Tokyo, ketika Arata masih berumur 17.
Lelaki berseragam SMA itu berlari sekuat tenaga, meninggalkan rumah sakit besar tempat adiknya dirawat. Dulu. Sekarang, ia sudah tak punya adik lagi setelah dokter baru saja mengabarkan kalau adiknya sudah meninggal. Semua anggota keluarga Arata masih ada di dalam, menangisi kepergian Keiko yang dirasa sangat mengguncang.
Gadis itu masih berumur 15 saat ia dinyatakan meninggal karena kanker. Belum sempat merasakan kehidupan SMA, belum sempat menapaki kehidupan orang dewasa, belum sempat merasakan indahnya jatuh cinta, dan bahkan belum sempat mengucapkan kata-kata perpisahan untuk kakak kesayangannya.
“Keiko.. kenapa kau pergi secepat ini?” Arata terus bergumam sambil melangkahkan kaki.
Tak terasa, Arata sudah berada jauh dari rumah sakit tersebut. Kini ia ada di sebuah pinggiran sungai, sedang duduk memeluk lutut sambil mengenang semua momen yang ia lalui bersama adik kesayangannya.
Kemarin, mereka
Akhir-akhir ini, Hirotaka sering bertanya-tanya tentang apa yang terjadi dengan anaknya. Sejak beberapa hari yang lalu, Hasumi banyak mengurung diri di kamar. Sekalinya keluar untuk makan pun pasti matanya sembap hingga membuat Hirotaka benar-benar khawatir. Ia ingin sekali bertanya, tapi selalu urung karena takut menyinggung perasaannya. Akhirnya Hirotaka hanya bisa menunggu waktu yang tepat sampai Hasumi mau menceritakannya sendiri. Pagi ini, Hirotaka dibuat kaget saat melihat Hasumi keluar kamar sambil membawa sebuah ransel seperti mau bepergian jauh. “Kau mau ke mana?” tanyanya saat Hasumi menuruni tangga. “Ah, aku mau.. memancing.” jawab Hasumi terpaksa berbohong. “Di musim dingin begini?” Hasumi mengangguk. “Bersama Chika.” tambahnya. Hirotaka awalnya ragu, namun saat ia mendengar nama Chika perasannya jadi agak lega. Mungkin Hasumi ingin refreshing dan akan jadi baikan setelah pulang nanti, pikirnya. Hirotaka akhirnya memberi iz
Jam menunjukkan pukul setengah 6 petang. Di ruang tengah, semua anggota keluarga Tanizaki kecuali Arata dan Yusuke tengah berkumpul. Wajah Misaki terus tertunduk, ia merasa malu untuk sekedar menatap wajah Hasumi dan Hirotaka yang duduk di hadapannya.Suasana terasa begitu canggung, namun Hasumi memberanikan diri untuk berbicara duluan. Ia mengulurkan sebuah kotak cincin ke arah meja.“Ini cincin pertunanganku dengan Tanizaki-sensei, tuan. Dengan begini aku dan Tanizaki-sensei sudah tak punya hubungan apa pun lagi.”“Padahal kau boleh membuangnya ke mana pun.” balas Gouto.Hasumi menggelengkan kepala.“Itu tidak mungkin, tuan. Cincin ini pasti dibeli dengan harga yang tak murah.”Gouto manggut-manggut.“Kau jauh lebih dewasa dari yang aku kira. Terima kasih.”“Aku dan Hasumi minta maaf, tuan. Kami sudah banyak merepotkan keluarga ini.” kali ini Hirotaka yang berb
Setahun telah berlalu, kini Hasumi sudah ada di tingkat 3.Shin telah lulus dari universitas, ia kini bekerja di sebuah perusahaan furniture. Sementara Ryuuga masih fokus dengan tujuannya menjadi pemain voli profesional. Bahkan, kabarnya Ryuuga sudah bergabung dengan V-league atau liga Jepang divisi 2. Hiroto tengah sibuk mempelajari beberapa bahasa asing sekaligus mencari info soal beasiswa kuliah s2 ke luar negeri, didampingi Risa yang masih terus berjuang meluluhkan hatinya.Chika masih menjalin hubungan dengan Shin, meski mulai jarang bertemu karena Shin memilih untuk menyewa apartemen di dekat tempat kerjanya. Tempo hari mereka harusnya bertemu, tapi Shin mendadak tidak bisa datang dengan alasan dimintai tolong oleh seniornya di kantor. Itulah yang membuat Chika jadi murung seharian ini. Sejak kuliah siang usai, ia terus duduk di café sembari menghela napas panjang.“Kau sudah menghela napas begitu 4 kali.” Hasumi datang dengan seragam pe
Hasumi menopang dagunya sembari berpikir keras, Chika yang duduk di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Bedanya, Chika sedang berbunga-bunga karena diajak Shin kencan beberapa hari lagi. Sedangkan Hasumi masih memikirkan soal Ryuuga yang tiba-tiba minta ID LUNE nya.“Duh, harus pergi ke mana ya? ke Fuji-Q saja kali ya? aku belum pernah ke sana soalnya. Menurutmu bagaimana?” Chika terkekeh kemudian melirik Hasumi.“Menurutmu, kalau senior laki-laki tiba-tiba minta ID kita, apa itu berarti dia ingin mengenal kita lebih jauh? atau sekedar untuk tambah teman saja?” Hasumi balik bertanya.“Hmm? siapa maksudmu? ah, jangan-jangan Ryuuga-senpai?” suara Chika yang cempreng membuat orang-orang di sekitar langsung menoleh ke arah mereka. Pantas saja, habisnya mereka saat ini sedang di perpustakaan.“Bukan temanku, bukan temanku.” kata Hasumi pada orang-orang yang melihat ke arah mereka. Chika langsun
“Itu tidak mungkin!”Chika menggebrak meja, membuat Hasumi langsung panik dan menariknya duduk kembali.“Ssstt! kau terlalu heboh.”Saat ini mereka ada di café tempat Hasumi kerja. Hanya saja jam kerja Hasumi masih beberapa jam lagi, jadi ia datang sebagai pengunjung. Mereka sedang membahas soal sosok perempuan yang bersama Ryuuga kemarin.“Habisnya mana mungkin Ryuuga-senpai bermesraan dengan perempuan. Aku mengenal senpai dari SMA, lho! dia bahkan tidak punya teman perempuan.” kata Chika berapi-api.“Karena itulah aku tanya apa senpai punya kakak perempuan atau tidak.”“Emm.. seingatku tidak punya, sih. Mungkin saja perempuan itu ibunya?”“Tapi usianya masih muda menurutku, masa sih ibunya.”Chika mulai tersenyum menggoda.“Apa kau cemburu? makanya sampai heboh begini?”Hasumi menautkan kedua alisnya.
Suara rintik hujan terus terdengar bersama waktu yang mengalir. Di antara bisingnya suara canda tawa dan orang mengobrol, kedua manusia itu masih saling memandang. Hasumi terlalu kaget untuk menanggapi pengakuan Ryuuga barusan. “Eh?” hanya itu yang bisa ia ucap. Ryuuga masih menatap mata Hasumi lurus-lurus. “Tapi aku tak butuh jawaban. Jadi, kau tidak usah pusing memikirkan jawabannya.” Ryuuga menegaskan. Namun, ada satu hal yang terlintas di benak Hasumi. Kalau Ryuuga tak membutuhkan jawaban, lalu apa gunanya pengakuan? “Omatase itashimashita.” pelayan datang membawakan pesanan mereka. Pelayan tersebut sempat melirik Ryuuga dan Hasumi bergantian, takutnya ia baru saja mengganggu momen kedua insan tersebut. Setelah menyimpan dua minuman di atas meja, si pelayan buru-buru pergi. “Anu.. senpai tidak bercanda ‘kan?” Hasumi memastikan. “Tentu saja tidak, memangnya aku kelihatan bercanda?” “T-tidak sih, tapi rasanya an
Ryuuga tersenyum, lagi-lagi ia ingin tertawa melihat ekspresi Hasumi yang cemberut. Hatinya merasa senang, bercampur gemas pada gadis di hadapannya itu. “Aku memang diajak sih, tapi aku menolak.” Ryuuga bukanlah tipe orang yang mudah diajak siapa pun, apalagi orang yang baru ia kenal kemarin. Ia hanya akan menerima ajakan dari orang yang ia kenal dekat, termasuk Hasumi. “Kalau begitu, senpai mau?” tanya Hasumi sekali lagi. Ryuuga mengusap-usap belakang lehernya, kemudian mengangguk. Hasumi pun tersenyum senang, dan senyuman itu membuat Ryuuga makin berbunga-bunga. “Kau.. pulangnya masih lama?” “Emm sepertinya tidak, setelah ini selesai aku akan pulang.” “Aira, bagian sana sudah selesai belum?” tanya seniornya dari jarak beberapa meter. “Duh, kau malah mengobrol. Cepat selesaikan, aku juga mau pulang.” lanjut si senior, membuat Hasumi buru-buru menjauh dari Ryuuga. “Kalau begitu sampai jumpa, senpai.” Bel
Kebahagiaan tengah menyelimuti hati Hasumi dan Ryuuga, dua sejoli yang baru saja mengikat hubungan. Namun saat kebahagiaan itu terpancar dari senyuman mereka, tiba-tiba suara seorang perempuan terdengar dari arah bawah tangga. Sontak, keduanya menoleh.Hasumi mengerutkan kening tatkala seorang perempuan memakai dress selutut warna putih tanpa lengan menghampiri mereka. Wanita itu tersenyum ke arah Ryuuga, rambutnya yang panjang sampai melebihi pundak terlihat membuat wajahnya makin dewasa, dan Hasumi menebak perempuan tersebut berusia hampir 30an. Tapi, dia siapanya Ryuuga?“Mitsuki, kenapa kau di sini?” tanya Ryuuga.“Hehehe, aku sedang mencari Shinnosuke. Apa kau melihatnya?”Ryuuga menyipitkan matanya ke arah Mitsuki.“Kau mau mengganggu dia ‘kan?”“Tidak kok, enak saja. Aku mau minta dibelikan permen kapas, habisnya tadi uangku jatuh.” Mitsuki malah terk