Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.
Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.
Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.
“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”
Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”
“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat Artemis yang kelabakan. “Ini pertama kalinya, lho. Kayaknya ada yang mau diseriusin, nih.”
“Ih, Mbak, bukan gituuuu.”
Bibi, yang sedari tadi hanya tersenyum mendengarkan sambil mengumpulkan sayur yang akan dibeli, kini ikut menimpali, “Pacaran atau belum, doakan saja yang terbaik untuk Non Artemis.”
“Pasti!” jawab mereka serempak. “Ditunggu kabar baiknya, Non.”
Aku berjalan melewati mereka tanpa menoleh, fokus pada pagar yang sedikit terbuka di depan. AirPods masih terpasang, meski musiknya sudah kumatikan belasan menit lalu. Percakapan mereka tetap terdengar jelas, meski aku berusaha tak peduli.
“Baru selesai jogging, Kak?” suara Artemis tiba-tiba terdengar, diiringi lambaian satu tangannya. “Sini ikut ngumpul sama kami! Aku ada beli semangka dan nanas kesukaanmu.”
Aku hanya menoleh sekilas tanpa menghiraukannya. Sikapku jelas membuat orang-orang di sekitar Artemis saling bertukar pandang. Perbedaan kami yang begitu mencolok pasti memunculkan pertanyaan di benak mereka: bagaimana mungkin yang satu begitu ramah, sementara yang lain dingin dan acuh?
“Rasanya dijamin manis. Tadi Bi Ranti bantu milihin,” ujar Artemis sambil menunjuk salah satu ART tetangga. Yang ditunjuk hanya tersenyum canggung ke arahku.
Tak ingin suasana semakin canggung, aku segera melangkah masuk ke halaman rumah dan duduk di salah satu kursi. Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, sambil mengusap keringat yang mengalir di leher dan pelipis..
Jika tak ada jadwal syuting pagi, aku rutin jogging untuk menjaga tubuh tetap langsing—aset penting bagi seorang artis. Berbeda dengan Artemis yang bebas makan apa saja tanpa khawatir berat badan naik, aku harus diet dan berolahraga. Hidup memang tak selalu adil; ada yang mendapat segalanya dengan mudah, sementara yang lain harus berjuang keras, seperti aku dan Artemis contohnya—si kembar yang satu beruntung, sementara yang satunya lagi buntung.
***
“Ma, dandananku nggak kelihatan berlebihan, kan?” tanya Artemis kepada Mama sambil menuruni tangga bersama.
“Nggak sama sekali. Kamu cantik banget, Sayang,” puji Mama dengan senyum penuh kebanggaan.
Saat itu aku sedang duduk di ruang tamu, sambil membaca naskah. Percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku.
“Kak Atlan baru berangkat dari rumahnya. Kalau nggak terjebak macet, mungkin sekitar 20 menit lagi dia sampai di sini.”
“Udah hafal banget, ya?”
Artemis spontan tertawa. “Aku pernah sekali ke sana, diajak ambil barang yang ketinggalan.”
“Anaknya rapi, nggak?” tanya Mama penasaran.
Artemis mengajak Mama duduk di sofa panjang di sebelahku. “Rapi banget, Ma. Kukira Kak Atlan tinggal dengan orang tuanya, ternyata tidak. Rumah minimalis itu miliknya, sementara orang tuanya di luar kota.”
“Berarti dia sendirian di sini?”
“Iya. Katanya, dalam sebulan dia bisa pulang sampai tiga kali buat jenguk ibunya. Maklum, Kak Atlan itu anak laki-laki satu-satunya, jadi disayang banget.”
Fokusku langsung buyar. Barisan dialog naskah yang tadi kubaca kini tak lagi menarik perhatianku. Diam-diam, aku mendengarkan percakapan Artemis dan Mama.
Entah kenapa, setiap kali nama ‘Atlantis’ disebut oleh Artemis, hatiku terusik. Perasaanku jadi gelisah, dan kekhawatiran mulai menguasai. Aku takut Atlantis yang mereka bicarakan adalah orang yang kukenal. Meski hanya prasangka, pikiran buruk itu tetap saja sulit kuhentikan.
“Belakangan ini aku sering banget cerita tentang dia ke Mama. Kayaknya aku makin nyaman sama dia. Jadi, Ma, jangan bosan dengerin, ya?” pinta Artemis dengan mata berbinar penuh harap.
“Nggak akan, Sayang. Mama justru senang jadi pendengarmu. Komunikasi kita bagus, dan itu membuat hubungan kita makin erat,” jawab Mama lembut.
Percakapan mereka membuatku merasa asing. Kata-kata Mama yang hangat justru terasa menusuk perasaanku. Seolah keberadaanku tak diperhitungkan. Mereka berbicara bebas, seakan aku tak terlihat di ruangan ini
Ponselku yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering, menarik perhatian mereka yang langsung mengarah padaku. Setelah belasan menit asyik mengobrol berdua, barulah kini mereka menatapku.
Tanpa menghiraukan mereka, aku langsung meraih ponsel dan menjawab panggilan dari Mbak Hera. “Halo, Mbak,” sapaku singkat.
“Udah baca pesan yang tadi kukirim?” tanyanya dari seberang telepon.
“Belum. Memangnya apa?”
“Jadwal syuting tiba-tiba berubah. Sekarang kamu harus siap-siap. Sepuluh menit lagi aku sampai untuk menjemputmu.”
“Kenapa mendadak sekali?”
“Nanti kujelaskan, yang penting kamu segera bersiap, karena waktu kita nggak banyak.”
Begitu telepon berakhir, aku segera meraih naskahku dan berdiri. Saat hendak melangkah pergi, Artemis yang sedari tadi mengamati, tiba-tiba bertanya, “Mau ke mana, Kak?”
“Syuting,” jawabku singkat.
“Sekarang? Bukannya—”
Belum selesai Artemis berbicara, aku langsung meninggalkannya. Saat menaiki tangga, suara Mama terdengar, “Lihat sikapnya, nggak sopan sekali. Padahal nggak ada yang ngajarin pergi saat orang lagi bicara.”
“Nggak apa-apa, Ma. Mungkin Kakak lagi buru-buru,” Artemis mencoba memberi pengertian. “Ya udah, lain kali aja aku kenalin Kakak ke Kak Atlan. Sekarang Mama sama papa dulu yang ketemu dia.”
Itulah kalimat terakhir yang kudengar sebelum tiba di lantai dua. Ah, benar, tujuanku duduk di bawah tadi adalah untuk melihat pria itu. Sayangnya, waktu mendadak berubah, jadwal yang tak terduga. Menyebalkan sekali—siapa pun itu—yang telah mengacaukan rencana pertemuan hari ini. Padahal, demi apa pun, aku tak akan tenang sebelum melihat seperti apa rupa ‘Kak Atlan’ yang sering Artemis ceritakan.
***
Tepat saat mobil yang dikemudikan Mbak Hera melewati gapura komplek, sebuah mobil lain masuk bersamaan dengan kami. Ekor mataku sempat menangkap siluet seorang pria yang menyetir di balik kaca jendela yang setengah terbuka, dan tanpa pikir panjang, aku langsung menoleh berusaha mengenali. Namun, tentu saja itu tindakan sia-sia, mengingat jarak yang semakin jauh, dan yang terlihat hanya bagian belakang mobilnya.
Seumur hidup aku tak pernah merasa sepenasaran ini. Kalau saja itu bukan soal nama ‘Atlantis’, aku tak akan repot-repot mencari tahu. Sungguh, aku tak tertarik mengurusi kehidupan asmara kembaranku. Berlagak masa bodoh adalah caraku menjaga kedamaian dalam rumah.
Bersaing dengan Artemis jelas bukan sesuatu yang ada dalam daftar keinginanku. Maka dari itu, aku berharap ‘Atlantis-nya’ tidak sama dengan ‘Atlantisku’. Karena Atlantisku adalah seseorang dari masa lalu—seseorang yang begitu baik, sampai-sampai aku sulit melupakannya hingga sekarang.
“Thena, lagi mikirin apa?”
“Hah? Apa, Mbak?”
“Lagi mikirin apa? Ditanya berkali-kali nggak dijawab.”
“Oh, itu,” aku berdehem pelan, “ada, seseorang.”
“Tumben? Siapa? Laki-laki?”
“Bukan, kok!” jawabku cepat.
“Kok panik? Nggak salah lagi, ini pasti soal laki-laki,” ujar Mbak Hera tertawa kecil.
Tanpa sadar, aku memajukan bibir, sewot karena Mbak Hera berhasil menebak dari raut wajahku. Padahal, aku berharap semua orang di dunia ini tak tahu apa yang kurasakan. Mencintai seorang pria dan belum bisa melupakannya hingga sekarang—cukup aku dan Tuhan saja yang tahu seberapa istimewanya dia bagiku.
Bersambung ...
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter