku kalah. Aku tidak bisa menentang apa yang sudah Gita putuskan. Meski aku orang yang keras kepala, aku tidak bisa mengalahkan keras kepalanya Gita.
Dengan langkah pelan aku menghampiri bang Dika yang sudah siap di atas motornya. Saat sampai di hadapannya, ia mengulurka tangan ke arahku.
“Tasnya taruh di depan aja, biar nyaman duduknya,” ucapnya.
“Eh, enggak ribet kok, bang. Aku pegang aja,” balasku sambil tersenyum. Tas ini akan aku gunakan untuk membentuk jarak dengannya. Enggak ada yang menjamin jika dia tidak akan modus mengerem secara dadakan, bukan?
Setelah duduk dengan nyaman, motor ini mulai bergerak mengikuti kendaraan lain memadati jalanan. Gita dan Rayhan sudah terlebih dahulu berangkat. Perjalanan yang akan terasa panjang karena kami saling bungkam suara. Aku tidak tau akan dibawa kemana malam ini. Tapi melihat jalan yang dipilih, sepertinya Gita ingin mengunjungi kafe yang baru dibuka beberapa minggu lalu.
Dugaanku tidak meleset. Motor ini berhenti di depan kafe tersebut. Suasana malam ini cukup ramai pengunjung. Aku berharap Gita ataupun Rayhan sebelumnya sudah mereservasi meja terlebih dahulu. Baru saja akan masuk ke dalam, ponsel di saku berdering panjang. Secara kebetulan, ponsel bang Dika pun ikut berdering. Terdapat satu panggilan masuk di ponselku dari Gita.
“Halo, Git?”
“Eca, maaf banget yaa, aku sama Rayhan enggak bisa ke tempat itu sekarang. Ban motor Rayhan bocor, ini lagi cari tambal ban.”
“Loh, kenapa tadi kita enggak ketemu?”
“Kamu tadi lewat jalan Jaksa? Aku lewat jalan Permata.” Awalnya aku menyangka ini hanya alasan Gita saja agar aku bisa berdua dengan bang Dika. Tetapi dari penjelasannya sepertinya dia tidak berbohong.
“Ake sana sekarang, ya?”
“Enggak usah, Ca. Kamu temenin bang Dika aja. Ini juga lagi nunggu jemputan dari sepupu Rayhan.” Jawaban Gita membuatku lega.
“Yaudah, nanti kamu kabari aku lagi ya.”
“Siap, have fun yaa, dia baik kok. Rayhan yang jamin!” ucap Gita menutup sambungan telepon.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa lebih baik pulang saja? Bang Dika juga pasti kelelahan setelah pertandingan tadi. Tubuhku juga lelah. Ingin sekali kembali ke kosan untuk membersihkan diri lalu kemudian tidur sampai pagi. Kegiatan hari ini sangat menguras banyak energi. Aku yakin bang Dika juga merasa seperti itu. Oke, aku akan meminta bang Dika untuk pulang saja karena orang yang mengajak kami ke sini tidak bisa hadir.
“Kesha,” panggilnya membuatku menatap ke arahnya.
“Rahyan bilang ban motornya bocor. Enggak apa kan kalau kita makan berdua aja?” tanyanya. Sepertinya orang yang tadi menelponnya itu Rayhan. Ucapannya sangat bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan tentangnya.
“Kalau abang mau pulang juga enggak apa, kok, nanti aku bisa pesan ojol,” ucapku sedikit menolak ajakannya.
“Makan dulu aja, nanti pulang Dika yang antar. Ayo!” ajaknya. Baiklah, aku kembali bertemu dengan orang keras kepala dan tak bisa terbantahkan. Hari ini aku kembali kalah. Tidak bisa mengikuti kata hatiku untuk segera pulang ke kosan.
Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad
Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i
Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.
Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u
Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit
Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta
Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse
Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u
Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.
Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i
Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad
Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam
Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse
Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta
Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit