“Ehm. Aku mau banget, Mas. Tapi bagaimana dengan motorku?” tanyaku bingung.
“Gampang. Kamu titipkan saja di kantor. Sekarang kamu pulang saja sama aku. Motormu bisa kamu bawa pulang besok.” Mas Candra memberi solusi.
Aku mengangguk dan tersenyum sebagai tanda persetujuan. Akhirnya motorku dimasukkan ke dalam ruangan utama, sebelum Mas Candra mengunci pintu depan kantor.
Aku masuk ke dalam mobil Mas Candra dengan senang hati. Memang ini yang aku dambakan setiap hari setelah kembali bertemu dengan Mas Candra. Tampaknya, susuk dari Nyai Sekar Kanti tidak gagal. Apakah sikap Mas Candra karena susuk atau hanya kebetulan? Aku tak dapat memastikan.
“Mas masih ingat jalan ke rumahku?” tanyaku sambil menikmati sejuknya AC mobil. Musik lembut juga terdengar pelan dari radio di dalam mobil, menjadi pengiring percakapan kami saat ini.
“Rumahmu masih yang lama? Agak lupa-lupa ingat, sih.” Mas Candra melajukan mobil dengan kecepatan pelan. Jam pulang kantor begini, jalan raya memang lebih banyak macet daripada lancar.
“Kita ke arah utara, Mas.” Aku memberi petunjuk arah. Namun, alih-alih mengikuti petunjukku, Mas Candra malah berbelok ke arah selatan.
“Lho, kok ke sini, Mas? Rumahku kan ke arah sana.” Aku menunjuk arah yang benar. Sekilas Mas Candra tersenyum tipis. Apa maksudnya? Apakah Mas Candra bermaksud lain sehingga mengarahkan mobil ke tempat yang berbeda?
“Mau ke mana kita, Mas?” tanyaku dengan jantung berdebar. Sejujurnya, aku tidak berkeberatan apabila harus pergi ke suatu tempat bersamanya.
“Aku lapar. Dari siang belum makan. Kita makan dulu sebelum pulang, ya?” sahutnya santai.
Oh. Jadi ia akan mengajakku untuk makan bersama lebih dahulu. Boleh juga. Kebetulan perutku juga keroncongan. Tadi siang aku tidak makan, sama seperti Mas Candra.
“Kamu mau makan apa?” tawar Mas Candra. Aku kebingungan.
“Terserah Mas saja. Aku kan cuma ditraktir.” Tawaku berderai. Mas Candra ikut tertawa.
“Kalau begitu terserah aku, ya. Itu ada restoran masakan laut. Kita ke sana saja, ya. Kayaknya, dulu kamu suka makan udang asam manis, kan?” Mata Mas Candra terarah ke sebuah tempat di depan kami. Tanpa menunggu jawaban, mobil Mas Candra lajukan ke arah halaman restoran.
Aku merasa terharu. Ternyata Mas Candra masih ingat masakan kesukaanku dulu. Ya, dulu kami sering makan udang asam manis bersama-sama. Masa-masa indah sebelum hubungan kami diketahui oleh istrinya. Apakah masa indah itu akan terulang kembali di sini? Aku diserang perasaan deja vu.
Langit sore mulai berubah menjadi kuning keemasan di ufuk barat. Bola api yang condong ke arah magrib menjadi saksi bisu saat Mas Candra membukakan pintu mobilnya untukku, lalu kami berjalan bergandengan tangan menuju ke arah restoran. Romantis. Itulah yang aku rasakan kini. Apalagi saat siluet kami yang bergandengan tangan membelakangi matahari membentuk bayangan panjang yang indah di halaman restoran. Hari ini tidak akan pernah aku lupakan.
Kami makan sambil berbincang seru dan santai. Kebanyakan mengenang masa lalu. Apabila Mas Candra ingin kembali bersamaku, maka kupastikan kali ini ia tak akan lepas dari genggamanku. Aku mau melakukan apa saja agar bisa menjadi istri Mas Candra. Apa saja.
“Sepertinya aku masih menyimpan rasa buatmu, May.” Mas Candra berkata seusai kami makan.
“Oya? Kapan Mas mulai menyadarinya?” tanyaku seraya mengerjapkan mata di hadapannya.
“Sejak hari pertama kamu melamar kerja di kantorku.”
Aku terperangah. Betulkah itu? Kalau iya, mengapa Mas Candra tak menampakkan perasaan itu sama sekali? Bahkan ia terkesan tak acuh dan tak memedulikanku.
“Tapi kok Mas biasa-biasa saja waktu itu? Bahkan kesannya Mas ingin menjauhiku?” Aku mempertanyakan kesungguhan pernyataannya.
“Aku sengaja bersikap kaku dan formal di hadapanmu selama ini, May. Aku berusaha membendung perasaanku kepadamu. Aku sadar, kita sudah pernah putus dulu. Hubungan kita tidak memiliki muara. Istriku tidak mau aku berpoligami,” jelas Mas Candra mengejutkan.
“Jadi, selama ini Mas hanya berpura-pura bersikap cuek kepadaku?” tegasku lagi. Mas Candra mengangguk pasti.
“Aku ingin hubungan kita biasa saja. Tapi ternyata aku tidak kuat. Saat kamu memijatku tadi siang, perasaanku kepadamu semakin kuat. Aku ingin kita seperti dulu lagi.”
Mas Candra mengambil kedua tanganku, lalu digenggamnya erat. Aku merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhku dari tangan yang digenggam olehnya. Hatiku berbunga. Perasaan bahagia meliputi seluruh tubuhku. Aku tidak mau hal ini berakhir. Aku ingin begini selamanya.
“Aku cinta kamu, Maya.”
Matahari terbenam menjadi saksi atas pernyataan cinta Mas Candra kepadaku. Saat itu aku betul-betul bertekad untuk menjadi istri Mas Candra, walaupun aku harus menjadi istri kedua.
“Bagaimana dengan istrimu, Mas? Bukannya kamu bilang istrimu tidak mengizinkanmu berpoligami? Lalu apakah muara dari hubungan kita ini?” lirih aku bertanya.
“Gampang itu. Aku akan meyakinkan dia. Kalau dia tidak mau, kita tetap bisa menikah walaupun tanpa izinnya.” Mas Candra menatapku sungguh-sungguh. Saat itulah aku memercayai janjinya.
“Betul ya, Mas. Aku tidak mau kamu tinggalkan seperti dulu lagi. Aku enggak mau kamu putuskan secara sepihak. Aku ingin kita betul-betul bersanding di pelaminan,” tegasku dengan penekanan.
“Jangan khawatir. Aku yang sekarang sudah berbeda dengan yang dulu. Dulu aku memang pengecut, tapi sekarang aku tidak akan mengecewakanmu lagi.” Mas Candra kembali meyakinkan diriku.
Entah bagaimana caranya kami bisa menikah. Terus terang saja saat ini hal itu masih kabur di dalam pandanganku. Apabila istri Mas Candra tidak setuju, pasti sulit bagi kami untuk menikah. Apakah itu berarti aku harus menikah siri? Menikah sembunyi-sembunyi dari istri Mas Candra. Aku mematung memikirkan kemungkinan itu.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Mas Candra saat melihatku melamun.
“Aku berpikir caranya menikah bila istrimu tidak setuju. Kamu pasti dilarang menikah ataupun menemuiku, seperti dulu,” kataku jujur.
“Sudah. Biar itu jadi urusanku. Kamu tidak usah risau memikirkannya. Pokoknya kita pasti menikah, bagaimanapun caranya.” Mas Candra menenangkanku.
Ah! Daripada pusing, lebih baik aku menuruti sarannya. Biarlah masalah pernikahan menjadi urusan Mas Candra. Aku tahu beres saja. Aku tersenyum ke arah Mas Candra. Kami saling menatap dengan penuh cinta.
Sedang asyik-asyiknya saling memandang, tiba-tiba ponsel Mas Candra di atas meja bergetar hebat. Aku sampai terkejut mendengar getarannya yang cukup keras. Mas Candra juga terlihat kaget. Kami sama-sama memandang ponsel yang bergetar dan layarnya berkedip-kedip. Foto Indira tampil di layar ponsel, seolah-olah Indira sendiri yang memanggil suaminya secara langsung. Seketika wajahku muram. Aku lihat wajah Mas Candra juga masam pertanda tak senang.
“Halo. Ada apa, Ma?” Mas Candra menerima telepon tepat di hadapanku. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan kejengkelan. Suara melengking Indira terdengar sampai ke telingaku.
“Kok belum pulang, Pa? Enggak biasanya pulang telat enggak bilang-bilang.”
“Iya, Ma. Ada lemburan mendadak. Papa sampai lupa bilang ke Mama. Maaf, ya.” Mas Candra menjawab santai.
“Sekarang masih lembur? Jangan terlalu larut pulangnya. Kasihan Cantika, dari tadi menanyakan Papa terus.”
“Iya. Sebentar lagi Papa pulang, kok. Sudah dulu, ya. Papa mau pulang sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban Indira, Mas Candra memutuskan sambungan telepon. Aku mendongak dengan bibir mengerucut. Mas Candra yang melihatku cemberut lalu tersenyum.
“Kamu semakin cantik kalau cemberut.” Mas Candra mencubit bibirku yang maju setengah sentimeter itu.
“Sekarang kita pulang dulu. Nanti akan aku atur agar kita bisa sering bertemu.”
Mas Candra bangkit dari duduknya. Aku mengikuti sikapnya. Baiklah. Aku cukup puas malam ini Mas Candra mengaku cinta kepadaku. Selanjutnya, akan aku atur strategi agar kami bisa segera menikah.
Kelopak mata Indira sudah terpejam separuh saat bunyi derum mobil yang memasuki halaman terdengar oleh gendang telinganya yang sensitif. Seketika mata mengantuk Indira melebar. Ia hapal betul bunyi derum mobil suaminya. Indira yang sudah bersandar lemas di sofa ruang tamu, kembali duduk tegak. Satu jam menanti suami, akhirnya yang ditunggu datang juga. Indira berdiri dan merapikan pakaiannya yang sudah kusut. Ikatan rambut yang longgar ia eratkan kembali. Meskipun tahu penampilannya tidak akan paripurna, tapi setidaknya rambutnya tidak terlalu acak-acakan saat dilihat suaminya nanti. Indira mengintip dari kaca jendela di depan. Ia melihat suaminya keluar dari pintu pengemudi, lalu berjalan lesu ke teras rumah. Tampak sekali bahwa suaminya sangat lelah. Belum sampai kaki Candra menginjak teras, Indira telah memutar anak kunci dan membuka daun pintu lebar-lebar. Candra terkejut memandang sosok istrinya yang berdiri agak di dalam. “Lho belum tidur, Ma? Papa kira sudah tidur sama Cantik
Jalan di depan sekolah Cantika tak seramai waktu bubar sekolah. Jalan yang biasanya macet dan ramai dengan kendaraan para orang tua yang menjemput anak-anaknya tidak lagi terlihat berjubel. Sebagian besar murid sudah dijemput dan sekolah mulai lengang. Indira bergegas keluar dari mobil usai memarkir di halaman sekolah Cantika yang luas. Sekolah Cantika terkenal sebagai sekolah swasta paling diminati oleh kalangan menengah di kota ini. Sebuah kebanggaan bagi para orang tua apabila dapat menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Begitu pun dengan Indira. Ia sangat bersyukur Cantika dapat sekolah di sekolah ini, meskipun uang masuknya mencapai puluhan juta rupiah. Tatkala Cantika balita, tak terbayangkan oleh Indira dapat menyekolahkan Cantika di sekolah favorit ini. Apalagi ketika suaminya Candra terpaksa menganggur karena kantor tempat kerjanya ditutup oleh sang pemilik, Pak Brontowijaya. Keluarga mereka terpuruk, bahkan Indira sempat berpikir bahwa anaknya mungkin tidak bisa sekolah pada
Hati Indira gundah. Belum pernah Candra berbohong kepadanya selama ini. Ralat. Belum pernah ketahuan berbohong. Jangan-jangan sebelum ini pun Candra berbohong kepadanya namun tidak ketahuan? Ada rasa nyeri yang tercipta di hati Indira. “Halo? Tante?” Niko terdengar bingung lantaran Indira mendadak bungkam. “Oh, eh. Begitu ya, Nik. Ini Tante sedang bingung karena Om belum juga sampai di rumah. Mungkin ada halangan di jalan. Oke deh, Nik. Terima kasih, ya.” Indira mengakhiri sambungan telepon. Sekarang hatinya bertambah gundah. Ke mana perginya Candra? Ia khawatir telah terjadi sesuatu kepada suaminya. Pikiran Indira kalut. Dering telepon membuat Indira terlonjak. Lekas Indira meraih ponselnya yang tergeletak. Ia berpikir, mungkin suaminya yang menelepon kembali. “Ma? Mama di mana? Kok rumah gelap begini?” Suara Ando membuat Indira menepuk dahi sendiri. Astaga! Saking fokusnya kepada Cantika, ia sampai lupa dengan anak sulungnya. Ando memang bersekolah sampai sore. Dia juga sudah b
Pagi menjelang. Kabut tipis masih tersisa di udara, menebarkan hawa dingin yang menusuk pori-pori kulit meskipun manusia tengah berada di bawah selimut. Ini hari pertama Cantika berada di rumah lagi, setelah beberapa minggu berada di rumah sakit. Indira merasa wajar bila malam pertama Cantika ditemani olehnya semalaman. “Papa pergi ke kantor dulu, Ma.” Candra melongokkan kepala ke dalam kamar Cantika yang sudah setengah terbuka. Sejak azan Subuh berkumandang, sebetulnya Indira sudah bangun dan menunaikan kewajiban sebagai muslim. Namun lepas salat ia memang kembali bergelung di bawah selimut, menemani Cantika yang masih tertidur pulas. Indira berpikir untuk menghangatkan diri barang lima belas menit, sebelum melakukan aktivitas pagi. Udara yang dingin membuatnya kembali terlelap, hingga lalai tidak menemui suaminya untuk mengecek keperluannya. Indira terbangun begitu mendengar suara Candra di ambang pintu. Seketika matanya bulat terbuka. Candra telah siap dengan pakaian kerja yang r
Seorang pemuda berdiri di sebelah Indira. Melihat betapa licin wajahnya, Indira menduga umurnya hanya lebih tua sedikit di atas Aliando. Melihat wajah Indira yang pucat, pemuda itu ikut berjongkok di sebelah Indira. “Ibu sakit?” Pemuda itu mengulang pertanyaan. Indira menggeleng lemah. “Saya hanya pusing sedikit. Lihat, ban motor saya bocor. Saya bingung cara pergi ke bengkel.” Indira menunjuk ban belakang motornya yang sudah sangat kempes. “Saya tahu bengkel terdekat. Mari saya bantu Ibu membawa motor ke bengkel.” Pemuda itu bangkit lagi. Ia meminta kunci motor kepada Indira, lalu menyalakan kembali motor. “Mari ikut saya, Bu.” Pemuda itu menuntun motor dengan kondisi mesin motor menyala, sementara Indira berjalan tertatih-tatih di belakangnya. Pikiran Indira melayang ke rumahnya, kepada Cantika yang mungkin sedang menantinya pulang saat ini. Mbak Narti juga mungkin sudah gelisah menunggu kepulangannya. Indira berdoa dalam hati, semoga perbaikan motornya tidak berlangsung lama.
Hawa pagi masih dingin menggigit saat aku turun dari sepeda motor dan memarkir di halaman kantor. Kulepaskan helm yang membungkus kepala, seketika rambutku terasa berantakan. Aku teliti penampilan dari kaca spion. Betul saja. Rambutku mencuat ke segala arah. Kukeluarkan sisir dari dalam tas, lalu tanpa malu aku menyisir rambut bercermin kaca spion. Aku ingin tampil sempurna ketika masuk melewati ambang pintu kantor nanti. Siapa tahu aku langsung berpapasan dengan Mas Candra, kan? Usai bersisir, aku juga memperbarui lipstik. Warna merah marun yang menjadi favoritku kupoleskan sekali lagi pada bibir. Bibirku kembali kilap. Sekali lagi aku meneliti penampilan di kaca spion. Sempurna. Aku tersenyum puas. Aku melepas jaket yang dari tadi melindungiku dari udara dingin. “Swiwiiit!” siulan terdengar dari jarak yang tak jauh. Aku menoleh ke sumber bunyi. Abang-abang ojek daring kudapati tengah nongkrong di sebelah bangunan. Kuhitung ada tiga abang ojek. Salah satunya bahkan terang-terangan m
Pukul satu siang. Jam ngantuk-ngantuknya, kata orang. Kikan baru pulang dari makan siang yang seorang diri. Sebetulnya dia bisa ikut pergi makan siang bersama rekan-rekan kerja lelaki, tapi ia enggan hari ini. Pamitnya Maya secara mendadak membuat suasana hatinya tidak karuan. Oleh karena itulah, Kikan memilih pergi makan siang sendirian, sambil mengenang masa-masa menjadi rekan kantor Maya yang hanya seumur jagung. Sedih juga rasanya kehilangan teman kerja dalam tempo sesingkat itu, apalagi teman itu termasuk tetangga. Ruangan masih lengang saat Kikan melangkahkan kakinya masuk. Baru saja Kikan duduk di kursi sambil menghirup hawa dingin penyejuk ruangan yang menguapkan keringat, pintu utama kantor kembali terbuka. Kikan mendongak. Ia menyangka akan melihat wajah rekan kerjanya yang lelaki, atau mungkin Pak Candra sendiri. Namun, raut wajah yang dilihatnya membuatnya terkejut. “Selamat siang,” kata sosok wanita berkerudung segi empat tersebut seraya tersenyum. Kikan balas tersenyum,
Sudah lama Candra memikirkan rencananya hari ini. Ia akan menemui Maya. Ia sudah tak tahan untuk segera bertemu wanita itu. Entah mengapa, wajahnya yang tersenyum selalu terbayang di pelupuk mata Candra. Siang maupun malam, hanya wajah Maya yang dikenang Candra. Entah apa yang telah dilakukan Maya hingga Candra merasa takluk terhadapnya. Perasaannya terhadap Maya sekarang lebih kuat daripada perasaannya dulu. Kali ini, Candra merasakan dorongan yang amat kuat untuk menyanding Maya sebagai istri kedua. Setelah sekian lama berpisah, Candra baru menyadari bahwa hasrat di dalam dirinya untuk Maya tidak pernah betul-betul padam. Saat bertemu kembali, hasrat itu justru semakin kuat. Candra tahu bahwa ia telah disetir oleh nafsu, namun ia tak kuasa untuk menolak. Bukan lantaran ia tak cinta lagi terhadap Indira. Sama sekali bukan. Cintanya terhadap Indira akan terus ada. Perempuan itu telah menemaninya melewati masa-masa sulit dalam hidupnya. Indira juga gambaran sempurna seorang ibu ideal
Aku menutup mata Mas Candra. Air mataku berjatuhan membasahi bagian depan baju. Kuusap seluruh tubuhnya dengan jemari. Kehangatan mulai meninggalkan raga Mas Candra. Bahkan kakinya mulai terasa dingin. Aku menangis dalam diam. Berkali-kali kususut air mata yang tumpah ruah. Seluruh episode hidup kami sejak pertama bertemu hingga menjelang ajal berputar dalam ingatan. Aku tenggelam dalam nostalgia. *** Aku baru saja menjadi mahasiswa baru. Sewaktu orientasi maba, aku mendapat teman yang akhirnya menjadi sahabatku. Desti namanya. Bersama Desti aku sering kemana-mana berdua, baik kuliah, ke perpustakaan, maupun ke kantin. Hari itu ada kuliah siang. Kelas selesai pukul setengah satu, tepat pada jam makan siang. Lantaran lapar, dari kelas kami langsung menuju kantin. Desti mengajakku ke kantin fakultas, alih-alih kantin jurusan seperti biasa. “Soto kantin fakultas itu enak banget, beda den
Untuk mendapatkan hasil yang akurat, kami sarankan untuk melakukan CT Scan, Pak,” imbuh dokter itu sungguh-sungguh. Aku dan Indira terhenyak. “Sakit apa sebetulnya suami saya, dok?” tanya Indira dengan rasa gugup yang tak dapat disembunyikan. “Kami belum pasti dan tak ingin gegabah. Setelah hasil CT Scan keluar, barulah bisa dipastikan,” jawab dokter serius. Aku terdiam. Rasa takut membuat telapak tanganku basah oleh keringat dingin. Tatapanku nanar pada dokter yang rambutnya berwarna hitam legam itu, namun pada akar rambutnya kulihat sedikit warna putih. “Ini saya buatkan surat pengantarnya. Tolong segera dilakukan CT Scannya, Pak,agar penyakitnya bisa segera diketahui,” titah dokter. “Baik, dok,” jawabku, pasrah. Aku keluar dari ruang periksa dokter dengan gaya linglung. Bahkan ketegangan juga kulihat dari raut wajah
Takdir. Aku percaya kepergian Maya sudah menjadi ketentuan dari Allah. Aku tak boleh menyalahkan siapa-siapa, termasuk diri sendiri. Apalagi sampai menyesali takdir. Satu hal yang sangat aku syukuri, Maya sempat bertobat sebelum malaikat maut menjemputnya. Ia kembali kepada Allah sebagai hamba yang memohon ampun. Semoga Allah memberinya maghfirah. “Pa, mau Mama buatkan kopi lagi?” tanya Indira mesra. Sosoknya yang gemuk berjalan pelan menghampiri dengan raut wajah semringah. Cahaya matahari pagi yang lembut jatuh di rambutnya yang ikal sebahu. Ia tampak cantik dan berseri. Semenjak Maya tiada, aura bahagia memancar jelas dari sorot matanya. Aku tahu Indira gembira Maya telah pergi dari kehidupan kami. Sangat bertolak belakang dengan aku yang murung selepas Maya pergi. Kami bagaikan dua kutub yang bertolak belakang. Ia bersuka cita, sementara aku berduka cita. Aku tak dapat menyalahkannya. Rea
Seketika duniaku kembali gelap. Entah berapa lama aku pingsan. Ketika membuka mata, sosok Mas Candra sedang duduk di sebelahku. Tangannya menggenggam tangan kananku. Sementara, seorang perawat menarik sehelai sapu tangan dari hidungku. Aroma minyak kayu putih sangat kuat tercium oleh hidungku. “Kamu sadar, May? Sabar ya, May ... Ada aku di sini,” hibur Mas Candra. Tangannya bergegas membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku teringat lagi akan bayi kami yang pergi. Rasa sedih membadai di hatiku. Sesak dadaku diiringi detak jantung yang tak beraturan. Kepalaku berkunang-kunang, tangan dan kakiku bergerak tanpa aku kehendaki. Aku kejang lagi! “Suster! Cepat panggil dokter!” teriak Mas Candra. Tangannya sibuk menahan gerakanku yang tak normal, sementara wajahnya tegang dan dahinya berkeringat. Sebelum melih
Bunyi bel di pintu membuatku terbangun dari tidur yang tak nyenyak. Aku bangkit perlahan. Malas sekali rasanya bergerak, namun bisa jadi yang memencet bel itu Mas Candra. Aku sedang menantikannya.Aku mengintip dari kaca kecil bulat di tengah pintu. Senyumku terkembang melihat wajah Mas Candra di dalam cermin. Bergegas aku membukakan pintu dan menyambut suamiku dengan tatapan hangat dan senyuman terbaik.“Sudah pulang, Mas?” sapaku sambil meraih tangannya dan mendekatkan badan kepadanya.“Iya, baru saja. Ada makanan apa, May? Aku lapar,” ujar Mas Candra.“Aku ambilkan dulu, Mas. Tadi aku masak ayam bumbu rujak,” jawabku dengan manis.Kami makan bersama. Mas Candra dengan riang menceritakan keberhasilannya menjual salah satu mobil mewahnya.“Kita sekarang punya modal buat buka usaha!” serunya dengan menggebu-gebu. Aku turut merasa antusias.“Mau usaha apa, Mas?” tanyaku.“Itulah. Aku masih bingung. Kamu punya ide, May?” balas Mas Candra.“Aku pikir usaha makanan saja, Mas. Di kota besa
Cantika menoleh dan melihatku. Ekspresi terkejutnya terlihat amat nyata. Aku berjalan cepat mendekatinya. Sebentar saja aku sudah berada di sisi Cantika. “Papa, sedang apa di sini?” tanya Cantika heran. Saking terpananya Cantika dengan kehadiranku yang amat tiba-tiba, ia sampai mengabaikan es krim di dalam genggaman tangannya. Es krim itu meleleh menodai tangan yang memegangnya. “Papa sengaja datang kemari untuk menjemputmu,” kataku seraya tersenyum selebar mungkin. “Tumben,” cetus Cantika dengan dahi mengernyit. Kami lalu berjalan beriringan. Reaksi Cantika di luar perkiraanku sama sekali. Aku menyangka akan mendapat sambutan hangat dan riang tawa Cantika dengan kehadiranku. Ternyata dugaanku meleset. “Kamu biasanya dijemput Mama, ya? Telepon saja Mama, kabari bahwa kamu pulang bersama Papa,” titahku. Tiba-tiba, Cantika membuang es krim yang masih tersisa setengah ke dalam tong sampah yang kebetulan kami lewati. Aku terperangah, tak mengerti dengan tindakan Cantika. “K
Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan dengan travel antarkota, akhirnya Candra tiba di depan apartemen Maya. Candra melangkah lesu ke dalam lobi apartemen. Ia berhenti di ruang tamu dan mendaratkan pantat di kursi sofa yang empuk, sekadar melepas penat yang teramat kuat. Kursi yang sama dengan yang diduduki oleh Indira tempo hari, tanpa sepengetahuan Candra.Di sana ia mengeluarkan ponsel mahalnya yang berlogo apel tergigit, lalu menghubungi Maya.“May, aku sudah sampai di lobi apartemen. Bukakan pintu sebentar lagi, ya.”“Oh, Mas sudah sampai? Oke, nanti aku bukakan kalau Mas sudah sampai di depan pintu.”Candra memasukkan kembali ponselnya, lalu menggeliatkan badan untuk melemaskan otot yang kaku. Semenit kemudian, barulah Candra bangkit dan berjalan ke arah lift. Sebentar saja, lift sudah terbuka dan Candra masuk ke dalamnya. Hanya dirinya seorang yang menggunakan lift saat itu. Bukan lantaran apartemen ini sepi penghuni, tetapi karena sekarang bukan jam pergi kerja ma
Mobil Shinta memasuki halaman rumah Indira. Terlihat sepi dari luar. Seolah-olah seluruh penghuninya tak sedang ada di rumah. “Ada Candra tidak di dalam?” tanya Shinta seraya mematikan mesin mobilnya, tepat setelah mobil itu terparkir rapi di halaman. “Entahlah. Aku tidak tahu,” jawab Indira jujur. “Anak-anakmu ada di mana?” lanjut Shinta lagi. “Yang bungsu ada di rumah neneknya. Kalau Si Ando sih bisa ada di mana saja. Dia jarang laporan sedang berada di mana,” sahut Indira setengah mengeluh. “Kalau begitu aku antar kamu sampai ke dalam, ya. Mungkin kamu masih perlu teman bicara,” ujar Shinta. Lalu tanpa menunggu jawaban Indira, Shinta membuka pintu mobilnya dan keluar. Indira menurut saja. Ia ikut turun sambil mengeluarkan kunci pintu rumah. Mereka berdiri di depan pintu, sementara Indira berusaha mencari anak kunci yang benar di antara satu renteng kunci yang ada di dalam tasnya. Kunci-kunci itu merupakan kunci semua pintu di rumahnya, mulai dari pintu garasi, pintu samping, p
Aku celingukan di lobi apartemen. Ke mana tamu yang dikatakan oleh resepsionis tadi? Apakah tamu itu mendadak pergi? Mungkin tamu itu bukan temanku Kinan, seperti yang aku harapkan. Kinan sudah berjanji akan datang hari ini. Aku sudah menantikan kedatangannya sejak tadi. Makanya, ketika resepsionis mengabarkan bahwa ada tamu untukku, aku langsung mengatakan akan turun saja. Ya, aku berniat mengajak Kinan makan di luar sambil mengobrolkan kehidupan kami. Aku mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Pergerakan di sudut kursi dan meja tamu menarik perhatianku. Ternyata ada orang yang duduk di situ. Tidak seperti biasanya. Apakah Kinan ada di sana? Sosok itu berjalan ke arahku. Perempuan gemuk berkerudung sifon warna lembut. Wajahnya seperti tidak asing bagiku. Aku menyipitkan mata, mencoba mengenali dirinya dari kejauhan. Ingatan masa lalu berkelebat bagaikan sambaran kilat. Tidak salah lagi. Dia itu Indira. Istri pertama Mas Candra. Aku mundur dua langkah. Mau apa dia kemari? Sorot ma