Hujan turun deras di kota, menyelimuti jalanan dengan tirai air yang tak henti-hentinya. Kevin merasakan denyut kemarahan di dadanya ketika menunggu di depan kantor tempat Alexa bekerja. Mobilnya berhenti dengan mesin yang berdengung rendah, nyala lampu depan membias di permukaan jalan yang basah. Matanya tajam, seolah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang, namun kedamaian malam itu tersapu oleh gelombang emosi yang menggerogoti hatinya.Saat Alexa akhirnya keluar dari gedung, dia tampak basah kuyup, rambutnya lengket di dahi dan gaunnya menempel lembab di tubuhnya. Kevin berusaha menahan amarahnya, tapi semakin dia melihatnya, semakin membara perasaan di dalam dirinya. Alexa membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang tanpa sepatah kata pun. Kevin menatapnya dengan tatapan tajam, sebelum akhirnya dia memutar kunci kontak dan mobil meluncur di tengah hujan yang semakin deras.Sejak awal perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hambar. Kevin menyesap setiap suara raungan ban
Pagi itu, suara hujan yang masih tersisa terdengar samar di luar jendela, menyisakan aroma tanah basah yang menyeruak masuk ke dalam kamar. Kevin duduk di tepi ranjang, menatap Alexa yang terbaring lemah di bawah selimut tebal. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit bergetar menahan dingin, dan napasnya terdengar berat. Di bawah matanya yang terpejam, lingkaran hitam tampak jelas, menandakan betapa tubuhnya lelah dan sakit.Kevin merasakan sesuatu yang sulit diungkapkan menggeliat dalam dadanya. Rasa bersalah itu menggigit, seperti duri tajam yang menancap di hati, semakin dalam dengan setiap detik yang berlalu. Dia tahu bahwa semua ini adalah akibat dari keegoisannya semalam. Hujan yang tak berhenti, amarah yang tak terkontrol, dan keputusan yang dipenuhi gengsi telah membuat Alexa terjebak dalam dinginnya malam. Dia teringat dengan jelas bagaimana Alexa berdiri di tengah hujan, basah kuyup dan gemetar, saat dia menurunkannya dari mobil dengan hati yang penuh kemarahan.Setelah kembali dar
Tegangan menggantung di udara saat Alexa bersiap kembali bekerja. Tubuhnya masih lemah, tetapi semangatnya untuk menghadiri pertemuan penting dengan Bryan tak tergoyahkan. "Kevin, aku harus pergi. Ini sangat penting," ujarnya tegas. Namun, Kevin yang berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kecemasan, berusaha menahan keinginan istrinya. "Lihat dirimu, Alexa. Kau masih pucat. Aku tidak ingin kesehatanmu memburuk," ucapnya penuh kekhawatiran.Tekad di mata Alexa tampak berkobar. Dia mencoba melewati Kevin, namun Kevin dengan cepat mencegahnya. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dalam keadaan seperti ini," kata Kevin, suaranya meninggi karena frustrasi. Dalam gerakan cepat, Kevin mengangkat Alexa yang berontak, berusaha melepaskan diri, dan membawanya kembali ke kamar. Alexa memukul dada Kevin dengan kedua tangan, suaranya bergetar penuh emosi, "Lepaskan aku, Kevin! Aku harus ke sana!"Dengan berat hati, Kevin mengunci pintu kamar, memastikan Alexa tidak akan pergi dalam keadaan sakit
Nora merasa bingung ketika mendapati Kevin tidak berada di kantor. Kepanikan melanda hatinya. Dia segera bergegas ke rumah Kevin, mengetuk pintu dengan cemas. Ketika Kevin membuka pintu, Nora langsung memeluknya erat, suaranya terdengar panik, "Kevin, apa kamu sakit? Kenapa kamu tidak masuk kerja? Aku sangat khawatir."Kevin, yang terkejut dengan kedatangan mendadak Nora, mencoba menenangkannya. "Aku baik-baik saja, Nora. Yang sakit itu Alexa, bukan aku," jelas Kevin lembut, berusaha melepaskan pelukan Nora yang masih erat.Mata Nora tetap menatap Kevin penuh kekhawatiran. "Tapi, kenapa kamu sampai tidak masuk kerja? Apa ini permintaan Alexa?"Kevin menghela napas panjang. "Tidak, ini keputusanku sendiri. Alexa masih istriku, dan aku harus ada di sini untuknya," jawab Kevin dengan nada tegas, meski ada sedikit rasa bersalah di dalamnya.Nora menunduk, mencerna situasi yang dihadapinya. Emosi bercampur aduk dalam dirinya—kekhawatiran, cemburu, dan juga rasa lega karena Kevin sebenarnya
Kevin memutuskan untuk tidak masuk kantor hari itu. Pikirannya dipenuhi kegelisahan, terutama mengingat kondisi Alexa yang semakin lemah. Mereka telah melalui begitu banyak konflik, dan meskipun hubungan mereka masih tegang, Kevin merasa perlu memastikan bahwa Alexa baik-baik saja. Kedua orang tuanya akan datang berkunjung hari itu, dan dia tidak bisa menahan rasa takut jika Alexa mungkin akan menceritakan tentang kegugurannya. Kevin belum siap untuk menghadapi pertanyaan dan kekecewaan mereka. Dia berharap bisa menunda kenyataan pahit itu, setidaknya sampai Alexa hamil kembali.Setelah berkeliling beberapa putaran dengan mobilnya, mencoba meredakan kegelisahannya, Kevin akhirnya memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, dia menemukan Alexa duduk di ruang tamu. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menunjukkan betapa lelah dan stresnya dia. Tatapannya kosong, seolah-olah dia terjebak dalam pikirannya sendiri. Melihat kondisi Alexa seperti itu membuat hati K
Nora duduk di sudut kamarnya dengan wajah tegang. Di tangannya, ponselnya bergetar, menampilkan pesan terakhir yang baru saja ia kirimkan kepada Kevin. Jemarinya masih gemetar setelah mengetik ancaman yang selama ini hanya ada di pikirannya. Rasa kecewa dan marah yang telah lama terpendam mendesaknya untuk mengirimkan pesan itu. Ia ingin Kevin bertemu dengannya malam ini, tanpa alasan.Di sisi lain, Kevin membaca pesan dari Nora dengan hati yang berdebar. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, dan ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Nora, jangan macam-macam. Di rumah aku sekarang ada Papa dan Mama aku. Kalau kamu nekat datang, aku ga akan segan-segan menarik semua kartu milikku dan aku tak akan pernah lagi menemui dirimu," balas Kevin dengan suara yang bergetar. Ia berusaha terdengar tegas, tapi ketakutan merayapi hatinya. Ancaman Nora kali ini terasa berbeda, lebih berbahaya.Nora mendengus keras ketika membaca balasan dari Kevin. Air mata mulai menggenang di sudut matanya,
Mata Ibu Kevin berkerut sejenak, mencoba membaca kejujuran dari raut wajah anaknya. Dalam hatinya, ada perasaan ganjil yang mulai merayapi dirinya. Dia telah melihat cukup banyak dari kehidupan ini untuk mengenali tanda-tanda ketika sesuatu tidak beres. Namun, Kevin, anak yang selalu dia banggakan, adalah sosok yang sulit dibaca. Mata Kevin tampak tenang, namun ibu mana yang tak mengenali getaran tak terlihat di balik ketenangan itu? Meski begitu, dengan hati yang dipenuhi cinta dan kepercayaan, Ibu Kevin mencoba mempercayai kata-kata putranya.Kevin, yang tahu betul bahwa ibunya tak mudah dibodohi, mencoba menjaga ketenangannya. Dia menggenggam tangan ibunya, berharap sentuhan lembut itu bisa menenangkan kecurigaan yang muncul. "Percaya pada Kevin, Mama. Nora hanya teman, tidak lebih," ucapnya dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Hatinya berdebar-debar, namun wajahnya tetap tak menunjukkan tanda-tanda kegelisahan.Di luar, langit mulai berubah warna, dari biru yang cerah menja
"Pagi, Mah," sapa Alexa."Pagi, sayang. Bagaimana kondisimu?" tanya Ibu Kevin dengan penuh perhatian.Alexa tersenyum dan menjawab bahwa dirinya sudah merasa jauh lebih baik. Dia memutuskan untuk kembali bekerja hari ini, tak ingin berlama-lama libur di rumah."Oh iya, Kevin! Papa dan Mama akan tinggal di rumah kalian sampai acara ulang tahun pernikahan kami selesai. Kalian tidak keberatan, kan?" ujar Papa Kevin, menatap keduanya. Kevin melirik Alexa, yang membalasnya dengan senyuman, sama seperti dirinya."Kami tidak keberatan sama sekali, Pa," jawab Kevin sambil tersenyum."Syukurlah. Papa dan Mama ingin mengadakan pesta pernikahan kami di rumah kalian. Papa juga ingin mengundang beberapa kolega bisnis dan teman-teman kami," lanjut Papa Kevin."Tak masalah, Pa. Papa dan Mama atur saja yang terbaik. Kami ikut, bukan begitu, sayang?" Kevin berkata sambil menatap Alexa.Tersentak oleh panggilan mesra dari Kevin, Alexa terbatuk-batuk. Meski dia tahu semua ini hanya sandiwara, tetap saja