"Aku ingin bercerai, Kevin." Kata-kata itu terus berulang di kepala Kevin, menghantam hatinya seperti palu godam. Dia tidak bisa mempercayainya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya ingin mengakhiri pernikahan mereka. "Kita tidak bisa bercerai begitu saja. Keluargamu menerima investasi besar dari keluargaku, dan kamu tahu betul itu," kata Kevin dengan nada tegas dan marah. Wajahnya berubah merah, matanya berapi-api saat dia melanjutkan, "Mengabaikan semua komitmen ini dan berharap bisa lepas dari tanggung jawab adalah hal yang mustahil. Tidak hanya reputasi keluargamu yang akan hancur, tetapi juga seluruh usaha yang sudah kami investasikan. Aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia begitu saja. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan bodoh yang bisa merusak segalanya." Alexa menatap Kevin dengan tajam. "Jadi, karena uang, aku harus terus berada dalam pernikahan yang membuatku menderita? Apakah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya bergetar, menggambarkan betapa saki
Alexa menarik napas dalam-dalam, merasa kelegaan sekaligus kecemasan saat mobil berhenti di depan rumah. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Rumah ini kian terasa semakin asing baginya. Alexa membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, suara pembicaraan dari ruang kerja menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Alexa berjalan mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan antara Kevin dan Papanya di dalam telephone. "Apa yang kamu pikirkan, Kevin? Alexa baru saja mengalami keguguran. Kamu seharusnya lebih memperhatikannya, bukan malah bersikap dingin seperti ini," suara Papa Kevin terdengar tegas. Papanya melanjutkan, "Kamu harus bersikap baik padanya. Dia butuh dukunganmu sekarang lebih dari sebelumnya." "Baiklah," sahut Kevin dengan nada lelah. Begitu panggilan diakhiri, Kevin berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Alexa yang sudah pulang. Alexa menatap Kevin, hatinya dipenuhi oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak bilang ke Papa kamu b
Kevin kembali mengunjungi Nora di apartemennya. Seperti biasa, Nora tersenyum dan merasa senang melihat Kevin masih peduli padanya. Kevin meletakkan buah-buahan yang dia beli di meja dapur. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kevin sambil melihat beberapa bagian tubuh Nora yang terluka akibat kecelakaan itu. Ternyata lukanya sudah kering. Nora mengerutkan kening begitu dia menyadari bahwa Kevin tidak begitu bersemangat. Dia tampak murung, namun di satu sisi juga terlihat marah. "Ada sesuatu yang sudah kulewatkan?" Kevin mengangkat kepalanya kemudian menggeleng lemah. Pikirannya tidak bisa jauh dari Alexa di saat seperti ini. "Alexa keguguran." Nora yang mendengar hal itu hanya bisa terpaku. Ada sesuatu dalam hati kecilnya yang merasa senang. Kalau keadaannya sudah begini, maka semakin mudah baginya untuk merebut Kevin dari Alexa. Lagi pula Kevin sepertinya juga sudah tidak punya alasan untuk mempertahankan perempuan itu dalam hidupnya. "Astaga, aku turut prihatin." Nora
Alexa menunduk, menghapus air mata yang mengalir di pipinya saat Kevin mengemudi dengan penuh amarah. Keputusan yang diambilnya memang berat, namun reaksi Kevin jauh lebih kejam dari yang dibayangkannya. Alexa mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk lepas dari Kevin tanpa menimbulkan keributan lebih lanjut. Setibanya di rumah, Kevin menarik Alexa keluar dari mobil dengan kasar. “Masuk!” perintahnya dengan nada penuh kemarahan. Alexa mengikuti dengan tubuh gemetar, berusaha menahan rasa takut yang semakin mendalam. “Dengar, Kevin. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Kau harus melepaskanku. Kita berdua akan lebih bahagia jika berpisah,” Alexa berusaha bersuara tegas meski suaranya bergetar. “Diam! Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja!” teriak Kevin. “Kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan membiarkanmu hidup dengan tenang?” Alexa merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Kevin bisa sangat berbahaya saat marah. Namun, tekadnya untuk hidup bebas dari Kevin
Alexa sudah terjaga sejak dini hari, pikirannya berputar-putar memikirkan satu keputusan besar yang sudah diambilnya semalam. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan, pekerjaan yang bisa membantunya mengembalikan semua uang Kevin yang sudah diinvestasikan ke perusahaan ayahnya. Setelah itu, ia akan mengajukan gugatan cerai. Ia tidak ingin terus hidup dalam kebohongan, berpura-pura bahagia sementara hatinya penuh luka.Kali ini, Alexa tidak akan menyerah begitu saja. Ia bangkit dari tempat tidurnya, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah menuju meja rias di kamar tidurnya. Wajahnya yang cantik terlihat tegas di cermin. Mata cokelatnya yang biasanya lembut kini tampak penuh tekad. Ia berbisik pada bayangannya sendiri, "Aku bisa melakukan ini. Aku harus melakukan ini."Pagi itu, saat sang Papa menikmati sarapan paginya, Alexa yang baru turun dari kamar langsung mencarinya. Di sana, dia akan mengutarakan keinginannya."Pagi, Papa! Aku ingin kembali bekerja di perusahaan, Papa. Aku merasa
Kevin tahu bahwa cengkraman tangannya membuat perempuan itu merasa sakit. Tanpa belas kasihan sama sekali, dia menghempaskan tubuh perempuan itu di atas ranjang begitu mereka sampai di rumah. Alexa meringis sakit dan menatap pergelangan tangannya yang kini sudah memerah. Ia tak bisa menahan air matanya begitu menyadari betapa kasarnya lelaki itu, sikap yang tidak pernah diharapkan sama sekali. Mata Kevin sudah memerah. Rasanya sudah seperti satu abad dia menahan amarah hanya karena permintaan cerai dari perempuan itu. Jika perceraian itu sampai terjadi, maka hidupnya benar-benar akan semakin tidak karuan. Karena sejak awal dia sendiri sudah merasa bahwa perempuan ini sudah menghancurkan seluruh hidupnya. Mungkin memang sudah saatnya dia mengambil kendali atau bahkan balas dendam atas apa yang dilakukan Alexa. "Jangan pernah berpikir bahwa aku melakukan ini karena cinta seperti yang kau harapkan. Kau tidak akan pernah mendapatkan hal itu dariku." Kevin mendekat dengan wajah paling me
"Aku tidak peduli dengan pendapatmu, pokoknya aku ingin bekerja lagi di perusahaan papa!" Kevin menggertakan giginya. Pagi-pagi sekali istrinya sudah membuat emosinya memuncak setelah meminta izin untuk bekerja. Yang jelas bukan sekedar bekerja, melainkan dengan tujuan ingin mengganti seluruh uang yang diinvestasikan Kevin ke perusahaan papanya. Jika semua uang itu sudah berhasil dikembalikan, maka semakin mudah bagi Alexa untuk bercerai. Kevin membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak! Dia tidak akan pernah membebaskan perempuan itu dari hidupnya. Karena itu dia menolak Alexa untuk bekerja apa pun alasannya. Dia berpikir Alexa adalah wanita lemah yang hanya bisa bergantung kepada dirinya. Dia tidak akan membiarkan wanita itu berdaya sehingga bisa melepaskan diri dari kehidupannya. Kevin belum cukup puas untuk menyiksa Alexa. "Jangan coba-coba melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri. Kau pikir aku akan membiarkannya?!" Baru saja membuka mulut untuk kembali merespon,
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menemukan pekerjaan bagaimanapun caranya?!" Hari ini Alexa kembali memaksa. Tak puas berdebat dengan suaminya sampai dia mendapatkan pekerjaan. Dia juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan informasi lowongan kerja dari tempat apa pun. Bahkan dia pernah tidur dalam semalam hanya karena ingin mendapatkan lowongan pekerjaan itu secepat mungkin, setidaknya sampai pada tahap interview. Kevin sama keras kepalanya, dia juga melakukan berbagai upaya untuk mengurung Alexa di rumah agar tidak mendapatkan pekerjaan apa pun di luar sana. Sama seperti yang terjadi pagi ini ketika Kevin menarik Alexa secara paksa untuk tetap berada di dalam kamar. Ini upaya yang kesekian kalinya, upaya yang sama dari beberapa hari yang lalu. "Kau tidak akan pernah keluar dari kamar ini. Dan kau tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan apa pun." Alexa memberanikan diri menatap Kevin dalam jarak dekat, walaupun hari itu kembali mengingatkannya pada sesuatu yang