Nora merasa bingung ketika mendapati Kevin tidak berada di kantor. Kepanikan melanda hatinya. Dia segera bergegas ke rumah Kevin, mengetuk pintu dengan cemas. Ketika Kevin membuka pintu, Nora langsung memeluknya erat, suaranya terdengar panik, "Kevin, apa kamu sakit? Kenapa kamu tidak masuk kerja? Aku sangat khawatir."Kevin, yang terkejut dengan kedatangan mendadak Nora, mencoba menenangkannya. "Aku baik-baik saja, Nora. Yang sakit itu Alexa, bukan aku," jelas Kevin lembut, berusaha melepaskan pelukan Nora yang masih erat.Mata Nora tetap menatap Kevin penuh kekhawatiran. "Tapi, kenapa kamu sampai tidak masuk kerja? Apa ini permintaan Alexa?"Kevin menghela napas panjang. "Tidak, ini keputusanku sendiri. Alexa masih istriku, dan aku harus ada di sini untuknya," jawab Kevin dengan nada tegas, meski ada sedikit rasa bersalah di dalamnya.Nora menunduk, mencerna situasi yang dihadapinya. Emosi bercampur aduk dalam dirinya—kekhawatiran, cemburu, dan juga rasa lega karena Kevin sebenarnya
Kevin memutuskan untuk tidak masuk kantor hari itu. Pikirannya dipenuhi kegelisahan, terutama mengingat kondisi Alexa yang semakin lemah. Mereka telah melalui begitu banyak konflik, dan meskipun hubungan mereka masih tegang, Kevin merasa perlu memastikan bahwa Alexa baik-baik saja. Kedua orang tuanya akan datang berkunjung hari itu, dan dia tidak bisa menahan rasa takut jika Alexa mungkin akan menceritakan tentang kegugurannya. Kevin belum siap untuk menghadapi pertanyaan dan kekecewaan mereka. Dia berharap bisa menunda kenyataan pahit itu, setidaknya sampai Alexa hamil kembali.Setelah berkeliling beberapa putaran dengan mobilnya, mencoba meredakan kegelisahannya, Kevin akhirnya memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, dia menemukan Alexa duduk di ruang tamu. Wajahnya pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang menunjukkan betapa lelah dan stresnya dia. Tatapannya kosong, seolah-olah dia terjebak dalam pikirannya sendiri. Melihat kondisi Alexa seperti itu membuat hati K
Nora duduk di sudut kamarnya dengan wajah tegang. Di tangannya, ponselnya bergetar, menampilkan pesan terakhir yang baru saja ia kirimkan kepada Kevin. Jemarinya masih gemetar setelah mengetik ancaman yang selama ini hanya ada di pikirannya. Rasa kecewa dan marah yang telah lama terpendam mendesaknya untuk mengirimkan pesan itu. Ia ingin Kevin bertemu dengannya malam ini, tanpa alasan.Di sisi lain, Kevin membaca pesan dari Nora dengan hati yang berdebar. Tatapannya tertuju pada layar ponsel, dan ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Nora, jangan macam-macam. Di rumah aku sekarang ada Papa dan Mama aku. Kalau kamu nekat datang, aku ga akan segan-segan menarik semua kartu milikku dan aku tak akan pernah lagi menemui dirimu," balas Kevin dengan suara yang bergetar. Ia berusaha terdengar tegas, tapi ketakutan merayapi hatinya. Ancaman Nora kali ini terasa berbeda, lebih berbahaya.Nora mendengus keras ketika membaca balasan dari Kevin. Air mata mulai menggenang di sudut matanya,
Mata Ibu Kevin berkerut sejenak, mencoba membaca kejujuran dari raut wajah anaknya. Dalam hatinya, ada perasaan ganjil yang mulai merayapi dirinya. Dia telah melihat cukup banyak dari kehidupan ini untuk mengenali tanda-tanda ketika sesuatu tidak beres. Namun, Kevin, anak yang selalu dia banggakan, adalah sosok yang sulit dibaca. Mata Kevin tampak tenang, namun ibu mana yang tak mengenali getaran tak terlihat di balik ketenangan itu? Meski begitu, dengan hati yang dipenuhi cinta dan kepercayaan, Ibu Kevin mencoba mempercayai kata-kata putranya.Kevin, yang tahu betul bahwa ibunya tak mudah dibodohi, mencoba menjaga ketenangannya. Dia menggenggam tangan ibunya, berharap sentuhan lembut itu bisa menenangkan kecurigaan yang muncul. "Percaya pada Kevin, Mama. Nora hanya teman, tidak lebih," ucapnya dengan suara yang dibuat selembut mungkin. Hatinya berdebar-debar, namun wajahnya tetap tak menunjukkan tanda-tanda kegelisahan.Di luar, langit mulai berubah warna, dari biru yang cerah menja
"Pagi, Mah," sapa Alexa."Pagi, sayang. Bagaimana kondisimu?" tanya Ibu Kevin dengan penuh perhatian.Alexa tersenyum dan menjawab bahwa dirinya sudah merasa jauh lebih baik. Dia memutuskan untuk kembali bekerja hari ini, tak ingin berlama-lama libur di rumah."Oh iya, Kevin! Papa dan Mama akan tinggal di rumah kalian sampai acara ulang tahun pernikahan kami selesai. Kalian tidak keberatan, kan?" ujar Papa Kevin, menatap keduanya. Kevin melirik Alexa, yang membalasnya dengan senyuman, sama seperti dirinya."Kami tidak keberatan sama sekali, Pa," jawab Kevin sambil tersenyum."Syukurlah. Papa dan Mama ingin mengadakan pesta pernikahan kami di rumah kalian. Papa juga ingin mengundang beberapa kolega bisnis dan teman-teman kami," lanjut Papa Kevin."Tak masalah, Pa. Papa dan Mama atur saja yang terbaik. Kami ikut, bukan begitu, sayang?" Kevin berkata sambil menatap Alexa.Tersentak oleh panggilan mesra dari Kevin, Alexa terbatuk-batuk. Meski dia tahu semua ini hanya sandiwara, tetap saja
Setelah tiba di pusat perbelanjaan, ibu Kevin langsung melangkah dengan penuh semangat menuju sebuah butik mewah yang berkilauan dengan cahaya lampu kristal. "Mama sudah lama sekali ingin membawa kamu ke sini, Alexa. Ada beberapa gaun yang Mama yakin akan sangat cocok untukmu," katanya dengan senyum lebar yang tak pernah pudar.Alexa hanya bisa mengangguk dan mengikuti dengan pasrah, merasa seperti seorang boneka yang digerakkan oleh tangan-tangan tak terlihat. Dalam benaknya, waktu seolah merangkak pelan, seakan mengejek keinginannya untuk segera kembali ke kantor ayahnya, tempat di mana dia merasa masih memiliki kendali atas hidupnya."Alexa sayang, coba kemari. Coba lihat ini, menurut kamu cantik, kan sayang?" Ibu Kevin memanggilnya, memegang sebuah gaun anggun yang tergantung di depan mereka.Dengan senyum yang dipaksakan, Alexa mendekat dan menyentuh kain dress itu. Teksturnya lembut dan berkilau di bawah cahaya, memancarkan keanggunan dan keindahan yang hanya bisa ditemukan dala
Setelah meninggalkan pusat perbelanjaan, Alexa dan ibu mertuanya duduk diam di dalam mobil yang melaju perlahan menembus kemacetan kota. Ibu Kevin terus saja bercerita dengan semangat tentang gaun yang baru saja mereka beli, tentang betapa cantiknya Alexa akan terlihat saat mengenakannya, dan tentang masa depan cucu yang dia idamkan. Namun, di tengah kata-kata hangat itu, ibu Kevin menyadari sesuatu yang berbeda pada menantunya.Alexa duduk diam, memandang keluar jendela dengan mata yang tampak kosong. Walaupun sesekali tersenyum dan mengangguk sebagai respons, ada sesuatu dalam tatapan Alexa yang membuat ibu mertuanya merasa tak nyaman—seperti ada duka yang dalam yang tak bisa disembunyikan sepenuhnya.Ketika mobil tiba di persimpangan yang lebih sepi, ibu Kevin meletakkan tangannya dengan lembut di atas tangan Alexa. "Alexa, sayang... apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan? Mama bisa melihat ada sesuatu yang mengganggu hatimu."Alexa tersentak sedikit oleh sentuhan itu, lalu berus
Kevin sedang menunggu rapat hari itu, namun pikirannya tak bisa tenang. Ia khawatir jika Alexia menceritakan kegugurannya kepada mama. Kevin tak ingin membuat kedua orang tuanya kecewa, terutama mamanya, yang sangat menginginkan seorang cucu. Perceraian dengan Alexia bukanlah pilihan; bukan hanya karena nama baik keluarga, tetapi juga karena reputasi perusahaan yang akan hancur jika berita perceraian ini tersebar, apalagi pernikahan mereka baru seumur jagung. Kevin bertekad untuk tetap bertahan dengan Alexia, berapa lama pun itu.Di sisi lain, perasaannya terhadap Nora kini mulai berubah. Bukan berarti dia tidak mencintai Nora lagi, tapi akhir-akhir ini Kevin merasa enggan untuk merajut kembali hubungan asmara dengan Nora, mungkin karena banyaknya masalah yang dihadapinya saat ini.Tiba-tiba, ponsel Kevin berdering. Ternyata Nora yang menghubunginya."Halo, Kevin. Kamu ada di mana?" tanya Nora."Aku di kantor, sedang menunggu rapat. Ada apa, Nora?""Kevin, aku ingin bertemu denganmu.