Kevin kembali mengunjungi Nora di apartemennya. Seperti biasa, Nora tersenyum dan merasa senang melihat Kevin masih peduli padanya. Kevin meletakkan buah-buahan yang dia beli di meja dapur. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kevin sambil melihat beberapa bagian tubuh Nora yang terluka akibat kecelakaan itu. Ternyata lukanya sudah kering. Nora mengerutkan kening begitu dia menyadari bahwa Kevin tidak begitu bersemangat. Dia tampak murung, namun di satu sisi juga terlihat marah. "Ada sesuatu yang sudah kulewatkan?" Kevin mengangkat kepalanya kemudian menggeleng lemah. Pikirannya tidak bisa jauh dari Alexa di saat seperti ini. "Alexa keguguran." Nora yang mendengar hal itu hanya bisa terpaku. Ada sesuatu dalam hati kecilnya yang merasa senang. Kalau keadaannya sudah begini, maka semakin mudah baginya untuk merebut Kevin dari Alexa. Lagi pula Kevin sepertinya juga sudah tidak punya alasan untuk mempertahankan perempuan itu dalam hidupnya. "Astaga, aku turut prihatin." Nora
Alexa menunduk, menghapus air mata yang mengalir di pipinya saat Kevin mengemudi dengan penuh amarah. Keputusan yang diambilnya memang berat, namun reaksi Kevin jauh lebih kejam dari yang dibayangkannya. Alexa mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk lepas dari Kevin tanpa menimbulkan keributan lebih lanjut. Setibanya di rumah, Kevin menarik Alexa keluar dari mobil dengan kasar. “Masuk!” perintahnya dengan nada penuh kemarahan. Alexa mengikuti dengan tubuh gemetar, berusaha menahan rasa takut yang semakin mendalam. “Dengar, Kevin. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Kau harus melepaskanku. Kita berdua akan lebih bahagia jika berpisah,” Alexa berusaha bersuara tegas meski suaranya bergetar. “Diam! Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja!” teriak Kevin. “Kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan membiarkanmu hidup dengan tenang?” Alexa merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Kevin bisa sangat berbahaya saat marah. Namun, tekadnya untuk hidup bebas dari Kevin
Alexa sudah terjaga sejak dini hari, pikirannya berputar-putar memikirkan satu keputusan besar yang sudah diambilnya semalam. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan, pekerjaan yang bisa membantunya mengembalikan semua uang Kevin yang sudah diinvestasikan ke perusahaan ayahnya. Setelah itu, ia akan mengajukan gugatan cerai. Ia tidak ingin terus hidup dalam kebohongan, berpura-pura bahagia sementara hatinya penuh luka.Kali ini, Alexa tidak akan menyerah begitu saja. Ia bangkit dari tempat tidurnya, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah menuju meja rias di kamar tidurnya. Wajahnya yang cantik terlihat tegas di cermin. Mata cokelatnya yang biasanya lembut kini tampak penuh tekad. Ia berbisik pada bayangannya sendiri, "Aku bisa melakukan ini. Aku harus melakukan ini."Pagi itu, saat sang Papa menikmati sarapan paginya, Alexa yang baru turun dari kamar langsung mencarinya. Di sana, dia akan mengutarakan keinginannya."Pagi, Papa! Aku ingin kembali bekerja di perusahaan, Papa. Aku merasa
Kevin tahu bahwa cengkraman tangannya membuat perempuan itu merasa sakit. Tanpa belas kasihan sama sekali, dia menghempaskan tubuh perempuan itu di atas ranjang begitu mereka sampai di rumah. Alexa meringis sakit dan menatap pergelangan tangannya yang kini sudah memerah. Ia tak bisa menahan air matanya begitu menyadari betapa kasarnya lelaki itu, sikap yang tidak pernah diharapkan sama sekali. Mata Kevin sudah memerah. Rasanya sudah seperti satu abad dia menahan amarah hanya karena permintaan cerai dari perempuan itu. Jika perceraian itu sampai terjadi, maka hidupnya benar-benar akan semakin tidak karuan. Karena sejak awal dia sendiri sudah merasa bahwa perempuan ini sudah menghancurkan seluruh hidupnya. Mungkin memang sudah saatnya dia mengambil kendali atau bahkan balas dendam atas apa yang dilakukan Alexa. "Jangan pernah berpikir bahwa aku melakukan ini karena cinta seperti yang kau harapkan. Kau tidak akan pernah mendapatkan hal itu dariku." Kevin mendekat dengan wajah paling me
"Aku tidak peduli dengan pendapatmu, pokoknya aku ingin bekerja lagi di perusahaan papa!" Kevin menggertakan giginya. Pagi-pagi sekali istrinya sudah membuat emosinya memuncak setelah meminta izin untuk bekerja. Yang jelas bukan sekedar bekerja, melainkan dengan tujuan ingin mengganti seluruh uang yang diinvestasikan Kevin ke perusahaan papanya. Jika semua uang itu sudah berhasil dikembalikan, maka semakin mudah bagi Alexa untuk bercerai. Kevin membiarkan hal ini terjadi? Tentu saja tidak! Dia tidak akan pernah membebaskan perempuan itu dari hidupnya. Karena itu dia menolak Alexa untuk bekerja apa pun alasannya. Dia berpikir Alexa adalah wanita lemah yang hanya bisa bergantung kepada dirinya. Dia tidak akan membiarkan wanita itu berdaya sehingga bisa melepaskan diri dari kehidupannya. Kevin belum cukup puas untuk menyiksa Alexa. "Jangan coba-coba melakukan sesuatu yang membahayakan dirimu sendiri. Kau pikir aku akan membiarkannya?!" Baru saja membuka mulut untuk kembali merespon,
"Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan menemukan pekerjaan bagaimanapun caranya?!" Hari ini Alexa kembali memaksa. Tak puas berdebat dengan suaminya sampai dia mendapatkan pekerjaan. Dia juga sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan informasi lowongan kerja dari tempat apa pun. Bahkan dia pernah tidur dalam semalam hanya karena ingin mendapatkan lowongan pekerjaan itu secepat mungkin, setidaknya sampai pada tahap interview. Kevin sama keras kepalanya, dia juga melakukan berbagai upaya untuk mengurung Alexa di rumah agar tidak mendapatkan pekerjaan apa pun di luar sana. Sama seperti yang terjadi pagi ini ketika Kevin menarik Alexa secara paksa untuk tetap berada di dalam kamar. Ini upaya yang kesekian kalinya, upaya yang sama dari beberapa hari yang lalu. "Kau tidak akan pernah keluar dari kamar ini. Dan kau tidak akan pernah mendapatkan pekerjaan apa pun." Alexa memberanikan diri menatap Kevin dalam jarak dekat, walaupun hari itu kembali mengingatkannya pada sesuatu yang
Ruangan rapat yang besar, dengan jendela-jendela lebar yang menampilkan pemandangan kota yang sibuk, telah dipersiapkan dengan sempurna. Semua kursi di sekitar meja oval panjang telah terisi oleh para eksekutif dan perwakilan dari dua perusahaan besar—perusahaan Kevin dan perusahaan milik keluarga Alexa. Alexa tiba lebih awal dari yang lain. Ia mengambil tempat di ujung meja, berusaha seprofesional mungkin dalam menghadapi pertemuan ini. Matanya yang teduh mengamati dokumen di depannya, namun pikirannya melayang. Ia sudah terbiasa dengan peranannya di perusahaan milik keluarganya, tetapi pertemuan ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang tak ia duga.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Kevin masuk bersama Nora. Wajah Kevin tetap tenang, namun ada kilatan tajam di matanya yang dengan cepat disembunyikannya. Nora, seperti biasa, tampil memukau dengan pakaian yang rapi namun mencolok. Ia menggantungkan lengan di bahu Kevin, memaksa dirinya tampak akrab dan manja."Selamat pagi," s
Ruang pertemuan di lantai tiga gedung megah milik Bryan terasa sejuk oleh pendingin ruangan yang berhembus lembut. Di salah satu sisi meja pertemuan, Alexa tengah berdiskusi dengan Bryan. Mereka terlibat dalam obrolan yang tampaknya lebih dari sekadar urusan bisnis. Senyum Alexa yang biasanya profesional kini tampak lebih hangat, seakan menggambarkan kedekatan yang melampaui hubungan rekan kerja biasa.Bryan, putra seorang pengusaha sukses dengan kekayaan yang hampir setara dengan keluarga Kevin, adalah sosok yang tidak asing bagi Alexa. Mereka pernah berkuliah di universitas yang sama, dan meski waktu telah memisahkan mereka selama beberapa tahun, pertemuan ini seolah menghidupkan kembali kenangan masa lalu. Alexa, yang saat itu tengah mengajukan tender besar ke perusahaan Bryan, terlihat sangat akrab dengannya. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita-cerita lama, dan sesekali Bryan melemparkan pujian yang membuat Alexa tersipu.Kevin yang baru saja keluar dari ruangan milik Stevani s
Setelah kejadian malam itu, Gina dan Kevin merasa ada sesuatu yang berubah dalam hubungan mereka. Bukan dalam bentuk jarak, tetapi sebaliknya—perasaan saling pengertian dan kedekatan yang lebih mendalam. Gina, yang semula dibelenggu oleh kecurigaan dan rasa cemburu, kini merasa lega. Kevin, di sisi lain, merasakan beban yang terangkat karena tidak lagi harus menyembunyikan rencana kejutan untuk ulang tahun istrinya.Beberapa hari kemudian, ulang tahun Gina tiba. Kevin sudah merencanakan acara kejutan kecil di rumah mereka. Sejak insiden di mana Gina mengetahui tentang kalung berlian itu, Kevin berusaha memberikan lebih banyak perhatian. Ia pulang lebih awal, membantu di rumah, dan sering kali memastikan mereka memiliki waktu berkualitas bersama, meski hanya sekadar menonton film atau berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka. Gina pun mulai merasa lebih tenang dan percaya pada Kevin, berusaha membuang jauh-jauh rasa cemburu yang sempat mengganggunya.Malam ulang tahun Gina dimulai d
Beberapa hari kemudian, Gina merencanakan untuk mengikuti Kevin. Ia telah mengumpulkan cukup keberanian, dan perasaan curiga yang membebani pikirannya semakin sulit diabaikan. Malam itu, Gina mengatur alarm di ponselnya dengan pelan, lalu menunggu saat Kevin pulang terlambat seperti biasanya. Ketika Kevin akhirnya tiba di rumah, ia tampak lelah seperti biasa, menjelaskan bahwa rapat berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan.Gina berusaha menahan diri, pura-pura tersenyum dan memberikan pelukan hangat. Namun, pikirannya sudah penuh dengan rencana. Ia bertekad untuk mencari tahu apakah ada sesuatu yang lebih dari sekadar "proyek kerja" antara Kevin dan Karla.Keesokan harinya, Gina mengamati Kevin dengan cermat saat ia bersiap-siap pergi ke kantor. Sesaat setelah Kevin keluar dari rumah, Gina segera menyusul, memastikan jaraknya cukup jauh sehingga Kevin tidak akan menyadari bahwa ia sedang diikuti. Jantungnya berdebar kencang sepanjang perjalanan. Gina mencoba menenangkan diri, me
Malam itu, meski Kevin sudah berusaha meyakinkannya, Gina masih tak bisa sepenuhnya mengusir rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Setelah Kevin tertidur di sampingnya, Gina terjaga dalam kegelapan, pikirannya terus memutar ulang percakapan mereka. Hatinya gelisah. Sesuatu di balik senyum ramah Karla dan reaksi Kevin yang canggung saat melihatnya di kafe tidak bisa ia abaikan.Beberapa hari berlalu, dan Gina mulai memperhatikan perubahan kecil dalam perilaku Kevin. Ia menjadi lebih sering pulang terlambat, selalu dengan alasan pekerjaan atau rapat mendadak. Setiap kali Gina mencoba mengajak Kevin berbicara tentang perasaannya, Kevin akan menjawabnya dengan nada lembut namun penuh penjelasan logis, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Namun, semakin banyak Kevin beralasan, semakin Gina merasa dirinya diabaikan.Suatu malam, ketika Kevin kembali terlambat lagi, Gina memutuskan untuk mengambil tindakan. Ia tidak bisa lagi duduk diam dan menunggu sesuatu terjadi. Setelah anak-anak ti
Gina tidak langsung mendekati Kevin dan Karla. Ia berdiri dari kejauhan, memperhatikan suaminya tertawa lepas dengan wanita lain—wanita dari masa lalunya. Hati Gina berdebar keras, sementara pikirannya dipenuhi berbagai pikiran yang berkecamuk. Ia tahu, sebagai seorang istri, Kevin selalu jujur padanya, dan Gina berusaha untuk mempercayai suaminya. Tapi melihat kedekatan Kevin dengan Karla membuat hatinya tak tenang. Gina menggenggam erat tasnya, mencoba meredam emosi yang mulai naik.Saat Gina akan berbalik pergi, tanpa disadari, tatapan Kevin tertuju padanya. Wajahnya berubah seketika—senyum yang tadi mengembang kini tergantikan oleh keterkejutan. Karla, yang menyadari perubahan ekspresi Kevin, mengikuti arah pandangannya dan juga melihat Gina."Hei, Gina?" sapa Kevin dengan nada ragu. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Gina berusaha tersenyum meski hatinya tak menentu. "Aku hanya mampir sebentar untuk mengejutkanmu, mungkin kita bisa makan siang bersama," katanya pelan, mencoba terde
Kehidupan Kevin dan Gina setelah liburan di desa berjalan kembali ke ritme kota besar. Kevin tenggelam dalam pekerjaannya sebagai eksekutif di perusahaan besar, sementara Gina sibuk mengurus Keiva dan Keanu serta menjalankan bisnis kecil yang ia mulai dari rumah. Mereka masih sering mengenang momen indah di desa, dan meski topik tentang anak ketiga jarang dibicarakan lagi, Kevin tidak pernah benar-benar melupakannya.Suatu sore, saat Gina sedang menyiapkan makan malam, Kevin tiba-tiba menerima telepon dari perusahaannya. Ada proyek besar yang memerlukan perhatiannya, dan rapat mendadak dijadwalkan. "Gina, aku harus ke kantor sebentar, ada rapat penting yang harus kuhadiri," katanya sambil mengambil jasnya."Rapat lagi?" tanya Gina sedikit kecewa, tapi ia tahu pekerjaan Kevin memang selalu menuntut. "Baiklah, tapi jangan pulang terlalu larut ya."Kevin tersenyum dan mencium keningnya sebelum berangkat. "Aku akan segera pulang. Aku janji."Di kantor, Kevin disambut dengan atmosfer yang
Kevin dan Gina memutuskan untuk menghabiskan liburan mereka bersama kedua anak mereka, Keiva dan Keanu, di sebuah desa kecil yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota. Desa itu terletak di kaki gunung, dengan pemandangan yang menakjubkan dan udara yang sejuk. Bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk melepas penat, bersantai, dan menikmati kebersamaan sebagai keluarga. Hari pertama di desa dimulai dengan sarapan yang sederhana namun lezat. Gina memasak roti panggang dengan selai buatan sendiri, sementara Kevin sibuk membantu Keiva dan Keanu bersiap-siap untuk berjalan-jalan. Keiva, yang kini berusia lima tahun, sangat antusias untuk menjelajahi desa dan melihat hewan-hewan di peternakan terdekat. Keanu, yang baru berusia satu tahun, juga tampak senang meskipun ia belum mengerti banyak tentang petualangan yang menunggu. Pagi itu, mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga liar. Kevin menggandeng tangan Keiva, sementara Gina menggendong Keanu yang terus tertawa melihat ku
Pernikahan kedua Kevin dan Gina yang sederhana namun penuh makna benar-benar menjadi awal baru bagi mereka. Setelah bertahun-tahun menghadapi berbagai ujian, mereka akhirnya bisa hidup bersama, kali ini dengan hati yang lebih terbuka dan ikatan yang lebih kuat. Mereka tak hanya memulai kembali kehidupan sebagai pasangan, tetapi juga sebagai orang tua dari dua anak, Keiva dan Keanu.Minggu-minggu setelah pernikahan mereka dipenuhi dengan kebahagiaan yang tiada tara. Keiva, putri pertama mereka yang kini berusia lima tahun, sangat gembira dengan kehadiran adik laki-lakinya. Setiap hari, dia selalu ingin membantu Gina merawat Keanu, mulai dari menghiburnya saat menangis hingga ikut mengganti popok. Keiva tampak sangat menyayangi adiknya, dan ini membuat Kevin serta Gina semakin bahagia melihat kasih sayang yang tumbuh di antara anak-anak mereka.Suatu pagi yang cerah, Kevin dan Gina duduk di teras rumah mereka yang nyaman, mengamati Keiva bermain dengan Keanu yang masih berbaring di kere
Hari itu adalah salah satu hari paling membahagiakan dalam hidup Gina dan Kevin. Setelah bertahun-tahun terpisah oleh berbagai masalah, mereka akhirnya bisa bersama lagi. Gina sudah berjuang keras menghadapi masa-masa sulit, dan kini dia bisa merasakan kebahagiaan sejati. Kevin, yang selama ini dipenuhi dengan penyesalan dan rasa bersalah, akhirnya mendapatkan kesempatan untuk menebus semua kesalahan dan memulai kembali hubungan mereka dari awal. Mereka berdua sedang duduk di ruang tamu rumah mereka, berbicara tentang masa depan, tentang rencana-rencana yang akan mereka jalani bersama sebagai sebuah keluarga. Gina tersenyum hangat sambil memegang perutnya yang sudah besar. Dia tengah hamil, dan hanya tinggal beberapa minggu lagi sampai kehamilan itu mencapai puncaknya. Kevin, yang duduk di sampingnya, menggenggam tangan Gina dengan penuh kasih sayang, membayangkan masa depan mereka bersama dengan anak yang akan segera lahir. "Rasanya seperti mimpi, Kev," kata Gina dengan mata yang
Kevin duduk di meja kerjanya dengan senyum tipis, menatap layar ponsel yang menampilkan pesan terbaru dari Gina. Sudah beberapa hari ini dia berpura-pura menjadi "Alex," sosok yang dia ciptakan untuk membuat kejutan kepada Gina. Hubungan mereka yang baru saja kembali pulih membuat Kevin ingin melakukan sesuatu yang istimewa untuk menunjukkan bahwa dia benar-benar berkomitmen. Namun, dia tahu Gina tidak akan menyangka bahwa Alex dan Kevin adalah orang yang sama. Itu adalah bagian dari kejutan yang dia rencanakan.Gina, di sisi lain, mulai merasa aneh dengan perhatian yang diberikan Alex kepadanya. Alex, yang tiba-tiba muncul di hidupnya, selalu mengirim pesan yang hangat dan penuh perhatian, sesuatu yang sebenarnya mengingatkannya pada Kevin. Meski hatinya masih terfokus pada Kevin, kedekatan dengan Alex membuat Gina sedikit bingung dan gelisah. Dia tidak ingin memberi kesan kepada Kevin bahwa dia tertarik pada pria lain, tetapi semakin lama, perhatian dari Alex semakin sulit diabaikan