Home / Romansa / Trauma pacaran / 4. Pesan Pertama

Share

4. Pesan Pertama

Author: sulmifa
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor.

Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya.

“Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku.

“Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang.

“Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya.

“Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!”

“Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, padahal banyak duduk dari tadi,” ujarku seraya memeluk jinjingan di dada.

Kami melewati lorong kamar yang semua penghuninya berada di kamar masing-masing. Karena hampir semua kamar kedap suara, lorong yang cukup panjang ini terasa sepi, seperti tidak berpenghuni. Kamarku dan Gita terletak di ujung bangunan ini. Meski di ujung, kamar tersebut merupakan kamar paling nyaman karena bisa langsung mendapatkan cahaya matahari. Kamarku dan Gita tidak terhalang oleh bangunan lain sehingga jika siang hari tetap terang meski tidak menyalakan lampu.

“Udah mulai memasuki fase remaja jompo ya, Bun,” balasnya sambil merangkul bahuku.

“Semester lima nih, Bun. Maklum aja, yang setia menemani cuma minyak angin dan koyo!” balasku sambil membuka pintu kamar.  

***

Selesai membersihkan tubuh, aku langsung mengecek ponsel. Baru ditinggal sepuluh menit saja sudah banyak pesan grup yang masuk. Jadwalku besok sangat padat ternyata. Ada satu kelas pengganti pukul delapan pagi dan akan dilanjutkan dengan rapat panitia event tahunan jurusanku. Besok aku akan seharian lagi berada di kampus. Kegiatan yang tak pernah terbayangkan olehku sebelum menjadi mahasiswa semester lima.

Ratusan pesan itu terdiri dari beberapa grup. Namun ada satu pesan yang membuatku ragu untuk membukanya. Pesan tanpa nama itu membuat jariku berhenti menggulir layar ponsel. Di sana ada tiga pesan masuk dan di pesan terakhir ia hapus, ditambah dengan foto profil yang hanya menampilkan hamparan kebun teh. Hal ini membuatku teringat akan kejadian penipuan yang sedang beredar di aplikasi whatsapps. Demi menghilangkan rasa penasaran ini, aku memutuskan untuk membaca pesan itu.

+62816754*****

[Malam Kesha]

[Ini Dika]

Pesan ini telah dihapus

Melihat isi pesan itu membuatku menebak siapa orang yang memberikan nomorku kepadanya. Gita dan Rayhan merupakan kandidat terkuat dalam kasus ini. Karena terlalu malas untuk keluar kamar, aku memilih untuk menelpon Gita tanpa membalas pesan dari bang Dika.

“Kenapa, Ca?”

“Git, kamu kasih nomor aku ke bang Dika?”

“Hah?”

“Kamu ‘kan yang kasih nomor aku ke dia? Kamu tau sendiri ‘kan, Git, aku paling enggak suka kalau nomor aku sembarangan dikasih gitu aja!” Aku keluarkan perasaan kesal ketika mendengar jawabannya seolah dia tidak tau apa-apa.

“Aku enggak kasih nomor kamu ke dia, Ca. Beneran deh!”

“Terus kenapa dia bisa chat aku? Enggak mungkin banget kalau nomor aku tiba-tiba muncul di kontaknya!”

“Aku beneran enggak kasih nomor kamu ke dia, Eca! Kayaknya ini Rayhan deh, aku undang Rayhan ya, biar kita bisa tanya langsung.” Gita masih saja mengelak. Untungnya Rayhan langsung menerima panggilan grup ini.

“Sayang, kamu kasih nomor Eca ke bang Dika? Eca marah-marah ke aku!” cerocos Gita tanpa menjawab salam dari Rayhan. Aku mendengarkan sambil menggunakan serangkaian perawatan tubuh.

“Iya, Yang. Katanya tadi lupa enggak sekalian minta langsung.” Penjelasan Rayhan membuatku berhenti mengoleskan serum ke wajah.

“Tapi kamu bisa tanya aku dulu, Ray, enggak langsung kasih gitu aja,” balasku merengut, tapi tak bisa dilihat oleh Rayhan tentunya.

“Sorry, Ca. Lain kali aku bakal tanya kamu dulu. By the way, tadi baik-baik aja ‘kan kalian berdua?”

“Baik banget kayanya, Yang, pas aku buka gerbang wajahnya berseri-seri gitu!” Tiba-tiba Gita menyahuti pertanyaan Rayhan. Apa-apaan katanya? Mana ada wajah berseri, ada juga wajah lelah karena seharian ini aku menghabiskan waktu di luar kosan.

“Eh sembarangan, muka cape begitu dibilang berseri. Jangan mengada-ada ya kamu!”

“Enggak usah malu begitu lah, Ca, kamu seneng banget kan pas makan bareng abang tampan itu,” ledek Gita membuatku membanting pelan serum di tangan. Menyebalkan!

“Siapa yang tampan, Sayang?” celetuk Rayhan membuat Gita terkekeh pelan di sana.

“Uuuh, Sayangnya aku cemburu. Maksud aku abang tampan punya Eca, soalnya tampannya aku itu kamu!” Kebangetan banget duo bucin ini! Enggak bisa apa ditahan dulu bucinnya?

“Malesin ah, kalian malah sayang-sayangan. Pokoknya aku enggak suka ya kalau nomor aku disebar tanpa aku ketahui. Kalian lanjutin deh bucinnya, aku tutup ya!” Tanpa mendengar jawaban dari keduanya aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Aku kembali meneruskan rutinitas perawatan tubuh di malam hari. Sambil menepuk pelan wajah agar serum yang kugunakan terserap sempurna, pandanganku tertuju pada ponsel di depan.

Aku belum membalas pesan dari bang Dika sejak tadi. Kalau tidak dibalas akan canggung rasanya jika tidak sengaja bertemu di kampus. Tapi aku harus balas apa? Kalau minta pendapat Gita pasti aneh jawaban yang ia sarankan. Baiklah, aku harus segera membalasnya!

[Malam juga bang Dika]

Tidak terlalu kaku bukan? Sudahlah aku tidak peduli bagaimana responnya saat melihat jawabanku. Agar skincare yang aku gunakan tidak sia-sia, aku harus segera tidur malam ini.

Related chapters

  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

  • Trauma pacaran   6. Tidak Terpengaruh

    Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

  • Trauma pacaran   Prolog

    Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

Latest chapter

  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

  • Trauma pacaran   6. Tidak Terpengaruh

    Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

  • Trauma pacaran   4. Pesan Pertama

    Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad

  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

  • Trauma pacaran   Prolog

    Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit

DMCA.com Protection Status