Home / Rumah Tangga / Tolong, Cintai Aku! / BAB 06 : Alasan Menyukaimu

Share

BAB 06 : Alasan Menyukaimu

Author: Hellowol_
last update Last Updated: 2025-02-12 21:28:58

Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.

“Hei, awas!”

Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”

Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Kamu nggak pa-pa?”

“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”

“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”

Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.

Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering menjadi topik perbincangan di kalangan cewek.

“Oh!” seruku tiba-tiba sambil menepuk kening pelan. Aku baru ingat namanya—Atlantis Pranadipta dari jurusan Ilmu Hukum. “Dilihat dari dekat, ternyata jauh lebih tampan,” gumamku tanpa sengaja.

Atlantis adalah cowok pertama yang kukagumi sekaligus kupuji pada pertemuan pertama kami. Ternyata, teman-teman sekelasku tidak berlebihan—pesonanya memang sulit dilawan.

Berusaha menyadarkan diri dari betapa berbahayanya daya tarik Atlantis, aku menggelengkan kepala berulang kali dan mencoba mengingat alasan kenapa tadi hampir ditabrak; menyeberang jalan menuju kampus.

Sungguh, aku sudah memerhatikan sekitar! Jalanan cukup lenggang waktu itu. Namun, naasnya, tepat saat aku mantap ingin menyeberang, sebuah motor tiba-tiba melaju dengan kecepatan tinggi. Seharusnya, si pengendara itu menyalahkan dirinya sendiri karena tidak memerhatikan jalan dengan baik, bukan aku yang jelas-jelas tidak bersalah.

Untung saja kecelakaan tidak terjadi. Kalau sampai terjadi, akan kupastikan menuntut pengendara itu habis-habisan.

Mengabaikan rasa kesal yang muncul, aku bergegas menyeberang. Kuliah jam pertama hampir dimulai, kalau terus berdiri termenung di trotoar, sudah pasti aku akan terlambat.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah berada di kelas, menempati bangku barisan kedua dekat dinding.

“Tumben telat, Then?”

Aku menoleh sekilas sambil mengeluarkan binder dan alat tulis dari dalam tas. “Ada sedikit insiden tadi,” jawabku singkat.

“Eh, kenapa? Tapi lo nggak apa-apa, kan?”

“Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja.” Aku memaksakan kedua sudut bibirku ke atas untuk tersenyum. “Hampir keserempet motor, Em. Untungnya ada yang nolong.”

“Astaga! Syukurlah, gue ikut lega dengernya,” ucap Emily sambil mengusap dadanya.

Emily adalah satu-satunya orang yang sering berbicara denganku di kelas. Meskipun begitu, kami tidak terlalu dekat.

“Makasih sudah menanyakan soal kondisiku.”

“Apaan pake makasih segala? Itu respon wajar kalau ada yang ngalamin kejadian serupa.”

“Tetap saja, terima kasih.”

Lalu Emily tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangannya, “ya udah, sama-sama,” jawabnya.

Suasana sempat hening sejenak sebelum akhirnya aku bertanya, “Em, kamu tahu banyak soal organisasi kampus, kan?” Selagi dosen belum datang.

“Lumayan. Kenapa, Then?”

“Kapan masa jabatan Kak Atlantis berakhi—”

“Lo penasaran soal dia? Ya ampun, Thena, ini langka banget, lho! Oke, oke, nanti gue cari tau. Atau lo mau gabung di organisasi yang sama? Gue bakal kontak salah satu temen gue di sana buat masukin lo juga.”

Kehebohan Emily langsung membuatku panik. “Tidak seperti itu! Jangan buat kesimpulan sendiri, Em. Aku—jangan lakukan apa pun!”

“Sssttt ... diem aja, semua pasti beres. Gue janji bakalan bantuin lo.” Emily mengedipkan sebelah mata dan mengacungkan kedua jempolnya, tak menggubris kata-kataku dan tetap teguh pada persepsinya sendiri.

Ya Tuhan, kesalahan fatalku sekarang adalah sudah terlanjur bertanya padanya.

***

Dua hari lagi syuting selesai. Meski rating stabil dan ramai dibicarakan, bagianku tetap tak diperhatikan. Tokoh utama selalu bersinar, sementara figuran hanyalah pelengkap.

Wajar jika orang tidak terlalu memperhatikanku, karena peranku memang tak banyak memberi kejutan. Kecuali di episode sebelumnya—saat wajahku ditampar. Seseorang bahkan sempat berkomentar, “Mampus! Melati pantas mendapatkannya! Jadi teman kok bermuka dua? Dasar ular kobra!”

Adegan emosional memang selalu berhasil memicu berbagai tanggapan.

Setelah membaca beberapa artikel, aku memasukkan ponsel ke dalam tote bag, lalu mengenakan topi dan kacamata bening untuk menutupi rambut dan kantong mata.

Beberapa saat kemudian, aku sudah di supermarket, memilih alpukat di rak buah. Saat sibuk memasukkan beberapa ke dalam plastik, tiba-tiba aku merasakan seseorang mendekat dan berbisik, “Sepertinya kita berjodoh, karena kebetulan bertemu di sini.”

Refleks, aku langsung menegakkan punggung dan menghindar. Mataku melebar, menatap Mahendra Wisnuaji sambil menutup telinga yang tadi sempat terkena embusan napasnya. “Kamu—kenapa ada di sini?!”

“Sama sepertimu, berbelanja. Ah, Thena, mau kubayar semuanya? Ambil saja sepuasmu.”

“Tidak perlu! Menjauh dariku!”

“Hei, ayolah.”

Langsung kutarik troli untuk menghalangi Mahendra yang berniat mendekat. Pria ini terlalu nekat, padahal aku yakin dia tak datang sendirian.

Melirik ke sana-sini, aku berusaha menemukan seseorang yang kucari. “Apa istrimu tahu perbuatanmu? Dengar, aku tidak mau dicap sebagai pelakor seperti korbanmu yang lain!”

Okay, tenang, Baby. Aku akan pergi.” Dengan senyum yang membuatku jijik, Mahendra mengangkat kedua tangannya. “Sampai bertemu di lokasi syuting, Thena.”

Terakhir, dia melambaikan tangan, memasang maskernya, lalu meninggalkanku.

Spontan, aku menghela napas lega karena akhirnya terbebas dari bencana.

Mahendra Wisnuaji, aktor ternama yang terkenal akan skandal. Meski beristri dan punya anak, dia kerap merayu lawan mainnya, membuat banyak artis terseret sebagai pelakor. Aku tak mau jadi salah satunya, jadi sebisa mungkin aku menjaga jarak darinya.

***

“Non, lagi sibuk? Kalau nggak, bisa minta tolong buang sampah ini ke depan? Bibi lagi goreng ikan, jadi nggak bisa ditinggal.”

Aku mengalihkan perhatian dari ponsel, lalu menatap kantong sampah yang dibawa bibi. Tanpa pikir panjang, aku mengangguk, berdiri, mengambil alih kantong tersebut dan pergi.

Ah, tadi aku sedang membaca naskah baru dari Mbak Hera berjudul Dua Sisi. Kisahnya tentang dua orang dengan sifat bertolak belakang. Katanya, kalau aku tertarik, Kamis depan dia akan membawaku ke audisi untuk pemeran utama.

Aku belum sempat memberi jawaban karena terpotong permintaan Bibi. Setelah membuang sampah ini, rencananya aku akan menelepon Mbak Hera dan memberitahunya.

“Kak Thena!”

Hampir aku menutup kembali pagar saat Artemis turun dari mobil dan memanggilku. Kenapa dia harus pulang saat aku keluar? Aku malas sekali berpapasan dengannya dan diajak bicara.

“Kebetulan sekali Kakak di sini, aku mau kenalin Kakak ke Kak Atlan.”

Kenalan? Ah, benar! Artemis diantar, bukan pulang dengan mobilnya sendiri.

Perasaanku mendadak campur aduk. Aku mencoba acuh, tetapi diam-diam menunggu sosok itu turun. Namun, ketika pintu sopir terbuka, tiba-tiba aku membuang muka. Bertepatan dengan itu, ponsel di saku celanaku berdering nyaring. Suara itu seolah menyadarkanku—kenapa jantungku berdebar hanya karena akan bertemu calon pacar saudariku? Ini menggelikan sekali!

“Lain kali saja!” kataku cepat, lalu segera berbalik masuk dan menjawab panggilan yang, ternyata, dari Mbak Hera.

“Halo, Mbak, maaf tadi aku—iya, aku tertarik dengan naskahnya,” sahutku tanpa basa-basi, lalu menggigit bibir bawah sambil merutuk dalam hati betapa idiotnya aku tadi.

Bersambung ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 07 : Kamera Mirrorless

    Dengan malas, aku ikut Artemis mengantar orang tua kami ke bandara, karena Papa akan melakukan perjalanan bisnis ke Singapura selama tiga hari dua malam.Sedikit informasi, mama selalu menemani papa ke mana pun pergi—kebiasaan yang sudah berlangsung sejak lama. Sementara itu, bisnisnya untuk sementara diserahkan kepada asisten. Mama memiliki butik cukup terkenal di kota ini, dengan sebagian besar pelanggan berasal dari istri para relasi bisnis Papa dan teman-teman arisannya.Terlahir dari orang tua pekerja keras, aku dan kembaranku selalu hidup dalam kelimpahan. Namun, tak ada kehidupan yang sempurna. Kekurangan papa dan mama adalah ketidakmampuan mereka membagi kasih sayang.“Pulang dari sini, Kakak mau ngapain?” tanya Artemis saat kami berjalan menuju parkiran.Pesawat papa dan mama baru lepas landas belasan menit lalu. Sekarang kami memutuskan pulang—aku tak betah berlama-lama di luar berdua saja dengannya.“Tidur,” jawabku singkat.“Ini masih belum siang, lho. Gimana kalau ikut ak

    Last Updated : 2025-02-14
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 08 : Permainan Takdir

    Tujuh tahun yang lalu.Kepergian Nanny untuk selamanya meninggalkan duka yang mendalam bagiku. Satu-satunya orang yang selalu memperhatikan, mengkhawatirkan, dan menyambutku di rumah kini tak ada lagi. Aku benar-benar merasa sendirian, kesepian, dan semakin menarik diri dari keluargaku.Namun, setelah dua minggu terpuruk, aku berusaha bangkit dan kembali berkuliah. Itu karena Emily terus menanyakan kabarku lewat beberapa pesan WhatsApp. Bahkan Atlantis, yang biasanya hanya menghubungiku untuk urusan organisasi, turut bertanya mengapa aku sudah lama tidak terlihat di kampus.Mungkin wajar baginya untuk menanyakan hal itu, sebab aku telah melalaikan kewajibanku sebagai anggota organisasi. Namun, karena terlanjur memendam rasa, aku justru mengartikan perhatiannya secara spesial dan menjadikannya sebagai motivasi untuk pulih dari kesedihan.Dengan tujuan bertemu dengannya, aku berangkat ke kampus menggunakan layanan ojek online. Sebenarnya, sejak lulus SMA, aku dan Artemis masing-masing t

    Last Updated : 2025-02-14
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 09 : Sad Girl Irony [1]

    “Dulu ... sepertinya aku belum pernah dengar cerita kalau kamu punya saudari kembar, Thena.”Baru dua kali mengunyah nasi, aku buru-buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya pelan agar tidak tersedak. “Itu karena ... k-kamu tak pernah bertanya soal kehidupan pribadiku.” Aku meletakkan kembali gelas ke tempatnya, lalu tersenyum tipis demi menyembunyikan kecanggungan yang mulai menyelinap.“Ah, mungkin waktu itu aku belum kepikiran sampai ke situ. Sekarang, jadi terasa sangat disayangkan, ya.”“Kenapa? Kedengarannya Kakak nyesel?" tanya Artemis dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu.“Lumayan. Kalau dipikir-pikir, pasti lucu kalau kita sudah kenal sejak dulu. Pertemuan kita sebagai sesama dosen bukan yang pertama, tapi jadi ajang reuni.”“Aku nggak bisa bayangin, sih, tapi yang jelas aku senang bisa ketemu Kak Atlan lagi.”Atlantis menatap Artemis dengan sorot mata yang... lembut. How lucky she is. Entah di masa lalu atau sekarang, aku tak akan pernah bisa mendapatkannya. Se

    Last Updated : 2025-02-15
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 10 : Sad Girl Irony [2]

    Sesampainya di kamar, aku segera membuka lemari dan mengambil paper bag pemberian Artemis—sesuatu yang hingga kini belum pernah kubuka.Di dalamnya, sebuah gantungan kunci berbentuk bintang dengan warna-warna berkilauan. Napasku tiba-tiba memburu, emosi sepenuhnya menguasai. Tanpa berpikir panjang, aku melempar benda itu ke lantai dan menginjaknya dengan sekuat tenaga.Namun, alih-alih rusak, justru kakiku yang terasa nyeri. Rasa sakit itu menampar kesadaranku, menyadarkan betapa bodohnya tindakanku barusan.Lututku mulai lemas, dan aku perlahan jatuh terduduk dengan dada naik-turun, berusaha menenangkan diri. Tatapanku kembali tertuju pada gantungan kunci itu—memandanginya dengan nanar, sementara tenggorokanku terasa tercekat.Seharusnya aku menangis dalam situasi ini. Tapi demi apa pun, air mata itu tak mau keluar. Jangankan menetes ke pipi, bahkan berkaca-kaca pun tidak. Apa aku terlalu tegar hingga bisa menahannya? Padahal, aku merasa begitu berantakan. Perasaanku kacau, dadaku se

    Last Updated : 2025-02-15
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 11 : Frustrasi [Bagian 1]

    Aku bersyukur pertemuan siang itu berlangsung lancar tanpa gangguan berarti. Fokus Mahendra sempat teralihkan dariku, memberi kesempatan bagiku untuk menyimak dengan tenang apa yang disampaikan sutradara dan penulis naskah Dua Sisi. Saat pulang, aku menolak diantar ke rumah dan memilih ikut ke apartemen Mbak Hera untuk menenangkan diri. Pusing kepala yang semula kuabaikan kembali muncul di perjalanan, hingga kami sempat mampir ke apotek untuk membeli obat. Begitu tiba di apartemen, aku hanya makan sebungkus roti dan minum obat sebelum akhirnya tertidur hingga menjelang magrib. Setelah bangun, kondisiku cukup membaik. Namun, tentu saja aku tak bisa menghindar dari interogasi Mbak Hera. Menurutnya, selain persoalan film bersama Mahendra, ada hal lain yang mempengaruhiku—membuatku ceroboh sepanjang hari. “Masalah rumah yang mana lagi?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku belum sepenuhnya sadar, Mbak,” ringisku sambil berusaha duduk. “Dari siang aku sudah menahan diri karena ingin fokus m

    Last Updated : 2025-02-16
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 12 : Frustrasi [Bagian 2]

    Sebelum memasuki mobil Atlantis, aku berpamitan pada Mbak Hera. Namun, tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berpelukan—atau lebih tepatnya, berbisik agar tak didengar oleh Atlantis.“Kau serius melakukan ini, Thena? Ini seperti bukan dirimu yang biasanya.”Aku menghela napas pelan sebelum menjawab, “Anggap saja aku sedang kehilangan akal sehat, Mbak.”“Oke, bisa kuterima. Tapi soal ucapanmu di apartemen tadi ... itu nggak serius, kan?”Mulutku sontak mengatup. Aku enggan mengulang apa yang sudah terucap. Biarlah Mbak Hera terjebak dalam pikirannya sendiri. Perasaanku adalah otoritasku. Dia boleh memberi nasihat, tapi keputusan tetap ada padaku. Aku lebih tahu apa yang harus kulakukan—orang lain hanya bisa melihat, tanpa benar-benar merasakan atau berada di posisiku.“Aku pulang ya, Mbak. Makasih sudah diizinkan istirahat di tempatmu,” ucapku pelan. Setelah itu, aku menarik diri dan berbalik menuju mobil.Mbak Hera hanya menghela napas, lalu tak lama terdengar suaranya dari

    Last Updated : 2025-02-18
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 13 : Niat Jahat

    Dalam film Dua Sisi, aku berperan sebagai Karina, seorang model muslimah terkenal dengan citra baik. Namun, di balik kesempurnaan yang ditampilkan di depan publik, dia sebenarnya adalah simpanan seorang pengusaha kaya.Lawan mainku, Sherina, berperan sebagai Dania—istri sah si pengusaha yang berusaha mengungkap perselingkuhan suaminya. Sayangnya, upayanya malah berujung bumerang; publik justru menghujatnya karena dianggap tak punya bukti yang cukup.Kami semua terjerat dalam kisah ini karena Mahendra—“Semua orang yang melihat penampilan luar Karina pasti akan berdecak kagum, memuji kelembutan serta tutur katanya yang sopan.”Aku langsung mendongak saat mendengar barisan narasi itu dibacakan. Jantungku berdegup kencang ketika menyadari Mahendra berdiri di belakangku, tubuhnya condong ke depan hingga dagunya nyaris menyentuh rambutku.“Ngapain di sini?!” tanyaku kaget.“Berlatih dialog denganmu sebelum syuting dimulai,” ujarnya dengan enteng.Tanpa pikir panjang, aku langsung berdiri,

    Last Updated : 2025-02-19
  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 14 : Undangan Reuni

    Papa: [Pulang syuting, temui Papa di ruang kerja.]Aku membacanya tepat setelah syuting adegan hari ini berakhir. Sambil pasrah membiarkan Mbak Hera menghapus riasanku dan melepas hijab yang kukenakan, aku berusaha mengingat-ingat kesalahan apa yang telah kuperbuat hingga papa—yang biasanya jarang menghubungi—tiba-tiba mengirim pesan secara pribadi.Pasti ada hal penting yang ingin beliau bicarakan, aku yakin itu. Dengan hubungan kami yang tidak dekat, mana mungkin beliau tiba-tiba mengajakku mengobrol santai seperti saat berbicara dengan Artemis? Mustahil. Bahkan dalam pikiranku sekalipun, aku tak pernah membayangkan hal itu terjadi.“Mbak, kalau malam ini suasana hatiku kacau, boleh tidak aku menginap di apartemenmu?”Gerakan tangan Mbak Hera terhenti. Dia melirik ke arah kaca rias, dan pandangan kami bertemu di sana.“Memangnya kenapa? Ada masalah?” tanyanya.“Selalu ada, tapi sepertinya kali ini lebih dari biasanya.”“Soal apa?”“Belum tahu.”“Lho?”“Aku menebak duluan saja, jaga-

    Last Updated : 2025-02-22

Latest chapter

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 40 : Serba Salah

    Hari ini tepat satu bulan sejak film Dua Sisi tayang di bioskop. Seperti yang sempat diprediksi Mahesa, film kami mendapat respons positif. Hingga kini, Dua Sisi masih bertahan di jajaran film populer dengan penjualan tiket yang terus melesat.Kesuksesan itu juga membawa dampak besar bagiku. Nama Thena kini mulai dikenal, dan akun Instagram yang dulu kubuat atas saran Sherina telah mencapai seratus ribu pengikut. Sebagian besar memuji aktingku yang, menurut mereka, berhasil menggugah emosi penonton. Sebagian lagi terpukau oleh visualku yang dianggap pas memerankan sosok pelakor berkedok perempuan muslimah.Tak hanya tawaran endorse dan iklan yang berdatangan, tetapi juga beberapa proyek film baru. Namun, aku masih mempertimbangkannya. Setelah menikah dengan Atlantis, fokusku belum sepenuhnya pada karier. Saat ini, aku lebih sibuk beradaptasi dengan peran baruku sebagai istri.Bukan berarti aku mengesampingkan dunia akting setelah berhasil menikahi Atlantis. Hanya saja, ada prioritas y

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 39 : Mulai Tinggal Bersama

    Mobilku berhenti tepat di depan rumah Atlantis. Setelah mengeluarkan barang bawaan dari bagasi bersama Mbak Hera, aku terdiam sejenak, menatap fasad rumah yang kini menjadi tempat tinggalku. Ada perasaan senang yang sulit diungkapkan, terlebih saat menyadari bahwa apa yang dulu hanya angan kini telah menjadi kenyataan. Aku berhasil pindah ke sini—sebagai nyonya rumah ini.“Mbak,” gumamku tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian. “Mulai sekarang, aku akan lebih bahagia lagi. Aku janji.”“Tentu saja harus! Aku merestui pernikahanmu bukan untuk melihatmu makin bersedih. Meskipun semuanya terjadi karena keterpaksaan satu pihak, tapi aku berharap kau benar-benar bahagia, Thena.”Tanpa berkata lagi, aku dan Mbak Hera mulai menggiring koper menuju teras rumah. Saat semua barang telah tertata rapi di depan pintu, Mbak Hera menatapku dalam sebelum akhirnya berpamitan. Dia menarikku ke dalam pelukannya, menepuk pundakku dengan lembut seakan ingin meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri.“Kau tahu,

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 38 : Malam Pertama yang Dingin

    Kamarku dan Atlantis diatur sedemikian rupa agar terasa romantis dan intim, sebagaimana layaknya kamar pengantin baru. Namun, ironi tak bisa dihindari—sebab satu-satunya yang tidak seperti pengantin baru adalah kami berdua. Sejak memasuki kamar hingga sekarang, Atlantis sama sekali tidak mengajakku bicara. Jangankan berbincang, melirik pun dia enggan. Dia hanya menjalani rutinitasnya: mandi, berganti pakaian, lalu berbaring dengan punggung menghadapku.Suasana di dalam sini terasa begitu dingin, sepi, dan penuh jarak. Tapi bodohnya aku—meskipun diabaikan, jantungku tetap berdebar kencang. Ini pertama kalinya aku berada di ruang tertutup hanya berdua dengannya, dengan pria yang kini sah menjadi suamiku. Fakta bahwa malam ini seharusnya menjadi malam pertama kami terus mengusik pikiranku.Setelah melepas gaun dan menghapus riasan, aku memanjakan diri dengan berendam di air hangat. Aroma terapi dan kelopak mawar memenuhi bathtub—seharusnya ini menjadi momen yang kubagi dengannya. Namun,

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 37 : Pernikahan; Awal Dari Segalanya

    Satu jam sebelum pemberkatan pernikahanku, suara gaduh terdengar dari luar kamar hotel. Aku yang baru saja selesai berfoto bersama Mbak Hera langsung berdiri dan berjalan keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.“Ini semua karena Papa! Kalau saja Papa nggak menyetujui permintaan gila Athena, pernikahan ini nggak akan pernah terjadi, dan Artemis tidak akan terluka seperti ini!” suara Mama terdengar tajam, penuh emosi. Dalam pelukannya, Artemis terisak tanpa henti. “Papa tahu sendiri Artemis mencintai Atlantis, dan Atlantis juga mencintainya. Athena hanyalah orang ketiga dalam hubungan mereka!”“Ma, ini semua demi kebaikan Artemis juga.” Papa menghela napas berat, berusaha menenangkan suasana dengan suara yang lebih rendah. “Papa tidak ingin melihatnya terus menangis karena Athena. Lagi pula …” Tatapannya melembut, seolah ingin meyakinkan Mama, “Keluarga Atlantis sedang menghadapi masalah besar. Jika Artemis menikah dengannya, dia juga akan ikut menanggung beban itu.”“Lalu apa bedanya

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 36 : Cincin Keluarga

    Aku akan menikah. Setiap kali memikirkannya, jantungku berdebar kencang, dan perasaan bahagia menguasaiku. Terlebih lagi, pria yang akan menjadi suamiku adalah Atlantis Pranadipta. Hidupku yang sebelumnya terasa hambar kini penuh warna. Dia adalah harapan baruku, dan di benakku sudah tersusun banyak rencana setelah kami menikah.Aku bersumpah akan memperlakukannya dengan sebaik mungkin, mencintai dan melayaninya dengan sepenuh hati.Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, sebagai bentuk terima kasih, aku akan menunjukkan kasih sayangku setiap hari—setiap jam, menit, bahkan detik. Kuharap, perlahan hatinya yang sekeras batu bisa luluh setelah melihat usahaku yang tulus.Malam itu, di dalam kamar, aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Gaun tidur satin yang kupakai terasa lembut di kulit, tetapi pikiranku jauh lebih gaduh dari yang seharusnya. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. Esok adalah salah satu hari yang paling kutunggu—fitting gaun sekaligus per

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 35 : Perjodohan

    Begitu aku dan orang tuaku tiba di restoran yang telah mereka pesan, kedua orang tua Atlantis yang sudah lebih dulu datang, segera berdiri menyambut kami. Senyum merekah di wajah mereka saat pandangan kami bertemu. Tanpa ragu, aku mempercepat langkah, menyalami mereka satu per satu, lalu memeluk Mama Atlantis dengan erat.“Om, Tante, apa kabar?” tanyaku setelah melepaskan pelukan.“Sangat baik. Bagaimana denganmu, Thena?” Mama Atlantis balik bertanya.“Tak pernah sebaik malam ini. Aku senang bisa bertemu kalian lagi,” jawabku tulus.“Kami juga,” sahut Papa Atlantis. “Terima kasih banyak sudah mengundang kami malam ini.”Beliau terlihat jauh lebih sehat sekarang, tidak seperti terakhir kali di rumah sakit—wajahnya tidak lagi pucat dan tampak lebih bertenaga.“Sama-sama, Om.”Kemudian Mama dan Papa menyalami mereka. Dalam pertemuan ini, jelas sekali aku yang paling antusias, sementara Papa dan Mama tampak biasa saja. Seolah-olah mereka tidak sedang bertemu calon rekan bisnis, apalagi ca

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 34 : Sebuah Jawaban

    Setelah percakapan berat di ruang kerja Papa malam itu, kini satu bulan telah berlalu. Aku masih menunggu, berharap penuh. Setiap kali bertemu, aku selalu menunjukkan sikap memohon dengan putus asa, berharap Papa segera mengambil keputusan. Namun, beliau hanya menatapku dalam diam, tanpa memberi jawaban.Meski begitu, aku yakin Papa akan melakukannya. Karena aku tahu, jika menyangkut Artemis, beliau rela melakukan apa pun. Artemis adalah anak kesayangan, dan melihatnya terus-menerus menangis belakangan ini karena ulahku jelas membuat Papa tidak tenang.Di sisi lain, ada Oktavianus Batara Salim yang belakangan gencar mendekati Artemis. Dia adalah calon paling potensial di mata Papa. Jika dibandingkan dengan Atlantis, Batara jelas lebih unggul dalam segala hal—pekerjaan, keluarga, juga kekayaan. Papa sepertinya sudah menetapkan pilihan, hanya saja masih ragu untuk mengambil langkah.Sementara itu, aku hanya bisa bersabar dan terus berdoa agar semuanya berjalan sesuai keinginanku. Baru s

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 33 : Permintaan Pertama dan Terakhir

    Aku berpapasan dengan Artemis di lorong. Dia baru saja keluar dari dapur, sementara aku hendak menuju ruang kerja Papa. Matanya sembap, jelas seperti habis menangis. Di tangan kanannya ada tumbler, sementara tangan kirinya menggenggam ponsel. Kalau tebakanku tepat, dia pasti baru saja selesai berteleponan dengan Atlantis.“Kakak tega menusukku dari belakang,” ucapnya setelah kami saling melewati. Suaranya bergetar, penuh kekecewaan. “Kakak bilang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, ternyata Kakak menjenguk orang tua Kak Atlan.”Aku berhenti melangkah, lalu perlahan berbalik, menatapnya tepat di mata. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat Artemis dalam kondisi seperti ini—terluka, marah, dan mungkin merasa dikhianati. Mungkin ini juga pertama kalinya dia merasa dikalahkan olehku.“Kenapa, sih, kita harus bersaing seperti ini?” lanjutnya. “Sebelum tau Kak Atlan adalah pria yang dekat denganku, kita masih berhubungan baik. Aku selalu menghormati dan menyayangi Kakak.”Aku

  • Tolong, Cintai Aku!   BAB 32 : Kembali ke Rumah

    Mbak Hera menjemputku di stasiun kereta. Dari kejauhan, wajah memberengutnya terlihat jelas, membuatku tersenyum tipis. Aku tahu persis alasan di balik ekspresi itu—kepergianku tanpa pemberitahuan membuatnya kelabakan. Tadi malam, dia mengomeliku habis-habisan di telepon, mengatakan bahwa menjelang talk show seharusnya aku tidak ke mana-mana. Lebih baik di rumah, beristirahat, dan mempersiapkan diri.“Dasar perempuan nakal!” omelnya begitu mengambil alih koperku dan membuka pintu mobil untukku. “Sejak kapan kau mulai bandel seperti ini? Pergi ke luar kota tanpa sepengetahuanku, kau jadi benar-benar sulit ditebak sekarang.”“Maaf,” ujarku dengan senyum kecil. “Sebenarnya itu tindakan impulsif, Mbak. Aku memutuskannya tanpa pikir panjang, dan ya ... hasilnya tidak buruk. Justru menyenangkan.”“Hah! Lihat wajah itu!” Mata Mbak Hera menyipit, seakan menuduhku. “Apa ada hal baik yang terjadi di sana? Wajahmu berseri-seri sekali.”“Banyak. Nanti kuceritakan setelah sampai.”“Dasar licik. Bi

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status