Home / Rumah Tangga / Tolong, Cintai Aku! / BAB 02 : Yang Bertolak Belakang

Share

BAB 02 : Yang Bertolak Belakang

Author: Hellowol_
last update Last Updated: 2025-01-23 16:22:01

Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.

Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.

Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara aku semakin tersisih.

Orang bilang keluarga adalah tempatnya salah dan saling memaafkan, tetapi kenyataannya, mereka tak bisa kumaafkan. Luka di hati sudah terlalu dalam, sulit untuk disembuhkan. Kecuali jika suatu saat aku menderita amnesia, mungkin aku baru bisa melupakan kesalahan mereka.

***

Pukul setengah sepuluh malam, aku akhirnya tiba di rumah. Jangankan ada yang menunggu dengan cemas, satu pesan pun tak datang dari orang tuaku. Entah karena mereka terlalu percaya atau karena saking tidak pedulinya, yang jelas, aku selalu merasa seperti ini. Sendirian, padahal aku ada di tengah keluarga yang utuh.

“Baru pulang?”

Aku urung menaiki tangga saat mendengar pertanyaan mama. “Iya,” jawabku singkat setelah berbalik.

“Usahakan jangan sering pulang malam. Nggak baik dilihat orang.”

Pandangan orang yang beliau pikirkan, lantas bagaimana dengan pandangan beliau sendiri? Apakah tak terbesit sedikit pun rasa khawatir?

“Aku bisa jaga diri.”

“Ini bukan tentang dirimu, tapi tentang menjaga nama baik keluarga. Coba contoh adikmu, dia nggak pernah membangkang apa kata orang tua. Setiap Mama bilang—”

“Aku dan Artemis berbeda!” tekanku dengan nada dingin. “Jangan banding-bandingkan kami! Aku sudah muak mendengarnya.”

“Thena!”

Saat suasana di antara kami semakin memanas, Artemis muncul dengan raut bingung di wajahnya. “Ada apa?” Suaranya terdengar lembut saat bertanya. “Tadi Mama bilang mau bikin teh buat kita. Apa mau ajak Kak Thena juga, supaya dia gabung sama kita?”

“Bukan. Kakakmu ini baru pulang, tapi dia langsung marah-marah saat Mama nasihati.”

“Marah-marah? Ya udah gini aja, kasih waktu buat kakak sendiri dulu. Dia mau bersih-bersih dan istirahat, pasti capek sekali makanya kakak jadi terbawa emosi kayak gini.”

Artemis perlahan mendekati mama, merangkul bahunya, dan memberinya usapan-usapan ringan yang menenangkan. Setelah berhasil meredakan emosi mama, dia menoleh ke arahku. “Kakak, kalau butuh sesuatu, panggil aku aja, ya. Aku begadang kok sama mama. Kami mau curhat tipis-tipis malam ini. Jangan ganggu bibi, dia udah tidur kayaknya,” ujar Artemis.

Tak kupedulikan kata-katanya, langsung kutinggalkan mereka.

Sungguh hari yang berat. Kuharap besok lebih baik, meski kenyataannya hidupku tetap pahit.

***

Sore itu, aku duduk di dekat jendela kamarku, lalu melihat sebuah mobil asing berhenti tepat di depan rumah kami. Tak lama kemudian, pintu penumpang terbuka, dari sana turunlah Artemis.

Jadi ini alasan kenapa tadi pagi dia ikut mobil papa? Ternyata ada yang mengantarnya pulang.

Aku kurang yakin itu teman perempuan, karena selama ini Artemis hanya mau bertemu mereka di waktu-waktu bebas kerja, seperti akhir pekan, tanggal merah, dan hari libur lainnya. Dia memang cukup teratur orangnya.

Dugaanku, itu adalah seorang laki-laki. Sepertinya mereka dalam masa pendekatan, melihat dari gelagat yang ditunjukkan Artemis. Tentu saja aku berkata demikian karena, sebagai saudari kembarnya, kami memiliki ikatan batin yang kuat. Apa yang dirasakannya sering kali terhubung denganku.

Tanpa sadar, aku mendengkus. Kenapa ya, setiap kali Artemis merasa senang pada sesuatu, aku selalu tidak suka? Apa karena aku iri padanya, makanya jadi seperti ini?

Jauh di lubuk hati terdalamku, mungkin aku ingin berada di posisinya. Itu yang membuatku merasa ‘agak’ kepanasan setiap kali dia berbahagia.

Setelah beberapa menit mengamati, tebakanku tak salah. Senyum Artemis terlalu lebar di bibirnya. Alih-alih membiarkan si pengemudi turun, malah dia yang mendekati kaca jendela dan berbicara lewat sana. Entah apa yang mereka bahas, tapi tak lama kemudian, dia perlahan mundur sambil melambaikan tangan, lalu berbalik memasuki halaman rumah.

Perhatianku kini beralih pada mobil yang mesinnya telah menyala. Siapa pun yang ada di balik kemudi itu pasti tampan, rapi, dan cerdas. Tipe ideal Artemis memang yang seperti dirinya sendiri, jadi tak mungkin dia membiarkan sembarang orang mendekatinya.

Kekepoanku berakhir setelah mobil itu pergi. Merasa tidak ada lagi tontonan yang menarik, aku memutuskan untuk keluar kamar dan mengantar gelas kotor bekas jus jeruk yang tadi kuminum ke dapur.

Di tangga, aku berpapasan dengan Artemis. Meskipun sudah sore, wajahnya tidak terlihat kucel sama sekali. Itu menunjukkan bahwa dia selalu menjaga penampilannya. Berbeda denganku, yang setelah beraktivitas padat pasti berakhir kusam tak karuan.

“Hai, Kak, mau ke bawah, ya?” tanyanya berbasa-basi, tapi terlihat jelas ingin mengakrabi.

Aku enggan menjawab, jadi hanya lewat begitu saja.

Artemis tak menyerah. Dia berbalik dan melontarkan pertanyaan lagi, “Nanti mau dimasakin apa? Aku udah pesan sama bibi tadi pagi buat dibeliin udang kesukaan kita. Rencananya mau digoreng tepung.”

“Tidak usah repot-repot,” jawabku dingin.

“Nggak repot sama sekali, kok. Beneran.”

Tetap saja, aku tak peduli. Lagi pula, sejak kapan aku antusias menerima kebaikannya? Kalau tidak terpaksa, aku juga tidak akan mau.

“Atau mau request masakan lain?”

Terakhir, sebelum jarak di antara kami semakin jauh, dia menambahkan, “Aku mau ke kamar bersih-bersih dulu. Kakak bisa bilang nanti pas aku udah di dapur, ya.”

Tidak ada respon. Aku benar-benar mengabaikannya.

Kalau saja sekarang ada mama atau papa, mereka pasti menegurku karena sudah mengacuhkan Artemis, apalagi sampai membuatnya meninggikan volume suara, padahal niatnya baik sebagai seorang saudara. Menurut mereka, seharusnya aku menghargai usahanya dengan menerima, bukan menolak seperti ini.

Takhta tertinggi di keluarga kami setelah papa memang dipegang Artemis. Pendapatnya sangat didengarkan, bahkan ditunggu-tunggu. Berbeda denganku yang dari dulu jarang ditanya. Jangankan ditanya, kesempatan untuk mengungkapkan apa yang kurasakan pun tidak ada. Jadi, tak usah heran kenapa aku setega ini mengabaikan mereka, karena mereka yang lebih dulu mengabaikanku. Aku hanya membalasnya.

Bersambung ...

Related chapters

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 03 : Nama yang Sama

    Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku

    Last Updated : 2025-01-23
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 04 : Gagal Bertemu

    Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat

    Last Updated : 2025-01-23
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 05 : Tentang Atlantis Pranadipta

    Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam

    Last Updated : 2025-01-23
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 06 : Alasan Menyukaimu

    Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering

    Last Updated : 2025-02-12
  • Tolong, Cintai Aku!   PROLOG

    “Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter

    Last Updated : 2025-01-23
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 01 : Kembar Tak Identik

    “Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini

    Last Updated : 2025-01-23

Latest chapter

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 06 : Alasan Menyukaimu

    Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 05 : Tentang Atlantis Pranadipta

    Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 04 : Gagal Bertemu

    Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 03 : Nama yang Sama

    Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 02 : Yang Bertolak Belakang

    Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 01 : Kembar Tak Identik

    “Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini

  • Tolong, Cintai Aku!   PROLOG

    “Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status