"Aku tidak peduli dengan pendapatmu, pokoknya aku ingin bekerja lagi di perusahaan papa!" Kevin menggertakan giginya. Pagi-pagi sekali istrinya sudah membuat emosinya memuncak setelah meminta izin untuk bekerja. Yang jelas bukan sekedar bekerja, melainkan dengan tujuan ingin mengganti seluruh uang yang diinvestasikan Kevin ke perusahaan papanya. Jika semua uang itu sudah berhasil dikembalikan, maka semakin mudah bagi Alexa untuk bercerai. Kevin membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak! Dia tidak akan pernah membebaskan perempuan itu dari hidupnya. Karena itu dia menolak Alexa untuk bekerja apa pun alasannya. Dia berpikir Alexa adalah wanita lemah yang hanya bisa bergantung kepada dirinya. Dia tidak akan membiarkan wanita itu berdaya sehingga bisa melepaskan diri dari kehidupannya. Kevin belum cukup puas untuk menyiksa Alexa. "Jangan coba-coba melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri. Kau pikir aku akan membiarkannya?!" Baru saja membuka mulut untuk kembali merespon,
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menemukan pekerjaan bagaimanapun caranya?!" Hari ini Alexa kembali memaksa. Tak puas berdebat dengan suaminya sampai dia mendapatkan pekerjaan. Dia juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan informasi lowongan kerja dari tempat apa pun. Bahkan dia pernah tidur dalam semalam hanya karena ingin mendapatkan lowongan pekerjaan itu secepat mungkin, setidaknya sampai pada tahap interview. Kevin sama keras kepalanya, dia juga melakukan berbagai upaya untuk mengurung Alexa di rumah agar tidak mendapatkan pekerjaan apa pun di luar sana. Sama seperti yang terjadi pagi ini ketika Kevin menarik Alexa secara paksa untuk tetap berada di dalam kamar. Ini upaya yang kesekian kalinya, upaya yang sama dari beberapa hari yang lalu. "Kau tidak akan pernah keluar dari kamar ini. Dan kau tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan apa pun." Alexa memberanikan diri menatap Kevin dalam jarak dekat, walaupun hari itu kembali mengingatkannya pada sesuatu yang
Ruangan rapat yang besar, dengan jendela-jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk, telah dipersiapkan dengan sempurna. Semua kursi di sekitar meja oval panjang telah terisi oleh para eksekutif dan perwakilan dari dua perusahaan besar—perusahaan Kevin dan perusahaan milik keluarga Alexa. Alexa tiba lebih awal dari yang lain. Ia mengambil tempat di ujung meja, berusaha seprofesional mungkin dalam menghadapi pertemuan ini. Matanya yang teduh mengamati dokumen di depannya, namun pikirannya melayang. Ia sudah terbiasa dengan peranannya di perusahaan milik keluarganya, tetapi pertemuan ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tak ia duga.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Kevin masuk bersama Nora. Wajah Kevin tetap tenang, namun ada kilatan tajam di matanya yang dengan cepat disembunyikannya. Nora, seperti biasa, tampil memukau dengan pakaian yang rapi namun mencolok. Ia menggantungkan lengan di bahu Kevin, memaksa dirinya tampak akrab dan manja."Selamat pagi," s
Ruang pertemuan di lantai tiga gedung megah milik Bryan terasa sejuk oleh pendingin ruangan yang berhembus lembut. Di salah satu sisi meja pertemuan, Alexa tengah berdiskusi dengan Bryan. Mereka terlibat dalam obrolan yang tampaknya lebih dari sekadar urusan bisnis. Senyum Alexa yang biasanya profesional kini tampak lebih hangat, seakan menggambarkan kedekatan yang melampaui hubungan rekan kerja biasa.Bryan, putra seorang pengusaha sukses dengan kekayaan yang hampir setara dengan keluarga Kevin, adalah sosok yang tidak asing bagi Alexa. Mereka pernah berkuliah di universitas yang sama, dan meski waktu telah memisahkan mereka selama beberapa tahun, pertemuan ini seolah menghidupkan kembali kenangan masa lalu. Alexa, yang saat itu tengah mengajukan tender besar ke perusahaan Bryan, terlihat sangat akrab dengannya. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita-cerita lama, dan sesekali Bryan melemparkan pujian yang membuat Alexa tersipu.Kevin yang baru saja keluar dari ruangan milik Stevani s
Hujan turun deras di kota, menyelimuti jalanan dengan tirai air yang tak henti-hentinya. Kevin merasakan denyut kemarahan di dadanya ketika menunggu di depan kantor tempat Alexa bekerja. Mobilnya berhenti dengan mesin yang berdengung rendah, nyala lampu depan membias di permukaan jalan yang basah. Matanya tajam, seolah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang, namun kedamaian malam itu tersapu oleh gelombang emosi yang menggerogoti hatinya.Saat Alexa akhirnya keluar dari gedung, dia tampak basah kuyup, rambutnya lengket di dahi dan gaunnya menempel lembab di tubuhnya. Kevin berusaha menahan amarahnya, tapi semakin dia melihatnya, semakin membara perasaan di dalam dirinya. Alexa membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang tanpa sepatah kata pun. Kevin menatapnya dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya dia memutar kunci kontak dan mobil meluncur di tengah hujan yang semakin deras.Sejak awal perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hambar. Kevin menyesap setiap suara raungan ban
Pagi itu, suara hujan yang masih tersisa terdengar samar di luar jendela, menyisakan aroma tanah basah yang menyeruak masuk ke dalam kamar. Kevin duduk di tepi ranjang, menatap Alexa yang terbaring lemah di bawah selimut tebal. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit bergetar menahan dingin, dan napasnya terdengar berat. Di bawah matanya yang terpejam, lingkaran hitam tampak jelas, menandakan betapa tubuhnya lelah dan sakit.Kevin merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan menggeliat dalam dadanya. Rasa bersalah itu menggigit, seperti duri tajam yang menancap di hati, semakin dalam dengan setiap detik yang berlalu. Dia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari keegoisannya semalam. Hujan yang tak berhenti, amarah yang tak terkontrol, dan keputusan yang dipenuhi gengsi telah membuat Alexa terjebak dalam dinginnya malam. Dia teringat dengan jelas bagaimana Alexa berdiri di tengah hujan, basah kuyup dan gemetar, saat dia menurunkannya dari mobil dengan hati yang penuh kemarahan.Setelah kembali dar
Tegangan menggantung di udara saat Alexa bersiap kembali bekerja. Tubuhnya masih lemah, tetapi semangatnya untuk menghadiri pertemuan penting dengan Bryan tak tergoyahkan. "Kevin, aku harus pergi. Ini sangat penting," ujarnya tegas. Namun, Kevin yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kecemasan, berusaha menahan keinginan istrinya. "Lihat dirimu, Alexa. Kau masih pucat. Aku tidak ingin kesehatanmu memburuk," ucapnya penuh kekhawatiran.Tekad di mata Alexa tampak berkobar. Dia mencoba melewati Kevin, namun Kevin dengan cepat mencegahnya. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dalam keadaan seperti ini," kata Kevin, suaranya meninggi karena frustrasi. Dalam gerakan cepat, Kevin mengangkat Alexa yang berontak, berusaha melepaskan diri, dan membawanya kembali ke kamar. Alexa memukul dada Kevin dengan kedua tangan, suaranya bergetar penuh emosi, "Lepaskan aku, Kevin! Aku harus ke sana!"Dengan berat hati, Kevin mengunci pintu kamar, memastikan Alexa tidak akan pergi dalam keadaan sakit
Nora merasa bingung ketika mendapati Kevin tidak berada di kantor. Kepanikan melanda hatinya. Dia segera bergegas ke rumah Kevin, mengetuk pintu dengan cemas. Ketika Kevin membuka pintu, Nora langsung memeluknya erat, suaranya terdengar panik, "Kevin, apa kamu sakit? Kenapa kamu tidak masuk kerja? Aku sangat khawatir."Kevin, yang terkejut dengan kedatangan mendadak Nora, mencoba menenangkannya. "Aku baik-baik saja, Nora. Yang sakit itu Alexa, bukan aku," jelas Kevin lembut, berusaha melepaskan pelukan Nora yang masih erat.Mata Nora tetap menatap Kevin penuh kekhawatiran. "Tapi, kenapa kamu sampai tidak masuk kerja? Apa ini permintaan Alexa?"Kevin menghela napas panjang. "Tidak, ini keputusanku sendiri. Alexa masih istriku, dan aku harus ada di sini untuknya," jawab Kevin dengan nada tegas, meski ada sedikit rasa bersalah di dalamnya.Nora menunduk, mencerna situasi yang dihadapinya. Emosi bercampur aduk dalam dirinya—kekhawatiran, cemburu, dan juga rasa lega karena Kevin sebenarnya