Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.
Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.
Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam tas. Layarnya yang masih menyala menampilkan satu pesan dari grup keluarga, Artemis mengirim foto di sana.
Tadinya aku berniat tak mau membuka, tetapi rasa penasaran tiba-tiba menyergap membuatku tak bisa membendungnya.
Langsung aku masuk ke room chat, lalu mengunduh gambar tersebut.
Tak ada wajah yang disorot kamera, melainkan tangan kiri Artemis yang digenggam dan tangan lain memegang es krim. Katanya begini; “Pa, maafin aku, yaaaaa, tapi tangan Kak Atlan besar dan hangat. Rasanya persis seperti tangan papa.”
Tak lama kemudian balasan dari papa masuk.
Papa: [Astaga, Nak! Bisa-bisanya dipamerin ke kami. Kamu dapat keberanian dari mana?]
Setelah membaca, langsung kututup ponselku dan kulempar ke jok samping. Ah, rasanya menyesal sudah membuka, tahu begitu lebih baik kuabaikan saja seperti biasa.
Di sela rasa tak nyaman yang hinggap setelah melihat interaksi dekat papa dengan Artemis, Mbak Hera akhirnya kembali dengan menenteng satu kantong keresek putih.
“Lama, ya? Tadi antre banget, maklum masuk jam makan siang.”
“Tak apa,” jawabku singkat.
“Kenapa, tuh muka? Jutek amat.”
Aku menggeleng singkat, lalu menerima botol air mineral dingin yang Mbak Hera sodorkan, berikut dengan sebungkus nasi padang.
“Sepertinya ini tidak bisa kuhabiskan, Mbak. Kebanyakan.”
“Porsi biasa, kok. Kau butuh banyak tenaga, Thena, lupakan diet sekarang karena adegan yang akan kau mainkan cukup menantang,” ujar Mbak Hera. Raut wajahnya kentara tegas karena tak mau dibantah. “Hanya beberapa suapan mana cukup.”
“Tapi sulit kuhabiskan semuanya. Aku lagi tidak bernafsu.”
“Lho, tadi katanya lapar?”
Aku diam tak menjawab, hanya fokus membuka bungkus nasi.
“Terjadi sesuatu ‘kan pas aku pergi tadi?”
“Tidak.”
“Jangan bohong! Apa si mesum itu datang ke sini mengganggumu?”
“Astaga, Mbak! Bukan!”
“Terus apa?” desak Mbak Hera, dia geregetan kalau aku seperti ini. Menurutnya memendam tak menyelesaikan apa pun, aku dituntut bicara supaya merasa lega.
Namun, bagaimana bisa aku bebas bicara sementara kepribadianku sejak kecil ditempa jadi seperti ini? Sulit mengubahnya karena terlanjur dewasa dan sudah mendarah daging.
“Kalau kau tetap diam, aku bakalan keluar dari sini terus labrak si mesum itu! Tadi dia sengaja raba bokongmu padahal adegannya nggak ada di script, kan?!”
“Eh, jangan!” Buru-buru aku menahan lengan Mbak Hera yang akan membuka pintu mobil. “Iya, akan kukatakan sekarang, tapi perlu ditekankan itu tidak ada hubungannya dengan Mahendra. Dia tidak menyusulku sama sekali ke sini.”
“Lalu apa?”
Menarik napas pelan, kuambil ponselku tadi lalu kuperlihatkan isi percakapan grup keluarga padanya. Selama beberapa saat Mbak Hera fokus membaca, sementara aku menunggu sambil menebak-nebak seperti apa tanggapannya.
Dua menit kemudian dia buka suara, “Mereka jahat banget, ya. Asyik bertiga, nggak mikirin gimana perasaanmu di sana.”
“Bukan itu yang membuat mood-ku berantakan, Mbak, tapi—”
“Tapi apa?”
Aku menggigit bibir bawah, masih menimbang-nimbang apakah harus memberitahukan hal ini juga ke Mbak Hera atau menyimpannya saja.
“Thena.”
“Fine. Teman pria Artemis namanya sama dengan seseorang yang kusukai. Aku tau ini konyol, tapi aku khawatir, Mbak. Kalau harus bersaing dengannya, aku tak bisa. Artemis lebih segalany—”
“Sebentar, kau udah ketemu dan memastikan wajahnya?”
“Belum.”
“Nah, itu masalahnya, Thena!” Mbak Hera berseru sambil menjentikkan jarinya, “jangan buat kesimpulan dulu sebelum melihatnya. Coba pikir, berapa banyak orang di dunia ini yang punya nama sama?”
Aku menggeleng, karena memang tak terpikirkan sampai situ.
“Banyak, kan? Di antara mereka ada cowoknya Artemis dan cowokmu juga. Be positive, Thena, jangan biarkan itu mengganggumu.”
“Aku ... akan berusaha mempercayai kata-katamu, Mbak.”
“Harus, dong! Lagian, kenapa nggak bisa bersaing dengan Artemis? Kau cantik, badanmu seksi. Nilaimu tinggi, jadi jangan merendah seperti tadi.”
“Iya, akan kucoba,” jawabku lirih.
Ah, aku sudah bisa menebak percakapan kami akan berakhir seperti ini. Mbak Hera paling paham, jadi setiap kali aku mem-bully diriku sendiri, dia selalu menyiapkan serangkaian sanjungan agar aku tak terlalu merasa berkecil hati.
***
“Ini dari Kak Atlantis,” ujar Artemis saat aku membuka pintu. “Katanya semoga lain kali kalian bisa bertemu.”
Aku tak menyambutnya, hanya menatap datar paper bag itu. Kalau tahu Artemis yang mengetuk, aku tak akan bergegas keluar. Kupikir itu mama atau papa, karena sudah lama mereka tak mengunjungi kamarku.
“Tolong diterima. Kuharap Kakak menyukainya, karena dia serius banget waktu milihnya.”
“Simpan saja, aku tak berminat.”
“Kenapa begitu? Kalau menolak pemberian orang, berarti Kakak nggak menghargai yang memberi.”
“Memang.”
Artemis tertawa kecil. “Aku cuma bercanda. Oke, nanti kusampaikan ucapan terima kasih Kakak ke Kak Atlan.” Lalu dia menarik paksa tanganku dan menyampirkan tali paper bag di sana. “Aku balik ke kamar, ya. Selamat tidur, Kak”
Artemis buru-buru pergi, sehingga aku tak sempat mencegahnya dan meminta agar hadiah itu dibawa kembali. Aku merasa terbebani menerimanya, tak ada sedikit pun rasa suka. Lagipula, buat apa pria itu memberiku sesuatu? Apa dia berusaha menyogok agar pendekatannya dengan Artemis lebih mudah? Ha, sia-sia sekali usahanya!
Dengan sedikit emosi, aku menutup pintu kembali dan melempar paper bag ke arah sofa. Tanpa berniat melihat isinya, aku memilih berbaring di ranjang dan menutup kedua mataku dengan lengan.
Berapa banyak orang yang memiliki nama Atlantis Pranadipta di kota ini? Padahal kurasa namanya cukup unik dan langka.
Atlantis adalah pria yang kukenal saat kuliah. Dia satu-satunya orang yang membuat kehidupan kampusku lebih berwarna di tengah masa-masa sulit yang kualami.
Kami tak pernah bertemu lagi setelah hari wisudanya, saat dia pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi S2. Sejak itu, kabarnya tak terdengar hingga sekarang, hingga tiba-tiba Artemis mulai membicarakan seseorang yang dekat dengannya dan memiliki nama serupa.
Bagai membuka kotak kenangan lama, aku merasa bernostalgia, namun juga dilema. Kuharap kami punya kesempatan bertemu lagi, tetapi jangan sampai pria yang dekat dengan Artemis adalah orang yang sama. Jika benar, aku tak bisa membayangkan betapa besar rasa kecewa yang kurasakan.
Atlantis terlalu istimewa untuk aku lupakan. Selama ini aku diam karena menyimpan namanya rapat-rapat, bukan karena acuh tak acuh.
Dia bukan hanya cinta pertama, tetapi juga orang luar pertama setelah nanny yang peduli padaku lebih dari keluarga. Kami tak pernah berpacaran karena perasaanku bertepuk sebelah tangan, sementara dia menganggapku sebatas teman. Meski begitu, aku tak bisa membenci atau melupakan, karena terlanjur menyukainya.
Selama beberapa tahun ini, aku juga menarik diri dari lawan jenis, jadi perasaanku tetap sama, tak berubah sedikit pun.
Apa terlalu egois jika aku berharap kami bisa bertemu lagi, dan kali ini dia juga menyukaiku? Sungguh, aku tak menginginkan apa-apa lagi selain bisa memiliki Atlantis. Karena dari semua kebahagiaan yang kurasakan, dia satu-satunya yang selama ini kuinginkan.
Bersambung ...
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter