Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.
“Hei, awas!”
Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”
Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
“Kamu nggak pa-pa?”
“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”
“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”
Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.
Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering menjadi topik perbincangan di kalangan cewek.
“Oh!” seruku tiba-tiba sambil menepuk kening pelan. Aku baru ingat namanya—Atlantis Pranadipta dari jurusan Ilmu Hukum. “Dilihat dari dekat, ternyata jauh lebih tampan,” gumamku tanpa sengaja.
Atlantis adalah cowok pertama yang kukagumi sekaligus kupuji pada pertemuan pertama kami. Ternyata, teman-teman sekelasku tidak berlebihan—pesonanya memang sulit dilawan.
Berusaha menyadarkan diri dari betapa berbahayanya daya tarik Atlantis, aku menggelengkan kepala berulang kali dan mencoba mengingat alasan kenapa tadi hampir ditabrak; menyeberang jalan menuju kampus.
Sungguh, aku sudah memerhatikan sekitar! Jalanan cukup lenggang waktu itu. Namun, naasnya, tepat saat aku mantap ingin menyeberang, sebuah motor tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Seharusnya, si pengendara itu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak memerhatikan jalan dengan baik, bukan aku yang jelas-jelas tidak bersalah.
Untung saja kecelakaan tidak terjadi. Kalau sampai terjadi, akan kupastikan menuntut pengendara itu habis-habisan.
Mengabaikan rasa kesal yang muncul, aku bergegas menyeberang. Kuliah jam pertama hampir dimulai, kalau terus berdiri termenung di trotoar, sudah pasti aku akan terlambat.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di kelas, menempati bangku barisan kedua dekat dinding.
“Tumben telat, Then?”
Aku menoleh sekilas sambil mengeluarkan binder dan alat tulis dari dalam tas. “Ada sedikit insiden tadi,” jawabku singkat.
“Eh, kenapa? Tapi lo nggak apa-apa, kan?”
“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.” Aku memaksakan kedua sudut bibirku ke atas untuk tersenyum. “Hampir keserempet motor, Em. Untungnya ada yang nolong.”
“Astaga! Syukurlah, gue ikut lega dengernya,” ucap Emily sambil mengusap dadanya.
Emily adalah satu-satunya orang yang sering berbicara denganku di kelas. Meskipun begitu, kami tidak terlalu dekat.
“Makasih sudah menanyakan soal kondisiku.”
“Apaan pake makasih segala? Itu respon wajar kalau ada yang ngalamin kejadian serupa.”
“Tetap saja, terima kasih.”
Lalu Emily tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangannya, “ya udah, sama-sama,” jawabnya.
Suasana sempat hening sejenak sebelum akhirnya aku bertanya, “Em, kamu tahu banyak soal organisasi kampus, kan?” Selagi dosen belum datang.
“Lumayan. Kenapa, Then?”
“Kapan masa jabatan Kak Atlantis berakhi—”
“Lo penasaran soal dia? Ya ampun, Thena, ini langka banget, lho! Oke, oke, nanti gue cari tau. Atau lo mau gabung di organisasi yang sama? Gue bakal kontak salah satu temen gue di sana buat masukin lo juga.”
Kehebohan Emily langsung membuatku panik. “Tidak seperti itu! Jangan buat kesimpulan sendiri, Em. Aku—jangan lakukan apa pun!”
“Sssttt ... diem aja, semua pasti beres. Gue janji bakalan bantuin lo.” Emily mengedipkan sebelah mata dan mengacungkan kedua jempolnya, tak menggubris kata-kataku dan tetap teguh pada persepsinya sendiri.
Ya Tuhan, kesalahan fatalku sekarang adalah sudah terlanjur bertanya padanya.
***
Dua hari lagi syuting selesai. Meski rating stabil dan ramai dibicarakan, bagianku tetap tak diperhatikan. Tokoh utama selalu bersinar, sementara figuran hanyalah pelengkap.
Wajar jika orang tidak terlalu memperhatikanku, karena peranku memang tak banyak memberi kejutan. Kecuali di episode sebelumnya—saat wajahku ditampar. Seseorang bahkan sempat berkomentar, “Mampus! Melati pantas mendapatkannya! Jadi teman kok bermuka dua? Dasar ular kobra!”
Adegan emosional memang selalu berhasil memicu berbagai tanggapan.
Setelah membaca beberapa artikel, aku memasukkan ponsel ke dalam tote bag, lalu mengenakan topi dan kacamata bening untuk menutupi rambut dan kantong mata.
Beberapa saat kemudian, aku sudah di supermarket, memilih alpukat di rak buah. Saat sibuk memasukkan beberapa ke dalam plastik, tiba-tiba aku merasakan seseorang mendekat dan berbisik, “Sepertinya kita berjodoh, karena kebetulan bertemu di sini.”
Refleks, aku langsung menegakkan punggung dan menghindar. Mataku melebar, menatap Mahendra Wisnuaji sambil menutup telinga yang tadi sempat terkena embusan napasnya. “Kamu—kenapa ada di sini?!”
“Sama sepertimu, berbelanja. Ah, Thena, mau kubayar semuanya? Ambil saja sepuasmu.”
“Tidak perlu! Menjauh dariku!”
“Hei, ayolah.”
Langsung kutarik troli untuk menghalangi Mahendra yang berniat mendekat. Pria ini terlalu nekat, padahal aku yakin dia tak datang sendirian.
Melirik ke sana-sini, aku berusaha menemukan seseorang yang kucari. “Apa istrimu tahu perbuatanmu? Dengar, aku tidak mau dicap sebagai pelakor seperti korbanmu yang lain!”
“Okay, tenang, Baby. Aku akan pergi.” Dengan senyum yang membuatku jijik, Mahendra mengangkat kedua tangannya. “Sampai bertemu di lokasi syuting, Thena.”
Terakhir, dia melambaikan tangan, memasang maskernya, lalu meninggalkanku.
Spontan, aku menghela napas lega karena akhirnya terbebas dari bencana.
Mahendra Wisnuaji, aktor ternama yang terkenal akan skandal. Meski beristri dan punya anak, dia kerap merayu lawan mainnya, membuat banyak artis terseret sebagai pelakor. Aku tak mau jadi salah satunya, jadi sebisa mungkin aku menjaga jarak darinya.
***
“Non, lagi sibuk? Kalau nggak, bisa minta tolong buang sampah ini ke depan? Bibi lagi goreng ikan, jadi nggak bisa ditinggal.”
Aku mengalihkan perhatian dari ponsel, lalu menatap kantong sampah yang dibawa bibi. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk, berdiri, mengambil alih kantong tersebut dan pergi.
Ah, tadi aku sedang membaca naskah baru dari Mbak Hera berjudul Dua Sisi. Kisahnya tentang dua orang dengan sifat bertolak belakang. Katanya, kalau aku tertarik, Kamis depan dia akan membawaku ke audisi untuk pemeran utama.
Aku belum sempat memberi jawaban karena terpotong permintaan Bibi. Setelah membuang sampah ini, rencananya aku akan menelepon Mbak Hera dan memberitahunya.
“Kak Thena!”
Hampir aku menutup kembali pagar saat Artemis turun dari mobil dan memanggilku. Kenapa dia harus pulang saat aku keluar? Aku malas sekali berpapasan dengannya dan diajak bicara.
“Kebetulan sekali Kakak di sini, aku mau kenalin Kakak ke Kak Atlan.”
Kenalan? Ah, benar! Artemis diantar, bukan pulang dengan mobilnya sendiri.
Perasaanku mendadak campur aduk. Aku mencoba acuh, tetapi diam-diam menunggu sosok itu turun. Namun, ketika pintu sopir terbuka, tiba-tiba aku membuang muka. Bertepatan dengan itu, ponsel di saku celanaku berdering nyaring. Suara itu seolah menyadarkanku—kenapa jantungku berdebar hanya karena akan bertemu calon pacar saudariku? Ini menggelikan sekali!
“Lain kali saja!” kataku cepat, lalu segera berbalik masuk dan menjawab panggilan yang, ternyata, dari Mbak Hera.
“Halo, Mbak, maaf tadi aku—iya, aku tertarik dengan naskahnya,” sahutku tanpa basa-basi, lalu menggigit bibir bawah sambil merutuk dalam hati betapa idiotnya aku tadi.
Bersambung ...
Dengan malas, aku ikut Artemis mengantar orang tua kami ke bandara, karena Papa akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama tiga hari dua malam.Sedikit informasi, mama selalu menemani papa ke mana pun pergi—kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sementara itu, bisnisnya untuk sementara diserahkan kepada asisten. Mama memiliki butik cukup terkenal di kota ini, dengan sebagian besar pelanggan berasal dari istri para relasi bisnis Papa dan teman-teman arisannya.Terlahir dari orang tua pekerja keras, aku dan kembaranku selalu hidup dalam kelimpahan. Namun, tak ada kehidupan yang sempurna. Kekurangan papa dan mama adalah ketidakmampuan mereka membagi kasih sayang.“Pulang dari sini, Kakak mau ngapain?” tanya Artemis saat kami berjalan menuju parkiran.Pesawat papa dan mama baru lepas landas belasan menit lalu. Sekarang kami memutuskan pulang—aku tak betah berlama-lama di luar berdua saja dengannya.“Tidur,” jawabku singkat.“Ini masih belum siang, lho. Gimana kalau ikut ak
Tujuh tahun yang lalu.Kepergian Nanny untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam bagiku. Satu-satunya orang yang selalu memperhatikan, mengkhawatirkan, dan menyambutku di rumah kini tak ada lagi. Aku benar-benar merasa sendirian, kesepian, dan semakin menarik diri dari keluargaku.Namun, setelah dua minggu terpuruk, aku berusaha bangkit dan kembali berkuliah. Itu karena Emily terus menanyakan kabarku lewat beberapa pesan WhatsApp. Bahkan Atlantis, yang biasanya hanya menghubungiku untuk urusan organisasi, turut bertanya mengapa aku sudah lama tidak terlihat di kampus.Mungkin wajar baginya untuk menanyakan hal itu, sebab aku telah melalaikan kewajibanku sebagai anggota organisasi. Namun, karena terlanjur memendam rasa, aku justru mengartikan perhatiannya secara spesial dan menjadikannya sebagai motivasi untuk pulih dari kesedihan.Dengan tujuan bertemu dengannya, aku berangkat ke kampus menggunakan layanan ojek online. Sebenarnya, sejak lulus SMA, aku dan Artemis masing-masing t
“Dulu ... sepertinya aku belum pernah dengar cerita kalau kamu punya saudari kembar, Thena.”Baru dua kali mengunyah nasi, aku buru-buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya pelan agar tidak tersedak. “Itu karena ... k-kamu tak pernah bertanya soal kehidupan pribadiku.” Aku meletakkan kembali gelas ke tempatnya, lalu tersenyum tipis demi menyembunyikan kecanggungan yang mulai menyelinap.“Ah, mungkin waktu itu aku belum kepikiran sampai ke situ. Sekarang, jadi terasa sangat disayangkan, ya.”“Kenapa? Kedengarannya Kakak nyesel?" tanya Artemis dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.“Lumayan. Kalau dipikir-pikir, pasti lucu kalau kita sudah kenal sejak dulu. Pertemuan kita sebagai sesama dosen bukan yang pertama, tapi jadi ajang reuni.”“Aku nggak bisa bayangin, sih, tapi yang jelas aku senang bisa ketemu Kak Atlan lagi.”Atlantis menatap Artemis dengan sorot mata yang... lembut. How lucky she is. Entah di masa lalu atau sekarang, aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Se
Sesampainya di kamar, aku segera membuka lemari dan mengambil paper bag pemberian Artemis—sesuatu yang hingga kini belum pernah kubuka.Di dalamnya, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan warna-warna berkilauan. Napasku tiba-tiba memburu, emosi sepenuhnya menguasai. Tanpa berpikir panjang, aku melempar benda itu ke lantai dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.Namun, alih-alih rusak, justru kakiku yang terasa nyeri. Rasa sakit itu menampar kesadaranku, menyadarkan betapa bodohnya tindakanku barusan.Lututku mulai lemas, dan aku perlahan jatuh terduduk dengan dada naik-turun, berusaha menenangkan diri. Tatapanku kembali tertuju pada gantungan kunci itu—memandanginya dengan nanar, sementara tenggorokanku terasa tercekat.Seharusnya aku menangis dalam situasi ini. Tapi demi apa pun, air mata itu tak mau keluar. Jangankan menetes ke pipi, bahkan berkaca-kaca pun tidak. Apa aku terlalu tegar hingga bisa menahannya? Padahal, aku merasa begitu berantakan. Perasaanku kacau, dadaku se
Aku bersyukur pertemuan siang itu berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Fokus Mahendra sempat teralihkan dariku, memberi kesempatan bagiku untuk menyimak dengan tenang apa yang disampaikan sutradara dan penulis naskah Dua Sisi. Saat pulang, aku menolak diantar ke rumah dan memilih ikut ke apartemen Mbak Hera untuk menenangkan diri. Pusing kepala yang semula kuabaikan kembali muncul di perjalanan, hingga kami sempat mampir ke apotek untuk membeli obat. Begitu tiba di apartemen, aku hanya makan sebungkus roti dan minum obat sebelum akhirnya tertidur hingga menjelang magrib. Setelah bangun, kondisiku cukup membaik. Namun, tentu saja aku tak bisa menghindar dari interogasi Mbak Hera. Menurutnya, selain persoalan film bersama Mahendra, ada hal lain yang mempengaruhiku—membuatku ceroboh sepanjang hari. “Masalah rumah yang mana lagi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku belum sepenuhnya sadar, Mbak,” ringisku sambil berusaha duduk. “Dari siang aku sudah menahan diri karena ingin fokus m
Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera. Namun, tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berpelukan—atau lebih tepatnya, berbisik agar tak didengar oleh Atlantis.“Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya.”Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehat, Mbak.”“Oke, bisa kuterima. Tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?”Mulutku sontak mengatup. Aku enggan mengulang apa yang sudah terucap. Biarlah Mbak Hera terjebak dalam pikirannya sendiri. Perasaanku adalah otoritasku. Dia boleh memberi nasihat, tapi keputusan tetap ada padaku. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan—orang lain hanya bisa melihat, tanpa benar-benar merasakan atau berada di posisiku.“Aku pulang ya, Mbak. Makasih sudah diizinkan istirahat di tempatmu,” ucapku pelan. Setelah itu, aku menarik diri dan berbalik menuju mobil.Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama terdengar suaranya dari
Dalam film Dua Sisi, aku berperan sebagai Karina, seorang model muslimah terkenal dengan citra baik. Namun, di balik kesempurnaan yang ditampilkan di depan publik, dia sebenarnya adalah simpanan seorang pengusaha kaya.Lawan mainku, Sherina, berperan sebagai Dania—istri sah si pengusaha yang berusaha mengungkap perselingkuhan suaminya. Sayangnya, upayanya malah berujung bumerang; publik justru menghujatnya karena dianggap tak punya bukti yang cukup.Kami semua terjerat dalam kisah ini karena Mahendra—“Semua orang yang melihat penampilan luar Karina pasti akan berdecak kagum, memuji kelembutan serta tutur katanya yang sopan.”Aku langsung mendongak saat mendengar barisan narasi itu dibacakan. Jantungku berdegup kencang ketika menyadari Mahendra berdiri di belakangku, tubuhnya condong ke depan hingga dagunya nyaris menyentuh rambutku.“Ngapain di sini?!” tanyaku kaget.“Berlatih dialog denganmu sebelum syuting dimulai,” ujarnya dengan enteng.Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri,
Papa: [Pulang syuting, temui Papa di ruang kerja.]Aku membacanya tepat setelah syuting adegan hari ini berakhir. Sambil pasrah membiarkan Mbak Hera menghapus riasanku dan melepas hijab yang kukenakan, aku berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga papa—yang biasanya jarang menghubungi—tiba-tiba mengirim pesan secara pribadi.Pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan, aku yakin itu. Dengan hubungan kami yang tidak dekat, mana mungkin beliau tiba-tiba mengajakku mengobrol santai seperti saat berbicara dengan Artemis? Mustahil. Bahkan dalam pikiranku sekalipun, aku tak pernah membayangkan hal itu terjadi.“Mbak, kalau malam ini suasana hatiku kacau, boleh tidak aku menginap di apartemenmu?”Gerakan tangan Mbak Hera terhenti. Dia melirik ke arah kaca rias, dan pandangan kami bertemu di sana.“Memangnya kenapa? Ada masalah?” tanyanya.“Selalu ada, tapi sepertinya kali ini lebih dari biasanya.”“Soal apa?”“Belum tahu.”“Lho?”“Aku menebak duluan saja, jaga-
Dari percakapan panjang di DM Instagram, aku dan Sekar akhirnya bertukar nomor WhatsApp. Obrolan kami berlanjut lebih intens di sana, terasa lebih leluasa dibandingkan melalui DM. Awalnya, pembicaraan kami masih seputar perkenalan dan basa-basi ringan, tetapi seiring waktu, Sekar mulai terbuka dan menceritakan lebih banyak tentang situasi keluarganya.Salah satu hal yang dia ceritakan adalah konflik besar yang sedang terjadi di perusahaan papanya. Perusahaan mereka mengalami kerugian besar akibat ulah salah satu manajer dan seorang karyawan yang bekerja sama melakukan penggelapan dana operasional. Mereka tidak hanya mencuri, tapi juga memanipulasi laporan keuangan agar tindakan mereka tidak terdeteksi lebih awal.Kasus ini tentu membuat situasi keluarga semakin sulit. Awalnya, mereka sepakat untuk tidak memberitahu Atlantis, karena sang papa merasa masih bisa mengatasi masalah ini, meskipun belum menemukan solusi sepenuhnya. Namun, tekanan yang datang dari berbagai arah semakin memper
Jadwal talk show untuk membahas film kami akhirnya keluar—dan itu akan berlangsung minggu ini. Bersama Mahendra dan Sherina, aku diundang sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi. Kami akan berbincang santai mengenai film Dua Sisi, yang dijadwalkan tayang beberapa bulan lagi.Tentu saja, aku tidak sabar menantikannya. Ini adalah talk show pertamaku, pengalaman yang seharusnya penuh semangat. Tapi, anehnya, pikiranku justru sibuk dengan hal lain yang lebih menyita perhatian: Artemis yang akan dikenalkan pada orang tua Atlantis.Sampai detik ini, otakku terus bekerja keras mencari cara agar itu tidak terjadi. Kalau mereka sampai bertemu, peluangku untuk menjadi orang ketiga akan semakin kecil. Atlantis sudah tidak menyukaiku—jangan sampai keluarganya pun ikut membenciku. Jika suatu hari aku berhasil mendapatkannya, aku ingin keluarganya menerimaku, bukan justru memperlakukanku sebagai pengganggu.“Ngomong-ngomong soal talk show, apa kau merasa gugup, Thena?” suara Mbak Hera m
Saat kami meninggalkan dapur, aku menyadari langkah Atlantis terasa lambat. Aku berusaha menyesuaikan diri dan mengisi waktu singkat ini dengan berbicara, “Kuharap Kakak selalu sehat. Sakit tanpa orang lain tahu itu tidak enak. Aku sering mengalaminya, jadi aku tahu rasanya.”“Apa setelah mengaminkan, aku harus berterima kasih lagi sama kamu?”“Tidak perlu. Aku tulus mengucapkannya. Sebagai seorang teman.”Mungkin karena melihat keseriusan di raut wajahku, Atlantis memilih diam, tidak membalas dengan ketus seperti biasanya.Tiba di depan kamarnya, Atlantis berhenti, dan aku bersiap melambaikan tangan sebagai ucapan perpisahan. Namun, melihatnya seolah ingin mengatakan sesuatu, aku bertanya, “Kenapa? Ada yang ingin Kakak katakan?”“Artemis nggak boleh tahu kamu ke sini lagi. Terakhir kali dia merajuk, dan aku harus membujuknya sampai mau memaafkan aku.”“Sampai segitunya? Kukira dia akan berbesar hati menerima, karena itu bukan kesalahan Kakak, tapi kesalahanku.”“Aku tetap salah karen
Dalam perjalanan pulang dari restoran, aku nekat mampir ke rumah Atlantis, membawa sekotak kue dan satu krat minuman soda. Suasana hatiku sedang bagus malam ini, dan aku ingin dia ikut merayakannya bersamaku.Setelah membunyikan bel beberapa kali, aku berdiri menunggu sambil memperhatikan sekitar. Lingkungan tempat tinggal Atlantis sangat tenang, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Rasanya nyaman—cukup nyaman hingga membuatku berpikir untuk pindah ke sini suatu hari nanti. Tentunya, sebagai nyonya dari rumah ini.Ah, semoga angan-angan itu tidak hanya sekadar khayalan. Kalau tidak, aku benar-benar bisa gila.Aku membunyikan bel sekali lagi karena pintu masih belum terbuka. Jangan-jangan, Atlantis sedang mengintip dari balik kaca, lalu memutuskan untuk pura-pura tidak ada di rumah setelah melihatku? Wah, kalau benar begitu, kadar ketegaannya semakin meningkat dari hari ke hari.Tepat saat pikiran itu melintas, terdengar suara kunci diputar dua kali. Pintu perlahan terbuka,
Hari Sabtu, setelah pulang syuting pukul setengah dua siang, aku hanya menemukan Papa di ruang keluarga. Beliau awalnya sibuk membaca, tetapi ketika aku kembali dari kamar setelah berganti baju dan turun ke dapur untuk mengambil minum, beliau sedang berbicara di telepon dengan seseorang.Dari beberapa kata yang kudengar, percakapan itu terdengar menarik. Tanpa sadar, aku mendekat secara diam-diam, berusaha menguping lebih banyak tanpa sepengetahuannya.“Tentu, nanti kuatur makan malam kedua, tapi yang ini khusus untuk anak-anak kita. Pertemuan sekali tidak cukup untuk saling mengenal lebih dalam.”“…”“Aku tak bisa menjanjikan apa pun. Kalau Artemis hanya ingin berteman dengan Batara, kita harus menerimanya. Sebagai orang tua, aku menghormati keputusannya.”“…”“Jangan menaruh harapan terlalu besar, Surya. Bisnis kita tetap bisa berjalan baik, meski tanpa melibatkan pernikahan di antara anak-anak kita.”Mataku membelalak. Luar biasa. Rupanya, rekan kerja Papa tertarik pada Artemis dan
Sepulang jogging dari taman kompleks, aku berjalan santai, menikmati udara sore tanpa ingin buru-buru sampai rumah. AirPods yang terpasang di kedua telinga memutar Why Don’t You Love Me (feat. Demi Lovato), dan liriknya terasa begitu mewakili perasaanku terhadap Atlantis—terutama di bagian “Cause I could be all that you need, oh.” Rasanya ingin kuteriakkan kalimat itu padanya, agar dia tahu seberapa besar aku menyukainya.Sejauh ini, progresku dalam mengejar Atlantis baru mencapai sekitar 25%. Belum ada tanda penerimaan, tetapi kabar baiknya, Artemis mulai semakin waspada padaku. Dia yang biasanya bicara sok akrab dan penuh perhatian kini perlahan menjaga jarak.Waktu kebersamaannya dengan Atlantis juga semakin meningkat, seakan tak ingin memberiku celah sedikit pun untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ternyata, bahkan seseorang seperti Artemis—yang selalu merasa lebih unggul—bisa merasa terancam juga. Sulit baginya berpura-pura tidak terusik, karena kenyataannya, semua tindak
Malam itu hujan deras. Setelah selesai syuting, aku tiba-tiba teringat bahwa daerah ini tidak jauh dari tempat tinggal Atlantis. Sebuah ide licik langsung muncul di kepalaku. Dengan rencana yang sudah matang, aku meminta Mbak Hera untuk pulang lebih dulu tanpa perlu mengantarku.“Jangan aneh-aneh! Lebih baik masuk mobil sekarang. Hujan seperti ini pasti lama berhentinya. Kau akan kesulitan mencari ojek atau taksi online,” omel Mbak Hera.“Ada hal yang harus aku lakukan setelah ini, jadi jangan khawatir. Nanti aku akan menghubungimu supaya kau tahu aku baik-baik saja, Mbak.”“Memangnya kau mau ke mana? Biar aku saja yang mengantarmu.”Aku menggeleng. “Pulanglah dulu, Mbak, sebelum makin larut dan hujan semakin deras. Aku tidak apa-apa.”“Thena—”“Hati-hati di jalan.” Aku memotong kata-katanya, lalu berlari melintasi parkiran saat melihat salah satu kru wanita yang bersiap pulang dengan motor dan jas hujan lengkap.“Kak!” panggilku cukup keras. “Bisa numpang sampai depan?”Dia menoleh d
Lelah menghadapi sikap keras kepalaku, Atlantis akhirnya memilih untuk mengabaikanku. Ancamannya untuk menyeretku keluar tidak dia lakukan—entah itu hanya gertakan atau awalnya serius, tetapi kemudian berubah pikiran. Apa pun alasannya, aku merasa senang. Setidaknya, Atlantis belum sepenuhnya jahat padaku, meskipun setiap kata yang diucapkannya terdengar menyakitkan.“Bukankah begini lebih baik?” tanyaku sambil menyodorkan kotak makanan ke hadapannya. “Marah-marah hanya membuang tenaga. Lagi pula, jangan terlalu kejam padaku. Sebelum semua ini, kita pernah berteman dekat.”Tidak ada jawaban. Atlantis tetap fokus pada pekerjaannya tanpa sedikit pun melirik ke arahku, seakan keberadaanku tidak begitu penting baginya.“Aku tahu perubahan ini terlalu tiba-tiba, dan sulit bagi kita berdua untuk bersikap seperti biasa. Tapi semoga Kakak bisa menerimanya. Minimal, kalau memang risih, abaikan saja. Aku tidak berharap perasaanku dibalas, cukup diam dan melihatnya saja sudah lebih dari cukup.”
Syutingku dipastikan akan dilanjutkan dalam lima hari ke depan. Sutradara tidak bisa menunda lebih lama karena keterlambatan ini akan berdampak pada proses pascaproduksi, distribusi, hingga jadwal rilis. Aku pun tak ingin menghambat produksi, mengingat banyak pihak yang terlibat. Apalagi, ini kesempatan pertamaku sebagai pemeran utama kedua.Setelah pertemuan, aku menyempatkan diri pergi ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan dokter. Menurutnya, retakan tulang metatarsalku menunjukkan penyembuhan yang cukup baik. Jaringan baru mulai terbentuk, pembengkakan berkurang, dan rasa nyeri tidak seintens sebelumnya, meskipun masih ada sedikit ketidaknyamanan. Setelah dilakukan rontgen, hasilnya cukup memuaskan, dan gipsku pun akhirnya diganti dengan ankle brace untuk dukungan tambahan.Dokter merekomendasikan latihan rehabilitasi untuk mengembalikan kekuatan dan fleksibilitas otot-otot kaki, termasuk latihan rentang gerak, penguatan, peregangan, keseimbangan, serta aerobik ringan. Aku juga