Hari Minggu tanpa terasa tiba dengan begitu cepat. Sudah seminggu ini pula, Alexa dan Kevin tidur dengan pisah kamar. Selain itu, Alexa bahkan sulit untuk merasakan kehadiran Kevin di rumah ini semenjak pernikahan mereka.
Kevin selalu pulang larut malam dan berangkat pagi sekali. Alexa merasa bahwa Kevin selalu menghindarinya. Padahal Alexa hanya berharap setidaknya mereka bisa mengobrol sesekali. Bekal yang selalu disiapkan oleh Alexa untuk Kevin pun selalu tidak pernah dibawa dan dibiarkan bertengger di meja makan. “Ingat, jangan beritahu mereka bahwa kita pisah kamar,” bisik Kevin membuat Alexa mengangguk pelan. Keduanya kini menyambut kedatangan orang tua mereka yang baru saja tiba. Alexa memaksakan diri untuk tersenyum, menunjukan bahwa semuanya baik-baik saja. Setelah berpelukan dan saling menanyakan kabar satu sama lain. Alexa mempersilahkan para orangtua untuk sarapan. Pagi tadi Alexa sudah memasak untuk menyambut kedatangan mereka. Di meja makan nampak beberapa hidangan yang membuat wajah mama Kevin terlihat bersinar. “Wah, Kevin beruntung banget ini punya istri seperti kamu Alexa. Pasti dia akan selalu makan dengan lahap,” ujarnya dengan senyuman lebar. Sayangnya, justru sebaliknya, Kevin tidak pernah menyentuh makanan yang disiapkan oleh Alexa. Mereka pun mulai menikmati masakan Alexa, sesekali orangtua Kevin memuji Alexa. "Oh ya, gimana rencana kalian untuk bulan madu?” tanya ibu Alexa tiba-tiba. "Kami penasaran, ke mana kalian mau pergi?" Kevin dan Alexa saling melirik sejenak, bingung harus menjawab apa. Alexa merasakan jantungnya berdebar kencang, sementara Kevin berusaha menjaga ekspresi tenangnya. "Sekarang ini, Kevin masih sibuk dengan pekerjaannya, Ma. Lagipula, kehamilanku takut masih rentan,"jawab Alexa berusaha menutupi kebenaran. “Gak masalah kok harusnya, kamu bisa ke dokter kandungan sama Kevin. Masa kalian sudah menikah tapi malah gak pergi bulan madu?” ujar mama Kevin yang kemudian didukung oleh papa Kevin yang ikut berkata, “Urusan pekerjaan gampang. Nanti, biar papa bantu urus dulu” “Baik, kalau begitu nanti coba akan kami rencanakan lagi dulu,” Alexa tersenyum canggung. Namun, mendengar ucapan Alexa, para orangtua mengangguk mengerti dan mulai mengobrol kembali mengenai urusan bisnis. Alexa bisa melihat dari sudut mata, ekspresi Kevin yang tampak muak dan jenuh. Ia tahu, Kevin melakukan semua ini hanya untuk menjaga kehormatan keluarga, bukan karena ia benar-benar peduli. Alexa dapat merasakan senyum Kevin yang terkesan dipaksakan. Sore harinya, kedua orang tua mereka akhirnya pamit. Kembali meninggalkan Alexa dan Kevin berdua di rumah. Wajah Kevin kini sudah kembali seperti biasa. Datar dan dingin. Alexa kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar. Setelah membersihkan diri, Alexa mulai merasa bahwa dirinya begitu menginginkan donat yang dijual di mall. “Aneh sekali, padahal aku tadi sudah merasa kenyang. Mengapa sekarang aku sangat menginginkan donat?” gumam Alexa. “Apa ini yang dinamakan ngidam?” ujarnya lagi sambil tersenyum kecil dan mengelus perutnya. Hanya saja, Alexa merasa bingung kepada siapa dirinya harus meminta untuk dibelikan? Apa dia harus pergi sendiri saja? Alexa melihat Kevin yang masih nampak sibuk dengan laptopnya di ruang tengah. Tidak ingin merepotkan, Alexa akhirnya memutuskan untuk pergi membeli donat sendiri. Namun, begitu kakinya melangkah dan membuka pintu. Kevin sudah menatapnya dan membuat Alexa jadi merasa takut. “Eumm, aku ingin pergi sebentar ke mall dekat sini. Ada yang ingin aku beli,” ucapnya gugup. “Ini sudah malam, lain kali saja,” "Kevin, tapi aku.." “Dengar, aku tidak ingin kamu tidak sengaja bertemu dengan orangtua kita dan malah akan menimbulkan spekulasi buruk tentang hubungan kita,” awalnya Alexa mengira Kevin mengkhawatirkannya yang akan pergi sendiri malam-malam. Namun, rupanya Kevin hanya khawatir mengenai hubungan palsu mereka. Kevin menoleh dengan tatapan tidak sabar. “Kalau begitu, apa kamu boleh membantu membelikan donat di mall? Aku..sepertinya ngidam,” Alexa menunduk, tidak berani menatap wajah Kevin. Kevin mendengus kasar, “Aku tidak akan membelinya. Jadi cepat kembali ke kamarmu” Ucapan Kevin membuat hati Alexa terasa sakit. Dia segera berbalik dan kembali ke kamarnya, menahan tangis yang sudah siap keluar. Dirinya merasa kesal, karena tidak diperbolehkan keluar, tapi Kevin juga tidak mau menolongnya. Alexa tidak menyadari bahwa sudah setengah jam dirinya menangis, hingga sebuah ketukan di pintu membuatnya bangkit dari tepi ranjang dan membuka pintu kamarnya. Alexa terkejut mendapati Bibi yang sedang membawa kotak donat di hadapannya. “Ini Nyonya, tadi Tuan meminta saya untuk membelikannya dan memberikan pada Nyonya,” Alexa menerima kotak donat itu dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatinya, Alexa kini merasa senang. Melihat donat yang dia inginkan, mood Alexa seakan kembali membaik. Alexa mengambil satu donat dari kotak dan menggigitnya."Selamat pagi.Bagaimana kabarmu hari ini?" Alexa tersenyum tipis merespon sapaan dokter kandungan yang menyapa dengan penuh keramahan begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Pagi ini, adalah jadwal pemeriksaan kandungan Alexa. Meskipun wajah Kevin nampak enggan untuk mengantarnya, namun pria itu kini tetap ikut masuk ke dalam ruangan bersama Alexa tanpa sepatah kata pun. Dokter mulai memeriksa perut Alexa. Dengan lembut, dokter menggerakkan alat USG di atas perutnya, hingga menampilkan gambar janin di layar. "Usia kandunganmu, saat ini sudah berusia 7 minggu. Lihat, ini dia bayi kalian, semua terlihat normal dan sehat. Jantungnya berdetak kuat." Alexa menatap layar dengan mata berkaca-kaca, perasaan bahagia dan lega memenuhi hatinya. Ia menoleh ke arah Kevin, berharap melihat kilasan kebahagiaan di wajahnya. Namun, Kevin hanya duduk dengan ekspresi datar, matanya tidak tertuju pada layar melainkan pada ponselnya. "Alexa, pastikan kamu tetap minum vitamin yang sudah saya resepkan
Nora kembali ke kantor setelah beberapa minggu cuti. Dirinya sengaja melarikan diri karena tidak sanggup untuk melihat pernikahan Kevin bersama wanita lain. Terutama karena wanita itu adalah Alexa. Nora berjalan melewati lorong-lorong dengan langkah percaya diri, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari sosok yang sudah lama dirindukannya. Akhirnya, ia melihat Kevin di sudut ruang kerjanya, sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Dengan senyum tipis, Nora masuk ke dalam ruangan dan mendekati meja Kevin. "Kevin, lama tak bertemu," sapa Nora dengan suara lembut. Kevin mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil begitu melihat Nora. "Bagaimana kabarmu?" Kevin menjawab dengan anggukan singkat, sebelum kembali bertanya balik kepada Nora. "Bagaimana liburanmu?" "Liburannya tentu saja tidak menyenangkan. Bagaimana aku bisa bahagia ketika kekasihku sendiri menikah dengan wanita lain?" jawab Nora dengan mata berkaca-kaca. Nora menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mengumpul
Suara dering ponsel, memecah konsentrasi Kevin. Ia mengalihkan pandangan sejenak dari tumpukan dokumen di meja kerjanya dan menatap layar ponsel. Melihat nama Mamanya, Kevin kemudian mengangkat telepon. "Ada apa, Ma?" jawab Kevin dengan suara datar. "Kevin, bagaimana kabarmu? Kalian sudah bersiap, bukan?" Suara lembut ibunya terdengar di seberang telepon, penuh perhatian seperti biasa. Kevin menegakkan tubuhnya, merasakan bingung dengan pertanyaan itu. "Bersiap?" tanyanya penuh kebingungan. "Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk honeymoon?" tanya ibunya dengan nada ceria, seolah mengharapkan kabar baik. Honeymoon? Pikiran Kevin berputar cepat. Seingatnya belum ada lagi percakapan lanjutan mengenai hal itu antara dirinya dan Alexa. "Honeymoon? Sejak kapan?" ucapnya kepada sang Ibu. Ibunya terdiam sejenak, seolah terkejut dengan ketidaktahuannya. "Mama dan Papa sudah memberikan tiketnya kepada Alexa. Kamu tidak tahu?" tanya sang Ibu dengan rasa penasaran. Kevin menghe
l Tak terasa, seminggu telah berlalu. Alexa sibuk mengepak barang-barang terakhir ke dalam koper, hatinya berdebar. Dia tetap berharap bahwa honeymoon ini bisa menjadi titik balik bagi mereka berdua. Kevin berdiri di dekat pintu, ponsel di tangannya, matanya terpaku pada layar. Beberapa saat lalu, Nora mengirimkan pesan bahwa dirinya mengalami kecelakaan. "Kevin?" Kevin menoleh pada Alexa yang telah selesai memasukan semua barang ke dalam koper. Tak lama kemudian, dering ponsel Kevin berbunyi. Alexa dapat melihat layar ponsel Kevin dari sudut matanya dan menyadari bahwa Nora yang menghubungi suaminya itu. Tanpa banyak bicara, Kevin mengangkat telepon itu tanpa memperdulikan Alexa. "Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan segera kesana," mendengar ucapan Kevin, tentu saja Alexa merasa cemas. Mereka akan segera berangkat ke bandara sebentar lagi, namun Kevin justru mau menghampiri Nora. Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Alexa langsung memudar. Kevin menghela napas setelah meng
Alexa berbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terasa lemah dan nyeri. Selimut putih yang menutupi tubuhnya tampak kontras dengan wajah pucatnya. Matanya yang bengkak akibat menangis terus-menerus menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di meja samping ranjangnya. Beberapa saat yang lalu, Alexa masih terus mencoba menghubungi Kevin. Namun, hingga kini, suaminya itu masih tidak dapat dihubungi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi," yang terdengar selalu hanyalah suara operator yang memberitahukan bahwa ponsel Kevin mati. Alexa bahkan telah mengirim pesan. 'Kevin, aku di rumah sakit. Aku kecelakaan dan kehilangan bayi kita. Aku butuh kamu di sini. Tolong segera datang.' Pesan itu terkirim, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut dibaca. Pesan-pesan sebelumnya juga tetap tak terbaca, menumpuk seperti bukti bisu. Rasa takut dan kesepian semakin menyesakkan dada A
Setibanya di rumah sakit, Kevin bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju ruang perawatan tempat Alexa dirawat. Napasnya terengah-engah saat dia memasuki bangunan, rasa cemas semakin memuncak. Dia akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud dan membuka pintu. Di dalam, dia melihat Alexa terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan terlihat sangat letih. Mata Alexa yang biasanya ceria kini tampak kosong dan dingin. Rasa sakit dan kecewa terpancar jelas dari tatapannya. Kevin merasa seolah-olah ditikam langsung ke jantung melihat keadaan Alexa seperti itu. "Alexa" Kevin memanggilnya, namun Alexa hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sepatah kata pun. Kevin menyadari perbedaan Alexa. "Aku minta maaf, Alexa. Aku tidak tahu..." Kevin mencoba menjelaskan. Dia merasa seperti kata-katanya tidak ada artinya dibandingkan dengan luka yang telah dia sebabkan. Namun, kata-katanya langsung dipotong oleh Alexa. "Kamu benar-benar tidak tahu? Atau sengaja tidak mau tahu?" Suaranya pen
"Aku ingin bercerai, Kevin." Kata-kata itu terus berulang di kepala Kevin, menghantam hatinya seperti palu godam. Dia tidak bisa mempercayainya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya ingin mengakhiri pernikahan mereka. "Kita tidak bisa bercerai begitu saja. Keluargamu menerima investasi besar dari keluargaku, dan kamu tahu betul itu," kata Kevin dengan nada tegas dan marah. Wajahnya berubah merah, matanya berapi-api saat dia melanjutkan, "Mengabaikan semua komitmen ini dan berharap bisa lepas dari tanggung jawab adalah hal yang mustahil. Tidak hanya reputasi keluargamu yang akan hancur, tetapi juga seluruh usaha yang sudah kami investasikan. Aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia begitu saja. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan bodoh yang bisa merusak segalanya." Alexa menatap Kevin dengan tajam. "Jadi, karena uang, aku harus terus berada dalam pernikahan yang membuatku menderita? Apakah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya bergetar, menggambarkan betapa saki
Alexa menarik napas dalam-dalam, merasa kelegaan sekaligus kecemasan saat mobil berhenti di depan rumah. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Rumah ini kian terasa semakin asing baginya. Alexa membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, suara pembicaraan dari ruang kerja menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Alexa berjalan mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan antara Kevin dan Papanya di dalam telephone. "Apa yang kamu pikirkan, Kevin? Alexa baru saja mengalami keguguran. Kamu seharusnya lebih memperhatikannya, bukan malah bersikap dingin seperti ini," suara Papa Kevin terdengar tegas. Papanya melanjutkan, "Kamu harus bersikap baik padanya. Dia butuh dukunganmu sekarang lebih dari sebelumnya." "Baiklah," sahut Kevin dengan nada lelah. Begitu panggilan diakhiri, Kevin berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Alexa yang sudah pulang. Alexa menatap Kevin, hatinya dipenuhi oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak bilang ke Papa kamu b
Setelah kejadian malam itu, Gina dan Kevin merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Bukan dalam bentuk jarak, tetapi sebaliknya—perasaan saling pengertian dan kedekatan yang lebih mendalam. Gina, yang semula dibelenggu oleh kecurigaan dan rasa cemburu, kini merasa lega. Kevin, di sisi lain, merasakan beban yang terangkat karena tidak lagi harus menyembunyikan rencana kejutan untuk ulang tahun istrinya.Beberapa hari kemudian, ulang tahun Gina tiba. Kevin sudah merencanakan acara kejutan kecil di rumah mereka. Sejak insiden di mana Gina mengetahui tentang kalung berlian itu, Kevin berusaha memberikan lebih banyak perhatian. Ia pulang lebih awal, membantu di rumah, dan sering kali memastikan mereka memiliki waktu berkualitas bersama, meski hanya sekadar menonton film atau berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka. Gina pun mulai merasa lebih tenang dan percaya pada Kevin, berusaha membuang jauh-jauh rasa cemburu yang sempat mengganggunya.Malam ulang tahun Gina dimulai d
Beberapa hari kemudian, Gina merencanakan untuk mengikuti Kevin. Ia telah mengumpulkan cukup keberanian, dan perasaan curiga yang membebani pikirannya semakin sulit diabaikan. Malam itu, Gina mengatur alarm di ponselnya dengan pelan, lalu menunggu saat Kevin pulang terlambat seperti biasanya. Ketika Kevin akhirnya tiba di rumah, ia tampak lelah seperti biasa, menjelaskan bahwa rapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.Gina berusaha menahan diri, pura-pura tersenyum dan memberikan pelukan hangat. Namun, pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia bertekad untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar "proyek kerja" antara Kevin dan Karla.Keesokan harinya, Gina mengamati Kevin dengan cermat saat ia bersiap-siap pergi ke kantor. Sesaat setelah Kevin keluar dari rumah, Gina segera menyusul, memastikan jaraknya cukup jauh sehingga Kevin tidak akan menyadari bahwa ia sedang diikuti. Jantungnya berdebar kencang sepanjang perjalanan. Gina mencoba menenangkan diri, me
Malam itu, meski Kevin sudah berusaha meyakinkannya, Gina masih tak bisa sepenuhnya mengusir rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Setelah Kevin tertidur di sampingnya, Gina terjaga dalam kegelapan, pikirannya terus memutar ulang percakapan mereka. Hatinya gelisah. Sesuatu di balik senyum ramah Karla dan reaksi Kevin yang canggung saat melihatnya di kafe tidak bisa ia abaikan.Beberapa hari berlalu, dan Gina mulai memperhatikan perubahan kecil dalam perilaku Kevin. Ia menjadi lebih sering pulang terlambat, selalu dengan alasan pekerjaan atau rapat mendadak. Setiap kali Gina mencoba mengajak Kevin berbicara tentang perasaannya, Kevin akan menjawabnya dengan nada lembut namun penuh penjelasan logis, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin banyak Kevin beralasan, semakin Gina merasa dirinya diabaikan.Suatu malam, ketika Kevin kembali terlambat lagi, Gina memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi. Setelah anak-anak ti
Gina tidak langsung mendekati Kevin dan Karla. Ia berdiri dari kejauhan, memperhatikan suaminya tertawa lepas dengan wanita lain—wanita dari masa lalunya. Hati Gina berdebar keras, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia tahu, sebagai seorang istri, Kevin selalu jujur padanya, dan Gina berusaha untuk mempercayai suaminya. Tapi melihat kedekatan Kevin dengan Karla membuat hatinya tak tenang. Gina menggenggam erat tasnya, mencoba meredam emosi yang mulai naik.Saat Gina akan berbalik pergi, tanpa disadari, tatapan Kevin tertuju padanya. Wajahnya berubah seketika—senyum yang tadi mengembang kini tergantikan oleh keterkejutan. Karla, yang menyadari perubahan ekspresi Kevin, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Gina."Hei, Gina?" sapa Kevin dengan nada ragu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Gina berusaha tersenyum meski hatinya tak menentu. "Aku hanya mampir sebentar untuk mengejutkanmu, mungkin kita bisa makan siang bersama," katanya pelan, mencoba terde
Kehidupan Kevin dan Gina setelah liburan di desa berjalan kembali ke ritme kota besar. Kevin tenggelam dalam pekerjaannya sebagai eksekutif di perusahaan besar, sementara Gina sibuk mengurus Keiva dan Keanu serta menjalankan bisnis kecil yang ia mulai dari rumah. Mereka masih sering mengenang momen indah di desa, dan meski topik tentang anak ketiga jarang dibicarakan lagi, Kevin tidak pernah benar-benar melupakannya.Suatu sore, saat Gina sedang menyiapkan makan malam, Kevin tiba-tiba menerima telepon dari perusahaannya. Ada proyek besar yang memerlukan perhatiannya, dan rapat mendadak dijadwalkan. "Gina, aku harus ke kantor sebentar, ada rapat penting yang harus kuhadiri," katanya sambil mengambil jasnya."Rapat lagi?" tanya Gina sedikit kecewa, tapi ia tahu pekerjaan Kevin memang selalu menuntut. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu larut ya."Kevin tersenyum dan mencium keningnya sebelum berangkat. "Aku akan segera pulang. Aku janji."Di kantor, Kevin disambut dengan atmosfer yang
Kevin dan Gina memutuskan untuk menghabiskan liburan mereka bersama kedua anak mereka, Keiva dan Keanu, di sebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terletak di kaki gunung, dengan pemandangan yang menakjubkan dan udara yang sejuk. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk melepas penat, bersantai, dan menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Hari pertama di desa dimulai dengan sarapan yang sederhana namun lezat. Gina memasak roti panggang dengan selai buatan sendiri, sementara Kevin sibuk membantu Keiva dan Keanu bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Keiva, yang kini berusia lima tahun, sangat antusias untuk menjelajahi desa dan melihat hewan-hewan di peternakan terdekat. Keanu, yang baru berusia satu tahun, juga tampak senang meskipun ia belum mengerti banyak tentang petualangan yang menunggu. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga liar. Kevin menggandeng tangan Keiva, sementara Gina menggendong Keanu yang terus tertawa melihat ku
Pernikahan kedua Kevin dan Gina yang sederhana namun penuh makna benar-benar menjadi awal baru bagi mereka. Setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian, mereka akhirnya bisa hidup bersama, kali ini dengan hati yang lebih terbuka dan ikatan yang lebih kuat. Mereka tak hanya memulai kembali kehidupan sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua dari dua anak, Keiva dan Keanu.Minggu-minggu setelah pernikahan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tiada tara. Keiva, putri pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sangat gembira dengan kehadiran adik laki-lakinya. Setiap hari, dia selalu ingin membantu Gina merawat Keanu, mulai dari menghiburnya saat menangis hingga ikut mengganti popok. Keiva tampak sangat menyayangi adiknya, dan ini membuat Kevin serta Gina semakin bahagia melihat kasih sayang yang tumbuh di antara anak-anak mereka.Suatu pagi yang cerah, Kevin dan Gina duduk di teras rumah mereka yang nyaman, mengamati Keiva bermain dengan Keanu yang masih berbaring di kere
Hari itu adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Gina dan Kevin. Setelah bertahun-tahun terpisah oleh berbagai masalah, mereka akhirnya bisa bersama lagi. Gina sudah berjuang keras menghadapi masa-masa sulit, dan kini dia bisa merasakan kebahagiaan sejati. Kevin, yang selama ini dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan memulai kembali hubungan mereka dari awal. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu rumah mereka, berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka jalani bersama sebagai sebuah keluarga. Gina tersenyum hangat sambil memegang perutnya yang sudah besar. Dia tengah hamil, dan hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai kehamilan itu mencapai puncaknya. Kevin, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gina dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan mereka bersama dengan anak yang akan segera lahir. "Rasanya seperti mimpi, Kev," kata Gina dengan mata yang
Kevin duduk di meja kerjanya dengan senyum tipis, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terbaru dari Gina. Sudah beberapa hari ini dia berpura-pura menjadi "Alex," sosok yang dia ciptakan untuk membuat kejutan kepada Gina. Hubungan mereka yang baru saja kembali pulih membuat Kevin ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar berkomitmen. Namun, dia tahu Gina tidak akan menyangka bahwa Alex dan Kevin adalah orang yang sama. Itu adalah bagian dari kejutan yang dia rencanakan.Gina, di sisi lain, mulai merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Alex kepadanya. Alex, yang tiba-tiba muncul di hidupnya, selalu mengirim pesan yang hangat dan penuh perhatian, sesuatu yang sebenarnya mengingatkannya pada Kevin. Meski hatinya masih terfokus pada Kevin, kedekatan dengan Alex membuat Gina sedikit bingung dan gelisah. Dia tidak ingin memberi kesan kepada Kevin bahwa dia tertarik pada pria lain, tetapi semakin lama, perhatian dari Alex semakin sulit diabaikan