Hari Minggu tanpa terasa tiba dengan begitu cepat. Sudah seminggu ini pula, Alexa dan Kevin tidur dengan pisah kamar. Selain itu, Alexa bahkan sulit untuk merasakan kehadiran Kevin di rumah ini semenjak pernikahan mereka.
Kevin selalu pulang larut malam dan berangkat pagi sekali. Alexa merasa bahwa Kevin selalu menghindarinya. Padahal Alexa hanya berharap setidaknya mereka bisa mengobrol sesekali. Bekal yang selalu disiapkan oleh Alexa untuk Kevin pun selalu tidak pernah dibawa dan dibiarkan bertengger di meja makan. “Ingat, jangan beritahu mereka bahwa kita pisah kamar,” bisik Kevin membuat Alexa mengangguk pelan. Keduanya kini menyambut kedatangan orang tua mereka yang baru saja tiba. Alexa memaksakan diri untuk tersenyum, menunjukan bahwa semuanya baik-baik saja. Setelah berpelukan dan saling menanyakan kabar satu sama lain. Alexa mempersilahkan para orangtua untuk sarapan. Pagi tadi Alexa sudah memasak untuk menyambut kedatangan mereka. Di meja makan nampak beberapa hidangan yang membuat wajah mama Kevin terlihat bersinar. “Wah, Kevin beruntung banget ini punya istri seperti kamu Alexa. Pasti dia akan selalu makan dengan lahap,” ujarnya dengan senyuman lebar. Sayangnya, justru sebaliknya, Kevin tidak pernah menyentuh makanan yang disiapkan oleh Alexa. Mereka pun mulai menikmati masakan Alexa, sesekali orangtua Kevin memuji Alexa. "Oh ya, gimana rencana kalian untuk bulan madu?” tanya ibu Alexa tiba-tiba. "Kami penasaran, ke mana kalian mau pergi?" Kevin dan Alexa saling melirik sejenak, bingung harus menjawab apa. Alexa merasakan jantungnya berdebar kencang, sementara Kevin berusaha menjaga ekspresi tenangnya. "Sekarang ini, Kevin masih sibuk dengan pekerjaannya, Ma. Lagipula, kehamilanku takut masih rentan,"jawab Alexa berusaha menutupi kebenaran. “Gak masalah kok harusnya, kamu bisa ke dokter kandungan sama Kevin. Masa kalian sudah menikah tapi malah gak pergi bulan madu?” ujar mama Kevin yang kemudian didukung oleh papa Kevin yang ikut berkata, “Urusan pekerjaan gampang. Nanti, biar papa bantu urus dulu” “Baik, kalau begitu nanti coba akan kami rencanakan lagi dulu,” Alexa tersenyum canggung. Namun, mendengar ucapan Alexa, para orangtua mengangguk mengerti dan mulai mengobrol kembali mengenai urusan bisnis. Alexa bisa melihat dari sudut mata, ekspresi Kevin yang tampak muak dan jenuh. Ia tahu, Kevin melakukan semua ini hanya untuk menjaga kehormatan keluarga, bukan karena ia benar-benar peduli. Alexa dapat merasakan senyum Kevin yang terkesan dipaksakan. Sore harinya, kedua orang tua mereka akhirnya pamit. Kembali meninggalkan Alexa dan Kevin berdua di rumah. Wajah Kevin kini sudah kembali seperti biasa. Datar dan dingin. Alexa kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar. Setelah membersihkan diri, Alexa mulai merasa bahwa dirinya begitu menginginkan donat yang dijual di mall. “Aneh sekali, padahal aku tadi sudah merasa kenyang. Mengapa sekarang aku sangat menginginkan donat?” gumam Alexa. “Apa ini yang dinamakan ngidam?” ujarnya lagi sambil tersenyum kecil dan mengelus perutnya. Hanya saja, Alexa merasa bingung kepada siapa dirinya harus meminta untuk dibelikan? Apa dia harus pergi sendiri saja? Alexa melihat Kevin yang masih nampak sibuk dengan laptopnya di ruang tengah. Tidak ingin merepotkan, Alexa akhirnya memutuskan untuk pergi membeli donat sendiri. Namun, begitu kakinya melangkah dan membuka pintu. Kevin sudah menatapnya dan membuat Alexa jadi merasa takut. “Eumm, aku ingin pergi sebentar ke mall dekat sini. Ada yang ingin aku beli,” ucapnya gugup. “Ini sudah malam, lain kali saja,” "Kevin, tapi aku.." “Dengar, aku tidak ingin kamu tidak sengaja bertemu dengan orangtua kita dan malah akan menimbulkan spekulasi buruk tentang hubungan kita,” awalnya Alexa mengira Kevin mengkhawatirkannya yang akan pergi sendiri malam-malam. Namun, rupanya Kevin hanya khawatir mengenai hubungan palsu mereka. Kevin menoleh dengan tatapan tidak sabar. “Kalau begitu, apa kamu boleh membantu membelikan donat di mall? Aku..sepertinya ngidam,” Alexa menunduk, tidak berani menatap wajah Kevin. Kevin mendengus kasar, “Aku tidak akan membelinya. Jadi cepat kembali ke kamarmu” Ucapan Kevin membuat hati Alexa terasa sakit. Dia segera berbalik dan kembali ke kamarnya, menahan tangis yang sudah siap keluar. Dirinya merasa kesal, karena tidak diperbolehkan keluar, tapi Kevin juga tidak mau menolongnya. Alexa tidak menyadari bahwa sudah setengah jam dirinya menangis, hingga sebuah ketukan di pintu membuatnya bangkit dari tepi ranjang dan membuka pintu kamarnya. Alexa terkejut mendapati Bibi yang sedang membawa kotak donat di hadapannya. “Ini Nyonya, tadi Tuan meminta saya untuk membelikannya dan memberikan pada Nyonya,” Alexa menerima kotak donat itu dan mengucapkan terima kasih. Dalam hatinya, Alexa kini merasa senang. Melihat donat yang dia inginkan, mood Alexa seakan kembali membaik. Alexa mengambil satu donat dari kotak dan menggigitnya."Selamat pagi.Bagaimana kabarmu hari ini?" Alexa tersenyum tipis merespon sapaan dokter kandungan yang menyapa dengan penuh keramahan begitu dirinya masuk ke dalam ruangan. Pagi ini, adalah jadwal pemeriksaan kandungan Alexa. Meskipun wajah Kevin nampak enggan untuk mengantarnya, namun pria itu kini tetap ikut masuk ke dalam ruangan bersama Alexa tanpa sepatah kata pun. Dokter mulai memeriksa perut Alexa. Dengan lembut, dokter menggerakkan alat USG di atas perutnya, hingga menampilkan gambar janin di layar. "Usia kandunganmu, saat ini sudah berusia 7 minggu. Lihat, ini dia bayi kalian, semua terlihat normal dan sehat. Jantungnya berdetak kuat." Alexa menatap layar dengan mata berkaca-kaca, perasaan bahagia dan lega memenuhi hatinya. Ia menoleh ke arah Kevin, berharap melihat kilasan kebahagiaan di wajahnya. Namun, Kevin hanya duduk dengan ekspresi datar, matanya tidak tertuju pada layar melainkan pada ponselnya. "Alexa, pastikan kamu tetap minum vitamin yang sudah saya resepkan
Nora kembali ke kantor setelah beberapa minggu cuti. Dirinya sengaja melarikan diri karena tidak sanggup untuk melihat pernikahan Kevin bersama wanita lain. Terutama karena wanita itu adalah Alexa. Nora berjalan melewati lorong-lorong dengan langkah percaya diri, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari sosok yang sudah lama dirindukannya. Akhirnya, ia melihat Kevin di sudut ruang kerjanya, sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Dengan senyum tipis, Nora masuk ke dalam ruangan dan mendekati meja Kevin. "Kevin, lama tak bertemu," sapa Nora dengan suara lembut. Kevin mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil begitu melihat Nora. "Bagaimana kabarmu?" Kevin menjawab dengan anggukan singkat, sebelum kembali bertanya balik kepada Nora. "Bagaimana liburanmu?" "Liburannya tentu saja tidak menyenangkan. Bagaimana aku bisa bahagia ketika kekasihku sendiri menikah dengan wanita lain?" jawab Nora dengan mata berkaca-kaca. Nora menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mengumpul
Suara dering ponsel, memecah konsentrasi Kevin. Ia mengalihkan pandangan sejenak dari tumpukan dokumen di meja kerjanya dan menatap layar ponsel. Melihat nama Mamanya, Kevin kemudian mengangkat telepon. "Ada apa, Ma?" jawab Kevin dengan suara datar. "Kevin, bagaimana kabarmu? Kalian sudah bersiap, bukan?" Suara lembut ibunya terdengar di seberang telepon, penuh perhatian seperti biasa. Kevin menegakkan tubuhnya, merasakan bingung dengan pertanyaan itu. "Bersiap?" tanyanya penuh kebingungan. "Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk honeymoon?" tanya ibunya dengan nada ceria, seolah mengharapkan kabar baik. Honeymoon? Pikiran Kevin berputar cepat. Seingatnya belum ada lagi percakapan lanjutan mengenai hal itu antara dirinya dan Alexa. "Honeymoon? Sejak kapan?" ucapnya kepada sang Ibu. Ibunya terdiam sejenak, seolah terkejut dengan ketidaktahuannya. "Mama dan Papa sudah memberikan tiketnya kepada Alexa. Kamu tidak tahu?" tanya sang Ibu dengan rasa penasaran. Kevin menghe
l Tak terasa, seminggu telah berlalu. Alexa sibuk mengepak barang-barang terakhir ke dalam koper, hatinya berdebar. Dia tetap berharap bahwa honeymoon ini bisa menjadi titik balik bagi mereka berdua. Kevin berdiri di dekat pintu, ponsel di tangannya, matanya terpaku pada layar. Beberapa saat lalu, Nora mengirimkan pesan bahwa dirinya mengalami kecelakaan. "Kevin?" Kevin menoleh pada Alexa yang telah selesai memasukan semua barang ke dalam koper. Tak lama kemudian, dering ponsel Kevin berbunyi. Alexa dapat melihat layar ponsel Kevin dari sudut matanya dan menyadari bahwa Nora yang menghubungi suaminya itu. Tanpa banyak bicara, Kevin mengangkat telepon itu tanpa memperdulikan Alexa. "Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan segera kesana," mendengar ucapan Kevin, tentu saja Alexa merasa cemas. Mereka akan segera berangkat ke bandara sebentar lagi, namun Kevin justru mau menghampiri Nora. Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Alexa langsung memudar. Kevin menghela napas setelah meng
Alexa berbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terasa lemah dan nyeri. Selimut putih yang menutupi tubuhnya tampak kontras dengan wajah pucatnya. Matanya yang bengkak akibat menangis terus-menerus menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di meja samping ranjangnya. Beberapa saat yang lalu, Alexa masih terus mencoba menghubungi Kevin. Namun, hingga kini, suaminya itu masih tidak dapat dihubungi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi," yang terdengar selalu hanyalah suara operator yang memberitahukan bahwa ponsel Kevin mati. Alexa bahkan telah mengirim pesan. 'Kevin, aku di rumah sakit. Aku kecelakaan dan kehilangan bayi kita. Aku butuh kamu di sini. Tolong segera datang.' Pesan itu terkirim, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut dibaca. Pesan-pesan sebelumnya juga tetap tak terbaca, menumpuk seperti bukti bisu. Rasa takut dan kesepian semakin menyesakkan dada A
Setibanya di rumah sakit, Kevin bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju ruang perawatan tempat Alexa dirawat. Napasnya terengah-engah saat dia memasuki bangunan, rasa cemas semakin memuncak. Dia akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud dan membuka pintu. Di dalam, dia melihat Alexa terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan terlihat sangat letih. Mata Alexa yang biasanya ceria kini tampak kosong dan dingin. Rasa sakit dan kecewa terpancar jelas dari tatapannya. Kevin merasa seolah-olah ditikam langsung ke jantung melihat keadaan Alexa seperti itu. "Alexa" Kevin memanggilnya, namun Alexa hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sepatah kata pun. Kevin menyadari perbedaan Alexa. "Aku minta maaf, Alexa. Aku tidak tahu..." Kevin mencoba menjelaskan. Dia merasa seperti kata-katanya tidak ada artinya dibandingkan dengan luka yang telah dia sebabkan. Namun, kata-katanya langsung dipotong oleh Alexa. "Kamu benar-benar tidak tahu? Atau sengaja tidak mau tahu?" Suaranya pen
"Aku ingin bercerai, Kevin." Kata-kata itu terus berulang di kepala Kevin, menghantam hatinya seperti palu godam. Dia tidak bisa mempercayainya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya ingin mengakhiri pernikahan mereka. "Kita tidak bisa bercerai begitu saja. Keluargamu menerima investasi besar dari keluargaku, dan kamu tahu betul itu," kata Kevin dengan nada tegas dan marah. Wajahnya berubah merah, matanya berapi-api saat dia melanjutkan, "Mengabaikan semua komitmen ini dan berharap bisa lepas dari tanggung jawab adalah hal yang mustahil. Tidak hanya reputasi keluargamu yang akan hancur, tetapi juga seluruh usaha yang sudah kami investasikan. Aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia begitu saja. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan bodoh yang bisa merusak segalanya." Alexa menatap Kevin dengan tajam. "Jadi, karena uang, aku harus terus berada dalam pernikahan yang membuatku menderita? Apakah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya bergetar, menggambarkan betapa saki
Alexa menarik napas dalam-dalam, merasa kelegaan sekaligus kecemasan saat mobil berhenti di depan rumah. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Rumah ini kian terasa semakin asing baginya. Alexa membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, suara pembicaraan dari ruang kerja menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Alexa berjalan mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan antara Kevin dan Papanya di dalam telephone. "Apa yang kamu pikirkan, Kevin? Alexa baru saja mengalami keguguran. Kamu seharusnya lebih memperhatikannya, bukan malah bersikap dingin seperti ini," suara Papa Kevin terdengar tegas. Papanya melanjutkan, "Kamu harus bersikap baik padanya. Dia butuh dukunganmu sekarang lebih dari sebelumnya." "Baiklah," sahut Kevin dengan nada lelah. Begitu panggilan diakhiri, Kevin berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Alexa yang sudah pulang. Alexa menatap Kevin, hatinya dipenuhi oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak bilang ke Papa kamu b