Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.
Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.
Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.
“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”
Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”
“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat Artemis yang kelabakan. “Ini pertama kalinya, lho. Kayaknya ada yang mau diseriusin, nih.”
“Ih, Mbak, bukan gituuuu.”
Bibi, yang sedari tadi hanya tersenyum mendengarkan sambil mengumpulkan sayur yang akan dibeli, kini ikut menimpali, “Pacaran atau belum, doakan saja yang terbaik untuk Non Artemis.”
“Pasti!” jawab mereka serempak. “Ditunggu kabar baiknya, Non.”
Aku berjalan melewati mereka tanpa menoleh, fokus pada pagar yang sedikit terbuka di depan. AirPods masih terpasang, meski musiknya sudah kumatikan belasan menit lalu. Percakapan mereka tetap terdengar jelas, meski aku berusaha tak peduli.
“Baru selesai jogging, Kak?” suara Artemis tiba-tiba terdengar, diiringi lambaian satu tangannya. “Sini ikut ngumpul sama kami! Aku ada beli semangka dan nanas kesukaanmu.”
Aku hanya menoleh sekilas tanpa menghiraukannya. Sikapku jelas membuat orang-orang di sekitar Artemis saling bertukar pandang. Perbedaan kami yang begitu mencolok pasti memunculkan pertanyaan di benak mereka: bagaimana mungkin yang satu begitu ramah, sementara yang lain dingin dan acuh?
“Rasanya dijamin manis. Tadi Bi Ranti bantu milihin,” ujar Artemis sambil menunjuk salah satu ART tetangga. Yang ditunjuk hanya tersenyum canggung ke arahku.
Tak ingin suasana semakin canggung, aku segera melangkah masuk ke halaman rumah dan duduk di salah satu kursi. Aku menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri, sambil mengusap keringat yang mengalir di leher dan pelipis..
Jika tak ada jadwal syuting pagi, aku rutin jogging untuk menjaga tubuh tetap langsing—aset penting bagi seorang artis. Berbeda dengan Artemis yang bebas makan apa saja tanpa khawatir berat badan naik, aku harus diet dan berolahraga. Hidup memang tak selalu adil; ada yang mendapat segalanya dengan mudah, sementara yang lain harus berjuang keras, seperti aku dan Artemis contohnya—si kembar yang satu beruntung, sementara yang satunya lagi buntung.
***
“Ma, dandananku nggak kelihatan berlebihan, kan?” tanya Artemis kepada Mama sambil menuruni tangga bersama.
“Nggak sama sekali. Kamu cantik banget, Sayang,” puji Mama dengan senyum penuh kebanggaan.
Saat itu aku sedang duduk di ruang tamu, sambil membaca naskah. Percakapan mereka tak sengaja terdengar olehku.
“Kak Atlan baru berangkat dari rumahnya. Kalau nggak terjebak macet, mungkin sekitar 20 menit lagi dia sampai di sini.”
“Udah hafal banget, ya?”
Artemis spontan tertawa. “Aku pernah sekali ke sana, diajak ambil barang yang ketinggalan.”
“Anaknya rapi, nggak?” tanya Mama penasaran.
Artemis mengajak Mama duduk di sofa panjang di sebelahku. “Rapi banget, Ma. Kukira Kak Atlan tinggal dengan orang tuanya, ternyata tidak. Rumah minimalis itu miliknya, sementara orang tuanya di luar kota.”
“Berarti dia sendirian di sini?”
“Iya. Katanya, dalam sebulan dia bisa pulang sampai tiga kali buat jenguk ibunya. Maklum, Kak Atlan itu anak laki-laki satu-satunya, jadi disayang banget.”
Fokusku langsung buyar. Barisan dialog naskah yang tadi kubaca kini tak lagi menarik perhatianku. Diam-diam, aku mendengarkan percakapan Artemis dan Mama.
Entah kenapa, setiap kali nama ‘Atlantis’ disebut oleh Artemis, hatiku terusik. Perasaanku jadi gelisah, dan kekhawatiran mulai menguasai. Aku takut Atlantis yang mereka bicarakan adalah orang yang kukenal. Meski hanya prasangka, pikiran buruk itu tetap saja sulit kuhentikan.
“Belakangan ini aku sering banget cerita tentang dia ke Mama. Kayaknya aku makin nyaman sama dia. Jadi, Ma, jangan bosan dengerin, ya?” pinta Artemis dengan mata berbinar penuh harap.
“Nggak akan, Sayang. Mama justru senang jadi pendengarmu. Komunikasi kita bagus, dan itu membuat hubungan kita makin erat,” jawab Mama lembut.
Percakapan mereka membuatku merasa asing. Kata-kata Mama yang hangat justru terasa menusuk perasaanku. Seolah keberadaanku tak diperhitungkan. Mereka berbicara bebas, seakan aku tak terlihat di ruangan ini
Ponselku yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering, menarik perhatian mereka yang langsung mengarah padaku. Setelah belasan menit asyik mengobrol berdua, barulah kini mereka menatapku.
Tanpa menghiraukan mereka, aku langsung meraih ponsel dan menjawab panggilan dari Mbak Hera. “Halo, Mbak,” sapaku singkat.
“Udah baca pesan yang tadi kukirim?” tanyanya dari seberang telepon.
“Belum. Memangnya apa?”
“Jadwal syuting tiba-tiba berubah. Sekarang kamu harus siap-siap. Sepuluh menit lagi aku sampai untuk menjemputmu.”
“Kenapa mendadak sekali?”
“Nanti kujelaskan, yang penting kamu segera bersiap, karena waktu kita nggak banyak.”
Begitu telepon berakhir, aku segera meraih naskahku dan berdiri. Saat hendak melangkah pergi, Artemis yang sedari tadi mengamati, tiba-tiba bertanya, “Mau ke mana, Kak?”
“Syuting,” jawabku singkat.
“Sekarang? Bukannya—”
Belum selesai Artemis berbicara, aku langsung meninggalkannya. Saat menaiki tangga, suara Mama terdengar, “Lihat sikapnya, nggak sopan sekali. Padahal nggak ada yang ngajarin pergi saat orang lagi bicara.”
“Nggak apa-apa, Ma. Mungkin Kakak lagi buru-buru,” Artemis mencoba memberi pengertian. “Ya udah, lain kali aja aku kenalin Kakak ke Kak Atlan. Sekarang Mama sama papa dulu yang ketemu dia.”
Itulah kalimat terakhir yang kudengar sebelum tiba di lantai dua. Ah, benar, tujuanku duduk di bawah tadi adalah untuk melihat pria itu. Sayangnya, waktu mendadak berubah, jadwal yang tak terduga. Menyebalkan sekali—siapa pun itu—yang telah mengacaukan rencana pertemuan hari ini. Padahal, demi apa pun, aku tak akan tenang sebelum melihat seperti apa rupa ‘Kak Atlan’ yang sering Artemis ceritakan.
***
Tepat saat mobil yang dikemudikan Mbak Hera melewati gapura komplek, sebuah mobil lain masuk bersamaan dengan kami. Ekor mataku sempat menangkap siluet seorang pria yang menyetir di balik kaca jendela yang setengah terbuka, dan tanpa pikir panjang, aku langsung menoleh berusaha mengenali. Namun, tentu saja itu tindakan sia-sia, mengingat jarak yang semakin jauh, dan yang terlihat hanya bagian belakang mobilnya.
Seumur hidup aku tak pernah merasa sepenasaran ini. Kalau saja itu bukan soal nama ‘Atlantis’, aku tak akan repot-repot mencari tahu. Sungguh, aku tak tertarik mengurusi kehidupan asmara kembaranku. Berlagak masa bodoh adalah caraku menjaga kedamaian dalam rumah.
Bersaing dengan Artemis jelas bukan sesuatu yang ada dalam daftar keinginanku. Maka dari itu, aku berharap ‘Atlantis-nya’ tidak sama dengan ‘Atlantisku’. Karena Atlantisku adalah seseorang dari masa lalu—seseorang yang begitu baik, sampai-sampai aku sulit melupakannya hingga sekarang.
“Thena, lagi mikirin apa?”
“Hah? Apa, Mbak?”
“Lagi mikirin apa? Ditanya berkali-kali nggak dijawab.”
“Oh, itu,” aku berdehem pelan, “ada, seseorang.”
“Tumben? Siapa? Laki-laki?”
“Bukan, kok!” jawabku cepat.
“Kok panik? Nggak salah lagi, ini pasti soal laki-laki,” ujar Mbak Hera tertawa kecil.
Tanpa sadar, aku memajukan bibir, sewot karena Mbak Hera berhasil menebak dari raut wajahku. Padahal, aku berharap semua orang di dunia ini tak tahu apa yang kurasakan. Mencintai seorang pria dan belum bisa melupakannya hingga sekarang—cukup aku dan Tuhan saja yang tahu seberapa istimewanya dia bagiku.
Bersambung ...
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Dengan malas, aku ikut Artemis mengantar orang tua kami ke bandara, karena Papa akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama tiga hari dua malam.Sedikit informasi, mama selalu menemani papa ke mana pun pergi—kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sementara itu, bisnisnya untuk sementara diserahkan kepada asisten. Mama memiliki butik cukup terkenal di kota ini, dengan sebagian besar pelanggan berasal dari istri para relasi bisnis Papa dan teman-teman arisannya.Terlahir dari orang tua pekerja keras, aku dan kembaranku selalu hidup dalam kelimpahan. Namun, tak ada kehidupan yang sempurna. Kekurangan papa dan mama adalah ketidakmampuan mereka membagi kasih sayang.“Pulang dari sini, Kakak mau ngapain?” tanya Artemis saat kami berjalan menuju parkiran.Pesawat papa dan mama baru lepas landas belasan menit lalu. Sekarang kami memutuskan pulang—aku tak betah berlama-lama di luar berdua saja dengannya.“Tidur,” jawabku singkat.“Ini masih belum siang, lho. Gimana kalau ikut ak
Tujuh tahun yang lalu.Kepergian Nanny untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam bagiku. Satu-satunya orang yang selalu memperhatikan, mengkhawatirkan, dan menyambutku di rumah kini tak ada lagi. Aku benar-benar merasa sendirian, kesepian, dan semakin menarik diri dari keluargaku.Namun, setelah dua minggu terpuruk, aku berusaha bangkit dan kembali berkuliah. Itu karena Emily terus menanyakan kabarku lewat beberapa pesan WhatsApp. Bahkan Atlantis, yang biasanya hanya menghubungiku untuk urusan organisasi, turut bertanya mengapa aku sudah lama tidak terlihat di kampus.Mungkin wajar baginya untuk menanyakan hal itu, sebab aku telah melalaikan kewajibanku sebagai anggota organisasi. Namun, karena terlanjur memendam rasa, aku justru mengartikan perhatiannya secara spesial dan menjadikannya sebagai motivasi untuk pulih dari kesedihan.Dengan tujuan bertemu dengannya, aku berangkat ke kampus menggunakan layanan ojek online. Sebenarnya, sejak lulus SMA, aku dan Artemis masing-masing t
“Dulu ... sepertinya aku belum pernah dengar cerita kalau kamu punya saudari kembar, Thena.”Baru dua kali mengunyah nasi, aku buru-buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya pelan agar tidak tersedak. “Itu karena ... k-kamu tak pernah bertanya soal kehidupan pribadiku.” Aku meletakkan kembali gelas ke tempatnya, lalu tersenyum tipis demi menyembunyikan kecanggungan yang mulai menyelinap.“Ah, mungkin waktu itu aku belum kepikiran sampai ke situ. Sekarang, jadi terasa sangat disayangkan, ya.”“Kenapa? Kedengarannya Kakak nyesel?" tanya Artemis dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.“Lumayan. Kalau dipikir-pikir, pasti lucu kalau kita sudah kenal sejak dulu. Pertemuan kita sebagai sesama dosen bukan yang pertama, tapi jadi ajang reuni.”“Aku nggak bisa bayangin, sih, tapi yang jelas aku senang bisa ketemu Kak Atlan lagi.”Atlantis menatap Artemis dengan sorot mata yang... lembut. How lucky she is. Entah di masa lalu atau sekarang, aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Se
Sesampainya di kamar, aku segera membuka lemari dan mengambil paper bag pemberian Artemis—sesuatu yang hingga kini belum pernah kubuka.Di dalamnya, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan warna-warna berkilauan. Napasku tiba-tiba memburu, emosi sepenuhnya menguasai. Tanpa berpikir panjang, aku melempar benda itu ke lantai dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.Namun, alih-alih rusak, justru kakiku yang terasa nyeri. Rasa sakit itu menampar kesadaranku, menyadarkan betapa bodohnya tindakanku barusan.Lututku mulai lemas, dan aku perlahan jatuh terduduk dengan dada naik-turun, berusaha menenangkan diri. Tatapanku kembali tertuju pada gantungan kunci itu—memandanginya dengan nanar, sementara tenggorokanku terasa tercekat.Seharusnya aku menangis dalam situasi ini. Tapi demi apa pun, air mata itu tak mau keluar. Jangankan menetes ke pipi, bahkan berkaca-kaca pun tidak. Apa aku terlalu tegar hingga bisa menahannya? Padahal, aku merasa begitu berantakan. Perasaanku kacau, dadaku se
Aku bersyukur pertemuan siang itu berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Fokus Mahendra sempat teralihkan dariku, memberi kesempatan bagiku untuk menyimak dengan tenang apa yang disampaikan sutradara dan penulis naskah Dua Sisi. Saat pulang, aku menolak diantar ke rumah dan memilih ikut ke apartemen Mbak Hera untuk menenangkan diri. Pusing kepala yang semula kuabaikan kembali muncul di perjalanan, hingga kami sempat mampir ke apotek untuk membeli obat. Begitu tiba di apartemen, aku hanya makan sebungkus roti dan minum obat sebelum akhirnya tertidur hingga menjelang magrib. Setelah bangun, kondisiku cukup membaik. Namun, tentu saja aku tak bisa menghindar dari interogasi Mbak Hera. Menurutnya, selain persoalan film bersama Mahendra, ada hal lain yang mempengaruhiku—membuatku ceroboh sepanjang hari. “Masalah rumah yang mana lagi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku belum sepenuhnya sadar, Mbak,” ringisku sambil berusaha duduk. “Dari siang aku sudah menahan diri karena ingin fokus m
Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera. Namun, tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berpelukan—atau lebih tepatnya, berbisik agar tak didengar oleh Atlantis.“Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya.”Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehat, Mbak.”“Oke, bisa kuterima. Tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?”Mulutku sontak mengatup. Aku enggan mengulang apa yang sudah terucap. Biarlah Mbak Hera terjebak dalam pikirannya sendiri. Perasaanku adalah otoritasku. Dia boleh memberi nasihat, tapi keputusan tetap ada padaku. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan—orang lain hanya bisa melihat, tanpa benar-benar merasakan atau berada di posisiku.“Aku pulang ya, Mbak. Makasih sudah diizinkan istirahat di tempatmu,” ucapku pelan. Setelah itu, aku menarik diri dan berbalik menuju mobil.Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama terdengar suaranya dari
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca
Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s
Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku
Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi