Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur.
Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan.
Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci.
Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini.
Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponselku diserbu pesan masuk setelah tersambung wifi masjid. Belum sempat memeriksa pesan masuk, satu panggilan dari Gita menghalangi.
“Halo, Git?”
“Ca, kamu di mana? Masih di kampus enggak?”
“Iya masih, ada apa?” Aku membereskan mukena yang tadi kupakai.
“Kamu ke GOR Juanda dong, yang di depan fakultas teknik. Temenin aku nonton pertandingan basket.”
“Aku baru banget kelar kelas, lepek banget penampilan aku. Kamu tau sendiri kalau hari ini jadwaku padat banget.” Mukaku sangat kusut. Hari rabu merupakan hari paling melelahkan. Bayangkan saja, aku berangkat ke kampus pukul setengah tujuh pagi, istirahat selama satu jam lalu lanjut lagi hingga selesai pukul setengah tujuh malam. Dua belas jam waktuku dihabiskan untuk belajar di kampus.
“Ayolah, aku pikir Rayhan ngajak jalan ke AP, eh malah nyuruh aku buat nonton dia tanding basket,”
“Lagian bukannya kamu tanya dulu. Aku malu Git, kucel banget.”
“Aku bawa face mist sama parfum kok.” Sebenarnya aku tidak tega membiarkan Gita berada di GOR yang ramai sendirian. Tapi pergi ke sana dengan tampilan seperti gelandangan begini bukan pilihan yang baik juga.
“Kamu bawa jaket atau kardigan enggak? Aku ke sana sekarang.”
“Bawa kok. Nanti kalau udah di depan GOR kabari aku lagi ya. Makasih banyak Eca-ku. Emang cuma Eca temen paling cantik yang aku punya. Love you.” Gita memutus sambungan sepihak. Giliran ada maunya muji-muji.
**
Suasana di luar GOR tidak terlalu ramai. Berbanding terbalik dengan suasana di dalam GOR yang dipenuhi sorak penuh dukungan. Sepertinya pertandingan sudah dimulai. Aku masih menunggu Gita keluar. Aku duduk di kursi depan GOR sambil membenarkan barang bawaanku. Tas ransel ditambah dengan satu jinjingan menemaniku selama satu hari ini. Aku bingung harus ditaruh di mana semua barang-barang ini. Tidak mungkin aku membawa ‘mereka’ ikut ke dalam.
“Eca!” Suara Gita terdengar dari sebelah kanan.
“Aku pulang aja deh, kamu juga ikut pulang. Tinggal bilang ke Rayhan kamu ada keperluan mendadak. Lihat aja, barang bawaanku banyak banget.” Aku menunjukkan tas ransel dan jinjingan yang menggelembung.
“Ih jangan gitu, kamu temenin aku, ya? Barang bawaan kamu taruh di motor Rayhan aja.” pinta Gita sambil menunjukkan tatapan memelas. Ia menarik tanganku menuju salah satu motor yang terparkir di hadapanku. Setelah meletakkan dengan aman, aku ditarik lagi menuju GOR.
Suasana ramai menyambutku. Sahutan dari para penggemar memenuhi GOR untuk menyemangati tim jagoannya. Ada tim pengiring musik untuk menyemangati para pemain, yang saling bersahutan dengan tim pengiring musik pihak lawan. Tim seperti Gita tak kalah banyak. Sekelompok perempuan yang bukan fokus ke jalannya pertandingan, tetapi pada pesona pemain yang makin terlihat tampan dalam balutan kaus penuh keringat juga ikut meramaikan.
Pandanganku terpusat pada tempat para pemain di seberang sana. Seorang laki-laki duduk sambil menenggak air mineral dengan khidmat. Tidak menghiraukan suasana bising GOR yang makin meriah ketika salah satu tim mencetak skor. Tatapan tajam itu seperti tak asing bagiku. Dada bidang yang tercetak di tubuhnya memberi kesan maskulin.
“Git, aku kayak pernah ketemu sama orang itu, deh,” ucapku sambil menyenggol lengan Gita.
“Yang nomor sepuluh itu?” Aku membalas dengan anggukkan kepala.
“Dia kating Rayhan, mahasiswa tingkat akhir dari fakultas teknik. Kamu bisa aja papasan sama dia secara enggak sengaja,” jelas Gita. Kebetulan itu pasti terjadi karena fakultasku dan dia bersebelahan.
Pertandingan kembali dimulai setelah salah satu tim meminta time out. Tetapi laki-laki nomor sepuluh itu kembali duduk ke kursinya. Berbeda dengan Rayhan dan keempat orang lain yang bergegas menuju posisi masing-masing di lapangan. Dia pasti kelelahan. Kaus hitam yang membalut tubuhnya sangat dipenuhi keringat.
“Asik banget sih lihat cowok ganteng nya. Awas nanti malah naksir!” ujar Gita sambil menyenggol lenganku.
“Apaan sih, Git. Aku lagi coba ingat-ingat lagi, rasanya kita enggak cuma papasan biasa aja.”
“Iya deh, mana mungkin juga temen aku ini bisa langsung naksir cowok dari pandangan pertama? Kalau kamu begitu, kencan buta yang aku buat udah membuahkan hasil.”
Jawaban Gita membuatku mendengus. Lagi pula aku sudah melarangnya untuk tidak perlu repot-repot mencarikanku pasangan. Tapi aku selalu kalah oleh keras kepalanya. Meski begitu, dia juga salah satu orang yang menyayangiku dengan tulus.
“Karena minggu kemarin gagal, kamu enggak bisa paksa aku lagi untuk ikut kencan buta yang kamu buat, ya. Perjanjiannya begitu dan Rayhan saksinya!” balasku mengancamnya.
“Iya iya, udah dulu debatnya. Aku mau fokus lihat Rayhan main dulu!” Aku tau maksudnya adalah fokus mengamati visual yang dipacarkan Rayhan saat bermain basket. Pesona laki-laki ketika sedang olahraga memang akan meningkat beberapa kali lipat.
Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam
Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad
Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i
Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.
Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u
Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit
Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta
Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u
Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.
Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i
Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad
Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam
Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse
Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta
Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit