Share

Trauma pacaran
Trauma pacaran
Author: sulmifa

Prolog

Author: sulmifa
last update Last Updated: 2021-08-18 00:48:34

Him POV

Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia.

Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali  gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk.

Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit gelap.

“Duh ini motor siapa sih? Mepet banget markirin motornya!” maki perempuan itu. Kepalanya memutari penjuru parkiran lagi. Netranya berhenti ke arah sini. Dengan respon cepat, gue menyalakan motor bersiap untuk pergi. Hampir saja ketauan! Gue sengaja memanaskan motor sebentar sambil memperhatikan kembali perempuan tadi. Wajahnya menunjukkan keraguan.

Ia melangkah kearah gue. “Permisi, A.”

“Iya?” Keraguan di wajahnya makin tampak. Pipi bulat dihiasi dengan rona merah menjadi pusat perhatian. Dia lucu.

Ia berdeham. Apa dia gugup?

“Boleh minta tolong?” ucapnya seraya memainkan jemari.

“Minta tolong apa?”

“Minta tolong buat bantu keluarin motor aku, boleh?” Matanya menyorot penuh harap. Mata yang indah. Bulu matanya sangat tipis bahkan hampir tak kelihatan. Dari jarak dekat seperti ini saja hanya terlihat beberapa helai. Tidak lentik seperti kebanyakan perempuan lain dengan bantuan make up.

Gue turun dari motor membuatnya mundur beberapa langkah. “Motornya yang mana?” jawab gue pura-pura tak tahu. 

“Yang itu.” Ia menunjuk motor matic miliknya. Gue menerima kunci motor darinya untuk membantu mengeluarkan motornya. Dering ponsel bukan dari dalam saku gue memecah kesunyian diantara kita.

“Halo?” sapanya kepada sang penelepon. Balasan dari orang itu tidak bisa gue dengar. Namun wajahnya menunjukkan ekspresi kaget sekaligus kesal. Aura gemas dari dirinya makin meningkat. 

“Hah, jam tiga? Aku baru mau pulang!”

Gue lihat helm bogo miliknya tertempel stiker jurusan dan UKM yang ada di kampus ini.  

Heh jangan sembarangan ngomong! Aku, Kesha Dwi Anggraeni tidak bertanggung jawab atas apapun yang terjadi nanti!”

Kesha, nama yang cantik.

Motornya berhasil gue keluarkan. Panggilan tadi sudah terputus. Ia memasukkan ponsel ke dalam tas. Pandangannya berpindah dari motor ke arah gue. Senyum manis terpahat di wajah kecilnya. Hanya buat gue, kan? Di sini cuma ada gue. Kecuali dia bisa melihat hal lain di sini.

“Makasih banyak ya, A. Maaf udah ngerepotin.” Ia memakai helm bogo yang membuatnya terlihat makin lucu. Astaga, boleh cubit pipinya tidak sih?

Gue mengangguk. Untung saja helm ini enggak dilepas. Senyum di bibir yang dari tadi terbentuk ketika melihat betapa gemasnya dia terselamatkan.

“Duluan, A,” pamitnya. Ia menjalankan motor matic seraya menjauh. Meninggalkan gue dengan serbuan rasa.

Penasaran.

Kagum.

Gemas.

Dia benar manusia kan? Bukan jelemaan Caca yang baru saja lahir minggu lalu?

Getaran di ponsel menyadarkan hayalan akibat terpesona oleh gemasnya Kesha.

“Halo, Dim”

“Woy dimana lo? Cepetan ke sini! Nyasar di mana lo?” teriak Dimas. Meski tidak di loudspeaker, suaranya memecah keheningan parkiran.

“Gue masih di parkiran FKIP.”

“Lama banget, ngapain aja sih di sana? Godain maba ya, Lo? Wah parah sih, enggak ngajak-ngajak!” Sembarangan ngomong ini anak. Di sini malah gue yang digodain. Dari tadi pipi nya seolah manggil minta dicubit, di elus-elus, di unyel-unyel. Astaga, udah gila gue! Sadar Dika! Otak gue sudah teracuni banyak anime dari Dimas, jadinya begini. Sekali ketemu sama boneka hidup traveling pikirannya.

“Mana ada, udah sekarang gue OTW.” Kalau enggak begini, Dimas bakalan nyerocos tanpa henti. Udah melebihi bawelnya ibu kos nagih uang bulanan deh.

“Awas aja kalau nyangsang ke tempat lain. Enggak bakalan gue kasih liat kesayangan gue lagi!” ancam Dimas kemudian mematikan sambungan telepon itu.

Enggak masalah, Dim. Barusan gue udah liat versi nyata. Sedangkan kesayangan loe cuma bisa diliat di laptop.

Sial! Orangnya udah pergi dari tadi, tapi gemasnya masih terbayang sampai sekarang. Semoga kita bisa bertemu lagi, Kesha. Oke, Dika, sekarang fokus nyetir!

Related chapters

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   4. Pesan Pertama

    Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   6. Tidak Terpengaruh

    Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

    Last Updated : 2021-08-20
  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

    Last Updated : 2021-12-13

Latest chapter

  • Trauma pacaran   7. Ditinggal Pasangan Bucin

    Pagi ini aku harus terjebak bersama pasangan bucin di taman kota, siapa lagi kalau bukan Gita dan Rayhan. Di balik masker yang aku pakai, terdapat wajah kesal karena seharusnya aku masih berada di atas kasur yang nyaman. Gita bilang aku perlu olahraga karena wajahku terlihat sangat kusut, padahal yang aku butuhkan hanya tidur karena setelah diantar pulang bang Dika semalam aku masih harus memeriksa soal untuk CCB nanti sampai pukul dua pagi. Kadang rasanya kesal harus menjadi "orang ketiga" di antara mereka. Aku juga ingin bisa duduk berdekatan dengan laki-laki yang memancarkan binar kasih sayang kepadaku, seperti tatapan Rayhan kepada Gita saat ini. Tatapan itu menunjukkan bahwa Gita sangat berharga bagi Rayhan. Tapi sangat sulit menemukan laki-laki seperti itu di masa seperti ini. Memang tidak semua orang itu jahat tetapi masih lebih banyak orang yang berniat untuk menyakiti daripada orang yang benar-benar peduli. "Git, habis ini kita langsung pulang, kan?" u

  • Trauma pacaran   6. Tidak Terpengaruh

    Pandanganku masih tertuju pada laptop. Sedari tadi aku tak banyak bicara agar tugasku dapat cepat selesai. Tapi faktanya membuat soal tidak bisa sembarangan. Soal yang dibuat tidak boleh sama seperti soal tiga tahun sebelumnya dan harus memiliki tingkat kesulitan yang sesuai. Suasana hening di ruangan dipecah oleh suara kak Vina yang masuk sambil membawa bingkisan. “Guys makanan datang!” suaranya membuat semua yang ada di sini melihat kearahnya. Aku dan kak Nina berjalan ke depan untuk mengambil makanan yang sudah dipesan tadi. “Tadi di mas Jhon ngantri ya, Vin?” tanya kak Nina. “Iya, Nin. Dinda ayam gepreknya abis, jadi diganti sama penyet ya!” balas kak Vina sambil memberikan stirofoam ke Dinda. “Makasih, Kak!” jawab Dinda. “Kak, aku ambil nasi goreng nya ya!” ucapku. “Eh Ca, di luar ada yang nyari kamu.” “Siapa, Kak?” “Tadi enggak sempat tanya, ada cowok pakai jaket hitam,” jelas kak Vina membuatku menyerit.

  • Trauma pacaran   5. Hari yang Sibuk

    Mentari sedang berani menampakkan cahaya miliknya di langit. Awan putih di sekitarnya seperti dilarang untuk mengganggunya menyinari bumi ini. Kelas pengganti hari ini selesai melebihi waktu yang dijanjikan semalam. Setelah selesai mengikuti kelas pengganti, aku langsung menuju ruang k15 karena rapat hari ini dilaksanakan di ruangan tersebut. Saat memasuki ruangan, aku merasa masuk di dunia lain. Di sini rasanya sejuk, tidak seperti di luar yang sangat panas. Karena waktu makan siang, beberapa laptop dibiarkan di atas meja sedangkan pemiliknya sedang menyantap makan siang di tempat lain. Aku langsung melangkah menuju kakak tingkatku yang merupakan ketua seksi bank soal. “Kak maaf baru bisa gabung, baru beres kelas pengganti,” ucapku dihadapannya. “Iya gapapa, ini ada nasi kotak dari bu Intan,” ujarnya sambil memberikan bungkusan kepadaku. Bu Intan merupakan salah satu dosen yang bertanggung jawab atas pembuatan soal. “Makasih, Kak, kalau agenda hari i

  • Trauma pacaran   4. Pesan Pertama

    Pukul sembilan malam aku sudah kembali ke kosan. Sampai di sana gerbang kosan sudah terkunci. Gita membukakan pintu gerbang setelah aku menelponnya, karena peraturan baru yang berlaku adalah gerbang akan dikunci pukul setengah sembilan malam. Perubahan ini terjadi ketika salah satu mahasiswa di sini mengalami pencurian motor. Gita menyambutku dengan senyuman lebar. “Gimana tadi, dia baik, kan?” tanyanya. “Iya, baik.” Aku membalasnya singkat karena merasa terlalu lemas. Aku tau dia sangat tidak puas dengan jawabanku. “Ca, ceritain dong. Masa singkat gitu, enggak ada seneng-seneng nya,” ujarnya setelah selesai menutup kembali gerbang. “Git, aku cape banget. Besok aja, ya ceritanya,” tawarku memelas. Ia berjalan kearahku setelah meletakkan kunci gerbang ke tempat asalnya. “Issh, iya deh. Enggak boleh ada yang ditutup-tutupin loh ya!” “Iya-iya. Udah ya, aku mau langsung ke kamar. Mau mandi abis itu langsung tidur. Cape banget hari ini, pad

  • Trauma pacaran   3. Gagal Pulang

    Pertandingan empat quarter itu telah selesai. Tim dari kampusku berhasil memenangkan pertandingan ini. Meski hanya pertandingan persahabatan, kemenangan dan kekalahan menjadi hal yang wajib diperebutkan pada setiap pertandingan. Setelah kedua tim saling berjabat tangan tanda perdamaian, Gita langsung menarikku untuk menemui Rayhan. Rayhan mengajakku agar ikut bersama mereka setelah ini. Saat ingin menolak, Gita langsung memberikan cubitan dan memaksaku untuk ikut. Hal itu menyebabkan aku masih terjebak di parkiran GOR saat ini dengan Gita. Sudah hampir setengah jam aku dan Gita menunggu Rayhan selesai membersihkan tubuh. Akhirnya yang aku tunggu tiba juga. Terlihat dari pintu masuk GOR Rayhan dan laki-laki nomor sepuluh tadi berjalan beriringan. “Maaf, Yang. Tadi malah asik ngobrol sama bang Dika,” ucap Rahyan sambil mengelus kepala Gita. Pasangan bucin ini apa tidak bisa berhenti bucin untuk sebentar? Saat melihat Gita, ia hanya merespon dengan anggukkan sam

  • Trauma pacaran   2. Nomor sepuluh

    Kelas terakhir di hari rabu telah berakhir. Setelah diizinkan keluar kelas, seluruh penghuni kelas materi botani phanerogamae ini bergegas pergi menuju ke rumah masing-masing. Jadwal yang ada di hari rabu sangat padat. Hanya memiliki jeda untuk istirahat selama satu jam ketika waktu zuhur. Akhirnya aku bisa kembali ke indekos tercinta. Setelah nanti membersihkan tubuh penuh keringat dan kotoran, aku bisa merebahkan diri di kasur yang nyaman. Semoga tidak kebablasan karena ada jurnal praktikum yang menunggu untuk dikerjakan. Saat keluar dari kelas, langit gelap menyapa. Jelas saja, ini sudah memasuki waktu magrib. Lampu-lampu di tiap kelas yang kulalui sudah menyala. Hampir semua kelas sudah terkunci. Kuputuskan untuk beribadah terlebih dahulu sebelum pulang, memenuhi panggilan sang Pencipta sekaligus memanjat syukur atas segala kelimpahan rezeki hari ini. Ponselku sejak tadi siang sengaja tidak tersambung jaringan data. Tidak heran jika ponse

  • Trauma pacaran   1. Di-Ghosting lagi

    Kesha POV Sore ini mood ku benar-benar turun drastis. Gita bilang aku harus sudah siap pukul setengah tujuh malam. Tapi setelah maghrib tadi, aku belum juga mandi dan bersiap. “Eca, cepetan siap-siap. Jangan malah tidur!” teriak Gita dari luar kamar. “Aku ngantuk banget, Git,” balasku sambil menutup mata. Aku berharap pintu kamar ini terkunci agar Gita tidak bisa menarikku dari kasur nyaman ini. Tetapi Gita berhasil masuk ke kamar. “Ayolah, Ca, kamu udah janji loh sama aku.” Aku duduk sambil menghadap Gita yang juga duduk di kasur. “Harus banget, Git? Males banget rasanya.” “Harus banget Kesha! Biar kamu punya pacar,” Jawaban itu lagi yang Gita gunakan. Memangnya kenapa kalau aku enggak punya pacar? Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena statusku yang masih sendiri. “Kata kamu punya pacar itu ribet, kuliah aja udah ribet loh, Git. Aku enggak mau menambah beban hidup ya, Git!” “Ta

  • Trauma pacaran   Prolog

    Him POV Lantai tiga parkiran FKIP masih dipenuhi jajaran motor. Pukul dua siang menjadikan lahan terbuka ini sepi pengunjung. Satpam yang biasa menjaga di sini pun tak kelihatan batang hidungnya. Hanya gue sendiri, mengenakan helm full face biru gelap incaran Dimas. Sampai kapanpun gue enggak akan pernah memberi pinjam helm ini ke dia. Saat mengenakan sarung tangan, suara nyaring dari lantai bawah terdengar. Langkah kaki saling berburu diikuti dengan gumaman penuh cacian. Dia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru parkiran ini. Gue tebak dia lagi mencari letak motor miliknya. Gue memperhatikan tujuan langkah kecilnya melalui kaca spion. Sarung tangan yang sudah terpasang rapi kembali gue lepas, mengulang kegiatan tidak berguna agar terlihat sibuk. Rambut pendek yang terpotong rapi itu bergerak mengikuti gerak langkahnya. Kemeja kuning membalut sempurna tubuh mungil itu. Memberi kesan cerah di kulitnya yang sedikit

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status