Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.
Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.
Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam tas. Layarnya yang masih menyala menampilkan satu pesan dari grup keluarga, Artemis mengirim foto di sana.
Tadinya aku berniat tak mau membuka, tetapi rasa penasaran tiba-tiba menyergap membuatku tak bisa membendungnya.
Langsung aku masuk ke room chat, lalu mengunduh gambar tersebut.
Tak ada wajah yang disorot kamera, melainkan tangan kiri Artemis yang digenggam dan tangan lain memegang es krim. Katanya begini; “Pa, maafin aku, yaaaaa, tapi tangan Kak Atlan besar dan hangat. Rasanya persis seperti tangan papa.”
Tak lama kemudian balasan dari papa masuk.
Papa: [Astaga, Nak! Bisa-bisanya dipamerin ke kami. Kamu dapat keberanian dari mana?]
Setelah membaca, langsung kututup ponselku dan kulempar ke jok samping. Ah, rasanya menyesal sudah membuka, tahu begitu lebih baik kuabaikan saja seperti biasa.
Di sela rasa tak nyaman yang hinggap setelah melihat interaksi dekat papa dengan Artemis, Mbak Hera akhirnya kembali dengan menenteng satu kantong keresek putih.
“Lama, ya? Tadi antre banget, maklum masuk jam makan siang.”
“Tak apa,” jawabku singkat.
“Kenapa, tuh muka? Jutek amat.”
Aku menggeleng singkat, lalu menerima botol air mineral dingin yang Mbak Hera sodorkan, berikut dengan sebungkus nasi padang.
“Sepertinya ini tidak bisa kuhabiskan, Mbak. Kebanyakan.”
“Porsi biasa, kok. Kau butuh banyak tenaga, Thena, lupakan diet sekarang karena adegan yang akan kau mainkan cukup menantang,” ujar Mbak Hera. Raut wajahnya kentara tegas karena tak mau dibantah. “Hanya beberapa suapan mana cukup.”
“Tapi sulit kuhabiskan semuanya. Aku lagi tidak bernafsu.”
“Lho, tadi katanya lapar?”
Aku diam tak menjawab, hanya fokus membuka bungkus nasi.
“Terjadi sesuatu ‘kan pas aku pergi tadi?”
“Tidak.”
“Jangan bohong! Apa si mesum itu datang ke sini mengganggumu?”
“Astaga, Mbak! Bukan!”
“Terus apa?” desak Mbak Hera, dia geregetan kalau aku seperti ini. Menurutnya memendam tak menyelesaikan apa pun, aku dituntut bicara supaya merasa lega.
Namun, bagaimana bisa aku bebas bicara sementara kepribadianku sejak kecil ditempa jadi seperti ini? Sulit mengubahnya karena terlanjur dewasa dan sudah mendarah daging.
“Kalau kau tetap diam, aku bakalan keluar dari sini terus labrak si mesum itu! Tadi dia sengaja raba bokongmu padahal adegannya nggak ada di script, kan?!”
“Eh, jangan!” Buru-buru aku menahan lengan Mbak Hera yang akan membuka pintu mobil. “Iya, akan kukatakan sekarang, tapi perlu ditekankan itu tidak ada hubungannya dengan Mahendra. Dia tidak menyusulku sama sekali ke sini.”
“Lalu apa?”
Menarik napas pelan, kuambil ponselku tadi lalu kuperlihatkan isi percakapan grup keluarga padanya. Selama beberapa saat Mbak Hera fokus membaca, sementara aku menunggu sambil menebak-nebak seperti apa tanggapannya.
Dua menit kemudian dia buka suara, “Mereka jahat banget, ya. Asyik bertiga, nggak mikirin gimana perasaanmu di sana.”
“Bukan itu yang membuat mood-ku berantakan, Mbak, tapi—”
“Tapi apa?”
Aku menggigit bibir bawah, masih menimbang-nimbang apakah harus memberitahukan hal ini juga ke Mbak Hera atau menyimpannya saja.
“Thena.”
“Fine. Teman pria Artemis namanya sama dengan seseorang yang kusukai. Aku tau ini konyol, tapi aku khawatir, Mbak. Kalau harus bersaing dengannya, aku tak bisa. Artemis lebih segalany—”
“Sebentar, kau udah ketemu dan memastikan wajahnya?”
“Belum.”
“Nah, itu masalahnya, Thena!” Mbak Hera berseru sambil menjentikkan jarinya, “jangan buat kesimpulan dulu sebelum melihatnya. Coba pikir, berapa banyak orang di dunia ini yang punya nama sama?”
Aku menggeleng, karena memang tak terpikirkan sampai situ.
“Banyak, kan? Di antara mereka ada cowoknya Artemis dan cowokmu juga. Be positive, Thena, jangan biarkan itu mengganggumu.”
“Aku ... akan berusaha mempercayai kata-katamu, Mbak.”
“Harus, dong! Lagian, kenapa nggak bisa bersaing dengan Artemis? Kau cantik, badanmu seksi. Nilaimu tinggi, jadi jangan merendah seperti tadi.”
“Iya, akan kucoba,” jawabku lirih.
Ah, aku sudah bisa menebak percakapan kami akan berakhir seperti ini. Mbak Hera paling paham, jadi setiap kali aku mem-bully diriku sendiri, dia selalu menyiapkan serangkaian sanjungan agar aku tak terlalu merasa berkecil hati.
***
“Ini dari Kak Atlantis,” ujar Artemis saat aku membuka pintu. “Katanya semoga lain kali kalian bisa bertemu.”
Aku tak menyambutnya, hanya menatap datar paper bag itu. Kalau tahu Artemis yang mengetuk, aku tak akan bergegas keluar. Kupikir itu mama atau papa, karena sudah lama mereka tak mengunjungi kamarku.
“Tolong diterima. Kuharap Kakak menyukainya, karena dia serius banget waktu milihnya.”
“Simpan saja, aku tak berminat.”
“Kenapa begitu? Kalau menolak pemberian orang, berarti Kakak nggak menghargai yang memberi.”
“Memang.”
Artemis tertawa kecil. “Aku cuma bercanda. Oke, nanti kusampaikan ucapan terima kasih Kakak ke Kak Atlan.” Lalu dia menarik paksa tanganku dan menyampirkan tali paper bag di sana. “Aku balik ke kamar, ya. Selamat tidur, Kak”
Artemis buru-buru pergi, sehingga aku tak sempat mencegahnya dan meminta agar hadiah itu dibawa kembali. Aku merasa terbebani menerimanya, tak ada sedikit pun rasa suka. Lagipula, buat apa pria itu memberiku sesuatu? Apa dia berusaha menyogok agar pendekatannya dengan Artemis lebih mudah? Ha, sia-sia sekali usahanya!
Dengan sedikit emosi, aku menutup pintu kembali dan melempar paper bag ke arah sofa. Tanpa berniat melihat isinya, aku memilih berbaring di ranjang dan menutup kedua mataku dengan lengan.
Berapa banyak orang yang memiliki nama Atlantis Pranadipta di kota ini? Padahal kurasa namanya cukup unik dan langka.
Atlantis adalah pria yang kukenal saat kuliah. Dia satu-satunya orang yang membuat kehidupan kampusku lebih berwarna di tengah masa-masa sulit yang kualami.
Kami tak pernah bertemu lagi setelah hari wisudanya, saat dia pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi S2. Sejak itu, kabarnya tak terdengar hingga sekarang, hingga tiba-tiba Artemis mulai membicarakan seseorang yang dekat dengannya dan memiliki nama serupa.
Bagai membuka kotak kenangan lama, aku merasa bernostalgia, namun juga dilema. Kuharap kami punya kesempatan bertemu lagi, tetapi jangan sampai pria yang dekat dengan Artemis adalah orang yang sama. Jika benar, aku tak bisa membayangkan betapa besar rasa kecewa yang kurasakan.
Atlantis terlalu istimewa untuk aku lupakan. Selama ini aku diam karena menyimpan namanya rapat-rapat, bukan karena acuh tak acuh.
Dia bukan hanya cinta pertama, tetapi juga orang luar pertama setelah nanny yang peduli padaku lebih dari keluarga. Kami tak pernah berpacaran karena perasaanku bertepuk sebelah tangan, sementara dia menganggapku sebatas teman. Meski begitu, aku tak bisa membenci atau melupakan, karena terlanjur menyukainya.
Selama beberapa tahun ini, aku juga menarik diri dari lawan jenis, jadi perasaanku tetap sama, tak berubah sedikit pun.
Apa terlalu egois jika aku berharap kami bisa bertemu lagi, dan kali ini dia juga menyukaiku? Sungguh, aku tak menginginkan apa-apa lagi selain bisa memiliki Atlantis. Karena dari semua kebahagiaan yang kurasakan, dia satu-satunya yang selama ini kuinginkan.
Bersambung ...
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Dengan malas, aku ikut Artemis mengantar orang tua kami ke bandara, karena Papa akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama tiga hari dua malam.Sedikit informasi, mama selalu menemani papa ke mana pun pergi—kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sementara itu, bisnisnya untuk sementara diserahkan kepada asisten. Mama memiliki butik cukup terkenal di kota ini, dengan sebagian besar pelanggan berasal dari istri para relasi bisnis Papa dan teman-teman arisannya.Terlahir dari orang tua pekerja keras, aku dan kembaranku selalu hidup dalam kelimpahan. Namun, tak ada kehidupan yang sempurna. Kekurangan papa dan mama adalah ketidakmampuan mereka membagi kasih sayang.“Pulang dari sini, Kakak mau ngapain?” tanya Artemis saat kami berjalan menuju parkiran.Pesawat papa dan mama baru lepas landas belasan menit lalu. Sekarang kami memutuskan pulang—aku tak betah berlama-lama di luar berdua saja dengannya.“Tidur,” jawabku singkat.“Ini masih belum siang, lho. Gimana kalau ikut ak
Tujuh tahun yang lalu.Kepergian Nanny untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam bagiku. Satu-satunya orang yang selalu memperhatikan, mengkhawatirkan, dan menyambutku di rumah kini tak ada lagi. Aku benar-benar merasa sendirian, kesepian, dan semakin menarik diri dari keluargaku.Namun, setelah dua minggu terpuruk, aku berusaha bangkit dan kembali berkuliah. Itu karena Emily terus menanyakan kabarku lewat beberapa pesan WhatsApp. Bahkan Atlantis, yang biasanya hanya menghubungiku untuk urusan organisasi, turut bertanya mengapa aku sudah lama tidak terlihat di kampus.Mungkin wajar baginya untuk menanyakan hal itu, sebab aku telah melalaikan kewajibanku sebagai anggota organisasi. Namun, karena terlanjur memendam rasa, aku justru mengartikan perhatiannya secara spesial dan menjadikannya sebagai motivasi untuk pulih dari kesedihan.Dengan tujuan bertemu dengannya, aku berangkat ke kampus menggunakan layanan ojek online. Sebenarnya, sejak lulus SMA, aku dan Artemis masing-masing t
“Dulu ... sepertinya aku belum pernah dengar cerita kalau kamu punya saudari kembar, Thena.”Baru dua kali mengunyah nasi, aku buru-buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya pelan agar tidak tersedak. “Itu karena ... k-kamu tak pernah bertanya soal kehidupan pribadiku.” Aku meletakkan kembali gelas ke tempatnya, lalu tersenyum tipis demi menyembunyikan kecanggungan yang mulai menyelinap.“Ah, mungkin waktu itu aku belum kepikiran sampai ke situ. Sekarang, jadi terasa sangat disayangkan, ya.”“Kenapa? Kedengarannya Kakak nyesel?" tanya Artemis dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.“Lumayan. Kalau dipikir-pikir, pasti lucu kalau kita sudah kenal sejak dulu. Pertemuan kita sebagai sesama dosen bukan yang pertama, tapi jadi ajang reuni.”“Aku nggak bisa bayangin, sih, tapi yang jelas aku senang bisa ketemu Kak Atlan lagi.”Atlantis menatap Artemis dengan sorot mata yang... lembut. How lucky she is. Entah di masa lalu atau sekarang, aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Se
Sesampainya di kamar, aku segera membuka lemari dan mengambil paper bag pemberian Artemis—sesuatu yang hingga kini belum pernah kubuka.Di dalamnya, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan warna-warna berkilauan. Napasku tiba-tiba memburu, emosi sepenuhnya menguasai. Tanpa berpikir panjang, aku melempar benda itu ke lantai dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.Namun, alih-alih rusak, justru kakiku yang terasa nyeri. Rasa sakit itu menampar kesadaranku, menyadarkan betapa bodohnya tindakanku barusan.Lututku mulai lemas, dan aku perlahan jatuh terduduk dengan dada naik-turun, berusaha menenangkan diri. Tatapanku kembali tertuju pada gantungan kunci itu—memandanginya dengan nanar, sementara tenggorokanku terasa tercekat.Seharusnya aku menangis dalam situasi ini. Tapi demi apa pun, air mata itu tak mau keluar. Jangankan menetes ke pipi, bahkan berkaca-kaca pun tidak. Apa aku terlalu tegar hingga bisa menahannya? Padahal, aku merasa begitu berantakan. Perasaanku kacau, dadaku se
Aku bersyukur pertemuan siang itu berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Fokus Mahendra sempat teralihkan dariku, memberi kesempatan bagiku untuk menyimak dengan tenang apa yang disampaikan sutradara dan penulis naskah Dua Sisi. Saat pulang, aku menolak diantar ke rumah dan memilih ikut ke apartemen Mbak Hera untuk menenangkan diri. Pusing kepala yang semula kuabaikan kembali muncul di perjalanan, hingga kami sempat mampir ke apotek untuk membeli obat. Begitu tiba di apartemen, aku hanya makan sebungkus roti dan minum obat sebelum akhirnya tertidur hingga menjelang magrib. Setelah bangun, kondisiku cukup membaik. Namun, tentu saja aku tak bisa menghindar dari interogasi Mbak Hera. Menurutnya, selain persoalan film bersama Mahendra, ada hal lain yang mempengaruhiku—membuatku ceroboh sepanjang hari. “Masalah rumah yang mana lagi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku belum sepenuhnya sadar, Mbak,” ringisku sambil berusaha duduk. “Dari siang aku sudah menahan diri karena ingin fokus m
Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera. Namun, tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berpelukan—atau lebih tepatnya, berbisik agar tak didengar oleh Atlantis.“Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya.”Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehat, Mbak.”“Oke, bisa kuterima. Tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?”Mulutku sontak mengatup. Aku enggan mengulang apa yang sudah terucap. Biarlah Mbak Hera terjebak dalam pikirannya sendiri. Perasaanku adalah otoritasku. Dia boleh memberi nasihat, tapi keputusan tetap ada padaku. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan—orang lain hanya bisa melihat, tanpa benar-benar merasakan atau berada di posisiku.“Aku pulang ya, Mbak. Makasih sudah diizinkan istirahat di tempatmu,” ucapku pelan. Setelah itu, aku menarik diri dan berbalik menuju mobil.Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama terdengar suaranya dari
Dalam film Dua Sisi, aku berperan sebagai Karina, seorang model muslimah terkenal dengan citra baik. Namun, di balik kesempurnaan yang ditampilkan di depan publik, dia sebenarnya adalah simpanan seorang pengusaha kaya.Lawan mainku, Sherina, berperan sebagai Dania—istri sah si pengusaha yang berusaha mengungkap perselingkuhan suaminya. Sayangnya, upayanya malah berujung bumerang; publik justru menghujatnya karena dianggap tak punya bukti yang cukup.Kami semua terjerat dalam kisah ini karena Mahendra—“Semua orang yang melihat penampilan luar Karina pasti akan berdecak kagum, memuji kelembutan serta tutur katanya yang sopan.”Aku langsung mendongak saat mendengar barisan narasi itu dibacakan. Jantungku berdegup kencang ketika menyadari Mahendra berdiri di belakangku, tubuhnya condong ke depan hingga dagunya nyaris menyentuh rambutku.“Ngapain di sini?!” tanyaku kaget.“Berlatih dialog denganmu sebelum syuting dimulai,” ujarnya dengan enteng.Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri,
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca
Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s
Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku
Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi