Papa: [Pulang syuting, temui Papa di ruang kerja.]Aku membacanya tepat setelah syuting adegan hari ini berakhir. Sambil pasrah membiarkan Mbak Hera menghapus riasanku dan melepas hijab yang kukenakan, aku berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga papa—yang biasanya jarang menghubungi—tiba-tiba mengirim pesan secara pribadi.Pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan, aku yakin itu. Dengan hubungan kami yang tidak dekat, mana mungkin beliau tiba-tiba mengajakku mengobrol santai seperti saat berbicara dengan Artemis? Mustahil. Bahkan dalam pikiranku sekalipun, aku tak pernah membayangkan hal itu terjadi.“Mbak, kalau malam ini suasana hatiku kacau, boleh tidak aku menginap di apartemenmu?”Gerakan tangan Mbak Hera terhenti. Dia melirik ke arah kaca rias, dan pandangan kami bertemu di sana.“Memangnya kenapa? Ada masalah?” tanyanya.“Selalu ada, tapi sepertinya kali ini lebih dari biasanya.”“Soal apa?”“Belum tahu.”“Lho?”“Aku menebak duluan saja, jaga-
Kami berakhir di Imperial Kitchen setelah aku membeli dress yang direkomendasikan oleh Atlantis. Aku memesan cumi pedas dan nasi goreng, sementara Atlantis memilih nasi hainan set dan ceker ayam. Selain itu, kami juga memesan bakpao telur asin dan dimsum sebagai tambahan. Untuk minuman, hanya air mineral dingin, ditambah satu snow ice sebagai dessert untukku.“Selain dress, ada lagi yang ingin kamu beli?” tanya Atlantis sambil mulai makan.“Tidak,” jawabku tanpa pikir panjang. “Kalau Kakak sendiri?”“Mungkin nanti. Sekarang makan dulu. Setelahnya, ada yang mau aku tanyakan ke kamu. Pertanyaannya nggak terlalu serius, tapi jawabannya lumayan penting buat aku.”“Apa itu?” tanyaku penasaran.“Sabaaar. Fokus makan dulu, ya. Rasa enaknya akan berkurang kalau kita kebanyakan ngomong.”“Tapi aku bisa sambil keduanya.”Atlantis tertawa geli melihat ekspresiku yang serius. “Aku takut kamu tersedak, Thena.”Seketika wajahku memanas. Aku buru-buru menunduk, pura-pura sibuk menyendok nasi dan mem
Acara reuni kami diadakan di sebuah kafe bar, karena tidak sepenuhnya formal. Meski begitu, niat baik panitia yang menggabungkan silaturahmi dengan aksi sosial patut diapresiasi. Dana yang terkumpul akan disalurkan ke panti asuhan, sebagian lagi digunakan untuk membeli peralatan sekolah bagi anak-anak yang membutuhkan.Arman, salah satu panitia, berdiri di depan dan mengumumkan, “Oke, sebelum gue kasih nomor rekening ke kalian, ayo kita dengar sepatah dua patah kata sambutan dari mantan wakil ketua organisasi kita, Atlantis Pranadipta, selaku pencetus ide sekaligus donatur pertama acara amal ini.”Seketika, semua mata tertuju pada Atlantis. Beberapa orang tertawa, bersiul, atau bertepuk tangan sekadar menggoda dirinya.“Sudah, sudah, heboh sekali kalian. Seperti anak TK yang lagi study tour saja,” kekeh Atlantis. Dia bangkit dan berjalan percaya diri ke depan, bergabung dengan Arman dan panitia lainnya.“Ehm, apa ya?” katanya sambil menggaruk kepala, pura-pura berpikir. “Aku cuma mau
Rasa sakit di kaki kananku semakin menjadi seiring perjalanan menuju rumah sakit. Kepalaku bersandar di sandaran jok mobil, sementara tanganku tanpa sadar mencengkeram lengan Atlantis erat. Suasana malam yang sebelumnya tenang kini terasa mencekam, dipenuhi ketidaknyamanan dan penyesalan yang membebani pikiranku. Seandainya saja aku tidak kehilangan akal sehat, semua ini mungkin tidak akan terjadi.“Maaf, Kak,” ucapku pelan, nyaris berbisik. Aku tak berani menatapnya.“Maaf? Maaf untuk apa?” tanyanya, menoleh sekilas.“Untuk semuanya.”“Kamu nggak salah, Thena. Ini hanya kecelakaan kecil. Musibah bisa terjadi kapan saja, kita nggak bisa selalu menghindarinya.”“Tapi—”“Ssttt, sekarang diam dan beristirahatlah. Pasti sakit banget, kan? Simpan tenagamu untuk nanti di rumah sakit.”Sesampainya di rumah sakit, Atlantis langsung membawaku ke UGD. Setelah menjelaskan kejadian tadi kepada petugas, kami segera diarahkan ke ruang pemeriksaan.Tak lama kemudian, dokter datang dan mulai memeriks
Jadwal syutingku terpaksa ditunda karena kakiku masih dalam masa pemulihan. Untungnya, sutradara bisa memahami kondisiku dan menyarankan beristirahat sampai benar-benar pulih.“Aku melewatkan banyak hal sampai hari ini,” ujar Mbak Hera sambil fokus menyetir. “Kau juga nggak bilang kalau cedera kaki.”“Ceritanya cukup rumit, tapi sekarang sudah jauh lebih baik. Terima kasih, ya, sudah menemaniku ke salon dan sekarang mengantarku ke kafe dekat kampus, Mbak.”“Kau mau menemuinya, kan? Makanya jadi lebih memperhatikan penampilan.”Aku tersenyum kecil, menatap keluar jendela. “Iya. Mulai sekarang, aku ingin terang-terangan dengan perasaanku.”“Pernah membayangkan konsekuensinya? Yang kaupikir akan membuatmu bahagia, bisa jadi justru hal yang paling menyakitimu, Thena.“Aku sudah mempersiapkan diri, jadi tenang saja.”“Tapi, Thena ...” Suaranya melembut, seakan menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. “Aku takut kau akan lebih terluka dari sekarang.”“Kita tidak akan tahu sebelum mencoban
Aku memilih bermalam di hotel daripada pulang ke rumah. Dengan suasana hati seperti ini, aku belum siap menghadapi kemarahan Mama—belum lagi kalau Papa sampai tahu. Cercaan mereka pasti akan semakin menjadi.Getaran ponsel di atas nakas menarik perhatianku. Nama Artemis tertera sebagai penelepon. Aku langsung membuang muka, enggan mengangkatnya. Setelah mendengar apa yang Atlantis katakan tadi, perasaanku terhadap Artemis semakin keruh. Seakan dia begitu sempurna hingga semua orang sibuk menjaga perasaannya—tak satu pun ingin melukai hatinya.Di dunia yang luas ini, keberadaanku tak lebih dari sebutir debu—tak terlihat, tapi tetap mengganggu. Diam, tak ada yang peduli. Bergerak, dianggap salah. Jadi, untuk apa terus bertahan dalam bayang-bayang? Sekalian saja aku memberontak. Aku sudah lelah terus diinjak.Ponsel kembali bergetar di atas meja. Kali ini, pesan dari Mbak Hera. Aku segera membukanya.Mbak Hera: [Aku udah di lobi. Temui dalam sepuluh menit, maaf nggak bisa nunggu lama kar
Syutingku dipastikan akan dilanjutkan dalam lima hari ke depan. Sutradara tidak bisa menunda lebih lama karena keterlambatan ini akan berdampak pada proses pascaproduksi, distribusi, hingga jadwal rilis. Aku pun tak ingin menghambat produksi, mengingat banyak pihak yang terlibat. Apalagi, ini kesempatan pertamaku sebagai pemeran utama kedua.Setelah pertemuan, aku menyempatkan diri pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter. Menurutnya, retakan tulang metatarsalku menunjukkan penyembuhan yang cukup baik. Jaringan baru mulai terbentuk, pembengkakan berkurang, dan rasa nyeri tidak seintens sebelumnya, meskipun masih ada sedikit ketidaknyamanan. Setelah dilakukan rontgen, hasilnya cukup memuaskan, dan gipsku pun akhirnya diganti dengan ankle brace untuk dukungan tambahan.Dokter merekomendasikan latihan rehabilitasi untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas otot-otot kaki, termasuk latihan rentang gerak, penguatan, peregangan, keseimbangan, serta aerobik ringan. Aku juga
Lelah menghadapi sikap keras kepalaku, Atlantis akhirnya memilih untuk mengabaikanku. Ancamannya untuk menyeretku keluar tidak dia lakukan—entah itu hanya gertakan atau awalnya serius, tetapi kemudian berubah pikiran. Apa pun alasannya, aku merasa senang. Setidaknya, Atlantis belum sepenuhnya jahat padaku, meskipun setiap kata yang diucapkannya terdengar menyakitkan.“Bukankah begini lebih baik?” tanyaku sambil menyodorkan kotak makanan ke hadapannya. “Marah-marah hanya membuang tenaga. Lagi pula, jangan terlalu kejam padaku. Sebelum semua ini, kita pernah berteman dekat.”Tidak ada jawaban. Atlantis tetap fokus pada pekerjaannya tanpa sedikit pun melirik ke arahku, seakan keberadaanku tidak begitu penting baginya.“Aku tahu perubahan ini terlalu tiba-tiba, dan sulit bagi kita berdua untuk bersikap seperti biasa. Tapi semoga Kakak bisa menerimanya. Minimal, kalau memang risih, abaikan saja. Aku tidak berharap perasaanku dibalas, cukup diam dan melihatnya saja sudah lebih dari cukup.”
Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y
Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,
Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,
Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya
Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per
Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca
Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s
Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku
Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi