l
Tak terasa, seminggu telah berlalu. Alexa sibuk mengepak barang-barang terakhir ke dalam koper, hatinya berdebar. Dia tetap berharap bahwa honeymoon ini bisa menjadi titik balik bagi mereka berdua. Kevin berdiri di dekat pintu, ponsel di tangannya, matanya terpaku pada layar. Beberapa saat lalu, Nora mengirimkan pesan bahwa dirinya mengalami kecelakaan. "Kevin?" Kevin menoleh pada Alexa yang telah selesai memasukan semua barang ke dalam koper. Tak lama kemudian, dering ponsel Kevin berbunyi. Alexa dapat melihat layar ponsel Kevin dari sudut matanya dan menyadari bahwa Nora yang menghubungi suaminya itu. Tanpa banyak bicara, Kevin mengangkat telepon itu tanpa memperdulikan Alexa. "Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan segera kesana," mendengar ucapan Kevin, tentu saja Alexa merasa cemas. Mereka akan segera berangkat ke bandara sebentar lagi, namun Kevin justru mau menghampiri Nora. Senyum yang sebelumnya menghiasi wajah Alexa langsung memudar. Kevin menghela napas setelah mengakhiri panggilan. “Ada urusan mendadak yang harus di selesaikan. Kamu bisa berangkat lebih dulu ke bandara dan nanti aku akan menyusul” Alexa merasa harapannya runtuh dalam sekejap. Rasanya Alexa ingin menjawab, urusan apa yang harus diselesaikan dengan mantan kekasih? Namun, mulutnya hanya mampu terbuka sedikit seolah ingin mengucapkan sesuatu, tapi kata-kata tidak kunjung keluar. Kepedihan menyelimuti hatinya, membuatnya merasa seperti terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang tak berujung. Setiap detik terasa memanjang, dan udara di sekelilingnya tampak menjadi berat dan menekan. “Apa harus sekarang? Tepat sebelum kita berangkat?” Alexa terdengar terkejut dan kecewa, suaranya bergetar. Kevin sepertinya tidak menyadari nada bicara Alexa. "Ya, ini penting. Aku tidak bisa menundanya." Jawaban Kevin, yang seharusnya menjadi penjelasan, malah semakin memperburuk perasaan Alexa. Dan Kevin tetap melangkah dengan cepat tanpa memperdulikan Alexa. *** Jam sudah menunjukan pukul sebelas siang. Sudah dua jam sejak kepergian Kevin tadi dan hingga kini pria itu masih belum menghubungi Alexa lagi. Sedangkan, sang supir sudah menatap dirinya untuk segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju bandara. Tidak enak membuat supirnya terus menunggu, Alexa dengan berat hati akhirnya masuk ke dalam mobil. Tadinya, ALexa masih berharap bahwa Kevin akan kembali pulang dan mereka akan berangkat bersama. Namun, sepertinya mereka hanya akan bertemu di bandara nanti. Alexa menghembuskan nafas dengan berat. Baru permulaan saja sudah seperti ini. Bagaimana nanti saat mereka sedang bulan madu di negara lain. Tring! Dengan sigap, Alexa mengambil ponselnya. Berharap Kevin yang memberikan pesan padanya. Namun, kening Alexa mengernyit heran begitu mendapati sebuah nomor tidak dikenal yang mengirimkan pesan padanya. Alexa membuka pesan itu dan begitu tersentak mendapati foto Kevin sedang bersama dengan Nora. Mereka terlihat begitu mesra. Dengan Nora yang sedang memeluk Kevin. Tak lama, sebuah pesan baru kembali masuk. 'Kamu memang memiliki raga Kevin, tapi hatinya tetap untukku! Kevin tidak akan pergi bulan madu bersamamu' Air mata Alexa seketika terjatuh membasahi kedua pipinya begitu membaca pesan tersebut. Alexa mencoba menekan kontak Kevin dan berusaha menghubungi pria itu untuk meminta kejelasan, namun ponselnya tidak dapat dihubungi. Melihat sang Nyonya yang menangis, sang supir ikut merasa kalut. "Nyonya, ada apa?" Alexa menggeleng perlahan. Tidak mungkin dia memberitahukan persoalan perselingkuhan suaminya kepada sang supir. "Pak, sebaiknya kita kembali ke rumah saja," suara Alexa terdengar lemah. Meskipun awalnya ragu, akhirnya supir menuruti perintah Alexa dan segera memutar balik kendaraan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, sebuah truk besar melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil yang ditumpangi ALexa tidak sempat menghindar. Benturan keras terdengar, dunia sekitarnya seakan berputar. Ketika Alexa membuka mata, ia sudah berada di rumah sakit. Rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh tubuhnya, namun yang paling menyakitkan adalah perasaan hancur di hatinya. Perawat dan dokter sibuk di sekitarnya, namun ia hanya bisa memikirkan satu hal—kehilangan yang baru saja ia alami. Dokter mendekat dengan wajah serius. "Ibu Alexa, saya sangat menyesal. Anda mengalami kecelakaan dan... kita tidak bisa menyelamatkan kandungan Anda. Anda keguguran." Rasanya saat itu juga dunia Alexa seakan berhenti berputar. Apa yang dia jaga selama ini dan membuatnya bertahan telah hilang dan pergi untuk selamanya dari hidup Alexa.Alexa berbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya terasa lemah dan nyeri. Selimut putih yang menutupi tubuhnya tampak kontras dengan wajah pucatnya. Matanya yang bengkak akibat menangis terus-menerus menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di meja samping ranjangnya. Beberapa saat yang lalu, Alexa masih terus mencoba menghubungi Kevin. Namun, hingga kini, suaminya itu masih tidak dapat dihubungi. "Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Silakan coba beberapa saat lagi," yang terdengar selalu hanyalah suara operator yang memberitahukan bahwa ponsel Kevin mati. Alexa bahkan telah mengirim pesan. 'Kevin, aku di rumah sakit. Aku kecelakaan dan kehilangan bayi kita. Aku butuh kamu di sini. Tolong segera datang.' Pesan itu terkirim, namun tidak ada tanda-tanda bahwa pesan tersebut dibaca. Pesan-pesan sebelumnya juga tetap tak terbaca, menumpuk seperti bukti bisu. Rasa takut dan kesepian semakin menyesakkan dada A
Setibanya di rumah sakit, Kevin bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju ruang perawatan tempat Alexa dirawat. Napasnya terengah-engah saat dia memasuki bangunan, rasa cemas semakin memuncak. Dia akhirnya menemukan ruangan yang dimaksud dan membuka pintu. Di dalam, dia melihat Alexa terbaring lemah di tempat tidur. Wajahnya pucat dan terlihat sangat letih. Mata Alexa yang biasanya ceria kini tampak kosong dan dingin. Rasa sakit dan kecewa terpancar jelas dari tatapannya. Kevin merasa seolah-olah ditikam langsung ke jantung melihat keadaan Alexa seperti itu. "Alexa" Kevin memanggilnya, namun Alexa hanya menatapnya dengan dingin, tanpa sepatah kata pun. Kevin menyadari perbedaan Alexa. "Aku minta maaf, Alexa. Aku tidak tahu..." Kevin mencoba menjelaskan. Dia merasa seperti kata-katanya tidak ada artinya dibandingkan dengan luka yang telah dia sebabkan. Namun, kata-katanya langsung dipotong oleh Alexa. "Kamu benar-benar tidak tahu? Atau sengaja tidak mau tahu?" Suaranya pen
"Aku ingin bercerai, Kevin." Kata-kata itu terus berulang di kepala Kevin, menghantam hatinya seperti palu godam. Dia tidak bisa mempercayainya, tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya ingin mengakhiri pernikahan mereka. "Kita tidak bisa bercerai begitu saja. Keluargamu menerima investasi besar dari keluargaku, dan kamu tahu betul itu," kata Kevin dengan nada tegas dan marah. Wajahnya berubah merah, matanya berapi-api saat dia melanjutkan, "Mengabaikan semua komitmen ini dan berharap bisa lepas dari tanggung jawab adalah hal yang mustahil. Tidak hanya reputasi keluargamu yang akan hancur, tetapi juga seluruh usaha yang sudah kami investasikan. Aku tidak akan membiarkan semua ini sia-sia begitu saja. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum membuat keputusan bodoh yang bisa merusak segalanya." Alexa menatap Kevin dengan tajam. "Jadi, karena uang, aku harus terus berada dalam pernikahan yang membuatku menderita? Apakah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya bergetar, menggambarkan betapa saki
Alexa menarik napas dalam-dalam, merasa kelegaan sekaligus kecemasan saat mobil berhenti di depan rumah. Setelah berminggu-minggu di rumah sakit, akhirnya dia diperbolehkan pulang. Rumah ini kian terasa semakin asing baginya. Alexa membuka pintu dan melangkah masuk. Namun, suara pembicaraan dari ruang kerja menarik perhatiannya. Dengan hati-hati, Alexa berjalan mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan antara Kevin dan Papanya di dalam telephone. "Apa yang kamu pikirkan, Kevin? Alexa baru saja mengalami keguguran. Kamu seharusnya lebih memperhatikannya, bukan malah bersikap dingin seperti ini," suara Papa Kevin terdengar tegas. Papanya melanjutkan, "Kamu harus bersikap baik padanya. Dia butuh dukunganmu sekarang lebih dari sebelumnya." "Baiklah," sahut Kevin dengan nada lelah. Begitu panggilan diakhiri, Kevin berbalik dan akhirnya menyadari keberadaan Alexa yang sudah pulang. Alexa menatap Kevin, hatinya dipenuhi oleh campuran emosi. "Kenapa kamu tidak bilang ke Papa kamu b
Kevin kembali mengunjungi Nora di apartemennya. Seperti biasa, Nora tersenyum dan merasa senang melihat Kevin masih peduli padanya. Kevin meletakkan buah-buahan yang dia beli di meja dapur. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Kevin sambil melihat beberapa bagian tubuh Nora yang terluka akibat kecelakaan itu. Ternyata lukanya sudah kering. Nora mengerutkan kening begitu dia menyadari bahwa Kevin tidak begitu bersemangat. Dia tampak murung, namun di satu sisi juga terlihat marah. "Ada sesuatu yang sudah kulewatkan?" Kevin mengangkat kepalanya kemudian menggeleng lemah. Pikirannya tidak bisa jauh dari Alexa di saat seperti ini. "Alexa keguguran." Nora yang mendengar hal itu hanya bisa terpaku. Ada sesuatu dalam hati kecilnya yang merasa senang. Kalau keadaannya sudah begini, maka semakin mudah baginya untuk merebut Kevin dari Alexa. Lagi pula Kevin sepertinya juga sudah tidak punya alasan untuk mempertahankan perempuan itu dalam hidupnya. "Astaga, aku turut prihatin." Nora
Alexa menunduk, menghapus air mata yang mengalir di pipinya saat Kevin mengemudi dengan penuh amarah. Keputusan yang diambilnya memang berat, namun reaksi Kevin jauh lebih kejam dari yang dibayangkannya. Alexa mencoba berpikir jernih, mencari cara untuk lepas dari Kevin tanpa menimbulkan keributan lebih lanjut. Setibanya di rumah, Kevin menarik Alexa keluar dari mobil dengan kasar. “Masuk!” perintahnya dengan nada penuh kemarahan. Alexa mengikuti dengan tubuh gemetar, berusaha menahan rasa takut yang semakin mendalam. “Dengar, Kevin. Aku tidak bisa hidup seperti ini lagi. Kau harus melepaskanku. Kita berdua akan lebih bahagia jika berpisah,” Alexa berusaha bersuara tegas meski suaranya bergetar. “Diam! Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja!” teriak Kevin. “Kau pikir setelah semua yang kau lakukan, aku akan membiarkanmu hidup dengan tenang?” Alexa merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu Kevin bisa sangat berbahaya saat marah. Namun, tekadnya untuk hidup bebas dari Kevin
Alexa sudah terjaga sejak dini hari, pikirannya berputar-putar memikirkan satu keputusan besar yang sudah diambilnya semalam. Ia memutuskan untuk mencari pekerjaan, pekerjaan yang bisa membantunya mengembalikan semua uang Kevin yang sudah diinvestasikan ke perusahaan ayahnya. Setelah itu, ia akan mengajukan gugatan cerai. Ia tidak ingin terus hidup dalam kebohongan, berpura-pura bahagia sementara hatinya penuh luka.Kali ini, Alexa tidak akan menyerah begitu saja. Ia bangkit dari tempat tidurnya, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah menuju meja rias di kamar tidurnya. Wajahnya yang cantik terlihat tegas di cermin. Mata cokelatnya yang biasanya lembut kini tampak penuh tekad. Ia berbisik pada bayangannya sendiri, "Aku bisa melakukan ini. Aku harus melakukan ini."Pagi itu, saat sang Papa menikmati sarapan paginya, Alexa yang baru turun dari kamar langsung mencarinya. Di sana, dia akan mengutarakan keinginannya."Pagi, Papa! Aku ingin kembali bekerja di perusahaan, Papa. Aku merasa
Kevin tahu bahwa cengkraman tangannya membuat perempuan itu merasa sakit. Tanpa belas kasihan sama sekali, dia menghempaskan tubuh perempuan itu di atas ranjang begitu mereka sampai di rumah. Alexa meringis sakit dan menatap pergelangan tangannya yang kini sudah memerah. Ia tak bisa menahan air matanya begitu menyadari betapa kasarnya lelaki itu, sikap yang tidak pernah diharapkan sama sekali. Mata Kevin sudah memerah. Rasanya sudah seperti satu abad dia menahan amarah hanya karena permintaan cerai dari perempuan itu. Jika perceraian itu sampai terjadi, maka hidupnya benar-benar akan semakin tidak karuan. Karena sejak awal dia sendiri sudah merasa bahwa perempuan ini sudah menghancurkan seluruh hidupnya. Mungkin memang sudah saatnya dia mengambil kendali atau bahkan balas dendam atas apa yang dilakukan Alexa. "Jangan pernah berpikir bahwa aku melakukan ini karena cinta seperti yang kau harapkan. Kau tidak akan pernah mendapatkan hal itu dariku." Kevin mendekat dengan wajah paling me