Sepuluh menit kami berkendara, melewati deretan rumah-rumah. Kemudian kelebat rumah berjarak semakin panjang, diselingi dengan pepohonan tinggi di kanan dan kiri jalan. Sampai akhirnya motor Darnia berhenti. Kami berdua turun dari motor.
Kupandangi rumah di hadapanku. Biasa saja. Rumah tembok sederhana bercat putih pudar dengan halaman yang tak seberapa luas. Atapnya genteng yang mulai berlumut. Sebatang pohon mangga tumbuh kokoh di halaman, sementara daun-daunnya yang mengering berjatuhan ke tanah yang ditutupi dengan paving blok.
Tidak terlihat seram ataupun istimewa. Orang-orang yang lewat pasti tidak tahu bahwa di rumah ini tinggal orang yang disebut oleh kebanyakan masyarakat sebagai “orang pintar”. Nyai Sekar Kanti, pemasang susuk yang sudah teruji kesaktiannya, terkenal sampai ke ibukota. Begitu informasi yang aku peroleh dari Darnia.
“Kamu sudah siap, May?” Darnia setengah berbisik di sebelahku. Aku menoleh, lalu mengangguk mantap seraya menatap mata tetangga rumahku ini. Darnia terlihat bernapas lega.
“Aku sangka kamu ragu dan ingin mundur saja,” ujarnya. Aku mendelik cepat.
“Enggak mungkin! Sudah jauh-jauh ke sini kok batal. Aku harus punya susuk kecantikan itu, demi mendapatkan Mas Candra,” tegasku. Senyum Darnia terkembang lebar. Dia pasti lega karena uang yang kujanjikan kepadanya tidak akan lepas dari genggaman.
“Ayo kalau begitu.” Darnia menggamit lenganku, lalu kami berjalan bersama memasuki halaman rumah Nyai Sekar Kanti. Seiring langkah demi langkah yang terayun menuju rumah bercat putih itu, ingatanku melayang pada obrolan bersama Mama sebulan yang lalu.
“Jadi bos barumu di kantor itu Mas Candra?” Mama terlihat terkejut sekali.
“Aku juga enggak menyangka, Ma. Aku kira sudah enggak akan pernah bertemu dengan Mas Candra lagi,” balasku penuh semangat.
“Sayang ya dulu kamu enggak jadi menikah dengannya. Padahal Mama suka banget kalau kamu dan Mas Candra menikah,” ujar Mama sungguh-sungguh, seolah sedang menyuruhku untuk kembali mendekati Mas Candra.
“Ya, dulu dia takut istri sih, Ma.”
"Mungkin masih ada kesempatan buatmu bersama dengannya.” Mama tersenyum dan menatapku penuh harapan.
“Iya, Ma. Mungkin pertemuan kembali kami sekarang merupakan pertanda bahwa kami memang berjodoh,” sambutku tak kalah antusias.
Kami sudah tiba di depan pintu. Darnia mengetuk. Tak berapa lama, langkah-langkah kaki terdengar mendekati daun pintu, lalu terbukalah pintu rumah Nyai Sekar Kanti.
“Selamat datang. Silakan, silakan masuk.” Wanita yang membukakan pintu tersenyum ramah. Dilihat dari kerut di wajahnya, ia memang paruh baya tapi belum terlalu tua sekali. Dandanannya yang unik membuat aku yakin bahwa wanita di hadapanku ini merupakan Nyai Sekar Kanti sendiri.
“Terima kasih, Mbok.” Darnia mewakiliku dalam menjawab sapaan Nyai Sekar Kanti. Darnia meraih tanganku, lalu bergandengan tangan kami memasuki rumah Nyai Sekar Kanti yang wanginya serupa dengan wangi bunga setaman.
Dadaku berdegup kencang saat langkah kaki mengikuti sosok Nyai Sekar Kanti yang berjalan di depanku. Nyai Sekar Kanti membuka salah satu pintu kamar, lalu ia berbalik ke arah kami dan kembali tersenyum.
“Masuklah. Di sini kita akan membuatmu terlihat lebih cantik dan memesona di hadapan lelaki idaman.”
Aku melangkahkan kaki ke dalam kamar dengan jantung yang semakin bertalu kencang.
***
Sudah seminggu berlalu semenjak aku mengunjungi Nyai Sekar Kanti. Sejak saat itu, aku suka menyentuh bagian pipi kiriku dan mengusap-usapnya saat bercermin. Menurut Nyai Sekar Kanti, hasil pemasangan susuk tidak akan lama. Aku tidak sabar menanti janji Nyai Sekar Kanti. Tak sedikit uang yang sudah aku keluarkan demi susuk ini. Awas saja kalau hasilnya tidak segera terlihat.
Kikan bilang, semua dukun itu penipu kecuali dukun beranak dan dukun urut. Aku tidak terlalu yakin dengan ucapan Kikan, tapi aku juga belum bisa memercayai Nyai Sekar Kanti sepenuhnya. Aku masih menunggu dengan harap-harap cemas perubahan sikap Mas Candra terhadapku. Akankah ia akan terpesona kepadaku?
Hari pertama aku masuk kantor setelah pasang susuk, aku lihat Mas Candra masih tidak memerhatikanku. Aku agak kecewa juga. Apakah Nyai Sekar Kanti itu dukun gadungan? Jangan-jangan betul kata Kikan, bahwa semua dukun itu pembohong. Aku mulai merasa geram terhadap Darnia yang mengajakku menemui Nyai Sekar Kanti.
Akibat Mas Candra bersikap biasa-biasa saja kepadaku hari ini, aku menjadi lemas. Rasanya tak bergairah. Bahkan aku sampai kehilangan selera makan siang. Meskipun perutku lapar, tapi aku malas sekali untuk makan. Saat semua teman-teman pergi makan siang, aku memilih tetap di kantor saja. Untuk mengurangi rasa lapar, aku pilih menyeduh minuman instan saset yang berisi susu dan sereal. Ya, sudah pasti rasa laparku akan segera kembali, tapi paling tidak perutku sedikit berisi.
Aku duduk di belakang mejaku sambil memainkan gim mencocokkan gambar. Meskipun sederhana, permainan ini cukup menguras pikiran dan konsentrasi. Cocok sekali buat menghabiskan waktu. Aku tenggelam dalam permainan, sampai-sampai tak menyadari kehadiran seseorang di belakang monitor komputerku. Sebuah deheman membuatku terkejut.
“Lho, Mas Candra? Aku pikir Mas keluar makan siang?” tanyaku spontan. Mataku terbelalak saking kagetnya mendapati dirinya di hadapanku. Aku sangka hanya diriku seorang yang tertinggal di kantor saat ini.
“Kamu sendiri kok enggak pergi makan, May?” Mas Candra membalikkan pertanyaanku. Aku menggeleng lemah.
“Lagi malas makan, Mas. Mas sendiri kok enggak pergi cari makan?” Aku bersikukuh menanyakan hal yang sama dengan pertanyaannya.
“Sama. Lagi malas gerak, ini. Tadinya aku mau pesan makanan daring saja, tapi kok bingung mau makanan apa,” keluhnya.
Mas Candra lalu mengempaskan diri di sofa yang ada di depan mejaku. Sofa itu diletakkan di sana untuk tamu yang datang. Mas Candra merebahkan diri, sedangkan kepalanya berbantalan lengan sofa. Ia memijat pelan pelipisnya.
“Pusing, Mas? Ada pikiran atau migrain?” tanyaku penuh perhatian.
“Hm. Banyak pikiran saja. Ada proyek yang alot buat diselesaikan.” Mas Candra terus memijat pelipis selama menjawab pertanyaanku.
Melihatnya sakit dan lemah seperti itu membuatku jatuh kasihan. Aku tak tega melihatnya. Jiwa pengasihku muncul ke permukaan. Aku beranjak dari kursiku, lalu menghampiri Mas Candra yang masih berbaring di sofa.
“Coba aku pijiti, Mas. Siapa tahu bisa bikin otot-otot jadi lebih relaks,” tawarku setulus hati.
Mas Candra bangkit dari tidurnya. Ia duduk sambil memijat bagian pundaknya sendiri.
“Boleh, May. Di sini, tolong dipijiti. Pegal banget rasanya.” Mas Candra menunjuk tulang belikat yang tadi dipijit sendiri olehnya.
Sigap aku mengambil posisi di dekatnya. Melihat aku mendekat, Mas Candra duduk membelakangiku. Aku mulai memijat bagian pundak dan tengkuknya. Awalnya perlahan-lahan, tapi protes keras Mas Candra segera aku terima.
“Keras sedikit, May. Enggak terasa, itu.”
Aku menguatkan pijatan. Aku memijat ke area punggung yang biasanya ditempati angin yang masuk ke dalam badan.
“Nah, begitu.” Mas Candra terdengar senang. Aku meneruskan pijatan hingga sepuluh menit lamanya.
“Tanganmu pandai memijat. Badanku sekarang sudah lebih enak. Makasih, ya.” Mas Candra menggeliatkan badan.
Ia berbalik secara tiba-tiba, hingga kami kini berhadapan. Tiba-tiba saja jantungku berdetak lebih cepat. Kami berhadapan dan bertatapan. Jarak kami yang hanya satu meter dengan kondisi kantor yang sepi membuat suasana menjadi syahdu.
“Kamu masih secantik dulu,” lirih suara Mas Candra. Debar jantungku semakin tak beraturan. Apalagi saat Mas Candra menatapku lekat. Aku semakin gugup dan grogi. Saat ia meraih tanganku ke dalam genggamannya, aku tak kuasa menahan gemetar.
Tanganku ditarik oleh Mas Candra, sehingga jarak di antara kami semakin dekat. Aku menatapnya dan Mas Candra menatapku. Namun, gelak tawa dan derap langkah kaki yang mendekat menyadarkan kami berdua bahwa kami berada di kantor. Mas Candra melepaskan tanganku secara mendadak. Dia juga menjauh secara spontan. Jauh di sudut hatiku, ada rasa kecewa yang tertoreh. Apakah hanya sampai begitu saja?
“Nanti sore jangan pulang dulu, ya. Tunggu aku.” Mas Candra bangkit dan masuk kembali ke dalam ruangannya.
Aku terbengong mendengar permintaannya. Aku masih duduk di sofa ketika teman-temanku masuk ruangan, sepulang dari makan siang. Aku menoleh dan melihat Kikan ada di antara teman-temanku itu.
“Lho, sedang apa kamu duduk di situ, May?” tanya Kikan heran.
“Ingin di sini saja. Enak empuk. Capek duduk di kursi yang keras terus,” kilahku. Kikan hanya mengatakan ‘oh’ lalu berlalu menuju mejanya sendiri. Aku mengikuti langkah teman-temanku yang kembali ke meja masing-masing. Waktu istirahat memang sebentar lagi usai.
Sepanjang siang hingga menjelang waktu bubar kerja, hatiku berdebar terus. Aku tak sabar menanti waktu pulang tiba. Aku penasaran, mau apa Mas Candra sebetulnya hingga menahanku agar tidak pulang dulu? Aku merasa gugup seperti hendak menjalani kencan pertama semasa remaja dulu.
Saat yang kunanti pun tiba. Waktu bubar kerja datang. Seperti kebiasaan yang sudah-sudah, semua orang tak sabar lagi untuk pulang. Bahkan sebelum waktu pulang, teman-temanku sudah bersiap-siap agar bisa segera pergi saat waktu pulang. Aku sendiri juga sama. Hanya karena ucapan Mas Candra siang tadi saja yang membuatku malas pulang pada hari ini.
Teman-temanku sudah pulang semua. Tinggal aku sendiri di dalam ruangan. Aku lirik pintu ruangan Mas Candra. Masih tertutup rapat seperti semula. Sedang apa Mas Candra di dalam sana? Sampai kapan aku harus menunggunya keluar? Setelah lima menit aku habiskan untuk mematung dan melamun, aku putuskan untuk mengetuk pintu ruangan Mas Candra.
“Mas? Aku pulang dulu, ya,” pamitku cukup keras setelah mengetuk.
Pintu terbuka begitu saja. Dari dalamnya, Mas Candra keluar dengan menenteng tas kerjanya di tangan kiri. Aku terkejut melihat betapa ia sudah siap untuk pulang. Tadinya kupikir ia tertidur di dalam ruangannya dan melupakan ucapannya kepadaku sebelumnya.
“Pulang? Kebetulan aku juga mau pulang. Ayo sama-sama saja. Aku antar kamu pulang.”
Aku terbengong sejenak mendengar perkataan Mas Candra. Namun setelah itu, hatiku bersorak gembira. Inilah kali pertama Mas Candra mau mengantarku pulang selama aku bekerja di kantornya.
“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung. “Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi. Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor. Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan. “Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini. “Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banya
Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti. Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. “Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantik
Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada
Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.
Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m
Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma
Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p
Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma