Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.
“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.
“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”
“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”
“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”
“Maksudnya?”
Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”
Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku bangkit untuk pergi. Namun, tiba-tiba saja Artemis menahan tanganku dan menggenggamnya dengan hati-hati. “Gunanya cerita untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran dan hati kita supaya jadi lega. Selain itu, gimana aku bisa tau letak kesalahanku kalau Kakak nggak kasih tau? Ayo diobrolin baik—”
“Lepas! Bicara denganmu menguras emosiku!”
Artemis langsung menurut, tetapi tentu dia tidak berhenti semudah itu. Dia masih terus melontarkan berbagai pertanyaan kepadaku. “Jujur, aku nggak ngerti kenapa Kakak jadi kayak gini. Setiap kali aku mendekat, Kakak langsung menjauh, padahal aku berharap kita bisa akrab layaknya saudara kembar pada umumnya.”
Di mana letak ketidakmengertiannya? Artemis itu cerdas. Dengan mengamati saja, seharusnya dia sudah paham, bukan berlagak lugu seperti sekarang.
“Buang harapanmu jauh-jauh, karena sampai kapan pun itu tak akan pernah terwujud!” hardikku.
“Astaga, Kak, jangan ngomong kayak gitu. Aku mau kita baik-baik aja ke depannya. Saling memaafkan—”
“Aku yang tidak mau!” potongku tegas.
Perdebatan sepihak itu berakhir dengan aku meninggalkan Artemis.
Seperti biasa, dalam situasi seperti ini, dialah yang terlihat menderita, dan akulah antagonisnya. Kesannya seolah-olah aku menepis uluran tangan Artemis, padahal kenyataannya tidak seperti itu.
Aku sudah bosan menerima kebaikan yang terasa palsu. Bergabung dengan Artemis dan orang tua kami hanya membuatku merasa buruk. Selalu ada kalimat pembanding di sela-sela obrolan santai mereka, dan aku selalu sakit hati mendengarnya. Itu juga alasan mengapa aku sebisa mungkin menolak berada di ruangan yang sama dengan mereka. Aku hanya berusaha melindungi diriku agar tidak terus-menerus terluka.
***
Malam Sabtu seharusnya kuhabiskan bersantai di kamar, menonton film sambil menunggu kantuk datang. Namun, kenyataannya, pukul sembilan aku baru pulang dari lokasi syuting bersama Mbak Hera. Kami bahkan belum makan malam, dan terlalu lelah untuk menentukan ingin makan di mana sekarang.
“Kita langsung ke rumahku saja, Mbak,” ucapku dengan mata setengah terpejam.
“Nggak isi perut dulu?” tanyanya.
“Isi perutnya di rumahku sebelum Mbak pulang.”
“Hm? Oke.”
Setengah jam kemudian, mobil yang dikemudikan Mbak Hera mulai memasuki halaman rumah dan diparkir tepat di samping mobil papa.
Melihat mobil Artemis dan mobil Mama yang juga ada di tempatnya, aku langsung menyimpulkan mereka tidak keluar malam ini. Tumben? Biasanya, mereka family time di akhir pekan.
“Nggak usah bawa, biar Mbak aja,” cegah Mbak Hera ketika aku hendak meraih tas berisi pakaian ganti dari syuting tadi. “Kau pasti lelah sekali. Ada beberapa adegan yang menguras tenaga, apalagi bagian di dalam air.”
“Itu bukan hal besar, Mbak. Justru aku yang harus minta maaf padamu karena tak menarik, makanya terus mendapat peran pembantu.”
“Hei, siapa bilang kau tak menarik? Di mataku, nggak ada aktris lain yang sehebat darimu!”
Aku langsung tertawa mendengarnya. “Jangan bicara dengan ekspresi serius seperti itu, hampir saja aku tertipu.”
“Sungguh, Thena! Demi ibuku—”
“Iya, iyaaa,” potongku sambil mengibaskan tangan beberapa kali. Aku memilih berjalan lebih dulu. Di belakang sana, Mbak Hera bergegas mengikuti dan berusaha mengimbangi langkahku.
Saat kami masuk ke dalam, suasana terasa sepi. Tidak ada siapa pun yang menyambut, dan ruang tengah kosong.
“Udah pada tidur, ya?” tanya Mbak Hera dengan nada keheranan.
“Belum, sepertinya. Mbak langsung ke ruang makan saja, nanti aku minta bibi siapkan semuanya,” jawabku.
“Lalu kau ke mana?”
“Ke kamar sebentar, mau taruh barang-barang sekalian ganti baju.”
“Oke, jangan lama.”
Kami berpisah di depan tangga menuju lantai dua. Setelah menyerahkan tas yang tadi dibawanya, Mbak Hera terus berjalan lurus melewati lorong yang di ujungnya terdapat pintu penghubung antara ruang makan dan dapur.
Tiga tahun menjadi manajerku membuat Mbak Hera cukup familiar dengan beberapa bagian rumah kami. Bahkan, ini bukan pertama kalinya dia makan di sini—sudah beberapa kali.
Bergegas, aku menaiki tangga karena tidak ingin membuat Mbak Hera lama menunggu. Namun, baru menapaki anak tangga ketiga, langkahku terhenti ketika samar-samar mendengar suara percakapan antara papa dan Artemis—tanpa suara mama.
Ah, rupanya mereka ada di ruang kerja papa. Dari tempatku berdiri, celah pintu yang sedikit terbuka memperlihatkan Artemis sedang memijat kedua bahu papa sambil bercerita di sela kesibukan tangannya.
“Biasanya aku nggak gampang buka diri ke orang yang mendekatiku, tapi ini beda, Pa. Dia smart, gentleman, dan caranya bicara pun tenang.”
“Sepertinya putri bungsu Papa ini mulai jatuh cinta, dan mendadak Papa merasa takut kamu akan direbut orang,” ujar Papa sambil tersenyum kecil.
“Belum sampai ke tahap ituuu, tapi ... nggak tahu ya kalau dia terus tunjukin poin plusnya di depanku,” jawab Artemis tertawa kecil.
“Pesan Papa cuma satu, sekalipun nanti kamu suka sekali padanya, jangan perlihatkan kalau kamu terlalu menginginkannya. Ego pria akan melambung tinggi kalau tahu perempuan incarannya terlalu mudah ditaklukkan.”
“Nggak akan!” sahutnya yakin. “Makanya selama dua bulan ini aku main tarik ulur. Sesekali nerima ajakannya, sesekali nolak. Mama yang kasih tips itu.”
“Terus kenapa tiba-tiba ngebet minta izin lusa mau pergi jalan sama dia? Kelihatan tidak sabar pula sampai menceritakan semua sisi baiknya.”
“Yaaaa lusa ‘kan jadwalnya aku nerima ajakan dia,” ucap Artemis malu-malu. “Maka dari itu, please izinin ya, Pa? Dia bilang mau datang ke rumah buat kenalin diri ke Papa dan Mama.”
“Lumayan juga keberaniannya. Siapa tadi namanya?”
“Atlan, Pa. Atlantis Pranadipta.”
Spontan, aku menahan napas setelah mendengarnya. Nama itu ... persis nama seseorang yang dulunya sangat kukenal. Seseorang yang—ah, semoga bukan! Semoga itu Atlantis yang lain, karena seingatku, beberapa tahun ini pria itu berada di luar negeri. Tak mungkin kabar kepulangannya tak terdengar olehku sama sekali.
Ya, jangan buru-buru menyimpulkan. Selama belum melihat langsung, pikiranku tak boleh dibiarkan liar seperti ini.
Artemis bilang lusa pria itu akan bertamu. Aku pasti akan menunggu dan melihatnya dengan kedua mataku, apakah dia orang yang kukenal, atau hanya kebetulan memiliki nama yang sama.
Bersambung ...
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
Tujuh tahun yang lalu, saat aku berumur 20.“Hei, awas!”Tak sempat menoleh, tanganku lebih dulu ditarik hingga mundur beberapa langkah. Sepersekian detik selanjutnya sebuah motor melaju dari arah kiri, berikut terdengar bunyi klakson yang nyaring dan makian si pengendara; “Kalau nyeberang lihat-lihat, dong! Tolol banget jadi orang!”Saking syoknya mulutku sampai membuka, tak tahu harus bereaksi seperti apa.“Kamu nggak pa-pa?”“E-eh, iya, tidak apa-apa.” Langsung aku berbalik dan membungkuk. “Makasih banyak. Berkat bantuanmu, aku selamat.”“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ya.”Setelah orang itu berlalu, barulah aku melihat ke arah wajahnya. Seketika aku tertegun, terjebak di antara kekaguman pada rupanya dan usaha keras untuk mengingat siapa namanya.Ah! Dia adalah kakak tingkatku yang cukup terkenal di angkatan kami. Bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena keaktifannya dalam berbagai organisasi yang sangat diapresiasi. Singkatnya, dia adalah salah satu cowok yang sering
Saat break syuting, Mbak Hera pergi mencari makan siang untuk kami, sementara aku menunggu di mobil sambil mengompres pipi kananku dengan ice bag. Adegan tamparan tadi tak hanya menyakitkan, tapi juga membuat pipiku bengkak dan kebas. Begini rasanya jadi figuran dalam film—kalau sutradara atau pemeran utama merasa belum puas, adegan bisa diulang-ulang. Mengulang dialog mungkin tak masalah, tetapi kalau adegannya ekstrem seperti yang kualami, siap-siap saja menahan rasa sakit.Kenapa, ya, dulu aku memilih jadi artis? Apa karena haus perhatian, sehingga terjun ke dunia akting? Atau karena ingin dilirik seseorang yang kusukai? Kalau dipikir-pikir, semuanya terasa seperti berjalan mulus, tetapi kenyataannya jauh dari itu. Meski mati-matian berlatih akting, sukses tak datang secepat kilat. Faktor lain seperti keberuntungan dan koneksi luas yang lebih menentukan.Notif chat masuk membuatku tersadar dari renungan. Setelah meletakkan ice bag di jok sebelah, kuambil benda tipis itu dari dalam
Aku baru pulang jogging dari taman komplek dan melihat Artemis sedang sibuk memilih sayur bersama bibi. Dia cukup dekat dengan pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, Artemis juga kenal beberapa ART di komplek ini karena sering berbelanja bersama mereka.Sifat ramahnya membuat Artemis banyak disenangi, terutama oleh ibu-ibu yang memiliki anak laki-laki. Mereka terang-terangan menyampaikan niat untuk menjadikannya menantu. Namun, penolakan halus yang Artemis sampaikan membuat mereka berakhir tak bisa membenci.Betapa senangnya memiliki sifat dan rupa seperti malaikat, menjadi pusat perhatian di mana pun berada. Bersinar dan disukai banyak orang, berbeda jauh denganku yang langsung redup ketika berada di sampingnya.“Non Artemis sudah punya pacar, ya? Beberapa hari lalu saya lihat ada yang antar pulang.”Artemis kaget mendengar pertanyaan itu. “Ya ampun, belum, Mbaaak. Kami rekan kerja. Dia dosen sepertiku juga.”“Rekan kerja apa rekan kerja?” goda yang lain. Kompak mereka tertawa melihat
Kupikir duduk di teras belakang rumah dan tak membaur dengan keluarga di ruang tengah adalah keputusan yang tepat untuk mendapatkan ketenangan, tapi kenyataannya, ketenangan itu berakhir setelah Artemis datang. Dia membujukku untuk ikut bergabung, katanya ada teman ngobrol lebih baik daripada sendirian di sini.“Kita ‘kan udah seharian nggak ketemu karena sibuk. Jadi, ayo manfaatin malam harinya buat saling cerita kegiatan masing-masing di tempat kerja,” bujuknya.“Untuk apa? Tak ada untungnya bagiku.”“Eiy, nggak boleh ngomong gitu,” kata Artemis sambil tersenyum. “Tentu saja ada, untuk mempererat hubungan kita. Seru lho curhat sama keluarga, apalagi sama mama dan papa.”“Apa aku terlihat lucu bagimu? Selama ini kau tahu faktanya seperti apa, tapi pura-pura tidak mengerti dan bersikap sesukanya.”“Maksudnya?”Mendengar suara Artemis yang mengecil, aku langsung mendengus. “Jangan sok polos! Aku benci melihat sorot kebingungan palsu di matamu.”Setelah puas melampiaskan kekesalan, aku
Alasan orang tua kami lebih menyayangi Artemis terasa terlalu klise. Dulu, saat masih kecil, Artemis sensitif dan gampang sakit, sehingga membutuhkan perhatian ekstra. Dari situ juga semuanya bermula. Mereka lebih terfokus pada Artemis, sementara pengasuhanku diserahkan kepada nanny.Seiring berjalannya waktu, kasih sayang yang mereka curahkan mulai terasa berat sebelah, terutama ketika perkembangan Artemis mengalami kemajuan pesat dibandingkan denganku. Untuk anak seusia kami, dia sangat cantik, cepat belajar, dan cepat tanggap. Pujian demi pujian pun mulai berdatangan, membuat papa dan mama semakin bangga sebagai orang tuanya.Lantas, bagaimana denganku? Ya, kalian bisa menebaknya, lamban. Mengalami speech delay hingga usia tujuh tahun dan membutuhkan terapi. Tapi, apakah selama proses itu aku didampingi langsung oleh kedua orang tuaku? Jawabannya, tidak sama sekali. Selain sibuk dengan pekerjaan, mereka juga sibuk mengurus Artemis. Artemis saat itu bagaikan pusat dunia, sementara a
“Selamat ulang tahun, Nak. Di umur yang ke-27 ini Mama harap kebaikan selalu menghampirimu. Dipermudah segala urusan, entah itu dalam pekerjaan maupun percintaan. Dikelilingi orang-orang yang kamu sayangi, dan juga menyayangimu. We love you so much.”Aku yang hendak memasuki ruang makan langsung mengurungkan niat. Dari tempatku berdiri, kebahagiaan terpancar jelas di raut wajah Artemis—kembaranku—saat mama dan papa menyiapkan kejutan berupa kue ulang tahun dengan angka 27.Pemandangan yang indah sekali. Perwujudan sebuah keluarga harmonis, di mana orang tua dan anak saling mencintai. Namun, bagiku itu memuakkan. Bagaimana bisa ada dua anak yang berulangtahun, tetapi hanya salah satunya saja yang dirayakan? Dari sini pun bisa dinilai betapa timpangnya perlakuan mereka terhadapku.Dengan ekspresi datar seolah sebelumnya tak melihat apa-apa, aku memilih melanjutkan langkah dan bergabung bersama mereka di meja.Walau nafsu makan sudah hilang, tetapi aku harus mengisi perut karena hari ini
“Apa hanya dengan kematianku baru Kakak bisa mencintaiku?”Athena berdiri di depan Atlantis, air mata mengalir deras membasahi pipinya. Suaranya lemah, penuh dengan rasa sakit dan keputusasaan. Sementara Atlantis Pranadipta, pria yang ia cintai, hanya bergeming menatap ke arah lain, hatinya tampak tak tersentuh oleh kata-kata dan tangisan Athena.“Ternyata pernikahan tidak berhasil membuat perasaanmu berubah,” suara Athena tercekat, “padahal aku sudah mati-matian berusaha, mengerahkan segala tenaga dan upaya, bahkan sampai mengemis hanya demi mendapat perhatian darimu.”Mengambil napas dalam-dalam, Athena menatap Atlantis sekali lagi. “Kalau seperti ini akhirnya, aku bisa apa selain menyerah? Ternyata menjadi orang bodoh itu sangat melelahkan ...”Atlantis tetap diam. Tak ada rasa iba, tak pula simpati. Yang terlihat hanya kekosongan.“Sekarang kukabulkan keinginan Kakak. Satu detik setelah aku meninggalkan rumah ini, kita benar-benar berpisah. Perceraian yang Kakak tunggu-tunggu, ter