Nora kembali ke kantor setelah beberapa minggu cuti. Dirinya sengaja melarikan diri karena tidak sanggup untuk melihat pernikahan Kevin bersama wanita lain. Terutama karena wanita itu adalah Alexa.
Nora berjalan melewati lorong-lorong dengan langkah percaya diri, matanya memindai setiap sudut ruangan, mencari sosok yang sudah lama dirindukannya. Akhirnya, ia melihat Kevin di sudut ruang kerjanya, sibuk dengan dokumen-dokumen di mejanya. Dengan senyum tipis, Nora masuk ke dalam ruangan dan mendekati meja Kevin. "Kevin, lama tak bertemu," sapa Nora dengan suara lembut. Kevin mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil begitu melihat Nora. "Bagaimana kabarmu?" Kevin menjawab dengan anggukan singkat, sebelum kembali bertanya balik kepada Nora. "Bagaimana liburanmu?" "Liburannya tentu saja tidak menyenangkan. Bagaimana aku bisa bahagia ketika kekasihku sendiri menikah dengan wanita lain?" jawab Nora dengan mata berkaca-kaca. Nora menarik napas dalam-dalam, seolah-olah sedang mengumpulkan keberanian. "Kevin, selama aku pergi, aku tak bisa berhenti memikirkan tentang kita. Tentang bagaimana Alexa menjebakmu untuk menikahinya dengan kehamilannya." Kevin menghela napas dengan berat. Tentu saja dirinya tau bahwa Nora juga pasti masih belum merelakan hubungan mereka. Meskipun demikian tidak ada yang bisa mereka lakukan mengenai ini. "Kevin," suara Nora terdengar penuh emosi, "Kamu tahu betapa aku mencintaimu. Aku merasa kehilangan, merasa dicurangi. Alexa tahu bahwa kita saling mencintai, tapi dia memanfaatkan situasi itu untuk mengikatmu dengan pernikahan." Nora semakin mendekatkan dirinya pada tubuh Kevin. Berusaha untuk memeluk pria itu, namun Kevin telah lebih dahulu mundur satu langkah, sehingga Nora merasa kesal karena tidak berhasil. Namun, Nora tetap berusaha memperlihatkan wajah sedihnya. Di sisi lain Kevin sadar bahwa Nora berusaha untuk memeluknya. Bukan dirinya tidak ingin menghibur Nora dan membalas pelukannya, hanya saja Kevin khawatir bahwa hal ini bisa menjadi kesalahpahaman jika sampai dilihat karyawan lain dan hal itu akan sampai ke telinga Ayahnya. Sebuah ketukan terdengar di pintu. Kevin memerintahkan sekretarisnya untuk masuk. "Tuan, kita harus segera berangkat untuk menemui klien" "Baiklah. Segera siapkan mobil." *** Saat membersihkan meja mata Alexa melihat sebuah dokumen tebal yang tergeletak di sudut. Dokumen itu milik Kevin, dan ia tahu itu penting. Hatinya berdebar saat menyadari bahwa Kevin sudah berangkat tanpa membawanya. “Ini pasti sangat penting,” pikir Alexa. Tanpa ragu, dia memutuskan untuk mengantarkan dokumen itu ke kantor Kevin. Meskipun dia tahu Kevin mungkin tidak akan terlalu senang, dia merasa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.Lagi pula, semalam Kevin kembali pulang larut malam dan Alexa sudah tertidur, begitupun pagi ini Kevin sudah berangkat sejak pagi sekali. Sehingga Alexa belum punya kesempatan untuk membahas perihal rencana honeymoon yang telah disiapkan oleh orangtua mereka. Alexa berpikir sambil menyerahkan dokumen itu, dirinya juga akan menjelaskan mengenai honeymoon itu kepada Kevin. Setibanya di perusahaan, Alexa melangkah masuk ke lobi yang luas. Udara dingin dari pendingin ruangan menyambutnya, menambah rasa gugup di hatinya. Alexa mendekati meja resepsionis. “Selamat pagi, saya istri Pak Kevin. Saya menemukan dokumen penting yang tertinggal di rumah, dan saya ingin mengantarkannya,” ucap Alexa dengan lembut. Resepsionis tersenyum ramah. Namun, Alexa menyadari tatapan tidak percaya di mata resepsionis itu. “Oh, sebentar ya Bu. Saya akan pastikan lebih dulu dan bertanya pada sekretaris Pak Kevin.” Alexa mengangguk mengiyakan dan menunggu beberapa saat. “Maaf Bu, tapi sekretaris Pak Kevin berkata bahwa Pak Kevin sedang turun. Ibu bisa menunggu di sini ya, mungkin sebentar lagi Pak Kevin akan lewat,” sesudah mengucapkan terima kasih, Alexa meninggalkan meja reseptionis dan duduk di sofa yang ada di lobby. Matanya menatap ke arah lift, menantikan kehadiran Kevin dari dalam sana. Hingga akhirnya pintu lift terbuka, dan saat Alexa baru saja akan bangkit berdiri untuk menghampiri Kevin. Matanya justru terpaku pada sosok wanita yang berdiri di samping Kevin. “Nora..” gumamnya pelan. Setahu Alexa, Nora telah pergi ke luar negeri sebelum pernikahan dirinya dan Kevin dilangsungkan. Apakah artinya kini Nora telah kembali?Alexa mengigit bibirnya. Ada suatu perasaan tidak tenang di hatinya. Mantan kekasih suaminya kini telah kembali, apakah itu artinya ia benar-benar tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati Kevin?Saat itu, Nora lewat sudut matanya melihat kehadiran Alexa. Dirinya langsung memikirkan rencana untuk membuat Alexa merasa cemburu. Nora berpura-pura terpeleset. Refleks Kevin menangkap tubuh Nora dan keduanya terlihat seakan sedang berpelukan. Pemandangan itu tertangkap oleh mata Alexa dan membuat hatinya semakin terasa hancur. Air matanya hampir tumpah, tetapi dia cepat-cepat menahannya. Alexa kemudian memutuskan untuk segera pergi dari sana, berharap agar Kevin tidak menyadari kehadirannya di sana. Setiap langkahnya terasa seperti beban yang semakin menekan.Suara dering ponsel, memecah konsentrasi Kevin. Ia mengalihkan pandangan sejenak dari tumpukan dokumen di meja kerjanya dan menatap layar ponsel. Melihat nama Mamanya, Kevin kemudian mengangkat telepon. "Ada apa, Ma?" jawab Kevin dengan suara datar. "Kevin, bagaimana kabarmu? Kalian sudah bersiap, bukan?" Suara lembut ibunya terdengar di seberang telepon, penuh perhatian seperti biasa. Kevin menegakkan tubuhnya, merasakan bingung dengan pertanyaan itu. "Bersiap?" tanyanya penuh kebingungan. "Apa kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk honeymoon?" tanya ibunya dengan nada ceria, seolah mengharapkan kabar baik. Honeymoon? Pikiran Kevin berputar cepat. Seingatnya belum ada lagi percakapan lanjutan mengenai hal itu antara dirinya dan Alexa. "Honeymoon? Sejak kapan?" ucapnya kepada sang Ibu. Ibunya terdiam sejenak, seolah terkejut dengan ketidaktahuannya. "Mama dan Papa sudah memberikan tiketnya kepada Alexa. Kamu tidak tahu?" tanya sang Ibu dengan rasa penasaran. Kevin menghe
l Tak terasa, seminggu telah berlalu. Alexa sibuk mengepak barang-barang terakhir ke dalam koper, hatinya berdebar. Dia tetap berharap bahwa honeymoon ini bisa menjadi titik balik bagi mereka berdua. Kevin berdiri di dekat pintu, ponsel di tangannya, matanya terpaku pada layar. Beberapa saat lalu, Nora mengirimkan pesan bahwa dirinya mengalami kecelakaan. "Kevin?" Kevin menoleh pada Alexa yang telah selesai memasukan semua barang ke dalam koper. Tak lama kemudian, dering ponsel Kevin berbunyi. Alexa dapat melihat layar ponsel Kevin dari sudut matanya dan menyadari bahwa Nora yang menghubungi suaminya itu. Tanpa banyak bicara, Kevin mengangkat telepon itu tanpa memperdulikan Alexa. "Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan segera kesana," mendengar ucapan Kevin, tentu saja Alexa merasa cemas. Mereka akan segera berangkat ke bandara sebentar lagi, namun Kevin justru mau menghampiri Nora. Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Alexa langsung memudar. Kevin menghela napas setelah meng
Alexa berbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terasa lemah dan nyeri. Selimut putih yang menutupi tubuhnya tampak kontras dengan wajah pucatnya. Matanya yang bengkak akibat menangis terus-menerus menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di meja samping ranjangnya. Beberapa saat yang lalu, Alexa masih terus mencoba menghubungi Kevin. Namun, hingga kini, suaminya itu masih tidak dapat dihubungi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi," yang terdengar selalu hanyalah suara operator yang memberitahukan bahwa ponsel Kevin mati. Alexa bahkan telah mengirim pesan. 'Kevin, aku di rumah sakit. Aku kecelakaan dan kehilangan bayi kita. Aku butuh kamu di sini. Tolong segera datang.' Pesan itu terkirim, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut dibaca. Pesan-pesan sebelumnya juga tetap tak terbaca, menumpuk seperti bukti bisu. Rasa takut dan kesepian semakin menyesakkan dada A
Setibanya di rumah sakit, Kevin bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju ruang perawatan tempat Alexa dirawat. Napasnya terengah-engah saat dia memasuki bangunan, rasa cemas semakin memuncak. Dia akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud dan membuka pintu. Di dalam, dia melihat Alexa terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan terlihat sangat letih. Mata Alexa yang biasanya ceria kini tampak kosong dan dingin. Rasa sakit dan kecewa terpancar jelas dari tatapannya. Kevin merasa seolah-olah ditikam langsung ke jantung melihat keadaan Alexa seperti itu. "Alexa" Kevin memanggilnya, namun Alexa hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sepatah kata pun. Kevin menyadari perbedaan Alexa. "Aku minta maaf, Alexa. Aku tidak tahu..." Kevin mencoba menjelaskan. Dia merasa seperti kata-katanya tidak ada artinya dibandingkan dengan luka yang telah dia sebabkan. Namun, kata-katanya langsung dipotong oleh Alexa. "Kamu benar-benar tidak tahu? Atau sengaja tidak mau tahu?" Suaranya pen
"Aku ingin bercerai, Kevin." Kata-kata itu terus berulang di kepala Kevin, menghantam hatinya seperti palu godam. Dia tidak bisa mempercayainya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya ingin mengakhiri pernikahan mereka. "Kita tidak bisa bercerai begitu saja. Keluargamu menerima investasi besar dari keluargaku, dan kamu tahu betul itu," kata Kevin dengan nada tegas dan marah. Wajahnya berubah merah, matanya berapi-api saat dia melanjutkan, "Mengabaikan semua komitmen ini dan berharap bisa lepas dari tanggung jawab adalah hal yang mustahil. Tidak hanya reputasi keluargamu yang akan hancur, tetapi juga seluruh usaha yang sudah kami investasikan. Aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia begitu saja. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan bodoh yang bisa merusak segalanya." Alexa menatap Kevin dengan tajam. "Jadi, karena uang, aku harus terus berada dalam pernikahan yang membuatku menderita? Apakah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya bergetar, menggambarkan betapa saki
Alexa menarik napas dalam-dalam, merasa kelegaan sekaligus kecemasan saat mobil berhenti di depan rumah. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Rumah ini kian terasa semakin asing baginya. Alexa membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, suara pembicaraan dari ruang kerja menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Alexa berjalan mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan antara Kevin dan Papanya di dalam telephone. "Apa yang kamu pikirkan, Kevin? Alexa baru saja mengalami keguguran. Kamu seharusnya lebih memperhatikannya, bukan malah bersikap dingin seperti ini," suara Papa Kevin terdengar tegas. Papanya melanjutkan, "Kamu harus bersikap baik padanya. Dia butuh dukunganmu sekarang lebih dari sebelumnya." "Baiklah," sahut Kevin dengan nada lelah. Begitu panggilan diakhiri, Kevin berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Alexa yang sudah pulang. Alexa menatap Kevin, hatinya dipenuhi oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak bilang ke Papa kamu b
Kevin kembali mengunjungi Nora di apartemennya. Seperti biasa, Nora tersenyum dan merasa senang melihat Kevin masih peduli padanya. Kevin meletakkan buah-buahan yang dia beli di meja dapur. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kevin sambil melihat beberapa bagian tubuh Nora yang terluka akibat kecelakaan itu. Ternyata lukanya sudah kering. Nora mengerutkan kening begitu dia menyadari bahwa Kevin tidak begitu bersemangat. Dia tampak murung, namun di satu sisi juga terlihat marah. "Ada sesuatu yang sudah kulewatkan?" Kevin mengangkat kepalanya kemudian menggeleng lemah. Pikirannya tidak bisa jauh dari Alexa di saat seperti ini. "Alexa keguguran." Nora yang mendengar hal itu hanya bisa terpaku. Ada sesuatu dalam hati kecilnya yang merasa senang. Kalau keadaannya sudah begini, maka semakin mudah baginya untuk merebut Kevin dari Alexa. Lagi pula Kevin sepertinya juga sudah tidak punya alasan untuk mempertahankan perempuan itu dalam hidupnya. "Astaga, aku turut prihatin." Nora
Alexa menunduk, menghapus air mata yang mengalir di pipinya saat Kevin mengemudi dengan penuh amarah. Keputusan yang diambilnya memang berat, namun reaksi Kevin jauh lebih kejam dari yang dibayangkannya. Alexa mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk lepas dari Kevin tanpa menimbulkan keributan lebih lanjut. Setibanya di rumah, Kevin menarik Alexa keluar dari mobil dengan kasar. “Masuk!” perintahnya dengan nada penuh kemarahan. Alexa mengikuti dengan tubuh gemetar, berusaha menahan rasa takut yang semakin mendalam. “Dengar, Kevin. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Kau harus melepaskanku. Kita berdua akan lebih bahagia jika berpisah,” Alexa berusaha bersuara tegas meski suaranya bergetar. “Diam! Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja!” teriak Kevin. “Kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan membiarkanmu hidup dengan tenang?” Alexa merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Kevin bisa sangat berbahaya saat marah. Namun, tekadnya untuk hidup bebas dari Kevin